Tidak sengaja, Rosa melihat ke sebuah tempat makan transparan di atas meja pria itu. "Kau membawa bekal?"David tersenyum manis seraya melirik sekilas ke arah tempat makan itu dan wajah Tiffany langsung membayanginya, "Ya, Tiffany membuatkan nasi goreng untukku, tadi aku yang lebih dulu memasaknya, tapi karena keasinan jadi Tiffany yang membuatnya kembali. Masakannya sangat enak, kau ingin mencobanya nanti?"Rosa tersenyum tipis, kedua tangannya yang terkepal ia sembunyikan di balik dress selututnya, "Tak apa, itu bekalmu dan dibuatkan khusus untukmu. Kapan-kapan aku juga akan membuatkannya untukmu. Bagaimana?""Boleh saja, jika kau mau, kau bisa mengajak Tiffany. Masakannya juga tak kalah enak denganmu."Kepalan tangan itu semakin kuat, tak banyak bicara lagi, ia segera berjalan menuju ruangannya dengan hati yang benar-benar berkecamuk."Rosa?"David menghampiri dan kini sudah berdiri depannya, wajahnya menyiratkan rasa khawatir."Kau kenapa? Wajahmu sangat pucat. Kau sedang sakit?"
Rosa mengerang tertahan saat bagian bawahnya kini malah semakin bertambah sakit. Keringat dingin mengucur deras di keningnya. Padahal, ruangan saat itu sudah menggunakan pendingin ruangan. "Tidak, sakit ini bukan di perut. Astaga, apa yang terjadi padaku?" Rosa mencengkeram ujung meja. Sungguh, memangnya apa yang ia lakukan selama mabuk, ini benar-benar menyiksa.Tak lama, ia mengingat jika ia selalu membawa obat pereda nyeri yang ia letakkan di dalam laci. Rosa segera meminumnya dan seketika saja rasa sakitnya perlahan berkurang."Rosa?"Gadis itu mendongak dan berusaha menampilkan senyumannya."Kau ingin ke rumah sakit?""Tidak, ini hanya masalah pada wanita. Memang, terkadang aku sulit menahannya.""Sebenarnya, aku tidak mengerti. Tapi, aku harap kau baik-baik saja."David mengusap lembut surai panjang milik Rosa. Dan, itu membuat sang gadis membatu di tempat, hanya dengan sentuhan kecil saja sudah berhasil membuat degup jantungnya berdetak kencang.Setelah itu, David kembali kelu
"Philip?""Tiffany? Kau ingin kemana?""Tanganmu." Tanpa menuju persetujuan dari sang empunya, Tiffany memegang begitu saja untuk melihat luka itu. "Ini harus segera di obati.""Sebentar, sepertinya aku ada plester. Ah, apa kau ada sapu tangan?"Philip mengangguk, ia memberikannya pada Tiffany, "Ini."Tiffany membersihkan darah dari luka itu hingga hanya menyisahkan sedikit saja, ia mengambil plester dari saku jas putihnya dan menutup luka Philip agar tidak terjadi infeksi."Sudah selesai, dengan seperti ini kau tidak akan infeksi. Akan berbahaya juga jika kau ingin memeriksa pasien."Philip tersenyum tipis, "Terima kasih.""Kau ini memang tidak pernah tersenyum lebar, ya?"Philip yang dikata seperti itu hanya berkedip tidak mengerti, "Apa maksudmu?""Ah, tidak. Lupakan saja. Kalau begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa nanti."Setelahnya, tubuh ramping Tiffany menghilang dari balik lift. Philip masih memperhatikan gadis itu hinggap pandangannya jatuh pada plester di tangannya. Plester
Setelahnya, David kembali masuk dan melihat Rosa yang sudah selesai dengan makan malamnya."Eh, sudah habis?" Rosa mengangguk."Kau pasti ingin menjemput Tiffany, kan? Makanya, aku ingin cepat-cepat menyelesaikan makan agar bisa segera pulang dan memesan taksi.""Tidak perlu, kau akan pulang bersamaku.""Benarkah? Lalu, bagaimana dengan Tiffany? Aku sungguh tidak enak padanya.""Dia akan menyusul. Aku juga sudah memberitahunya bagaimana keadaanmu sekarang. Jadi, kau tidak perlu khawatir.""Ah, Tiffany memang gadis baik. Kau sangat beruntung memilikinya."David terkekeh, "Ya, aku sangat beruntung dapat bertemu dengannya."Rosa hanya tersenyum tipis mendengar itu, dari balik selimutnya, satu tangannya kembali terkepal kuat. Baru saja, ia merasakan bahagianya bersama David, kini sudah ada saja yang menjadi pengacau. Benar-benar menyebalkan."Rosa? Kau sudah lebih baik?"Rosa mengangguk, "Ya, aku sudah lebih baik. Aku ingin segera pulang.""Baiklah, aku akan memanggil dokter lebih dulu un
"Tidak masalah, kau ini adalah sahabatku dari kecil. Jadi, aku tidak mungkin meninggalkanmu begitu saja. Lagipula, kita memang satu tempat kerja. Sudah seharusnya, aku menolongmu."Wajah Rosa yang semula nampak sumringah kini kembali mendadak suram, ia tersenyum miris mendengar lontaran ucapan David yang sungguh menganggapnya hanya sebatas sahabat."Kau sudah jauh lebih baik?"Rosa mengangguk, "Kau ingin makan malam dulu? Aku bisa memesankan makanan untukmu."David menggeleng, "Tidak perlu, Tiffany akan datang ke apartemenku, dia akan membawakan makan malam.""Oh, begitu. Sepertinya, di luar sangat mendung, sebentar lagi pasti akan hujan. Sebaiknya, kau di sini saja dulu."Philip lagi-lagi menggeleng, "Tidak perlu, Rosa. Tiffany akan datang, jadi sebaiknya aku kembali ke apartemenku. Lagipula, keadaanmu sudah lebih baik, kan?"Rosa terdiam mendengar itu, dalam hati ia merutuki ucapannya barusan, seharusnya biar saja ia pura-pura sakit."Sudah malam, lebih baik kau istirahat saja. Aku
"Kau sudah menunggu lama?"Tiffany menggeleng cepat, "Tidak, aku baru saja datang."Senyuman David semakin lebar, meski Tiffany adalah sosok gadis dewasa, namun tingkahnya masih sangat menggemaskan, ia mengacak rambut panjang gadis itu."Baiklah, ayo masuk."Tiffany yang hendak menghambur pelukan pada David sontak terhenti saat ia melihat sesuatu yang ada pada kemejanya."Kenapa berhenti? Kau tidak ingin memelukku?"Tiffany langsung mengubah raut wajah, "Aku tidak mau, kau bau keringat."David terkekeh mendengarnya, "Ey, bau seperti ini juga kau sayang padaku.""Tidak." Tiffany menjulurkan lidahnya, bermaskud menggoda pria itu."Yakin?""Sudahlah, lebih baik kau mandi lebih dulu, setelah itu kita akan makan malam bersama.""Baiklah, aku mandi dulu." David berjalan mendekat dan mengecup singkat kening Tiffany hingga ia semakin jelas melihat noda itu."Noda lipstik?" gumamnya dalam hati seraya melihat David yang sedang membuka kemejanya dan meletakkannya pada tempat pakaian kotor."Davi
Tiffany keluar dari bilik kamar dengan piyama bermotif panda kesukaannya. Di meja makan, sudah ada David dengan dua nasi goreng yang masih mengepulkan asap. "Tiffany, kemarilah. Ayo, kita makan. Tidak enak jika sudah dingin."Kakinya berjalan mendekat dan duduk di hadapan David yang menampilkan senyum manisnya pada Tiffany. Dalam hati, ia tidak hentinya mengagumi sosok pria itu, lihat saja lesung pipinya, benar-benar menggoda."Makanlah. Kau sudah membelinya, masa tidak kau makan. Ayo, makan."Tiffany tersenyum lalu mengangguk. Ia mulai memakan makan malamnya. Namun, David masih menyadari perubahan raut wajah Tiffany yang tidak seperti biasanya lepas melihat noda lipstik di kemejanya. "Tiff?""Hm?""Kau baik-baik saja? Kau masih memikirkan lipstik itu?"Pergerakan tangan Tiffany yang hendak menyendok satu suapan kini terhenti, ia menatap David dengan raut wajah yang gelisah dan nampak tak nyaman."Aku sudah katakan padamu, tidak ada yang terjadi antara aku dan Rosa. Aku hanya mencin
"Kau sedang apa di sini? Bukankah, kau satu tempat kerja dengan David? David saja belum bersiap-siap.""Ah, aku sedang menunggu taksi, sama sepertimu. Kau mungkin sudah tahu dari David jika kemarin aku hampir saja pingan di proyek. Makanya, aku datang sepagi ini untuk menyelesaikan pekerjaanku agar lebih cepat."Tiffany hanya mengangguk paham. Dari raut wajah Rosa tidak ada yang nampak aneh ataupun mencurigakan. Semuanya nampak normal. Mungkin, benar apa yang dikatakan David, noda lipstik itu hanyalah ketidakseimbangan."Ah, ya, Tiffany. Jangan lupa nanti malam."Tiffany mengangguk, "Ya, aku akan membawa temanku satu lagi. Kau tidak keberatan, kan?""Temanmu? Justru, tidak. Malah sepertinya semakin seru jika aku juga mendapatkan kenalan baru."Setelahnya, mereka tersenyum yang dilanjutkan dengan ucapan basa-basi."Nanti, biar aku saja yang ke rumah sakit, kebetulan juga rumah sakitmu searah dengan mall-nya."Tiffany mengangguk, "Baiklah, kabari saja nanti."Rosa mengangguk, setelahnya