Seperti sebuah kejutan bagi Tarisha setelah Suci mempertanyakan hal konyol waktu kemarin. Menjadi rebutan dua laki-laki tampan, kuncinya hanya perlu satu, mengaca.
Terlepas apapun masalah yang terjadi kemarin, tidak akan membuat prinsipnya goyah. Memorinya masih ingat betul, bagaimana ia banyak dihina karena terlahir dari keluarga saja yang biasa saja. Bukan tidak mungkin. Hidup di Indonesia minimal harus good looking atau kaya kalau mau dihargai.
Kediri, salah satu kota di tanah Jawa yang menjadi tanah kelahirannya. Sekaligus menjadi kota di mana ia dipertemukan dengan sosok sahabat seperti Suci yang tidak akan pernah lelah mengingatkannya untuk istirahat.
Jangankan memiliki waktu pacaran seperti remaja-remaja pada umumnya, untuk keluar bersama teman saja ia perlu berpikir karena tidak ada uang. Memiliki dua adik yang masih bersekolah akhirnya bisa membuatnya sadar, kalau ia pergi ke Jakarta bukan untuk mencari pacar, melainkan pekerjaan yang benar-benar matang.
Pikiran Tarisha hampir meluas kemana-mana setelah ia kepikiran pertanyaan Suci kemarin yang sebenarnya hanya memisalkan. Setidaknya semua pikiran itu pergi setelah ia melangkah masuk ke dalam kelas.
"Tarisha!"
Tarisha segera dihampiri dua gadis dari kelas ekonomi. "Lo Mesia yang kemarin, ya?"
"Kok lo tau nama gue?"
Ketiganya berjalan memasuki kelas, sampai setidaknya Tarisha menemukan bangkunya dan duduk di sana. Sementara Mesia dan Bulan mencari kesempatan duduk di antara gadis itu entah menduduki bangku siapa.
"Kemarin gue liat di hp lo, ada username Ig @Mesiaww."
Mesia manggut-manggut hingga memilih untuk berkenalan meski terlambat. "Karena kemarin khilaf gara-gara lo gemparin satu kampus, gue sampek lupa kenalan. Gue Mesia Wulandari, panggil aja Mesia."
Tarisha menyambut tangan gadis itu. "Gue Tarisha Ertianada. Anak rantau dari Kediri."
"Pantesan kayak gue kenal vibe lo, ternyata dari kediri. Kota kelahiran kakak ipar gue. Btw, kenalin gue Bulan Azzahra. Panggil aja Bulan."
Tangan Bulan kini saling berjabatan dengan tangan Tarisha senyum senang—
Bugh!
—sampai setidaknya sebuah suara keributan terdengar di luar kelas. Seisi kelas langsung berdiri bahkan berlari keluar hingga dikejutkan ketika melihat Rey dan Denuka saling pukul.
"OMG!!!"
Kedua laki-laki itu sama-sama memiliki bekas luka tonjokan di bagian wajah. Tangan Rey juga masih menarik baju Denuka dengan tatapan tajam yang intens.
"Lo berdua kalo mau gelud, mending perkara nilai aja deh. Jangan fisik aduh, kesian wajah cakep kalian berdua kena tonjok!" saran Mesia yang tidak mengetahui keadaan dan tempat.
Meski saran dari Mesia terdengar cukup konyol, ternyata Rey dan Denuka mendengarkannya. Kedua idola kampus itu saling buang muka hingga mendapati Tarisha di sana.
"Kenapa kalian berantem lagi, sih? Mau berkali-kali kalian berantem pun, Tarisha cuma bakal ada satu."
Tarisha langsung menyenggol lengan Bulan dengan sikunya, alisnya ditautkan seolah mengode untuk diam.
"Lo kemarin pulang sama siapa?"
Sudah sangat jelas pertanyaan Denuka tertuju padanya, namun Tarisha masih saja tidak langsung menjawab.
"Lo ditanya," Mesia mendorong badan Tarisha hingga sedikit mendekat pada Denuka.
"Dijemput temen gue."
Denuka diam saja mendengar jawaban singkat itu, sementara Rey di sebelahnya juga tidak berkutik dari tempatnya. Dari kejauhan sana, terlihat seorang dosen berjalan menuju kelas ekonomi ini, membuat semua orang langsung masuk ke dalam kelas.
Ada sesuatu yang tidak Tarisha sadari saat ia memilih bangku, ternyata bangku belakangnya adalah bangku Rey dan Denuka ada di sebelah kanannya.
***
Proses pembelajaran yang Tarisha jalani pertama kali, serasa berjalan normal seperti bagaimana bayangannya saat hanya berangan-angan. Ternyata menjadi mahasiswa sangat menyenangkan, apalagi sanggup membayar biayanya sendiri. Benar-benar kebanggaan yang luar biasa baginya.
"Tar, kita mau ke kafetaria ikut nggak?"
Belum sempat menjawab, tiba-tiba sebuah penggilan masuk ke handphone-nya.
"Nanti aja deh nyusul, kafetaria emang sebelah mana?"
"Dari kelas ini, lo turun ke lantai satu cari aja ruang UKS nanti kafetaria ada di depannya agar ke kiri gitu."
Begitu penjelasan singkat dari Mesia sebelum pergi bersama Bulan, Tarisha hanya menanggapi anggukan cepat saja karena buru-buru mengangkat penggilan yang masuk.
"Halo, Dek."
Dari yang awalnya tekun saja membaca ulang materi pembelajaran, Rey jadi berkeinginan mengangkat kepala karena mendengar ada yang sedang menerima panggilan di kelas ini.
"Kakak baik di sini, kamu sendiri baik, kan?"
Sementara laki-laki yang duduk di sebelah kanan Tarisha justru mulai membuka kembali handphone-nya, iseng mengecek chat yang sudah bertumpuk puluhan ribu dari para penggemarnya.
"Nanti kakak transfer ya, tapi harus beneran dibayar buat sekolah."
Rey mendengar ucapan singkat itu dari Tarisha sendiri. Sementara Denuka yang merasa muak dengan tumpukan chat tidak penting itu, justru cepat-cepat menutup handphone-nya dan berdiri lalu pergi dari kelas ini. Sesaat selanjutnya, Tarisha menutup panggilannya dan keluar sambil berusaha mengingat-ingat ke arah mana ia harus pergi ke kafetaria.
Pertama, ia harus turun melalui tangga. Jadi begitu menemukan tangga, ia segera menuruni anak tangga itu dengan langkah cukup terburu-buru. Di saat yang bersamaan, ternyata Denuka juga justru melewati tangga itu lebih dulu daripada Tarisha.
"Kampus ini luas banget sih, mau ke kafetaria aja harus inget-inget di mana UKS-nya."
Tarisha menggerutu sendiri. Sampai kemungkinan tidak sadar segerombol anak-anak tim basket menaiki tangga dengan langkah lebih terburu-buru. Gadis itu masih berusaha menghafal letak UKS dan kafetaria—
"Kalo nggak cepet-cepet ke kelas, entar di dosen killer itu bacot."
Dugh!
—sampai setidaknya sebuah bahu mendesaknya dengan cukup keras. Ia menoleh pada pelakunya, dan tiba-tiba pelaku lain juga tanpa sengaja menyenggolnya hingga kakinya tidak bisa menjawab keseimbangan.
"Argh!"
Kedua tangan Tarisha berhasil mendapatkan tepat mendarat yang tepat. Tubuh gadis itu tidak jadi tersungkur, karena sebuah punggung dari seseorang yang bertubuh cukup tinggi.
Sementara Tarisha merasa aman, anak-anak basket justru saling menjatuhkan rahang melihat gadis yang mereka tabrak memeluk pria yang tidak lain adalah Denuka, si dingin idola kampus.
Tidak ada kata apapun yang terdengar dari Denuka saat Tarisha tiba-tiba asal memeluknya dari belakang. Justru wajah datarnya itu yang bisa Tarisha lihat jelas ketika melepas pelukan mereka sampai terkejut.
"Lo sih, pakek nambrak orang sembarangan."
"Lo juga, kan yang nambrak sampe dia jatuh lo."
Anak-anak basket itu saling menyalahkan. Takut-takut jika Denuka akan menghajar satu persatu dari mereka karena berani mencari masalah dengannya.
"Kalo jalan matanya dibuka!"
Tarisha menunduk karena takut. "Sorry, maaf. Gue nggak sengaja."
"Pendengaran kalian sehat, nggak?"
Mendengar Denuka yang marah yang ternyata bukan padanya, Tarisha perlahan mengangkat wajah dan menoleh pada anak-anak basket di atas sana.
"Sehat kok, sehat banget. Tadi matanya udah dibuka, tapi kita buru-buru karena takut telat masuk kelas. Soalnya hari ini jadwal dosen killer."
Sebenarnya Denuka hanya menggertak, setelahnya laki-laki itu juga hanya melirik Tarisha sekilas lalu berjalan pergi.
"Den, gue minta—"
"—Tar, ditungguin lama banget sih. Keburu habis waktu istirahatnya."
Mesia dan Bulan tiba-tiba menghampiri dan mengejutkannya, tepat saat Denuka pergi dan ia ingin meminta maaf pada laki-laki itu.
***
Benar-benar kejadian yang harus dihapus dari ingatan memorinya, karena semenjak menggemparkan kampus kemarin, sebenarnya tidak ada lagi niatnya untuk bisa tenar.
"Tar, kita duluan ya."
Ketika Mesia dan Bulan berpamitan padanya, mata itu justru tiba-tiba fokus pada seorang gadis yang berjalan masuk menuju kelas ekonomi ini.
"Habis ini anterin aku ke mall ya, soalnya—"
Sampai setidaknya mata Tarisha bertemu di satu titik dengan mata seorang gadis yang sejak tadi diperhatikan.
"Tarisha?"
"Kak Feli," balas Tarisha dengan melambaikan tangan.
Kemudian Felicia kembali terfokus pada Denuka. Tepat ketika laki-laki itu sedikit melempar tatapan pada Tarisha.
"Tapi gue nggak bisa lama."
"Ya, emang cuma sebentar kok."
Tarisha mulai membereskan alat-alat tulisnya untuk di masukkan ke dalam tas. Sementara laki-laki di belakang ternyata juga melakukan hal yang sama.
Waktu Tarisha berjalan keluar kelas hingga gerbang kampus, ia baru ingat kalau harus ke ATM untuk transfer uang pada adiknya. Jadi begitu menemukan angkot, ia langsung saja naik.
Jika dulu ia yang meminta uang pada ayahnya untuk biaya sekolah, sekarang giliran adik-adiknya yang meminta uang kepadanya. Pikiran itu selalu seliweran di otaknya, setidaknya juga saat ia menuruni angkot karena sampai di ATM.
"Tumben sepi."
Dan begitu sampai Tarisha langsung saja masuk ke dalam ruangan mesin ATM di sana. Seperti yang dilakukan pada umumnya, sampai setelah selesai ia keluar tepat ketika seorang laki-laki ingin masuk.
Baru sadar ketika mengangkat wajah ternyata laki-laki itu adalah Rey, gadis itu mundur-mundur kebingungan.
"Lo ngapain disini, Rey?"
"Yang kamu pikir apa?"
Rey tidak seheboh Tarisha yang sudah kalang kabut tanpa alasan. Namun menurut gadis itu sendiri, mungkin ia sudah tidak mau menjadi trending topik atau bahan pembicaraan satu kampus hanya karena berurusan dengan sosok idola kampus seperti Rey.
Tarisha tidak menjawab pertanyaan dari Rey, ia justru mencari cara untuk cepat pergi dari sana hingga digagalkan karena sebuah tangan menahannya.
"Kamu nggak ada kehilangan barang?"
Tarisha buru-buru menggeleng. "Nggak ada."
Rey segera merogoh saku kiri ranselnya, mengeluarkan gantungan beruang berwarna coklat. "Ini punya kamu atau bukan?"
"I-iya punya gue. Kok bisa di lo?"
Tarisha seolah dibuat linglung ketika melihat gantungan beruang di tasnya ternyata benar-benar tidak ada. Hal itu membuat Rey tertawa kecil dengan mata yang melengkung lucu karena sipit.
"Ambil." Rey memberikan gantungan beruang itu pada tangan Tarisha. "Sebenarnya kita itu udah pernah ketemu sebelumnya."
"Apa?" tanya Tarisha yang dibuat seolah meragukan kalimat itu, setelah ia menerima gantungan beruangnya.
"Bahkan sudah dua kali dan tiga kali ini, tapi yang di kampus nggak terhitung."
"Hah?"
Rey tersenyum simpul dengan kekhasannya. Pria itu nampak begitu manis bahkan tampan dengan kulit putih yang dimilikinya.
"Mungkin kamu nggak sadar semua itu. Tapi aku nggak bohong."
Tarisha masih perlu merefresh otak beberapa kali, walaupun ia masih tidak mengerti juga. Mau diingat-ingat dengan cara apapun, kalau ia tidak sadar, juga tidak mungkin tahu.
"Kalau aku cerita sekarang, waktunya kurang. Kamu boleh cari aku kapan aja asal aku ada waktu, aku bakal ceritain kapan dan dimana kita ketemu sebelum dihukun di kampus waktu itu."
Rey memang tidak pernah salah dalam penilaian orang lain. Ia hanya berbicara, jika yang dibicarakan benar-benar penting. Karena percuma kalau buang-buang tenaga untuk basa-basi yang tidak ada gunanya. Sementara Tarisha terus menatapnya karena bingung, ia justru segera masuk ke dalam ruangan mesin ATM.
"Bapak! Dikelilingi orang ganteng bikin pusing!"
"Eh, bego!!!"
Sebenarnya Tarisha tidak berteriak keras, hanya sekadar melepas keluhan dengan menyebut ayahnya saja. Namun entah suara dari mana tiba-tiba muncul dengan nada mencacinya.
Gadis itu menoleh ke arah suara, matanya membulat ketika melihat Suci dengan wajah menyebalkannya ada di tepi jalan.
"Suci! Bajingan lo ya, gue kirain orang gila bego-begoin gue." Tarisha mengomel sambil berjalan menuju tempat di mana Suci berhenti di tepi jalan.
"Lo lah yang bajingan, dijemput di kampus malah ada di ATM ternyata."
"Kan tadi gue udah chat lo, gue mau transfer uang buat adik gue."
"Kapan lo ngechat?"
"20 menitan yang lalu, gimana sih lo."
"Nggak ada chat masuk dari lo Mbak Tarzan. Dua menit lalu gue nangkring di tempat kerja sambil nunggu waktu pulang sekalian jemput."
"Nggak percaya lo?" Tarisha merasa diragukan belum mengirim chat pada Suci. Padahal ia sendiri merasa sangat yakin kalau sudah mengirim chat. Ia pun membuka handphone-nya dan mencoba mencari bukti kiriman chat-nya pada Suci yang ternyata zonk.
"Mana?" Suci merasa menang karena ia memang benar tidak menerima chat apapun dari Tarisha. "Noh, lo liat chat terakhir kita bahas harga BH. Lupa sama yang gue bilang ada BH kualitas baus harga merakyat."
"Hush!"
Tarisha cepat-cepat membungkam mulut Suci yang asal jeplak menyebut beberapa ucapan privasi di tempat umum. "Iya, tapi masalah bahas barang-barang kayak gitu jangan sembarang diumbar, nggak tau malu lo."
Suci segera memberontak tangan Tarisha yang lancang membungkamnya. "Ngomong-ngomong gimana soal dua cowok yang katanya suka sama lo sampek rebutan itu?"
Tarisha begitu menyesal bisa berteman dengan sosok yang ceplas-ceplos seperti Suci. Mulutnya itu sangat tidak bisa dikontrol apalagi salah satu cowok yang dimaksudnya masih ada di sana tepatnya baru saja keluar dari ruang mesin ATM.
"Jangan ngawur ngomongnya!"
Suci mengernyit. "Emangnya kenapa?"
"Orangnya ada di sana— Ci, udahlah Ci, bunuh aja gue sekarang. Urat malu gue udah lo putus-putus sejak hari ini, sekalian aja lo bunuh gue sekarang."
Tarisha sudah merasa bosan hidup semenjak mulut Suci yang benar-benar ceroboh saat ini. Bisa-bisanya membicarakan hal konyol di depan orangnya langsung, tanpa memikirkan konsekuensinya.
"Apaan sih lo?"
"Bunuh gue cepetan Ci, urat malu gue udha beneran putus. Bunuh cepetan, sebelum cowok di belakang sana nyamperin kita."
Ucapan putus asa itu terdengar dari mulut Tarisha ketika melihat Rey tersenyum dan berjalan ke arahnya. Astaghfirullah. Bencana yang benar-benar mematikan ternyata bisa dipicu oleh ucapan ngawur Suci. Keren.
Bersambung...
"Beruntung banget gue, hari ini dapet shif malam." Tarisha mengecek barang-barangnya sambil menuruni motor yang dikendarai Suci. Pandangannya langsung mengarah pada bangunan gedung kampus yang sangat mewah baginya. "Baik-baik lo belajarnya, inget meskipun biayanya lo nggak minta orang tua lo, seenggaknya lo bisa sadar posisi. Kita cuma kaum rendahan." Begitu wejangan Suci ketika Tarisha mulai membuka map coklat persyaratan daftar ulangnya. Tidak ada respon sama sekali. "Nah kan, budek lu!" kesal Suci. "Heran gue, dandanan lo udah kayak anak Jakarta gaul gini, tapi pendengaran nggak juga lebih sehat dikit." Baru saja Tarisha menyelesaikan aktivitas, begitu saja tanpa peduli apapun perkataan Suci yang sebenarnya bisa ia dengar dengan jelas. Ia mengecek jam di handphone, sekadar basa-basi untuk menghindari wejangan yang menurutnya tidak penting dari sahabat karibnya. Taris
"Saya nggak tau kenapa satu kampus bisa seheboh itu."Tarisha dan dua laki-laki idola sekolah itu dipanggil ke ruang Dekan untuk memberikan keterangan terkait keributan hari ini. Bahkan tanpa harus mengatakan pun, setiap mahasiswa di sana akan heran bagaimana keributan sepele ini bisa terjadi hanya karena satu mahasiswi baru."Saya maklumi, karena kamu memang mahasiswi baru. Tapi—""—Saya aja bingung Pak, kenapa mereka berantem padahal cuma perkara minuman doang."Dekan mengangguk sambil memainkan kedua tangannya di depan mulut dan hidungnya. Matanya terus mengintai detail dari ketiga mahasiswa dari kampusnya itu."Dan karena kamu memang mahasiswi baru, jadi sudah sangat maklum kalau kamu mungkin belum tau bagaimana perselisihan antara dua laki-laki di antara kamu ini, Tarisha."Tarisha sangat tidak bisa memahami kalimat dari Dekan yang terkesan m
Seperti sebuah kejutan bagi Tarisha setelah Suci mempertanyakan hal konyol waktu kemarin. Menjadi rebutan dua laki-laki tampan, kuncinya hanya perlu satu, mengaca. Terlepas apapun masalah yang terjadi kemarin, tidak akan membuat prinsipnya goyah. Memorinya masih ingat betul, bagaimana ia banyak dihina karena terlahir dari keluarga saja yang biasa saja. Bukan tidak mungkin. Hidup di Indonesia minimal harus good looking atau kaya kalau mau dihargai. Kediri, salah satu kota di tanah Jawa yang menjadi tanah kelahirannya. Sekaligus menjadi kota di mana ia dipertemukan dengan sosok sahabat seperti Suci yang tidak akan pernah lelah mengingatkannya untuk istirahat. Jangankan memiliki waktu pacaran seperti remaja-remaja pada umumnya, untuk keluar bersama teman saja ia perlu berpikir karena tidak ada uang. Memiliki dua adik yang masih bersekolah akhirnya bisa membuatnya sadar, kalau ia pergi ke Jakarta bukan untuk menc
"Saya nggak tau kenapa satu kampus bisa seheboh itu."Tarisha dan dua laki-laki idola sekolah itu dipanggil ke ruang Dekan untuk memberikan keterangan terkait keributan hari ini. Bahkan tanpa harus mengatakan pun, setiap mahasiswa di sana akan heran bagaimana keributan sepele ini bisa terjadi hanya karena satu mahasiswi baru."Saya maklumi, karena kamu memang mahasiswi baru. Tapi—""—Saya aja bingung Pak, kenapa mereka berantem padahal cuma perkara minuman doang."Dekan mengangguk sambil memainkan kedua tangannya di depan mulut dan hidungnya. Matanya terus mengintai detail dari ketiga mahasiswa dari kampusnya itu."Dan karena kamu memang mahasiswi baru, jadi sudah sangat maklum kalau kamu mungkin belum tau bagaimana perselisihan antara dua laki-laki di antara kamu ini, Tarisha."Tarisha sangat tidak bisa memahami kalimat dari Dekan yang terkesan m
"Beruntung banget gue, hari ini dapet shif malam." Tarisha mengecek barang-barangnya sambil menuruni motor yang dikendarai Suci. Pandangannya langsung mengarah pada bangunan gedung kampus yang sangat mewah baginya. "Baik-baik lo belajarnya, inget meskipun biayanya lo nggak minta orang tua lo, seenggaknya lo bisa sadar posisi. Kita cuma kaum rendahan." Begitu wejangan Suci ketika Tarisha mulai membuka map coklat persyaratan daftar ulangnya. Tidak ada respon sama sekali. "Nah kan, budek lu!" kesal Suci. "Heran gue, dandanan lo udah kayak anak Jakarta gaul gini, tapi pendengaran nggak juga lebih sehat dikit." Baru saja Tarisha menyelesaikan aktivitas, begitu saja tanpa peduli apapun perkataan Suci yang sebenarnya bisa ia dengar dengan jelas. Ia mengecek jam di handphone, sekadar basa-basi untuk menghindari wejangan yang menurutnya tidak penting dari sahabat karibnya. Taris