"Saya nggak tau kenapa satu kampus bisa seheboh itu."
Tarisha dan dua laki-laki idola sekolah itu dipanggil ke ruang Dekan untuk memberikan keterangan terkait keributan hari ini. Bahkan tanpa harus mengatakan pun, setiap mahasiswa di sana akan heran bagaimana keributan sepele ini bisa terjadi hanya karena satu mahasiswi baru.
"Saya maklumi, karena kamu memang mahasiswi baru. Tapi—"
"—Saya aja bingung Pak, kenapa mereka berantem padahal cuma perkara minuman doang."
Dekan mengangguk sambil memainkan kedua tangannya di depan mulut dan hidungnya. Matanya terus mengintai detail dari ketiga mahasiswa dari kampusnya itu.
"Dan karena kamu memang mahasiswi baru, jadi sudah sangat maklum kalau kamu mungkin belum tau bagaimana perselisihan antara dua laki-laki di antara kamu ini, Tarisha."
Tarisha sangat tidak bisa memahami kalimat dari Dekan yang terkesan membuatnya kebingungan.
"Maksud Bapak apa?"
Mata Dekan itu bergantian melirik Rey dan Denuka, sementara kode tangannya meminta untuk Tarisha keluar lebih dulu dari ruangannya. Setidaknya gadis itu mengerti, jadi langsung saja melangkah perlahan, lalu membuka pintu ruang Dekan.
Sangat terkejutkan pasti, di luar sana ada ratusan bahkan ribuan anak-anak di kampus ini yang mengantri untuk menguping pembicaraan di dalam ruang Dekan. "Antrian apaan nih?"
"Lo cewek yang tadi di lapangan basket sama Rey dan Denuka, kan?" tanya Mesia yang sudah penasaran tingkat akut.
Tarisha sebenarnya agak ragu untuk menjawab. "I-iya, kenapa emangnya?"
Bulan merasa bodoh sendiri. "Pake nanya alasannya lagi, aduh. Lo belum liat insta-story anak-anak kampus ini?"
Dengan polosnya Tarisha menggeleng.
"Satu kampus gempar karena lo jadi satu-satunya cewek yang bisa jadi bahan pertengkaran mereka berdua."
Tarisha masih juga tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini sebenarnya. Karena ia sama sekali tidak paham alur cerita anak-anak Ibu Kota dalam bergaul. Jadi ia merasa agak lemot.
"Bahan pertengkaran mereka berdua, maksud lo Rey sama Denuka? Emangnya mereka siapa, sih?"
Bulan dan Mesia hampir saja pingsan untuk memberikan penjelasan detail pada Tarisha. Maklum lah, gadis itu perlu adaptasi untuk bisa peka terhadap insiden heboh semacam ini yang biasa terjadi di cerita-cerita remaja.
Bulan yang pertama kali menyentak. "Lo emang nggak bisa lihat, ya? Mereka itu seganteng apa?"
"Ganteng banget sumpah, gue aja kaget waktu liat mereka di depan kelas ekonomi tadi. Waw, speechless!"
"Nah, itu!" sentak Mesia. "Maksud kita itu, Rey sama Denuka adalah dua cowok paling ganteng dari sudut kanan kiri dan pojokan kampus ini. Mereka adalah pentolan, andalan, dan mahasiswa terbaik di kampus ini."
Tarisha langsung ternga-nga mendengar penjelasan dari Bulan dan Mesia. Rasanya benar-benar seperti hidup dalam sebuah novel romansa remaja yang dikemas sedemikian rupa agar pembaca bisa terbawa suasana. Ia sendiri tidak menyangka, bagaimana bisa kedua laki-laki terbaik Trisakti itu bisa berurusan dengannya hanya karena minuman.
Ingin lagi memberikan penjelasan lebih lanjut, tiba-tiba saja sesuatu di belakang Tarisha yang membuat Mesia mengurungkan niatnya. Tepatnya sebelum kedua laki-laki di belakang Tarisha ingin pergi, Felicia sudah berdiri di depan gadis itu.
"Kak Feli?"
Felicia memberikan senyuman ketika Tarisha menyapanya, sementara tangan mulusnya perlahan menarik tangan Denuka dan mengajak laki-laki itu pergi dari sana. Jadi begitu Tarisha berbalik badan hanya ada Rey, ia menyimpulkan kalau Denuka yang memberinya minuman dan meminum sisa minumannya dekat dengan Felicia.
"Nggak heran sih, sama-sama ganteng dan cantik."
Rey melangkah sejajar dengan Tarisha. "Siapa?"
"Kak Felicia sama Denuka, kayaknya mereka cocok kalo pacaran."
Rey tidak memberikan respon apapun kecuali tatapan datar yang tertuju pada Felicia dan Denuka dari kejauhan sana. Matanya bergerak tajam memberikan kode pengusiran pada siapapun yang memperhatikannya dan Tarisha. Sampai setidaknya teras ruang Dekan sedikit berkurang kapasitasnya, Rey baru bisa menyadari kalau Tarisha adalah mahasiswi baru.
"Kenapa mau kuliah di sini?"
"Pengen aja. Cari yang biaya bulanannya menengah, yang penting bisa kuliah."
Rey memperhatikan detail gaya bahasa Tarisha yang terlihat tidak seperti anak Jakarta pada umumnya. "Sebenernya kuliah di sini juga bisa bayar lebih mahal atau murah, makanya kualitas kampus ini juga nggak main-main. Kayak mereka berdua, sama-sama anak pengusaha yang punya nama di mana-mana bahkan hampir semua orang di seluruh Indonesia tau siapa mereka."
Tarisha menolehkan wajahnya. "Kak Feli sama Denuka maksudnya?"
Wajah Rey awalnya datar, lalu berubah mengangguk perlahan.
"Tapi kok aku nggak kenal ya, padahal seluruh Indonesia hampir tau siapa mereka."
Tidak ada yang bisa menjadi bahan tertawaan bagi Rey. Tawanya terlalu mahal jika hanya keluarkan untuk hal konyol semacam ini.
"Pulang sama siapa?"
Begitu ditanya dengan topik lain, Tarisha baru menyadari kalau di depan ruang Dekan hanya ada Rey dan dirinya. Takut-takut akan menggemparkan satu kampus lagi, Tarisha berinisiatif mencari cara untuk menghindar.
"Dijemput temen, duluan."
Tarisha segera berlari secepat yang ia bisa. Lebih baik lari dan kaki pegal linu daripada harus mencari bahan omongan satu kampus karena berurusan dengan Rey si idola Trisakti.
Mungkin ada yang gadis itu lalaikan, hingga tidak sempat sadar jika Rey mengambil kesempatan untuk memotretnya saat berlari. Foto-foto yang dihasilkan tidak begitu bagus, sekadar cukup untuk Rey simpan sebagai koleksi.
***
"Ya, hahaha. Halu lo ketinggian, bangun tidur aja pulau di mana-mana pakek acara halu di kampus geger karena dua cowok lagi."
Seperti menyaksikan sinetron yang membosankan bagi Tarisha, karena setiap kali ia bercerita yang menurut Suci tidak masuk akal, gadis itu pasti akan ketawa habis-habisan. Padahal apa yang baru saja ia ceritakan, benar-benar kenyataan yang terjadi di kampus tadi pagi. Dari awal dihukum karena terlambat, sampai masuk ruang Dekan dan menggemparkan kampus hanya karena dua cowok idola kampus yang ingin memberinya sebotol minuman.
Ya begitulah yang namanya sahabat, temannya cerita jujur malah diketawai. Kalau cerita bohong, bilang harus jujur. Kan repot.
"Lo yang bener aja Tar, muka lo nggak glowing kayak cewek-cewek Jakarta. Mana mungkin itu dua cowok idola kampus ngerebutin lo?"
Kegiatan sampingan Tarisha saat ini selain mendengarkan Suci meledeknya adalah memakai sepatu, mengaplikasikan lotion ke tangannya, dan menguncir rambut sebelum berangkat kerja.
"Yang bilang ngerebutin siapa coba?" tanya Tarisha. "Kan gue bilangnya, mereka rebutan ngasih minum ke gue, gitu doang. Lo aja yang over nambah-nambahin ceritanya."
Suci membuka sebungkus snack-nya. "Ya itu lah pokoknya, yang pasti itu semua kayak halusinasi lo aja."
"Kalo lo masih aja ngetawain gue, dan nggak percaya sama semua cerita gue. Sok, cek aja postingan Ig @Mesiaww yang ada foto gue sama dua cowok idola kampus yang gue critain tadi di lapangan basket."
Sudah seratus persen selesai dalam mendandani dirinya, Tarisha segera berdiri dan mencium pipi sahabatnya. Sementara di sana Suci menjatuhkan rahang kala melihat benar-benar ada foto yang Tarisha maksud tadi.
"Eh, tunggu bentar Tar!"
Tarisha menghentikan langkah.
"Kalo semisal kedua cowok ini nanti beneran suka sama lo, dan lo diharuskan pilih salah satu. Apa lo akan milih satu di antara mereka?"
Tarisha sedikit terkejut dengan pertanyaan Suci yang begitu mendadak. "Kejauhan Ci, apa yang lo omongin itu nggak mungkin terjadi."
"Ya, semisal aja."
Tarisha masih me-loading sementara Suci terus menunggu jawabannya.
"Prinsip gue tetep nggak berubah. Bahagiain orang tua dulu, baru cari kebahagiaan untuk kita sendiri."
Satu langkah Tarisha bergerak, satu langkah pula Suci menahannya dari depan. "Kan ini semisal aja Tar, lo bakal milih siapa?"
Tarisha benar-benar tidak ada niat untuk membahas hal ini dengan Suci, tetapi sahabatnya itu terus mendesak agar mendapatkan jawaban yang memuaskan.
"Lo lupa ya Ci? Gimana ketika gue nangis di kamar lo, cuma perkara gue dihina sama Pakde gue di hadapan semua keluarga besar. Pakde gue bilang, anak babu ya nanti pasti cuma bakal babu. Mau apalagi? Udah lah, sekolah nggak usah tinggi-tinggi."
Seketika Suci langsung bernyali ciut untuk menggoda Tarisha dengan wajah seriusnya yang tidak mengeluarkan air mata. Ekspresi wajahnya yang awal ceria, kini berubah mengikuti suasana yang serius berasal dari Tarisha.
"Gue minta—"
"—duluan ya Ci, entar Bos marah kalau gue telat satu menit aja."
Ucapan Suci terpotong saat Tarisha menepuk bahunya bersamaan pamit pergi. Kontrakan kecil itu menjadi saksi, bahwa tidak ada apapun yang bisa Tarisha rahasiakan jika Suci sudah bertanya dan membutuhkan jawaban jujur.
Sambil terus terbayang bagaimana ambisnya Tarisha untuk bisa membanggakan orang tuanya, gadis itu melangkah keluar dan melihat sosok seorang gadis dewasa yang dulu pernah bermain lompat tali dan congklak bersamanya. Tepatnya ketika gadis yang ditatapnya menyapa Ibu Kos dengan ramah.
Bersambung...
Seperti sebuah kejutan bagi Tarisha setelah Suci mempertanyakan hal konyol waktu kemarin. Menjadi rebutan dua laki-laki tampan, kuncinya hanya perlu satu, mengaca. Terlepas apapun masalah yang terjadi kemarin, tidak akan membuat prinsipnya goyah. Memorinya masih ingat betul, bagaimana ia banyak dihina karena terlahir dari keluarga saja yang biasa saja. Bukan tidak mungkin. Hidup di Indonesia minimal harus good looking atau kaya kalau mau dihargai. Kediri, salah satu kota di tanah Jawa yang menjadi tanah kelahirannya. Sekaligus menjadi kota di mana ia dipertemukan dengan sosok sahabat seperti Suci yang tidak akan pernah lelah mengingatkannya untuk istirahat. Jangankan memiliki waktu pacaran seperti remaja-remaja pada umumnya, untuk keluar bersama teman saja ia perlu berpikir karena tidak ada uang. Memiliki dua adik yang masih bersekolah akhirnya bisa membuatnya sadar, kalau ia pergi ke Jakarta bukan untuk menc
"Beruntung banget gue, hari ini dapet shif malam." Tarisha mengecek barang-barangnya sambil menuruni motor yang dikendarai Suci. Pandangannya langsung mengarah pada bangunan gedung kampus yang sangat mewah baginya. "Baik-baik lo belajarnya, inget meskipun biayanya lo nggak minta orang tua lo, seenggaknya lo bisa sadar posisi. Kita cuma kaum rendahan." Begitu wejangan Suci ketika Tarisha mulai membuka map coklat persyaratan daftar ulangnya. Tidak ada respon sama sekali. "Nah kan, budek lu!" kesal Suci. "Heran gue, dandanan lo udah kayak anak Jakarta gaul gini, tapi pendengaran nggak juga lebih sehat dikit." Baru saja Tarisha menyelesaikan aktivitas, begitu saja tanpa peduli apapun perkataan Suci yang sebenarnya bisa ia dengar dengan jelas. Ia mengecek jam di handphone, sekadar basa-basi untuk menghindari wejangan yang menurutnya tidak penting dari sahabat karibnya. Taris
Seperti sebuah kejutan bagi Tarisha setelah Suci mempertanyakan hal konyol waktu kemarin. Menjadi rebutan dua laki-laki tampan, kuncinya hanya perlu satu, mengaca. Terlepas apapun masalah yang terjadi kemarin, tidak akan membuat prinsipnya goyah. Memorinya masih ingat betul, bagaimana ia banyak dihina karena terlahir dari keluarga saja yang biasa saja. Bukan tidak mungkin. Hidup di Indonesia minimal harus good looking atau kaya kalau mau dihargai. Kediri, salah satu kota di tanah Jawa yang menjadi tanah kelahirannya. Sekaligus menjadi kota di mana ia dipertemukan dengan sosok sahabat seperti Suci yang tidak akan pernah lelah mengingatkannya untuk istirahat. Jangankan memiliki waktu pacaran seperti remaja-remaja pada umumnya, untuk keluar bersama teman saja ia perlu berpikir karena tidak ada uang. Memiliki dua adik yang masih bersekolah akhirnya bisa membuatnya sadar, kalau ia pergi ke Jakarta bukan untuk menc
"Saya nggak tau kenapa satu kampus bisa seheboh itu."Tarisha dan dua laki-laki idola sekolah itu dipanggil ke ruang Dekan untuk memberikan keterangan terkait keributan hari ini. Bahkan tanpa harus mengatakan pun, setiap mahasiswa di sana akan heran bagaimana keributan sepele ini bisa terjadi hanya karena satu mahasiswi baru."Saya maklumi, karena kamu memang mahasiswi baru. Tapi—""—Saya aja bingung Pak, kenapa mereka berantem padahal cuma perkara minuman doang."Dekan mengangguk sambil memainkan kedua tangannya di depan mulut dan hidungnya. Matanya terus mengintai detail dari ketiga mahasiswa dari kampusnya itu."Dan karena kamu memang mahasiswi baru, jadi sudah sangat maklum kalau kamu mungkin belum tau bagaimana perselisihan antara dua laki-laki di antara kamu ini, Tarisha."Tarisha sangat tidak bisa memahami kalimat dari Dekan yang terkesan m
"Beruntung banget gue, hari ini dapet shif malam." Tarisha mengecek barang-barangnya sambil menuruni motor yang dikendarai Suci. Pandangannya langsung mengarah pada bangunan gedung kampus yang sangat mewah baginya. "Baik-baik lo belajarnya, inget meskipun biayanya lo nggak minta orang tua lo, seenggaknya lo bisa sadar posisi. Kita cuma kaum rendahan." Begitu wejangan Suci ketika Tarisha mulai membuka map coklat persyaratan daftar ulangnya. Tidak ada respon sama sekali. "Nah kan, budek lu!" kesal Suci. "Heran gue, dandanan lo udah kayak anak Jakarta gaul gini, tapi pendengaran nggak juga lebih sehat dikit." Baru saja Tarisha menyelesaikan aktivitas, begitu saja tanpa peduli apapun perkataan Suci yang sebenarnya bisa ia dengar dengan jelas. Ia mengecek jam di handphone, sekadar basa-basi untuk menghindari wejangan yang menurutnya tidak penting dari sahabat karibnya. Taris