"Beruntung banget gue, hari ini dapet shif malam." Tarisha mengecek barang-barangnya sambil menuruni motor yang dikendarai Suci. Pandangannya langsung mengarah pada bangunan gedung kampus yang sangat mewah baginya.
"Baik-baik lo belajarnya, inget meskipun biayanya lo nggak minta orang tua lo, seenggaknya lo bisa sadar posisi. Kita cuma kaum rendahan." Begitu wejangan Suci ketika Tarisha mulai membuka map coklat persyaratan daftar ulangnya.
Tidak ada respon sama sekali.
"Nah kan, budek lu!" kesal Suci. "Heran gue, dandanan lo udah kayak anak Jakarta gaul gini, tapi pendengaran nggak juga lebih sehat dikit."
Baru saja Tarisha menyelesaikan aktivitas, begitu saja tanpa peduli apapun perkataan Suci yang sebenarnya bisa ia dengar dengan jelas. Ia mengecek jam di handphone, sekadar basa-basi untuk menghindari wejangan yang menurutnya tidak penting dari sahabat karibnya.
Tarisha segera menggeleng. "Udah ah, Ci. Gue masuk dulu, biasa anak kuliahan harus disiplin." Langkah kaki gadis berambut sepinggang itu terlihat sombong. Suci bisa melihat dari jauh sana, dan hanya geleng-geleng saja.
Rasanya bosan jika setiap kali ingin melakukan sesuatu, sosok seperti Suci yang harus memberikannya nasihat. Dianya saja masih tidak kurang-kurang sikap kekanakannya, apalagi orang yang akan dinasihati. Kurang lebih begitulah isi pikiran Tarisha ketika Suci sok bijak memberinya wejangan.
Lahir dari keluarga yang sekedar berkecukupan, rasanya tidak semudah yang orang-orang pikirkan. Masuk sekolah dengan tekad yang bulat, niat yang serius, dan komitmen yang kuat untuk bisa memberikan rasa yakin orang tuanya kalau Tarisha sekolah sampai SMA tidak ada ruginya.
Sejak menginjakkan kakinya di tanah Ibu Kota, Tarisha semakin yakin kalau hinaan orang-orang di masa lalunya bisa segera ia bungkam. Walaupun sebenarnya, pembuktian terhadap orang-orang yang suka berkomentar itu tidak ada gunanya, sama sekali. Tetapi entah kenapa rasanya seperti lega saja jika bisa membuat mereka menjilat air ludah yang sudah mereka keluarkan.
"Hai, mahasiswa baru ya?"
Seseorang menanyakan sesuatu pada Tarisha dengan senyum ramah. Gadis dengan wajah yang begitu cantik bisa Tarisha lihat tepat di hadapannya. Pakaian celana formal dengan atasan jas rapi yang begitu kontras.
Ada sedikit kegugupan ketika Tarisha baru saja ingin menjawab pertanyaan gadis cantik itu. "I-iya, Kak. Ruang Dekan dimana, ya?"
"Biar aku anter aja gimana?"
Dengan sangat yakin, Tarisha langsung mengangguk setuju. Kaki dengan balutan sepatu sneakers itu buru-buru mengikuti kaki jenjang yang mulus yang dipakaikan high heels merah glossy.
"Ternyata nggak semua anak Jakarta sombong." Begitu perkataan lirih Tarisha yang masih bisa didengar gadis high heels merah yang berjalan di depannya. Senyum manis dilengkungkan, tanpa Tarisha mengetahui hal itu.
Dua pasang kaki high heels merah berhenti, sepatu sneakers Tarisha ikut direm.
"Ini ruangannya."
Tarisha melemparkan senyum. "Makasih ya, Kak. Kakak baik banget, padahal kita baru pertama kali ketemu."
Gadis high heels merah balik tersenyum manis. "Aku Felicia. Kamu bisa panggil aku Feli aja, kalau nggak nyaman pakai 'Kak' meskipun aku udah senior kamu." Begitu katanya saat mengulurkan tangannya dengan jari yang lentik pada Tarisha.
"Pakai 'Kak' aja deh, kan emang Kakak senior aku." Tarisha menyambut uluran tangan mulus itu dengan senang hati. "Aku nyaman aja kok kalau manggil Kakak, 'Kak Feli' nggak keberatan sama sekali."
Feli menyelipkan sedikit tawa kecilnya. "Aku dong yang keberatan, jadi berasa tua."
"Wajah secantik Kakak keliatan tua? Terus mudanya gimana?"
"Bisa aja kamu." Feli menggeleng gemas dengan ucapan Tarisha. "Ya udah sana masuk, katanya mau cari Dekan."
Tarisha memberikan sebuah anggukan. "Iya. Tapi beneran kok, tadi aku kaget banget waktu Kakak samperin aku tiba-tiba. Aku pikir artis, soalnya Kakak cantik banget."
Feli masih tertawa kecil sampai setidaknya Tarisha mengode berpamitan untuk masuk ke ruang Dekan.
***
Seperti halnya air dan minyak, benda cair sederhana yang sangat mustahil untuk bisa menyatu. Hanya ada persaingan dengan apapun kompetisinya, karena sosok Denuka Zeonnal Pradikhta tidak pernah menyerah untuk bisa mengalahkan Im Rey Prince dalam perebutan posisi pertama di kampus.
Di depan ruang kelas ekonomi itu, dua laki-laki tampan sedang beradu tatap tanpa mengeluarkan satu kata pun sejak bertemu. Keduanya sama-sama idola kampus, sama-sama peraih nilai terbaik, sama-sama menginginkan posisi pertama dan yang pasti, sama-sama tidak ingin dikalahkan.
"Heran, tiap hari kegiatan mereka perang batin aja, apa nggak capek ya?" Suara itu muncul dari bibir Mesia yang merasa bosan terhadap pemandangan semacam ini. Anak kelas ekonomi, tepatnya satu kelas dengan Denuka dan Rey.
Bulan hanya manggut-manggut. "Perang batinnya cowok ganteng seru kali, makanya mereka betah." Satu lagi dari kelas ekonomi, mahasiswa yang semasa SMA-nya satu sekolah dengan Rey.
"Kan kalo Rey idola kampus dari sekolah lo dulu, dan Denuka idola kampus dari sekolah gue, jangan-jangan masing-masing dari kita ada yang jodoh sama mereka?" Mesia menerka-nerka tanpa memikirkan konsekuensinya. Hingga satu selentikan jari dari Bulan mengenai telinganya.
"Ngawur banget ngomongnya, amit-amit deh." Bulan memukuli kening dan mejanya bergantian. "Ganteng buanget sih iya, tapi kalo orangnya dingin gitu, nggak banget deh. Belum lagi mereka jenius, bisa diajak ngomongin eisteins tiap hari gila."
Mesia baru bisa mencerna kata-kata Bulan. "Iya juga sih, ya udah jangan pernah ngimpi punya jodoh kayak mereka deh. Mending nggak ganteng-ganteng amatlah tapi seru diajak komunikasi."
"Ok, selamat pagi anak-anak."
Seorang dosen yang sudah duduk sekitar setengah jam di bangkunya, tiba-tiba berdiri dan menyapa. Semua orang di dalam kelas ekonomi itu, otomatis menata tempat duduk masing-masing dan diam tidak bersuara.
Sementara Denuka dan Rey, masih saling perang batin tanpa mempedulikan di dalam kelas mereka sudah akan dimulai pembelajaran. Hanya ada napas yang menghembus bahkan dengan suara minim di area keduanya.
"Bu, Denuka sama Rey masih di luar." Salah seorang mahasiswi dari kelas ekonomi itu memberitahu dosen. Sayangnya respon si dosen acuh layaknya sudah biasa terjadi.
***
"Sumpah deh, nggak pernah ngira gue kalo ternyata kampus ini luasnya kayak keningnya si Suci."
Sudah dua kali Tarisha hanya berputar di sekitar ruang Dekan setelah menyerahkan berkas daftar ulangnya. Kata Dekan, mulai hari ini ia sudah mulai ada pembelajaran di kelas ekonomi yang diminatinya. Jadi setelah dari ruangan itu, Tarisha berusaha secepat mungkin mencari ruang kelas ekonomi, sayangnya ia justru frustrasi.
"Yang mana lagi kelas ekonomi? Kata Dekan tadi, bentar lagi masuk. Nemu kelasnya aja belum gue," keluh Tarisha.
Kemungkinan besar gadis itu tidak sadar, jika di depannya sudah ada kelas ekonomi yang sejak tadi dicarinya. Di depan kelas itu, juga masih ada dua laki-laki tampan yang tetap diam saja sampai setidaknya Tarisha sadar sudah sampai di kelas yang ia cari.
"Nah, ini kelasnya nih." Jari telunjuk kanan Tarisha menunjuki pintu kelas yang terbuka tetapi tertutup dua manusia tinggi. Ia sudah berusaha melewati, sayangnya tidak ada respon dari kedua laki-laki itu yang tidak lain adalah Rey dan Denuka.
"Eh ... Kak, Mas, Bang, misi mau lewat." Begitu izin Tarisha yang sama sekali tidak mendapatkan respon. "Saya mahasiswi baru, mau masuk kelas. Tolong kasih jalan dong," pintanya hingga masing-masing kaki kanan dari kedua laki-laki itu dilangkahkan sedikit ke belakang.
Tarisha tersenyum, kakinya sudah siap melangkah masuk ke dalam kelas. Namun sayang, seorang dosen dari dalam kelas itu, tiba-tiba mengarah kepadanya dengan wajah kesal dan tangan dilipat di depan dada.
"Mahasiswi baru, udah terlambat. Gimana nantinya?"
Bu Arin langsung terus terang.
"Hm, maaf Bu. Tadi saya ..."
"Dua laki-laki dan satu perempuan, saya rasa cukup untuk membersihkan toilet seluruh ruangan dan lapangan basket."
Tarisha langsung terkejut. "Apa, Bu? Bersihin toilet? Saya mahasiswi baru masa langsung dihukum pertama kali masuk?"
"Iya. Supaya kamu terbiasa dan disiplin kuliah di sini."
Tidak ada respon sedikit pun kata yang keluar dari mulut Rey dan Denuka. Kedua laki-laki itu langsung melangkah ke arah yang sama menuju toilet untuk melaksanakan hukuman tanpa kebanyakan protes seperti mahasiswa pada umumnya.
Dosen bernama Bu Arin itu segera masuk ke dalam kelasnya dan menutup pintu kelas, agar Tarisha tidak bisa masuk seenak jidatnya. Sudah pasti terkejut, jika baru pertama masuk langsung dicap tidak disiplin oleh salah satu dosen.
Tarisha membolak-balikkan badannya, mencari kemana dua sosok laki-laki yang tadi ada di kedua sisinya. "Astaghfirullah, bagus banget nasib gue, baru pertama kali masuk langsung aja disuruh bersihin toilet. Dan masalahnya, kemana dua Mas-mas tadi?"
"Nah, itu tuh."
Tarisha segera menyusul Rey dan Denuka yang sedang berjalan menuju toilet kampus ini. Tidak ada sedikit pun dialog atau bahkan percakapan ringan yang terdengar dari keduanya hingga sempat membuat Tarisha berpikir bahwa kedua laki-laki ini bisu.
"Eh, toilet di kampus ini ada berapa ya? Dan di mana aja?"
Tarisha cukup antusias untuk membuat salah satu dari mereka membuka suara, dan lagi itu mustahil terjadi. "Halo, kalian bisa ngomong kan?"
Sebelum masuk ke dalam toilet, Rey dan Denuka terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan yang berisikan alat-alat kebersihan juga diikuti Tarisha. Kedua laki-laki itu mengambil sikat wc dan cairan pembersih closed. Tarisha hanya ikut sementara Denuka sama sekali tidak peduli akan keberadaannya, Rey justru memberikannya set alat pel.
"Kamu yang ngepel aja, biar yang cowok yang bersihin closed." Setelah mengucapkan kalimat yang cukup singkat itu, Rey langsung melakukan tugasnya.
"Lah, bisa ngomong? Gue pikir bisu." Kalau itu adalah respon Tarisha setelah Rey memberinya set alat pel sambil mengikuti laki-laki itu keluar dari ruangan alat kebersihan.
***
"Denuka!"
Sebuah suara muncul dari arah belakang kelas modeling. Seorang gadis yang tadi sempat bertemu dengan Tarisha terlihat berjalan cepat-cepat menuju lapangan basket.
"Ini minuman buat kamu," ucap Felicia. "Kebiasaan kalo dihukum malah nyantai dan kerjain aja tanpa mikir Papa kamu bakal marah."
Denuka menerima minumannya tanpa cepat-cepat meminum minuman itu. Langkah kakinya justru bergerak menghampiri Tarisha yang masih duduk istirahat di tepi lapangan basket dekat dengan Rey.
Tidak ada suara yang terdengar, tetapi dua tangan masing-masing memegang sebotol air mineral diulurkan terhadap Tarisha. Gadis yang menjadi sasaran, hanya diam aja tidak berkutik.
"Eh, ngapain ngasih minuman ke gue? Kita kan belum kenal. Ya meskipun gue mahasiswi baru sih disini."
Denuka lebih mendekatkan minumannya pada Tarisha. "Gue Denuka, dan ini minuman buat lo. Abis ngebersihin toilet seluruh kampus ini, gua yakin pasti lo haus."
Tarisha langsung berdiri. "Dan lo, ternyata bisa ngomong? Terus kemana aja tadi lo, gue ngoceh udah kayak orang gila lo diem aja."
Denuka tidak membalas apapun, ia justru membuka tangan Tarisha agar menerima minuman pemberiannya. Sementara Rey menatapnya tajam karena curang.
Jadi akhirnya, Tarisha menerimanya.
"Ya udah kalau gitu makasih, sebenernya haus juga sih gue." Gadis itu meminum air mineral pemberian Denuka hingga tersisa setengah botol. Sisanya di dalam botol ia pegang di tangan kiri hingga Denuka tiba-tiba merebutnya.
"Loh, loh, loh ... " Tarisha sangat terkejut karena air mineral sisanya diminum hingga habis pada botol minum yang sama. "Itu kan sisa gue, kok malah diminum sih, sampe abis lagi."
Rey hanya menatap laki-laki di sebelah Tarisha dengan wajah datar. Sementara tangannya masih bergerak mengulurkan sebotol air mineral untuk Tarisha hingga gadis itu menerimanya dengan sedikit rasa bingung.
"Aku Rey, kalau masih haus minum aja minuman aku ini."
Felicia masih memperhatikan mereka bertiga dari kejauhan sana, tetapi tidak begitu jelas siapa satu perempuan di antara dua laki idaman satu kampus itu.
Ketika ingin menerima minuman dari Rey, tangan Tarisha di tahan tiba-tiba.
"Lo masih haus? Ayo, sekarang gue gue traktir di kantin." Denuka seenaknya saja menarik tangan Tarisha hingga satu tangan lainnya juga ditahan oleh Rey.
"Dia haus, biarin dia minum dulu."
Tarisha jelas dibuat kebingungan di tengah-tengah mereka berdua.
"Gue mau bawa dia ke kantin, biar dia milih sendiri minumannya."
"Minuman dari gue jelas-jelas udah ada di depan mata sejak tadi."
Antara Denuka dan Rey, Tarisha benar-benar tidak tahu persis masalah hidup apa yang sedang mereka berdua alami. Sampai-sampai urusan minuman saja diperdebatkan.
Denuka masih tidak ingin melepaskan tautan tangannya terhadap Tarisha. "Kenapa nggak lo minum aja?"
Rey juga tidak rela Tarisha di bawa pergi oleh Denuka. "Kenapa lo yang repot? Padahal jelas-jelas dia mau Nerima minuman dari gue."
"OH MY GOD! Guys, ada fenomena langkah."
Gemberedak suara Mesia memenuhi beberapa tepi lapangan basket Universitas Trisakti. Anak-anak lain dari belakangnya langsung berangsur-angsur mengeluarkan handphone mereka untuk mengabadikan momen langka yang ada.
"Ini maksudnya apaan coba? Apaan?!" Bulan sendiri bahkan heran melihat pemandangan di lapangan basket. "Jelasin ke gue Mes, jelasin. Sumpah otak gue ngeloading."
"Buka hp aja dulu, herannya belakangan."
"Iya, gue mau aja kok nerima minuman ini dari Rey." Tarisha berusaha melepaskan tangannya dari genggaman kuat tangan Denuka. "Sumpah deh, gue malu diliatin banyak anak-anak itu."
Tangan Tarisha sudah berhasil melepaskan diri dari genggaman Denuka, hingga bergerak siap menerima minuman dari Rey.
Bugh
Entah mendapat alasan akurat dari mana, Denuka langsung mendaratkan pukulan spontan pada wajah tampan Rey.
Tarisha sontak membungkam mulutnya rapat-rapat.
"Waahhh!"
Satu kampus gempar. Bisa-bisanya dua idola kampus yang begitu ambisius tiba-tiba berurusan dengan satu mahasiswi baru yang tidak ada istimewanya. Apalagi sampai ada kekerasan, jelas langsung nge-boom dong postingan siapa pun yang mengapload foto-foto mereka bertiga.
Bersambung ...
"Saya nggak tau kenapa satu kampus bisa seheboh itu."Tarisha dan dua laki-laki idola sekolah itu dipanggil ke ruang Dekan untuk memberikan keterangan terkait keributan hari ini. Bahkan tanpa harus mengatakan pun, setiap mahasiswa di sana akan heran bagaimana keributan sepele ini bisa terjadi hanya karena satu mahasiswi baru."Saya maklumi, karena kamu memang mahasiswi baru. Tapi—""—Saya aja bingung Pak, kenapa mereka berantem padahal cuma perkara minuman doang."Dekan mengangguk sambil memainkan kedua tangannya di depan mulut dan hidungnya. Matanya terus mengintai detail dari ketiga mahasiswa dari kampusnya itu."Dan karena kamu memang mahasiswi baru, jadi sudah sangat maklum kalau kamu mungkin belum tau bagaimana perselisihan antara dua laki-laki di antara kamu ini, Tarisha."Tarisha sangat tidak bisa memahami kalimat dari Dekan yang terkesan m
Seperti sebuah kejutan bagi Tarisha setelah Suci mempertanyakan hal konyol waktu kemarin. Menjadi rebutan dua laki-laki tampan, kuncinya hanya perlu satu, mengaca. Terlepas apapun masalah yang terjadi kemarin, tidak akan membuat prinsipnya goyah. Memorinya masih ingat betul, bagaimana ia banyak dihina karena terlahir dari keluarga saja yang biasa saja. Bukan tidak mungkin. Hidup di Indonesia minimal harus good looking atau kaya kalau mau dihargai. Kediri, salah satu kota di tanah Jawa yang menjadi tanah kelahirannya. Sekaligus menjadi kota di mana ia dipertemukan dengan sosok sahabat seperti Suci yang tidak akan pernah lelah mengingatkannya untuk istirahat. Jangankan memiliki waktu pacaran seperti remaja-remaja pada umumnya, untuk keluar bersama teman saja ia perlu berpikir karena tidak ada uang. Memiliki dua adik yang masih bersekolah akhirnya bisa membuatnya sadar, kalau ia pergi ke Jakarta bukan untuk menc
Seperti sebuah kejutan bagi Tarisha setelah Suci mempertanyakan hal konyol waktu kemarin. Menjadi rebutan dua laki-laki tampan, kuncinya hanya perlu satu, mengaca. Terlepas apapun masalah yang terjadi kemarin, tidak akan membuat prinsipnya goyah. Memorinya masih ingat betul, bagaimana ia banyak dihina karena terlahir dari keluarga saja yang biasa saja. Bukan tidak mungkin. Hidup di Indonesia minimal harus good looking atau kaya kalau mau dihargai. Kediri, salah satu kota di tanah Jawa yang menjadi tanah kelahirannya. Sekaligus menjadi kota di mana ia dipertemukan dengan sosok sahabat seperti Suci yang tidak akan pernah lelah mengingatkannya untuk istirahat. Jangankan memiliki waktu pacaran seperti remaja-remaja pada umumnya, untuk keluar bersama teman saja ia perlu berpikir karena tidak ada uang. Memiliki dua adik yang masih bersekolah akhirnya bisa membuatnya sadar, kalau ia pergi ke Jakarta bukan untuk menc
"Saya nggak tau kenapa satu kampus bisa seheboh itu."Tarisha dan dua laki-laki idola sekolah itu dipanggil ke ruang Dekan untuk memberikan keterangan terkait keributan hari ini. Bahkan tanpa harus mengatakan pun, setiap mahasiswa di sana akan heran bagaimana keributan sepele ini bisa terjadi hanya karena satu mahasiswi baru."Saya maklumi, karena kamu memang mahasiswi baru. Tapi—""—Saya aja bingung Pak, kenapa mereka berantem padahal cuma perkara minuman doang."Dekan mengangguk sambil memainkan kedua tangannya di depan mulut dan hidungnya. Matanya terus mengintai detail dari ketiga mahasiswa dari kampusnya itu."Dan karena kamu memang mahasiswi baru, jadi sudah sangat maklum kalau kamu mungkin belum tau bagaimana perselisihan antara dua laki-laki di antara kamu ini, Tarisha."Tarisha sangat tidak bisa memahami kalimat dari Dekan yang terkesan m
"Beruntung banget gue, hari ini dapet shif malam." Tarisha mengecek barang-barangnya sambil menuruni motor yang dikendarai Suci. Pandangannya langsung mengarah pada bangunan gedung kampus yang sangat mewah baginya. "Baik-baik lo belajarnya, inget meskipun biayanya lo nggak minta orang tua lo, seenggaknya lo bisa sadar posisi. Kita cuma kaum rendahan." Begitu wejangan Suci ketika Tarisha mulai membuka map coklat persyaratan daftar ulangnya. Tidak ada respon sama sekali. "Nah kan, budek lu!" kesal Suci. "Heran gue, dandanan lo udah kayak anak Jakarta gaul gini, tapi pendengaran nggak juga lebih sehat dikit." Baru saja Tarisha menyelesaikan aktivitas, begitu saja tanpa peduli apapun perkataan Suci yang sebenarnya bisa ia dengar dengan jelas. Ia mengecek jam di handphone, sekadar basa-basi untuk menghindari wejangan yang menurutnya tidak penting dari sahabat karibnya. Taris