Keesokan harinya mereka harus bertemu kembali untuk memastikan semua berkas-berkas kepentingan merger sudah lengkap. Mereka mampir ke cafe yang terletak tak jauh dari lokasi kantor Icha.
“Gue strawberry smoothie sama tenderloin steak well done. Lo apa?” Icha memberikan pesanannya pada waiters yang sedang mencatat pesanannya.
“Coffee latte sama sirloin steak well-med.” Sean mengakhiri pesanannya dengan tersenyum manis pada waiters cewek di depannya. “Caper amat” batin Icha.
Sean memperhatikan ekspresi Icha saat ia menebarkan pesonanya pada waiters tadi. Tiba-tiba terlintas ide jahil dalam diri Sean melihat ekspresi Icha.
“Yang di foto kemarin pacar lo?”
Icha yang sedang asik melihat interior cafe yang terkesan ramai langsung membelalakkan matanya. “Gue liat pas lo milih jas sambil ngecek hp” Sean menjawab pertanyaan dimata Icha yang seakan-akan bertanya ‘TAU DARIMANA MONYET’. Sean sedikit tertawa melihat tingkah Icha.
“Jadi? Siapa tuh yang di foto lo kemarin?” tanya Sean lagi setelah Icha tidak menjawab pertanyaannya selama 10 menit.
Icha menatap Sean sinis sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya. “Bukan pacar, cuma temen.” Jawaban Icha yang terdengar menghindar semakin membuat Sean ingin bertanya kembali.
“Udah sih, lo nggak usah kepo. Males banget gue kalau ada orang kepo gitu” Ujar Icha ketika melihat wajah Sean seolah ingin menguak informasi tentang dirinya lebih dalam lagi.
Setelah menunggu selama 30 menit pesanan mereka akhirnya datang. Icha langsung mengambil pisau dan garpu bersiap menyantap steak yang ia pesan.
“Lo kemaren tau darimana gue ada di butik?” Icha bertanya pada Sean disela-sela makannya.
“Nyokap lo yang bilang. Dia nelpon gue yaudah sekalian gue mau cari jas juga kan.” Sean menjawab sambil mengunyah steak lembut yang sesuai dengan seleranya.
“Lo udah tau juga acaranya kapan?” Icha menghentikan gerakan pisau dan garpunya sembari melihat Sean serius.
“Taulah, hari minggu gue dikabarin. Acaranya di majuin seminggu makanya berkas-berkas harus selesai hari ini.” Sean menghentikan makannya saat melihat Icha menatapnya serius.
“Kok gue nggak ada yang ngabarin?” Icha terlihat kesal saat tahu Sean ternyata sudah mengetahui jadwal pertunangan mereka lebih dulu dari dirinya.
“Lupa kali nyokap lo. Makanya kemaren nelpon gue dadakan juga.”Jawaban Sean yang masuk akal membuat Icha kembali memotong steak didepannya pelan-pelan. Mungkin. Icha bergumam pada dirinya sendiri.
Setelah makanan keduanya habis, mereka sibuk mengutak-atik handphone masing-masing. Yang satu mengabari cewek idamannya, dan yang lain sibuk chat dengan laki-laki pilihannya.
“Cha, cek headline berita terkini. Sekarang.” Sean terlihat terkejut saat Ia menyuruh Icha mengecek itu.
“Dua konglomerat Indonesia, besanan!”
Icha memejamkan matanya setelah membaca berita yang sudah tersebar luas itu. Bahkan sampai jadi trending topic di twitter. Foto-foto dia dan Sean tersebar luas secara tiba-tiba.
Mereka saling bertatapan dan tidak percaya pertunangan ini sampai menjadi berita di media sosial. Foto undangan untuk acara pertunangan mereka yang mereka sendiri tidak tahu seperti apa wujudnya sudah tersebar luas di internet.
Mereka menghela nafas panjang dan meminum seteguk minuman yang sedari tadi mereka pesan. Keduanya bertatapan dan memutuskan untuk mengakhiri pertemuan hari ini.
Drrt..Drrt..
Hp Icha bergetar satu chat masuk dari Galih membuat matanya berkaca-kaca.
Galih : Can I see you? I miss you..
Icha menelpon nomor Galih setelah membaca chat-nya. “Gue di cafe biasa, Lih.”
Galih mengangguk meskipun tahu Icha tak melihatnya. Setelah menutup telepon dari Icha, Ia bergegas menyalakan mobilnya menuju cafe favorit mereka.
Keduanya duduk dalam diam di spot favorit mereka. Melihat orang berlalu-lalang, bercanda, tertawa. Galih melihat Icha yang sedari tadi menundukkan kepalanya.
“Cha, gue udah baca berita di media. Hampir semua media nyiarin beritanya. Gue nggak dapet undangannya? hehe” Galih tersenyum lirih.
“Gue nggak tau apa-apa tentang undangan maupun media. Gue juga baru tahu kemaren pas di suruh fitting baju, Lih. Kan gue udah bilang kemarin”Icha menghela nafas mencoba menenangkan dirinya.
“I know, I know, I’m sorry, just kidding, okay?” Ia memegang tangan Icha erat seakan tak mau kehilangan sosok yang selama ini Ia sayangi.
“Maafin gue, Lih. Gue bakal berusaha ngebatalin acara perjodohan ini secepet yang gue bisa” Icha menutup wajahnya dengan kedua tangannya berusaha menutupi airmata yang mulai menggenang.
“It’s okay, hey. Don’t cry. I believe in you, you said I own your heart, right? So, don’t cry. You look ugly when you cry.” Galih berusaha menghibur Icha yang ada di depannya.
“Really? I look ugly?” Icha membuka tangan yang menutupi wajahnya dan melihat Galih sedang menatapnya sambil tersenyum.
Galih terkekeh melihat Icha yang terpancing saat Ia bilang jelek. Icha selalu memperhatikan penampilannya kemanapun Ia pergi. Saat ada seseorang yang mengatakan dirinya jelek, dia akan mencari kesalahan mana yang membuat dirinya terlihat jelek.
“Jalan-jalan yuk.” Ajak Galih sambil mengulurkan tangannya dan di sambut anggukan kepala Icha membuatnya tersenyum. Cuma Galih yang tahu gimana cara ngehibur gue. Gue nggak butuh Sean Hartono, bocah sok tau yang suka caper sana-sini. Batin Icha kesal.
***
Hampir semua media memberitakan pertunangannya dengan Icha. Melihat itu Sean memutuskan untuk mematikan hpnya. Bahkan saat ia pulang kerumah dari pertemuannya dengan Icha, acara gosip yang ada di TV pun menyiarkan berita tentang pertunangan mereka.
Sean langsung berjalan menuju kamarnya dan tak lupa ia berpesan pada pelayan dirumahnya agar tak ada yang mengganggunya. Ia menutup pintu kamarnya dengan suara keras. Tak lupa menguncinya. Cklik.
Sean terbangun masih dengan baju yang sama saat ia bertemu Icha kemarin. Ia bahkan lupa menyalakan hpnya yang sedari kemarin ia matikan. Ah shit.
Ia menancapkan charger pada hpnya sembari mengambil handuk. Jam dinding menunjuk pukul 7 pagi. Hari ini ia terlalu malas untuk berangkat ke kantor. Apapun alasannya. Bertemu dengan Bian hanya akan membuat hatinya sakit membayangkan Bian menangis saat membaca artikel-artikel yang tersebar di media.
Selesai mandi Sean menyalakan Hpnya. Beberapa detik kemudian pemberitahuan Missed calls, chat, SMS semuanya dari Bian. Sean mengabaikannya dan berjalan turun untuk sarapan. Pikirannya masih kalut mengingat pemberitaan media yang masih sangat gencar.
“Hai Pap, Mam.”
“Morning”
Beginilah keseharian keluarga Hartono setiap pagi. Suasana yang dingin sama sekali tak ada kehangatan dalam keluarganya. Inilah yang membuat Sean enggan kembali ke Indonesia.
Meski keluarganya terlihat harmonis dari luar. Namun kenyataannya tidak begitu. Menjadi anak seorang Hartono mungkin terlihat sangat menyenangkan bagi sebagian orang, tapi jika kita menilik lebih dalam tidak seperti itu. Don’t judge a book by its cover, mungkin istilah itu cocok.
Suasana yang dingin, tak ada sapaan hangat layaknya ibu dan anak. Ayah yang selalu sibuk dengan segala pekerjaannya.
“Pap, I need to talk to you”
“Not again, Sean. Turuti apa kata papi. Nggak usah ngelawan.” Ibunya menyela saat Sean hendak mengatakan hal yang sama setiap paginya.
“Mam, please. Biar Sean yang bilang. Sean punya hak untuk bicara.” Sean terlihat kesal.
“Mau ngomong apa? Pembatalan pertunangan kamu sama Alesha?” Ayahnya langsung menutup koran pagi yang sedang dibacanya.
“Exactly. Pap, please. I don’t wanna marry her, you knew I love Bianca.” Sean terlihat putus asa saat mengatakannya.
“Bianca lagi, Bianca lagi. Nggak usah aneh-aneh. Papi nggak pernah menuntut kamu macam-macam, kenapa susah sekali buat kamu ngerti dan nurut sama papi? Kalau perjodohan batal artinya merger juga batal. Jangan berdebat lagi.” Ayah Sean kembali membuka koran pagi yang tadi sempat ia tutup.
“Widjaja bukan satu-satunya perusahaan sukses di Indonesia, Pap. Syarat darimana merger harus pakai acara perjodohan segala? It’s ridiculous.”Sean menimpali ayahnya.
“Memang, Widjaja bukan satu-satunya perusahaan sukses. Tapi, Alesha satu-satunya menantu paling sempurna buat keluarga Hartono.” Jawaban Ayah Sean membuat Sean terkejut. Alesha? Seriously? Cewek kayak nenek lampir gitu? Batinnya.
Sean mengakui kemampuan Alesha alias Icha yang memang berbakat di dunia bisnis. Selama hampir seminggu ia selalu bertemu Icha untuk membicarakan masalah merger perusahaan, ia kadang kagum dengan kemampuan analisis Icha tentang dunia bisnis. Tapi baginya itu bukan alasan untuknya agar dapat menikah dengan Icha si nenek lampir.
“I can do better than her, Pap. Let me marry Bianca instead. I won’t let you down” Sean memohon pada Ayahnya dengan sangat.
“That’s a great thing if you think you can do better than Alesha. Akan lebih bagus buat kedepannya jika kalian berdua sama-sama sempurna.” Ujar Ayah Sean sambil meminum kopinya.
“Alesha again, Pap? Seriously? I love Bianca! Not that damn Alesha!” Emosi Sean mulai meluap mendengar jawaban tidak masuk akal dari ayahnya.
“If you keep insist to marry Bianca. Papi akan batalin kontrak kerjanya sebagai sekretaris, sekaligus papi pecat ayahnya dari perusahaan kita” Ancaman ayahnya membuat Sean terkejut setengah mati.
“Now, i know why Shawn want to be a doctor” Sean beranjak dari meja makan meninggalkan teriakan Ayahnya yang semakin menjadi-jadi. Ia berjalan menaiki tangga dan membanting pintu kamarnya sekeras-kerasnya.
Sesampainya di kamar, ia menjatuhkan dirinya ke ranjang. Memikirkan kakaknya, Shawn Hartono, yang seharusnya menjadi pewaris sah dari perusahaan besar Hartono.
Setelah lulus dengan gelar cumlaude-nya, Shawn memutuskan untuk mengejar cita-citanya dan menjadi dokter. Keputusan Shawn tentunya sangat ditentang oleh keluarganya. Ayahnya sempat mengusir Shawn dari rumah karena keinginan pribadi Shawn menjadi dokter. Namun tiba-tiba ayahnya mengijinkan Shawn kembali ke rumah. Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena bisnis. Ayahnya mulai membuka rumah sakit Hartono dan Shawn ditugaskan untuk bekerja disitu dan mengembangkan bisnis dibidang kesehatan milik Hartono itu.
Nggak ada hal membanggakan dari konglomerat selain uang itu pikirnya. Memikirkan segala hal yang harus Shawn lalui membuat Sean berpikir apakah dia bisa benar-benar keluar dari lingkaran ini, lingkaran bisnis keluarga.
Mustahil. Sean harus mengorbankan segala hal miliknya bahkan Bianca bisa-bisa kehilangan pekerjaannya saat ini. Sean ingat bagaimana Bianca selalu menemuinya dengan wajah sedih saat ia kembali dari interview yang dijalaninya.
Seanpun ingat bagaimana ekspresi Bianca saat mendengar ia akan bekerja di perusahaan yang sama dengannya sebagai sekretarisnya pula. Bian langsung memeluk Sean dan melompat-lompat kegirangan.
Saat ia melihat raut wajah Bian sesaat setelah mendengar berita pertunangan itu. Hatinya benar-benar sakit hanya dengan membayangkannya. Ia tak mau Bian kembali bersedih jika tahu Ayahnya mengancam akan memecat Bian jika ia menolak perjodohan ini. Argh, semua gara-gara si nenek lampir itu. Kenapa sih dia terlalu sempurna. Padahal cuma nenek lampir.
Lily was a little girl~
Sean sedikit terkejut mendengar suara dering hpnya berbunyi. Alesha. Nama yang muncul di layar hpnya membuat ia semakin kesal.
“Halo”
“Sean, besok kita ketemu jam 1 siang buat ngeliat gedung pertunangan.”
“Ah oke. Gue jemput ke rumah lo aja. Lo ambil cuti kerja buat 3 hari kedepan sebelum acara.”
“Oke”
Telepon ditutup.
Gila, nggak ada manis-manisnya sama sekali itu cewek. Masih bagus Bian dari sisi manapun. Batinnya.
***
Di sisi lain..
Icha menutup telponnya tanpa mengucapkan salam perpisahan pada Sean. Ia tak peduli pada laki-laki yang lebih muda darinya yang bahkan sampai berani memerintahnya.
Siapa dia? Nggak punya sopan santun. Beda banget sama yang di omongin di media. Attitude macem apa itu. Icha merengut mengingat berbagai artikel yang dibacanya tadi pagi.
Ping!
Saat itu chat masuk dari Galih mengalihkan perhatian Icha tentang Sean yang juga sedang menggumam tentang dirinya.
“Ichaa!! Hurry up! Sean udah nunggu di ruang tamu,” Mama Icha mengetuk pintu kamar Icha. Sudah 15 menit Sean menunggu Icha yang tidak kunjung keluar dari kamarnya. Ck. Dia yang suruh datang jam 1, dia juga yang lelet umpat Sean.“Sorry, tadi ada yang minta dokumen buat kelengkapan merger,” ucap Icha setelah berlari dari kamarnya. Sean menatap Icha sedikit kagum. Icha begitu peduli dengan perusahaan dan bertanggung jawab dengan tugasnya, tidak seperti Sean.“Slow, gue juga baru dateng. Yaudah, tante, kita berangkat ya, setelah selesai lihat gedung, Sean langsung antar Icha pulang.” Pamit Sean sambil tersenyum manis kepada Mama Icha.“Iya, Sean. Hati-hati, nggak pulang juga nggak apa-apa, tante percaya sama kamu kok” Jawab Mama Icha sambil mengelus kepala Sean yang diiringi dengan pelototan Icha.“Bye Mom” Icha mencium pipi Mamanya. Setelah itu Icha dan Sean bergegas ke mobil Sean yang di parkir di halaman rumah Icha, tepat di depan air mancur berwarna putih yang membuat nuansa rumah Ic
Icha menyadari Sean berjalan menyusulnya ketika melihat kehadiran Bian dan keluarganya. You are predictable, Sean.“Sean! Apa kabar? Wah kamu tambah ganteng nih, udah ketemu Bian belum?” Papa Bian memeluk Sean.“Tambah ganteng darimana. Tambah nakal dia” jawab Rudi Hartono. Diana Widjaja memperhatikan kedekatan keluarga Hartono dengan keluarga Bian.“Bi..” Ucap Sean lagi sambil menyentuh pundak Bian.“Congratulations, Sean. I’m happy for you” Bian berdiri dan memeluk Sean. Sean sadar tubuh kecil Bian bergetar, ia menahan tangisnya sedari tadi.“I’m so sorry” Sean memeluk Bian lebih erat.“E-hem” Lidya Hartono berdeham berusaha menyadarkan anaknya kalau ia sedang berpelukan dengan wanita lain didepan tunangannya.“Sean, ayo duduk” ucap Rudi Hartono. Bian melepas paksa pelukan Sean dan duduk disamping ayahnya. Sean menatap Bian lalu duduk dikursi yang sudah disediakan, tentunya disebelah Icha, berseberangan dengan Bian. “Bian ini berjasa sekali untuk Sean” Lanjut Rudi Hartono, membuka p
Pernikahan Icha dan Sean tinggal menghitung hari. Semakin dekat harinya keduanya semakin sering bertengkar, mulai dari lokasi, makanan dan hal-hal sepele lainnya. Meskipun bukan pernikahan yang mereka inginkan tetap saja mereka tak mau terlihat buruk di acara besar yang sudah jelas akan d liput banyak media.Hari ini keduanya bertemu dan untuk pertama kalinya tanpa kehadiran Bian ataupun Galih. Mulai dari proses fitting sampai pemilihan cake mereka lakukan berempat. Kejadian itu langsung diketahui kedua ibu mereka, yang membuat Diana dan Lidya murka.Keduanya sepakat untuk mengatur segalanya kecuali lokasi. Karena itulah saat ini Sean dan Icha bertemu untuk memutuskan lokasi pernikahan mereka. Dan seperti biasa mereka selalu berbeda pendapat.“Pokoknya Aussie. Gue nggak mau tempat lain.” Urat-urat Sean mulai berkedut melihat Icha menatapnya tajam.“Indonesia aja sih. Ngapain jauh-jauh ke Aussie? Toh ini bukan pernikahan bahagia.” Icha menjulurkan lidahnya membayangkan akan menikah de
Sabtu sore, setelah dari kantor Icha berencana untuk langsung menuju panti asuhan Tanah Putih.Entah kenapa Icha yang biasa selalu ditemani sopir, saat ini memilih untuk menyetir mobilnya sendiri. Ia melaju pelan menuju lokasi panti yang selalu ia kunjungi tiap bulannya itu. Hari itu tak terasa kemacetan seperti seharusnya. Padahal weekend pikirnya.Hampir seluruh tamu yang hadir dalam acara pernikahannya memberikannya berbagai hadiah. Ia sempat membuka beberapa diantaranya. Karena terlalu sibuk ia tak sempat membuka sisanya.Ia hanya terpikir untuk mengumpulkan uang dari hasil pernikahannya untuk di sumbangkan ke berbagai panti asuhan yang letaknya masih sekitaran Jabodetabek. Ia merencanakan akan mengadakan acara amal minggu depan untuk panti asuhan lainnya.Icha sempat mendiskusikannya dengan Sean. Sean pun menyetujui rencana Icha karena sejujurnya mereka benar-benar tak membutuhkannya. Akan lebih baik jika digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat itu pikirnya.Icha sampai di peru
Sebuah mobil mewah memasuki lahan parkir sebuah rumah bernomor 001. Mobil tersebut berhenti tepat di depan teras rumah yang disokong dengan dua pillar besar berwarna putih pucat di sisi kanan kirinya. Seorang laki-laki turun dari mobil tersebut sembari memperhatikan halaman dan tanaman-tanaman kering di sekitarnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, menyadari betapa usangnya rumah yang ditempatinya tersebut. Cklek. Pintu terbuka. Seorang wanita cantik dengan dress merah lengkap dengan tas LV berwarna senada muncul di antara sela pintu yang terbuka. Sean - laki-laki itu - terpaku melihat Icha yang sekarang berstatus sebagai istrinya keluar rumah dengan begitu anggunnya, tanpa menyadari kegaduhan apa yang baru saja ia buat. “Lo udah gila ya?!” sebuah kalimat yang sangat unik didengar untuk memulai pembicaraan pun terlontar dari bibir Sean. Alih-alih menjawab sapaan Sean, Icha memilih diam sambil menaikkan satu alisnya. “Nggak bisa gini lah caranya! Seenak-enak
“Sean! You coming to the party tomorrow?” Wanita dengan pakaian ketat dan hot pants melingkarkan tangannya di leher Sean. “Of course, babe. Can’t wait to have fun with you” Ujar Sean lalu mencium pipi wanita itu. Sean Hartono, adik dari Shawn Hartono, seorang dokter yang memiliki jarak umur 3 tahun lebih tua dari Sean, sekaligus merupakan anak bungsu dan ahli waris dari perusahaan besar milik orangtuanya sekarang menjalani masa-masa akhir kuliahnya di Australia. Sebelum akhirnya harus kembali ke Indonesia untuk membantu menjalankan bisnis orangtuanya. “Lo jadinya balik ke Indonesia kapan, bro?” Jimmy menoleh kearah Sean sembari meminum soft drink yang dibelinya di kantin kampus. Graduation Ceremony akan dilaksanakan hari Sabtu, yang berarti adalah 4 hari dari sekarang. Sean masih bergumul dengan keinginannya untuk tetap tinggal di Australia tapi di sisi lain, dia tau, dia harus pulang untuk sekedar absen wajah didepan orangtuanya, yang berarti ia harus mulai mempelaja
Seorang wanita sedang duduk manis di sebuah cafe di sudut kota Jakarta terlihat sibuk dengan notebook di depannya. Berhari-hari di tempat yang sama ia hanya menatap notebooknya. Suasana cafe yang tenang dan jauh dari keramaian pusat kota membuatnya dapat berpikir lebih jernih begitu dalihnya. “Hey!” Tepukan pelan di pundaknya membuat dia terkejut.“Galih?” Senyum mengembang di bibirnya yang tipis tampak sangat bahagia. Seorang wanita dengan rambut ponytail dan tubuh semampai tersenyum manis saat menyadari teman lamanya yang sekarang duduk di depannya. Pertemuannya kembali dengan Galih membawa kenangan lama mereka saat masih dalam masa-masa kuliah.“Apakabar, Cha?” Galih tersenyum lembut melihat wanita didepannya yang dulu selalu manja saat bersamnya sekarang terlihat lebih dewasa dan tentu saja, cantik.“Baik, lo gimana? Duh kebetulan banget kita ketemu disini. Ih kangen..”. Satu kata terakhir yang keluar dari bibir mungil Icha membuat Galih sedikit malu sekaligus sumringah.“Baik
-Jakarta, 13.00 WIB- Sean melangkahkan kaki di bandara internasional di Jakarta, sudah bertahun-tahun ia tidak melihat pemandangan seramai ini. Ia berjalan cepat, karena merindukan Bian, teman masa kecilnya yang berjanji akan menjemputnya di bandara hari ini. Kalau bukan karena Bian, mungkin sekarang Sean masih berada di apartemennya, bangun disebelah wanita yang berbeda dari hari sebelumnya. Sean memutar pandangannya, mencari sosok yang sangat ia rindukan. Masih belum terlihat sosok wanita yang sangat ingin ditemuinya. “Sean!!” seseorang berlari kearahnya dan tanpa basa-basi langsung memeluknya. Sean dengan sigap membalas pelukannya. “I miss you, I miss you so much!” Ujar sosok yang sangat Sean rindukan. Sean memeluk orang itu lebih erat, mencium bau parfum yang selama ini ia rindukan. “Finally.. You are so skinny, Bian” Sean masih memeluk Bian, tak ada sedikit pun niat untuk melepaskan Bian dari pelukannya saat ini. “Okay, It’s embarrassing now, let me go” Bian berusaha lepas
Sabtu sore, setelah dari kantor Icha berencana untuk langsung menuju panti asuhan Tanah Putih.Entah kenapa Icha yang biasa selalu ditemani sopir, saat ini memilih untuk menyetir mobilnya sendiri. Ia melaju pelan menuju lokasi panti yang selalu ia kunjungi tiap bulannya itu. Hari itu tak terasa kemacetan seperti seharusnya. Padahal weekend pikirnya.Hampir seluruh tamu yang hadir dalam acara pernikahannya memberikannya berbagai hadiah. Ia sempat membuka beberapa diantaranya. Karena terlalu sibuk ia tak sempat membuka sisanya.Ia hanya terpikir untuk mengumpulkan uang dari hasil pernikahannya untuk di sumbangkan ke berbagai panti asuhan yang letaknya masih sekitaran Jabodetabek. Ia merencanakan akan mengadakan acara amal minggu depan untuk panti asuhan lainnya.Icha sempat mendiskusikannya dengan Sean. Sean pun menyetujui rencana Icha karena sejujurnya mereka benar-benar tak membutuhkannya. Akan lebih baik jika digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat itu pikirnya.Icha sampai di peru
Pernikahan Icha dan Sean tinggal menghitung hari. Semakin dekat harinya keduanya semakin sering bertengkar, mulai dari lokasi, makanan dan hal-hal sepele lainnya. Meskipun bukan pernikahan yang mereka inginkan tetap saja mereka tak mau terlihat buruk di acara besar yang sudah jelas akan d liput banyak media.Hari ini keduanya bertemu dan untuk pertama kalinya tanpa kehadiran Bian ataupun Galih. Mulai dari proses fitting sampai pemilihan cake mereka lakukan berempat. Kejadian itu langsung diketahui kedua ibu mereka, yang membuat Diana dan Lidya murka.Keduanya sepakat untuk mengatur segalanya kecuali lokasi. Karena itulah saat ini Sean dan Icha bertemu untuk memutuskan lokasi pernikahan mereka. Dan seperti biasa mereka selalu berbeda pendapat.“Pokoknya Aussie. Gue nggak mau tempat lain.” Urat-urat Sean mulai berkedut melihat Icha menatapnya tajam.“Indonesia aja sih. Ngapain jauh-jauh ke Aussie? Toh ini bukan pernikahan bahagia.” Icha menjulurkan lidahnya membayangkan akan menikah de
Icha menyadari Sean berjalan menyusulnya ketika melihat kehadiran Bian dan keluarganya. You are predictable, Sean.“Sean! Apa kabar? Wah kamu tambah ganteng nih, udah ketemu Bian belum?” Papa Bian memeluk Sean.“Tambah ganteng darimana. Tambah nakal dia” jawab Rudi Hartono. Diana Widjaja memperhatikan kedekatan keluarga Hartono dengan keluarga Bian.“Bi..” Ucap Sean lagi sambil menyentuh pundak Bian.“Congratulations, Sean. I’m happy for you” Bian berdiri dan memeluk Sean. Sean sadar tubuh kecil Bian bergetar, ia menahan tangisnya sedari tadi.“I’m so sorry” Sean memeluk Bian lebih erat.“E-hem” Lidya Hartono berdeham berusaha menyadarkan anaknya kalau ia sedang berpelukan dengan wanita lain didepan tunangannya.“Sean, ayo duduk” ucap Rudi Hartono. Bian melepas paksa pelukan Sean dan duduk disamping ayahnya. Sean menatap Bian lalu duduk dikursi yang sudah disediakan, tentunya disebelah Icha, berseberangan dengan Bian. “Bian ini berjasa sekali untuk Sean” Lanjut Rudi Hartono, membuka p
“Ichaa!! Hurry up! Sean udah nunggu di ruang tamu,” Mama Icha mengetuk pintu kamar Icha. Sudah 15 menit Sean menunggu Icha yang tidak kunjung keluar dari kamarnya. Ck. Dia yang suruh datang jam 1, dia juga yang lelet umpat Sean.“Sorry, tadi ada yang minta dokumen buat kelengkapan merger,” ucap Icha setelah berlari dari kamarnya. Sean menatap Icha sedikit kagum. Icha begitu peduli dengan perusahaan dan bertanggung jawab dengan tugasnya, tidak seperti Sean.“Slow, gue juga baru dateng. Yaudah, tante, kita berangkat ya, setelah selesai lihat gedung, Sean langsung antar Icha pulang.” Pamit Sean sambil tersenyum manis kepada Mama Icha.“Iya, Sean. Hati-hati, nggak pulang juga nggak apa-apa, tante percaya sama kamu kok” Jawab Mama Icha sambil mengelus kepala Sean yang diiringi dengan pelototan Icha.“Bye Mom” Icha mencium pipi Mamanya. Setelah itu Icha dan Sean bergegas ke mobil Sean yang di parkir di halaman rumah Icha, tepat di depan air mancur berwarna putih yang membuat nuansa rumah Ic
Keesokan harinya mereka harus bertemu kembali untuk memastikan semua berkas-berkas kepentingan merger sudah lengkap. Mereka mampir ke cafe yang terletak tak jauh dari lokasi kantor Icha.“Gue strawberry smoothie sama tenderloin steak well done. Lo apa?” Icha memberikan pesanannya pada waiters yang sedang mencatat pesanannya.“Coffee latte sama sirloin steak well-med.” Sean mengakhiri pesanannya dengan tersenyum manis pada waiters cewek di depannya. “Caper amat” batin Icha. Sean memperhatikan ekspresi Icha saat ia menebarkan pesonanya pada waiters tadi. Tiba-tiba terlintas ide jahil dalam diri Sean melihat ekspresi Icha.“Yang di foto kemarin pacar lo?”Icha yang sedang asik melihat interior cafe yang terkesan ramai langsung membelalakkan matanya. “Gue liat pas lo milih jas sambil ngecek hp” Sean menjawab pertanyaan dimata Icha yang seakan-akan bertanya ‘TAU DARIMANA MONYET’. Sean sedikit tertawa melihat tingkah Icha.“Jadi? Siapa tuh yang di foto lo kemarin?” tanya Sean lagi setelah
Ketika Sean dan Icha bersamaan menggebrak meja, Sean mendengar suara orang terjatuh dan melihat Bian terduduk sambil menundukkan kepalanya. Tanpa pikir panjang Sean bergegas menghampiri Bian tanpa memperdulikan panggilan dari Ayahnya yang terdengar setengah berteriak.Bian melihat Sean menghampirinya, biasanya ia akan menghampiri Sean dengan senang dan memeluknya, tapi tidak kali ini, wajahnya yang merah, belum lagi make up nya yang luntur karena menangis membuatnya memilih untuk berlari menghindari Sean. Untungnya lift berpihak kepadanya, sebelum Sean sempat menghampirinya, pintu lift sudah tertutup yang membuat Sean harus menunggu lift berikutnya. Setelah sampai di lobby Bian langsung berlari keluar hotel dan mencari taksi yang lewat. Tidak berapa lama, sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Ia langsung masuk dan menutup pintu mobilnya. Sean melihat taksi yang Bian naiki berjalan menjauh dari hotel.Selama hampir satu minggu Sean berkali-kali menghubungi Bian. Namun tak ada jawaba
Setelah mendapat kartu nama Sean dari ibunya, Icha mulai mencari tahu tentang Sean semalaman. Tapi ia tak menemukan sesuatu yang spesial ataupun detail selain Sean Hartono anak konglomerat real estate Rudi Hartono yang berhasil lulus dengan nilai terbaik di salah satu kampus Australia. Pagi menjelang saat Icha membuka matanya, Icha memutuskan untuk datang ke cafe favoritnya pagi ini karena ia masih harus menyelesaikan proposal yang ia kerjakan untuk proyek merger yang seharusnya dirapatkan minggu ini. Icha masih ingat kata-kata Mamanya kemarin, ‘Icha, meeting-nya diundur minggu depan’. What the hell. “Sampai minggu depan diundur lagi, gue rajam si Sean Hartono itu” batin Icha yang tanpa sadar mematahkan pensil mekanik yang digenggamnya. “Eh.. atau gue telepon aja ya orangnya? Siapa tahu gue bisa bikin rapatnya dimajuin” gumam Icha. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri yang memakan waktu hampir 30 menit, Icha akhirnya mengeluarkan kartu nama yang disimpannya di dalam buku jurnal
-Jakarta, 13.00 WIB- Sean melangkahkan kaki di bandara internasional di Jakarta, sudah bertahun-tahun ia tidak melihat pemandangan seramai ini. Ia berjalan cepat, karena merindukan Bian, teman masa kecilnya yang berjanji akan menjemputnya di bandara hari ini. Kalau bukan karena Bian, mungkin sekarang Sean masih berada di apartemennya, bangun disebelah wanita yang berbeda dari hari sebelumnya. Sean memutar pandangannya, mencari sosok yang sangat ia rindukan. Masih belum terlihat sosok wanita yang sangat ingin ditemuinya. “Sean!!” seseorang berlari kearahnya dan tanpa basa-basi langsung memeluknya. Sean dengan sigap membalas pelukannya. “I miss you, I miss you so much!” Ujar sosok yang sangat Sean rindukan. Sean memeluk orang itu lebih erat, mencium bau parfum yang selama ini ia rindukan. “Finally.. You are so skinny, Bian” Sean masih memeluk Bian, tak ada sedikit pun niat untuk melepaskan Bian dari pelukannya saat ini. “Okay, It’s embarrassing now, let me go” Bian berusaha lepas
Seorang wanita sedang duduk manis di sebuah cafe di sudut kota Jakarta terlihat sibuk dengan notebook di depannya. Berhari-hari di tempat yang sama ia hanya menatap notebooknya. Suasana cafe yang tenang dan jauh dari keramaian pusat kota membuatnya dapat berpikir lebih jernih begitu dalihnya. “Hey!” Tepukan pelan di pundaknya membuat dia terkejut.“Galih?” Senyum mengembang di bibirnya yang tipis tampak sangat bahagia. Seorang wanita dengan rambut ponytail dan tubuh semampai tersenyum manis saat menyadari teman lamanya yang sekarang duduk di depannya. Pertemuannya kembali dengan Galih membawa kenangan lama mereka saat masih dalam masa-masa kuliah.“Apakabar, Cha?” Galih tersenyum lembut melihat wanita didepannya yang dulu selalu manja saat bersamnya sekarang terlihat lebih dewasa dan tentu saja, cantik.“Baik, lo gimana? Duh kebetulan banget kita ketemu disini. Ih kangen..”. Satu kata terakhir yang keluar dari bibir mungil Icha membuat Galih sedikit malu sekaligus sumringah.“Baik