Tiffany berjalan menyusuri lorong seraya meminum susu pisang kesukaannya. Pagi ini, rumah sakit sangat padat karena semalam baru saja terjadi badai yang lebat di salah satu daerah Jakarta. Bahkan, Tiffany dapat melihat kursi tunggu yang biasanya masih tersisa kini sudah penuh hingga ke luar loby. Pintu lift terbuka, Tiffany segera masuk. Sama seperti keadaan di luar, di dalam lift juga sangat padat hingga membuat tubuh ramping Tiffany terhimpit. "Susu pisang? Dari temanmu?"Tiffany mendongak dan ia baru saja menyadari bahwa kini tubuhnya berdempetan dengan Philip bahkan terlihat tidak ada jarak antara mereka."Philip? Ah, ya. Aku masih menyimpannya." Tiffany agak risih dengan jarak mereka, yang lebih kesal lagi, setiap Tiffany ingin menjauh sedikit pasti ada salah seorang yang mendorongnya hingga membuat dia seolah terjatuh dalam pelukan Philip."Diam saja, ini akan semakin padat. Tahanlah sebentar." bisik Philip tepat di telinga Tiffany. Dan, mau tak mau gadis itu hanya menuruti sa
salsha berdecak, akibat bencana alam yang terjadi kemarin membuat beberapa lokasi harus di tutup sementara dan terbitlah kemacetan yang panjang. di sampingnya, ada matthew yang nampak asik dengan playlist lagu kesukaannya seraya bersenandung kecil. sedangkan, salsha semakin tidak bisa di tempatnya, ia nampak gelisah bahwa sebenarnya ia sudah ada janji temu dengan salah seorang pasien."tenanglah sebentar, kau bisa mengabari pihak rumah sakit jika kau sedang terjebak macet."salsha mengangguk, ia melakukan apa yang dikatakan matthew."masakanmu tadi cukup enak, mungkin kau kurang garam saja. selebihnya, aku cukup puas."salsha memutar bola matanya malas, sudah dibuatkan dan malah banyak komentar."kau ini sudah tinggal makan saja. jadi, tidak usah banyak komentar. paham?""baiklah, besok aku ingin mau buatkan aku bubur ayam. harus enak dan rasanya juga pas seperti bubur ayam biasa.""bubur ayam? kau gila? kau ingin gula darahku naik selalu membuatku emosi seperti ini?"tidak ada sahut
Salsha sedang duduk di depan salah satu toko mainan seraya meminum kopi hangatnya, tangannya sedang memegang ponsel yang menampilkan penampilan Matthew di salah satu kafe secara live. Seperti biasanya, lagi-lagi pria itu berhasil menghipnotis kalangan anak muda di sana."Salsha." Salsha segera mematikan ponselnya saat ia mendengar suara Tiffany sudah ada di sebelahnya."Maaf aku sedikit terlambat.""Tidak masalah, aku juga belum lama sampai.""Sal, perkenalkan ini Rosa, temanku, sahabatnya David dari kecil. Rosa, ini Salsha, dia sepupuku."Salsha sedikit terkejut melihat Rosa, namun ia menyembunyikannya dan memilih biasa saja selayaknya orang yang baru kenal."Kalian sudah mengenal lama?" Salsha bertanya serta terus memperhatikan Rosa. Ia tidak salah orang, pikirnya."Lumayan, kami kenal juga karena Tiffany kekasih sahabatku, David.""Ah, begitu. Kalian ingin makan malam dulu? Ini sudah jam tujuh.""Boleh."Setelahnya, mereka berjalan menyusuri mall, mencari tempat makan yang sekira m
"Memangnya, apa yang tiba-tiba membuatmu berpikir seperti itu? Dulu, kau bahkan yang menyuruhku berangkat bersama dengan Tiffany? Lagipula, apa aku memiliki riwayat perusak hubungan kalian? Ayolah, kenapa mau bertindak kekanakan sekali? Kau harus memikirkannya lebih dulu sebelum kau mengambil asumsi semua ini.""Aku percaya dengan kalian. Tapi, aku tidak benar-benar percaya karena aku tidak melihatnya langsung.""Kau ingin melihat apa? Astaga, David. Sudahlah, aku sudah lelah menjelaskannya padamu. Aku tahu kau sangat mencintai Tiffany. Justru, kaulah yang harus berhati-hati pada Rosa.""Apa maksudmu membawa Rosa?"Philip mengusap wajahnya gusar, "Kau ini terlalu bodoh atau bagaimana? Rosa mencintaimu sejak dulu, saat kau dan dia masih kecil. Dia tidak suka melihatmu bersama Tiffany. Apa kau tidak aneh akhir-akhir ini dengan gelagat Rosa dan juga perubahan tingkah Tiffany? Kalian baru saja bertengkar, bukan?""Rosa? Tidak mungkin-""Tidak ada yang tidak mungkin, David. Kau harus membu
"Kau masih ingat bagaimana prianya?"Salsha mencoba mengingat kembali, "Sedikit. Aku ingat rambutnya."Tiffany dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang berisi enam pria yang sedang tersenyum lebar di tengah-tengah lapangan baseball, lengkap dengan pakaian juga sebuah piala di sana."Apa ada di salah satu pria ini?"Salsha mengamatinya dengan teliti hingga ia merasa familiar dengan seorang pria di tengah-tengah, "Ini! Dia orangnya."Itu, Gilang.Setelahnya, Tiffany tidak banyak bicara, ia hanya diam mencoba mencerna apa yang terjadi selama ini. Mendapati hal ini, rasa curiga yang tadi sempat terpendam kini muncul kembali, ia menggali ingatannya dengan beberapa kejadian yang melibat Rosa belakangan ini. Gadis itu memang selalu hadir menjadi topik pertengkaran ia dan David hingga berujung salah paham."Tiffany, jika aku boleh menyarankan, kau harus berhati-hati dengan dia. Kau jangan terlalu percaya padanya. Dia memang sahabat David, tapi dia tetap orang asin
"Kau tidak ikut bermain?"Tiffany menoleh, Rosa sudah di sampingnya sedang mengikat rambut. "Tidak, aku tidak bisa bermain baseball.""Oh, benarkah? Padahal, David sangat menyukai permainan olahraga ini. Dari kecil, dia sudah sangat jago dan berlatih setelah pulang sekolah. Aku juga bisa bermain baseball karena David." Rosa berkata dengan senyumannya."Lebih menyenangkan jika kau bisa bermain baseball dengan seseorang yang kau sayangi, bukan?" Rosa melanjutkan dengan nada yang sedikit berbeda, seolah menyudutkan Tiffany.Tidak ada respon apapun yang diberikan Tiffany, ia hanya diam seraya memperhatikan Rosa yang tengah tersenyum miring ke arahnya seraya berjalan menuju sekumpulan pria itu. Di tempatnya, Tiffany hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang asik bermain. Meski pandangannya tertuju pada lapangan juga David, tapi pikirannya sedang mengambang, ia kembali mengingat kejadian semalam dengan Salsha. Bukan hal yang tidak mungkin jika Rosa menaruh perasaan pada David, mereka sud
"Tiffany, kau ingin keluar? Aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka." "Baiklah. Sepertinya, udara di luar lebih sejuk." Tiffany merasakan hal yang sama, bau ruangan itu sudah bukan lagi aroma lezat makanan tapi sudah didominasi aroma minuman alkohol, ia tidak menyukainya.Tanpa berpamitan lagi pada David, Tiffany segera menyusul Rosa yang sudah lebih dulu keluar. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sebuah danau kecil dengan beberapa pohon rindang di pinggirnya, gemerlap lampu yang temaram membuat suasana semakin nyaman dinikmati.Kedua gadis itu terus berjalan hingga mereka akhirnya tiba di sebuah jembatan kecil yang digunakan untuk menyebrangi sungai. Memang, di seberang sana ada kandang kuda dan juga lapangan golf. Besar sekali memang rumah Zelo. "Aroma parfummu sama sepertiku." Tiffany menyeletuk saat ia tidak sengaja mencium bau badan Rosa."Benarkah? Aku memakai parfum Channel no 5.""Benar! Aku juga memakainya, pemberian dari David."Rosa terkekeh, "Sepertinya, it
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub