Setelah mendapat kartu nama Sean dari ibunya, Icha mulai mencari tahu tentang Sean semalaman. Tapi ia tak menemukan sesuatu yang spesial ataupun detail selain Sean Hartono anak konglomerat real estate Rudi Hartono yang berhasil lulus dengan nilai terbaik di salah satu kampus Australia.
Pagi menjelang saat Icha membuka matanya, Icha memutuskan untuk datang ke cafe favoritnya pagi ini karena ia masih harus menyelesaikan proposal yang ia kerjakan untuk proyek merger yang seharusnya dirapatkan minggu ini. Icha masih ingat kata-kata Mamanya kemarin, ‘Icha, meeting-nya diundur minggu depan’. What the hell. “Sampai minggu depan diundur lagi, gue rajam si Sean Hartono itu” batin Icha yang tanpa sadar mematahkan pensil mekanik yang digenggamnya.
“Eh.. atau gue telepon aja ya orangnya? Siapa tahu gue bisa bikin rapatnya dimajuin” gumam Icha. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri yang memakan waktu hampir 30 menit, Icha akhirnya mengeluarkan kartu nama yang disimpannya di dalam buku jurnalnya, ia mulai memasukkan nomor Sean Hartono kedalam handphone-nya dan men-dial nomor itu.
Tut.. tut...
“Kurang ajar, sok artis banget ini orang” batin Icha setelah menunggu selama 2 detik dan masih belum diangkat oleh pemilik nomor tersebut.
Nomor yang anda tuju sedang sibuk..
“INI DIREJECT KAN! IYA INI DIREJECT! SIALAN!” umpat Icha yang tanpa sadar berbicara keras dan mengagetkan orang-orang yang sedang nongkrong di cafe itu. Icha meringis dan membungkuk minta maaf sebelum akhirnya duduk kembali dan mengumpat. “Bisa nggak nih gue akur sama makhluk kayak gini, wah merger ini gue harus pasang muka kaya gimana kalo ini orang yang namanya Sean Hartono udah belagu kayak gini” Batin Icha.
Sementara itu, Sean setelah me-reject nomor yang terlihat asing di handphonenya ternyata sedang uring-uringan setelah menyadari kesalahan kembali ke Indonesia.
“LIKE FOR REAL. SUDAH 3 HARI PAPI NGE BLOKIR SEMUA KARTU KREDIT DAN ATM GUE!” Sean menjerit didalam apartemennya. Ia baru sadar kartu kredit miliknya diblokir saat ia hendak membayar makanan di salah satu restoran fastfood, tetapi seluruh kartunya ditolak. Dan sialnya, Sean sama sekali tidak memiliki uang cash. Dengan terpaksa Sean menelpon Bian dan meminta tolong untuk meminjamkannya uang Bian karena Shawn sedang berada di luar negeri dan seluruh kartunya diblokir. Belum lagi ada nomor tidak dikenal yang menghubunginya, pasti suruhan ayahnya itu yang ada dipikiran Sean. Tanpa pikir panjang Sean langsung memblokir nomor itu.
“You should apologize to your Dad, Sean” Bian membawa nampan berisi sarapan untuk Sean dan dirinya.
Sudah 3 hari Bian menginap di apartemen Sean, karena Sean tidak mau sendirian saat ia di Indonesia dan ia tidak mau pulang kerumahnya karena masih perang dingin dengan ayahnya. Dan selama tinggal di apartemen hampir seluruh pengeluaran Sean terpaksa memakai kartu kredit Bian, Bian pun tak keberatan entah apa alasannya.
“No.. I don’t want to work. Not yet. I still want to spend my time with you” Sean memeluk Bian. Bian menghela nafas. Sean selalu seperti ini ketika Bian memintanya untuk minta maaf kepada orangtuanya.
“Aku nggak bisa terus-terusan sama kamu kan? Aku juga masih harus cari kerja” Ujar Bian. Sean terdiam. “Bener juga, gue nggak bisa gini terus. Gue malu kalau harus minjem uang Bian terus-terusan. Dan gue mau jadi suami macam apa kalau nggak punya penghasilan. Bian bakal kecapekan kerja buat memenuhi kebutuhan keluarga kita” batin Sean.
“Sean?” Bian membuyarkan lamunan Sean yang sudah melantur jauh hingga mereka punya anak. “Makan dulu gih, aku abis ini pergi ya, ada panggilan interview” ujar Bian. Sean mengangguk, lalu mengambil garpu dan pisau yang sudah disiapkan Bian dan memakan pancake dengan saus mapple kesukaannya. Semua masakan Bian terasa enak dimata Sean.
“Kamu udah berapa kali interview?” tanya Sean. Bian memutar bola matanya, mengingat-ingat berapa kali ia menjalani tes pekerjaan.
“Lima kali lebih, tapi aku ditolak terus. Karena tinggi badan aku nih” keluh Bian. Sean tersenyum kecil, lalu mengacak rambut Bian.
“Yaudah, kamu semangat ya. Kamu pasti bisa” Bian tersenyum dan mencium pipi Sean.
“Thankyou, Sean” setelah mengucapkan kata itu, Bian beranjak pergi dari apartemen dan meninggalkan Sean sendiri. Setelah berkutat dengan isi pikirannya sendiri, Sean akhirnya mengambil kunci mobilnya dan memutuskan untuk pergi.
***
“I made up my mind”
“Great”
“Tapi Sean punya beberapa syarat” Ujar Sean.
“What is it?”
“Sean mau kerja, kalau Bian jadi sekretaris Sean” Ujar Sean kepada ayahnya.
Setelah berpikir panjang dan memikirkan masa depannya dan Bian, Sean memutuskan untuk mengesampingkan egonya dan bekerja untuk ayahnya tapi harus sesuai dengan syarat yang ia inginkan. Membuat Bian selalu disisinya.
“Deal” Jawab Rudi Hartono tanpa perlu memikirnya hal lainnya. “Kamu mulai kerja besok. Ini kartu nama rekan kamu buat proyek merger. Hari Sabtu Malam kita meeting sama mereka di Sky Pool Bar Cafe Kempinski jam 8 malam.” Sean menaikkan sebelah alisnya. Hanya untuk meeting merger saja harus selebay itu. Perusahaan apa sih yang diincar papi ini.
“Okay, pap.” Ucap Sean sambil mengambil kartu nama yang diberikan ayahnya itu.
Melihat nama yang tertera di kartu nama yang diberikan ayahnya barusan, Alesha Widjaja. Nama itu terdengar tidak asing untuk Sean. Tapi persetan dengan Alesha, yang penting sekarang Sean bisa memberikan waktu dan pekerjaan kepada wanita yang selalu ada dihatinya selama bertahun-tahun, Bian.
Sean lalu mengirim pesan kepada Bian untuk memberitahu Bian kalau dirinya sudah kembali kerumah dan akan segera mengembalikan semua uang yang dipinjamnya dari Bian selama beberapa hari terakhir. Tentu saja tidak lupa dia memberitahu Bian tentang pekerjaan yang dia dapatkan untuk Bian sebagai sekretarisnya di kantor milik ayahnya.
***Hari pertemuan untuk merger perusahaan akhirnya tiba, Sean yang selama beberapa hari bekerja dikantor sama sekali tidak pernah mau jauh dari Bian sedetikpun. Dan tanpa pengetahuan kedua orangtuanya ia dengan berani membawa Bian yang adalah sekretarisnya untuk ikut datang dalam meeting yang sudah terjadwal jauh-jauh hari karena pikirnya mereka akan mendiskusikan merger perusahaan dan tentu saja dia akan membutuhkan sekretarisnya kan? Itu yang ada di pikiran Sean.
“Aku cuma meeting sebentar, kamu tunggu di sini aja ya?” Sean melepas gandengan tangannya dengan Bian. Bian mengangguk setuju.
“Goodluck!” Sean tersenyum dan bergegas ketempat meeting yang sempat diberitahukan orangtuanya. Ketika Sean sampai ditempat janjian, sudah ada 5 orang disana termasuk orangtua Sean.
“Hai. Sorry telat, tadi macet” Sean mengulurkan tangannya, menjabat ketiga clientnya. Dua orang tua dan satu wanita yang menurutnya lumayan cantik tapi baginya hanya Bian yang menarik.
“Sean, kenalin, dia Alesha, rekan kerja kamu untuk proyek merger kita ini” ujar Ayahnya Sean sambil menunjuk wanita berbaju putih yang duduk disebelah kanan kursi Sean. Sean langsung tersenyum dan menjabat tangan wanita itu dengan ramah. Senyum bisnis tentunya.
“Oh, Hai. Gue Sean” ucap Sean.
“Gue Alesha, panggil Icha aja” jawab Icha sambil menjabat tangan Sean dan mengeluarkan senyuman bisnis andalannya. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka berbincang mengenai perusahaan masing-masing dan prospek mereka kedepannya. Sean dan Icha sama-sama memberi pendapat dan ide-ide kreatif mereka untuk proyek merger ini. Orangtua kedunya sangat sumringah mendengar keduanya terlihat sangat akrab satu sama lain saat membicarakan bisnis mereka. Setelah beberapa mendiskusikan kelanjutan bisnis dan rencana-rencana ke depannya mereka memanggil pelayan untuk menyiapkan pesanan mereka sebelumnya.
“Jadi sudah deal ya? Ada yang ingin diajukan lagi?” Ucap Icha. Rudi Hartono tersenyum puas, tidak salah ia memilih mitra kerja. Icha sangat cerdas dan pintar melihat peluang-peluang yang ada, belum lagi ia sangat kreatif dan sangat inovatif. Tak heran kariernya melejit tak lama setelah ia terjun kedunia bisnis ini.
“Saya akan baca lagi proposalnya. Kalau ada yang saya propose saya akan e-mail” Jawab Sean sambil membolak-balik halaman proposal yang sudah diprint oleh Icha. Icha mengangguk puas karena hasil ia mengerjakan proposal itu mendapat respon positif dari Sean yang kelak akan menjadi rekan kerjanya.
“Gimana, Sean? Menurut kamu Icha gimana?” Sean menatap ayahnya. Masih tidak mengerti kenapa pertanyaan seperti itu harus ditanyakan saat membicarakan bisnis seperti ini.
“Baik, pap. Icha cantik, pintar, baik, sempurna lah. Terlalu sempurna untuk seorang wanita yang baru terjun ke dunia bisnis. Hahaha” jawab Sean setengah hati. “Bian is a lot better than her” batin Sean.
“Kalau kamu gimana Cha? Kesan-kesan kamu tentang Sean gimana?” Mamanya Icha menanyakan hal yang sama kepada anaknya.
Icha menatap mamanya dengan tatapan heran. “He’s awesome. Nggak salah kita merger sama perusahaan Hartono. Belum lagi prestasi Sean banyak waktu dia di Aussie. Tentu aja itu akan sangat membantu kedepannya. Hahaha” jawab Icha. “Galih is better than him in so many ways” batin Icha sambil menengguk segelas air.
***
Sementara itu Bian yang sedari tadi menunggu kabar dari Sean masih setia menunggu di lobby.
“Sean lama banget. Apa ada kendala ya?” Bian menggumam. Ia melihat jam tangannya, sudah hampir 2 jam ia menunggu Sean di Lobby hotel. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan baterai handphone-nya sudah mau habis karena ia memainkan game sambil menunggu kabar dari Sean.
“Gue samperin deh, sebagai sekretaris yang bijak seenggaknya harus aktif kan?” Pikirnya membulatkan tekadnya. Ia berjalan menuju lift dan berusaha memikirkan alasan apa yang harus ia jawab ketika ditanya orangtua Sean tentang keberadaannya disini. Gimana kalau Sean atau orangtuanya marah karena ia mengganggu meeting yang sangat mereka tunggu-tunggu ini?
Ting
Tanpa sadar Bian sudah berada ditempat dimana pertemuan Sean dan client nya mengadakan meeting ini. Bian berjalan pelan melihat sekelilingnya mencari tempat dimana Sean duduk. Ketika menemukan Sean dan keluarganya sedang mengobrol dan duduk di pojok restoran, Bian sengaja memilih tempat tak jauh dari tempat keluarga Sean duduk.
“What? Pertunangan?!” Sean dan wanita disebelahnya berdiri sambil menggebrak meja.
“Pertunangan?” Bian terdiam. Belum ada 5 menit sejak ia duduk di dekat meraka , ia sudah mendengar kabar yang sangat mengejutkan untuknya. Ia sadar dan yakin tidak salah dengar, kata-kata itu benar-benar keluar dari bibir Sean dan seorang wanita yang terlihat sangat elegan duduk di seberang Sean. “Sean tunangan?” batin Bian. Kakinya lemas setelah mendengar kalimat itu. Ia memutuskan pergi dari restoran itu dan pulang menuju rumahnya saat itu juga. Bian menuju lift dan masuk ke dalam memikirkan kalimat yang tak pernah sedikitpun terpikirkan olehnya. Matanya berkaca-kaca. “Sean tunangan?” ucapnya lirih menahan airmata.
***
“Lesu banget, cha. Kenapa emang meeting nya kemarin?” Galih menatap wajah lesu Icha. Setelah seminggu tidak bisa tidur dan menangis setiap malam, Icha memutuskan untuk kembali menjadi Icha yang biasanya, pengusaha muda cerdas dan bermental baja.
“Nggak papa, Lih. Lo udah pesen makan?” Tanya Icha tanpa memalingkan pandangannya dari notebooknya.
“Cha, gue udah pesen 3 atau 4 kali, dan lo udah nanya hal yang sama 3 kali ke gue setiap gue nanya lo kenapa” Ujar Galih. Icha akhirnya memberanikan diri melihat Galih. Raut wajah Galih menunjukkan kekhawatirannya, keningnya berkerut, alisnya terlihat seperti ulat bulu hitam.
“Hehe, gue lupa kalau lo udah nanya” Icha meringis. Entah kenapa sulit sekali menyembunyikan perasaannya yang sedang kalut di depan Galih.
“Lah mata lo kenapa?” Galih mendekati Icha, ia menyadari ada mata Icha sedikit bengkak. “Kok nangis? Lo kenapa, Cha?” Galih beranjak dari kursinya dan duduk disebelah Icha. Icha menunduk lalu menggelengkan kepalanya. “Cerita sama gue, Cha. Siapa tahu gue bisa bantu” Ujar Galih.
“Gue minta maaf, Lih..” Icha terisak.
“Kenapa? Emang lo salah apa?” tanya Galih sambil mengelus rambut Icha.
“Gue nggak bisa sama lo lagi kayaknya” Ujar Icha. Galih terdiam. Berusaha mencerna perkataan Icha.
“Maksudnya?”
“Gue udah usaha, sumpah, gue udah berusaha bilang ke mom sama dad, tapi mereka nggak mau tahu” isak Icha.
“Bilang apa? Ada apa?” tanya Galih, kali ini ia memegang kedua pundak Icha, menghadapkan wanita cantik itu kearahnya.
Melihat Icha yang ia sayangi tertunduk dengan wajah merah dan terisak membuat hatinya sakit bukan main. Galih terus berpikir apa yang dilakukannya sampai Icha tidak bisa bersamanya lagi. Apa yang salah?
Icha akhirnya mengangkat kepalanya, melihat kedua mata Galih. Berusaha memantapkan hatinya untuk kehilangan laki-laki itu. “Galih..”
Jantung Galih berdebar ketika melihat Icha menatapnya dengan nanar, seolah-olah ada musibah besar yang menimpanya.
“Galih gue dijodohin sama orangtua gue” Ujar Icha akhirnya. Ia tahu jauh di lubuk hatinya ia tidak ingin kehilangan Galih. Ia ingin bisa tetap bersama Galih walaupun sudah bertunangan dengan orang lain. Ia ingin memiliki Galih untuknya.
“Hah?” Ujar Galih setelah beberapa menit terdiam, hanya itu yang bisa diucapkannya, suaranya bergetar, raut wajahnya dari khawatir pun berubah menjadi pucat.
“Gue awalnya nggak mau bilang sama lo, gue nggak mau kehilangan lo, tapi...” Isak Icha. Air mata Icha mengalir semakin deras.
Kita adalah rasa yang tepat, di waktu yang salah~
Alunan lagu di cafe seolah mendukung Icha untuk mengeluarkan emosinya. Galih merasa dadanya sesak, ia tidak tahu harus melakukan apa saat melihat wanita yang disayanginya semenjak masa kuliah itu menangis, meminta maaf atas kesalahan yang bukan kesalahannya.
“Icha, udah jangan nangis, nggak papa, gue ngerti kok. Memang lo dijodohin sama siapa?” tanya Galih, tangannya bergetar ketika mengelus rambut Icha, berusaha menenangkan Icha.
“Maafin gue.” Ucap Icha. Kali ini Galih memeluknya. Memeluk Icha erat.
“Udah, udah.. nggak papa” Galih menatap langit-langit, mengelus rambut Icha, berusaha menguatkan wanita yang ia sayangi itu. Baru kali ini ia ingin meluapkan amarahnya, tetapi ia pun sadar bahwa dirinya bukan siapa-siapa untuk keluarga Icha. “Gue akan selalu sayang sama lo, Cha." Lanjutnya.
Kalimat Galih membuat Icha terisak dan membenamkan wajahnya di dada bidang Galih. “Seandainya gue bisa mengambil alih perusahaan dad, atau gue bisa kuasain proyek ini. Jadi gue bisa batalin pertunangan gue dan jalanin sama Galih..” batin Icha.
“Wait.. what?” Icha melepaskan pelukan Galih. “OH MY GOD GALIH! Kenapa gue nggak kepikiran daritadi sih.. kenapa gue harus ninggalin lo?” Icha memeluk Galih, kali ini sambil tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca dan hidung memerah.
Galih hanya menatapnya, tidak mengerti apa maksudnya. Sekaligus terkejut melihat perubahan drastis emosi Icha.
“I have a plan!” Ujar Icha girang.
Ketika Sean dan Icha bersamaan menggebrak meja, Sean mendengar suara orang terjatuh dan melihat Bian terduduk sambil menundukkan kepalanya. Tanpa pikir panjang Sean bergegas menghampiri Bian tanpa memperdulikan panggilan dari Ayahnya yang terdengar setengah berteriak.Bian melihat Sean menghampirinya, biasanya ia akan menghampiri Sean dengan senang dan memeluknya, tapi tidak kali ini, wajahnya yang merah, belum lagi make up nya yang luntur karena menangis membuatnya memilih untuk berlari menghindari Sean. Untungnya lift berpihak kepadanya, sebelum Sean sempat menghampirinya, pintu lift sudah tertutup yang membuat Sean harus menunggu lift berikutnya. Setelah sampai di lobby Bian langsung berlari keluar hotel dan mencari taksi yang lewat. Tidak berapa lama, sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Ia langsung masuk dan menutup pintu mobilnya. Sean melihat taksi yang Bian naiki berjalan menjauh dari hotel.Selama hampir satu minggu Sean berkali-kali menghubungi Bian. Namun tak ada jawaba
Keesokan harinya mereka harus bertemu kembali untuk memastikan semua berkas-berkas kepentingan merger sudah lengkap. Mereka mampir ke cafe yang terletak tak jauh dari lokasi kantor Icha.“Gue strawberry smoothie sama tenderloin steak well done. Lo apa?” Icha memberikan pesanannya pada waiters yang sedang mencatat pesanannya.“Coffee latte sama sirloin steak well-med.” Sean mengakhiri pesanannya dengan tersenyum manis pada waiters cewek di depannya. “Caper amat” batin Icha. Sean memperhatikan ekspresi Icha saat ia menebarkan pesonanya pada waiters tadi. Tiba-tiba terlintas ide jahil dalam diri Sean melihat ekspresi Icha.“Yang di foto kemarin pacar lo?”Icha yang sedang asik melihat interior cafe yang terkesan ramai langsung membelalakkan matanya. “Gue liat pas lo milih jas sambil ngecek hp” Sean menjawab pertanyaan dimata Icha yang seakan-akan bertanya ‘TAU DARIMANA MONYET’. Sean sedikit tertawa melihat tingkah Icha.“Jadi? Siapa tuh yang di foto lo kemarin?” tanya Sean lagi setelah
“Ichaa!! Hurry up! Sean udah nunggu di ruang tamu,” Mama Icha mengetuk pintu kamar Icha. Sudah 15 menit Sean menunggu Icha yang tidak kunjung keluar dari kamarnya. Ck. Dia yang suruh datang jam 1, dia juga yang lelet umpat Sean.“Sorry, tadi ada yang minta dokumen buat kelengkapan merger,” ucap Icha setelah berlari dari kamarnya. Sean menatap Icha sedikit kagum. Icha begitu peduli dengan perusahaan dan bertanggung jawab dengan tugasnya, tidak seperti Sean.“Slow, gue juga baru dateng. Yaudah, tante, kita berangkat ya, setelah selesai lihat gedung, Sean langsung antar Icha pulang.” Pamit Sean sambil tersenyum manis kepada Mama Icha.“Iya, Sean. Hati-hati, nggak pulang juga nggak apa-apa, tante percaya sama kamu kok” Jawab Mama Icha sambil mengelus kepala Sean yang diiringi dengan pelototan Icha.“Bye Mom” Icha mencium pipi Mamanya. Setelah itu Icha dan Sean bergegas ke mobil Sean yang di parkir di halaman rumah Icha, tepat di depan air mancur berwarna putih yang membuat nuansa rumah Ic
Icha menyadari Sean berjalan menyusulnya ketika melihat kehadiran Bian dan keluarganya. You are predictable, Sean.“Sean! Apa kabar? Wah kamu tambah ganteng nih, udah ketemu Bian belum?” Papa Bian memeluk Sean.“Tambah ganteng darimana. Tambah nakal dia” jawab Rudi Hartono. Diana Widjaja memperhatikan kedekatan keluarga Hartono dengan keluarga Bian.“Bi..” Ucap Sean lagi sambil menyentuh pundak Bian.“Congratulations, Sean. I’m happy for you” Bian berdiri dan memeluk Sean. Sean sadar tubuh kecil Bian bergetar, ia menahan tangisnya sedari tadi.“I’m so sorry” Sean memeluk Bian lebih erat.“E-hem” Lidya Hartono berdeham berusaha menyadarkan anaknya kalau ia sedang berpelukan dengan wanita lain didepan tunangannya.“Sean, ayo duduk” ucap Rudi Hartono. Bian melepas paksa pelukan Sean dan duduk disamping ayahnya. Sean menatap Bian lalu duduk dikursi yang sudah disediakan, tentunya disebelah Icha, berseberangan dengan Bian. “Bian ini berjasa sekali untuk Sean” Lanjut Rudi Hartono, membuka p
Pernikahan Icha dan Sean tinggal menghitung hari. Semakin dekat harinya keduanya semakin sering bertengkar, mulai dari lokasi, makanan dan hal-hal sepele lainnya. Meskipun bukan pernikahan yang mereka inginkan tetap saja mereka tak mau terlihat buruk di acara besar yang sudah jelas akan d liput banyak media.Hari ini keduanya bertemu dan untuk pertama kalinya tanpa kehadiran Bian ataupun Galih. Mulai dari proses fitting sampai pemilihan cake mereka lakukan berempat. Kejadian itu langsung diketahui kedua ibu mereka, yang membuat Diana dan Lidya murka.Keduanya sepakat untuk mengatur segalanya kecuali lokasi. Karena itulah saat ini Sean dan Icha bertemu untuk memutuskan lokasi pernikahan mereka. Dan seperti biasa mereka selalu berbeda pendapat.“Pokoknya Aussie. Gue nggak mau tempat lain.” Urat-urat Sean mulai berkedut melihat Icha menatapnya tajam.“Indonesia aja sih. Ngapain jauh-jauh ke Aussie? Toh ini bukan pernikahan bahagia.” Icha menjulurkan lidahnya membayangkan akan menikah de
Sabtu sore, setelah dari kantor Icha berencana untuk langsung menuju panti asuhan Tanah Putih.Entah kenapa Icha yang biasa selalu ditemani sopir, saat ini memilih untuk menyetir mobilnya sendiri. Ia melaju pelan menuju lokasi panti yang selalu ia kunjungi tiap bulannya itu. Hari itu tak terasa kemacetan seperti seharusnya. Padahal weekend pikirnya.Hampir seluruh tamu yang hadir dalam acara pernikahannya memberikannya berbagai hadiah. Ia sempat membuka beberapa diantaranya. Karena terlalu sibuk ia tak sempat membuka sisanya.Ia hanya terpikir untuk mengumpulkan uang dari hasil pernikahannya untuk di sumbangkan ke berbagai panti asuhan yang letaknya masih sekitaran Jabodetabek. Ia merencanakan akan mengadakan acara amal minggu depan untuk panti asuhan lainnya.Icha sempat mendiskusikannya dengan Sean. Sean pun menyetujui rencana Icha karena sejujurnya mereka benar-benar tak membutuhkannya. Akan lebih baik jika digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat itu pikirnya.Icha sampai di peru
Sebuah mobil mewah memasuki lahan parkir sebuah rumah bernomor 001. Mobil tersebut berhenti tepat di depan teras rumah yang disokong dengan dua pillar besar berwarna putih pucat di sisi kanan kirinya. Seorang laki-laki turun dari mobil tersebut sembari memperhatikan halaman dan tanaman-tanaman kering di sekitarnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, menyadari betapa usangnya rumah yang ditempatinya tersebut. Cklek. Pintu terbuka. Seorang wanita cantik dengan dress merah lengkap dengan tas LV berwarna senada muncul di antara sela pintu yang terbuka. Sean - laki-laki itu - terpaku melihat Icha yang sekarang berstatus sebagai istrinya keluar rumah dengan begitu anggunnya, tanpa menyadari kegaduhan apa yang baru saja ia buat. “Lo udah gila ya?!” sebuah kalimat yang sangat unik didengar untuk memulai pembicaraan pun terlontar dari bibir Sean. Alih-alih menjawab sapaan Sean, Icha memilih diam sambil menaikkan satu alisnya. “Nggak bisa gini lah caranya! Seenak-enak
“Sean! You coming to the party tomorrow?” Wanita dengan pakaian ketat dan hot pants melingkarkan tangannya di leher Sean. “Of course, babe. Can’t wait to have fun with you” Ujar Sean lalu mencium pipi wanita itu. Sean Hartono, adik dari Shawn Hartono, seorang dokter yang memiliki jarak umur 3 tahun lebih tua dari Sean, sekaligus merupakan anak bungsu dan ahli waris dari perusahaan besar milik orangtuanya sekarang menjalani masa-masa akhir kuliahnya di Australia. Sebelum akhirnya harus kembali ke Indonesia untuk membantu menjalankan bisnis orangtuanya. “Lo jadinya balik ke Indonesia kapan, bro?” Jimmy menoleh kearah Sean sembari meminum soft drink yang dibelinya di kantin kampus. Graduation Ceremony akan dilaksanakan hari Sabtu, yang berarti adalah 4 hari dari sekarang. Sean masih bergumul dengan keinginannya untuk tetap tinggal di Australia tapi di sisi lain, dia tau, dia harus pulang untuk sekedar absen wajah didepan orangtuanya, yang berarti ia harus mulai mempelaja
Sabtu sore, setelah dari kantor Icha berencana untuk langsung menuju panti asuhan Tanah Putih.Entah kenapa Icha yang biasa selalu ditemani sopir, saat ini memilih untuk menyetir mobilnya sendiri. Ia melaju pelan menuju lokasi panti yang selalu ia kunjungi tiap bulannya itu. Hari itu tak terasa kemacetan seperti seharusnya. Padahal weekend pikirnya.Hampir seluruh tamu yang hadir dalam acara pernikahannya memberikannya berbagai hadiah. Ia sempat membuka beberapa diantaranya. Karena terlalu sibuk ia tak sempat membuka sisanya.Ia hanya terpikir untuk mengumpulkan uang dari hasil pernikahannya untuk di sumbangkan ke berbagai panti asuhan yang letaknya masih sekitaran Jabodetabek. Ia merencanakan akan mengadakan acara amal minggu depan untuk panti asuhan lainnya.Icha sempat mendiskusikannya dengan Sean. Sean pun menyetujui rencana Icha karena sejujurnya mereka benar-benar tak membutuhkannya. Akan lebih baik jika digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat itu pikirnya.Icha sampai di peru
Pernikahan Icha dan Sean tinggal menghitung hari. Semakin dekat harinya keduanya semakin sering bertengkar, mulai dari lokasi, makanan dan hal-hal sepele lainnya. Meskipun bukan pernikahan yang mereka inginkan tetap saja mereka tak mau terlihat buruk di acara besar yang sudah jelas akan d liput banyak media.Hari ini keduanya bertemu dan untuk pertama kalinya tanpa kehadiran Bian ataupun Galih. Mulai dari proses fitting sampai pemilihan cake mereka lakukan berempat. Kejadian itu langsung diketahui kedua ibu mereka, yang membuat Diana dan Lidya murka.Keduanya sepakat untuk mengatur segalanya kecuali lokasi. Karena itulah saat ini Sean dan Icha bertemu untuk memutuskan lokasi pernikahan mereka. Dan seperti biasa mereka selalu berbeda pendapat.“Pokoknya Aussie. Gue nggak mau tempat lain.” Urat-urat Sean mulai berkedut melihat Icha menatapnya tajam.“Indonesia aja sih. Ngapain jauh-jauh ke Aussie? Toh ini bukan pernikahan bahagia.” Icha menjulurkan lidahnya membayangkan akan menikah de
Icha menyadari Sean berjalan menyusulnya ketika melihat kehadiran Bian dan keluarganya. You are predictable, Sean.“Sean! Apa kabar? Wah kamu tambah ganteng nih, udah ketemu Bian belum?” Papa Bian memeluk Sean.“Tambah ganteng darimana. Tambah nakal dia” jawab Rudi Hartono. Diana Widjaja memperhatikan kedekatan keluarga Hartono dengan keluarga Bian.“Bi..” Ucap Sean lagi sambil menyentuh pundak Bian.“Congratulations, Sean. I’m happy for you” Bian berdiri dan memeluk Sean. Sean sadar tubuh kecil Bian bergetar, ia menahan tangisnya sedari tadi.“I’m so sorry” Sean memeluk Bian lebih erat.“E-hem” Lidya Hartono berdeham berusaha menyadarkan anaknya kalau ia sedang berpelukan dengan wanita lain didepan tunangannya.“Sean, ayo duduk” ucap Rudi Hartono. Bian melepas paksa pelukan Sean dan duduk disamping ayahnya. Sean menatap Bian lalu duduk dikursi yang sudah disediakan, tentunya disebelah Icha, berseberangan dengan Bian. “Bian ini berjasa sekali untuk Sean” Lanjut Rudi Hartono, membuka p
“Ichaa!! Hurry up! Sean udah nunggu di ruang tamu,” Mama Icha mengetuk pintu kamar Icha. Sudah 15 menit Sean menunggu Icha yang tidak kunjung keluar dari kamarnya. Ck. Dia yang suruh datang jam 1, dia juga yang lelet umpat Sean.“Sorry, tadi ada yang minta dokumen buat kelengkapan merger,” ucap Icha setelah berlari dari kamarnya. Sean menatap Icha sedikit kagum. Icha begitu peduli dengan perusahaan dan bertanggung jawab dengan tugasnya, tidak seperti Sean.“Slow, gue juga baru dateng. Yaudah, tante, kita berangkat ya, setelah selesai lihat gedung, Sean langsung antar Icha pulang.” Pamit Sean sambil tersenyum manis kepada Mama Icha.“Iya, Sean. Hati-hati, nggak pulang juga nggak apa-apa, tante percaya sama kamu kok” Jawab Mama Icha sambil mengelus kepala Sean yang diiringi dengan pelototan Icha.“Bye Mom” Icha mencium pipi Mamanya. Setelah itu Icha dan Sean bergegas ke mobil Sean yang di parkir di halaman rumah Icha, tepat di depan air mancur berwarna putih yang membuat nuansa rumah Ic
Keesokan harinya mereka harus bertemu kembali untuk memastikan semua berkas-berkas kepentingan merger sudah lengkap. Mereka mampir ke cafe yang terletak tak jauh dari lokasi kantor Icha.“Gue strawberry smoothie sama tenderloin steak well done. Lo apa?” Icha memberikan pesanannya pada waiters yang sedang mencatat pesanannya.“Coffee latte sama sirloin steak well-med.” Sean mengakhiri pesanannya dengan tersenyum manis pada waiters cewek di depannya. “Caper amat” batin Icha. Sean memperhatikan ekspresi Icha saat ia menebarkan pesonanya pada waiters tadi. Tiba-tiba terlintas ide jahil dalam diri Sean melihat ekspresi Icha.“Yang di foto kemarin pacar lo?”Icha yang sedang asik melihat interior cafe yang terkesan ramai langsung membelalakkan matanya. “Gue liat pas lo milih jas sambil ngecek hp” Sean menjawab pertanyaan dimata Icha yang seakan-akan bertanya ‘TAU DARIMANA MONYET’. Sean sedikit tertawa melihat tingkah Icha.“Jadi? Siapa tuh yang di foto lo kemarin?” tanya Sean lagi setelah
Ketika Sean dan Icha bersamaan menggebrak meja, Sean mendengar suara orang terjatuh dan melihat Bian terduduk sambil menundukkan kepalanya. Tanpa pikir panjang Sean bergegas menghampiri Bian tanpa memperdulikan panggilan dari Ayahnya yang terdengar setengah berteriak.Bian melihat Sean menghampirinya, biasanya ia akan menghampiri Sean dengan senang dan memeluknya, tapi tidak kali ini, wajahnya yang merah, belum lagi make up nya yang luntur karena menangis membuatnya memilih untuk berlari menghindari Sean. Untungnya lift berpihak kepadanya, sebelum Sean sempat menghampirinya, pintu lift sudah tertutup yang membuat Sean harus menunggu lift berikutnya. Setelah sampai di lobby Bian langsung berlari keluar hotel dan mencari taksi yang lewat. Tidak berapa lama, sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Ia langsung masuk dan menutup pintu mobilnya. Sean melihat taksi yang Bian naiki berjalan menjauh dari hotel.Selama hampir satu minggu Sean berkali-kali menghubungi Bian. Namun tak ada jawaba
Setelah mendapat kartu nama Sean dari ibunya, Icha mulai mencari tahu tentang Sean semalaman. Tapi ia tak menemukan sesuatu yang spesial ataupun detail selain Sean Hartono anak konglomerat real estate Rudi Hartono yang berhasil lulus dengan nilai terbaik di salah satu kampus Australia. Pagi menjelang saat Icha membuka matanya, Icha memutuskan untuk datang ke cafe favoritnya pagi ini karena ia masih harus menyelesaikan proposal yang ia kerjakan untuk proyek merger yang seharusnya dirapatkan minggu ini. Icha masih ingat kata-kata Mamanya kemarin, ‘Icha, meeting-nya diundur minggu depan’. What the hell. “Sampai minggu depan diundur lagi, gue rajam si Sean Hartono itu” batin Icha yang tanpa sadar mematahkan pensil mekanik yang digenggamnya. “Eh.. atau gue telepon aja ya orangnya? Siapa tahu gue bisa bikin rapatnya dimajuin” gumam Icha. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri yang memakan waktu hampir 30 menit, Icha akhirnya mengeluarkan kartu nama yang disimpannya di dalam buku jurnal
-Jakarta, 13.00 WIB- Sean melangkahkan kaki di bandara internasional di Jakarta, sudah bertahun-tahun ia tidak melihat pemandangan seramai ini. Ia berjalan cepat, karena merindukan Bian, teman masa kecilnya yang berjanji akan menjemputnya di bandara hari ini. Kalau bukan karena Bian, mungkin sekarang Sean masih berada di apartemennya, bangun disebelah wanita yang berbeda dari hari sebelumnya. Sean memutar pandangannya, mencari sosok yang sangat ia rindukan. Masih belum terlihat sosok wanita yang sangat ingin ditemuinya. “Sean!!” seseorang berlari kearahnya dan tanpa basa-basi langsung memeluknya. Sean dengan sigap membalas pelukannya. “I miss you, I miss you so much!” Ujar sosok yang sangat Sean rindukan. Sean memeluk orang itu lebih erat, mencium bau parfum yang selama ini ia rindukan. “Finally.. You are so skinny, Bian” Sean masih memeluk Bian, tak ada sedikit pun niat untuk melepaskan Bian dari pelukannya saat ini. “Okay, It’s embarrassing now, let me go” Bian berusaha lepas
Seorang wanita sedang duduk manis di sebuah cafe di sudut kota Jakarta terlihat sibuk dengan notebook di depannya. Berhari-hari di tempat yang sama ia hanya menatap notebooknya. Suasana cafe yang tenang dan jauh dari keramaian pusat kota membuatnya dapat berpikir lebih jernih begitu dalihnya. “Hey!” Tepukan pelan di pundaknya membuat dia terkejut.“Galih?” Senyum mengembang di bibirnya yang tipis tampak sangat bahagia. Seorang wanita dengan rambut ponytail dan tubuh semampai tersenyum manis saat menyadari teman lamanya yang sekarang duduk di depannya. Pertemuannya kembali dengan Galih membawa kenangan lama mereka saat masih dalam masa-masa kuliah.“Apakabar, Cha?” Galih tersenyum lembut melihat wanita didepannya yang dulu selalu manja saat bersamnya sekarang terlihat lebih dewasa dan tentu saja, cantik.“Baik, lo gimana? Duh kebetulan banget kita ketemu disini. Ih kangen..”. Satu kata terakhir yang keluar dari bibir mungil Icha membuat Galih sedikit malu sekaligus sumringah.“Baik