Fasha masih gemetar. Tangannya yang menggenggam tangan Beatrice masih berkeringat. Ia terlalu senang dengan kenyataan bahwa Alexant ternyata mengenalnya. Berpuluh tahun dia tinggal dan bekerja di sini, bahkan dia rela tidak menikah hanya untuk mendampingi Selena, dia tidak pernah berpikir jika putra mahkota mengenalnya. Dia tidak pernah tahu jika putra mahkota juga memperhatikannya. Sungguh, ini seperti mimpi, dan dia tidak ingin terbangun. Seandainya saja Beatrice tidak memekik karena terlalu gembira, dia tidak akan mungkin kembali ke alam sadar. Fasha meliriknya, tersenyum melihat wajah bahagianya. Beatrice berhak mendapatkannya –perhatian Alexant, setelah tidak mendapatkan apa pun dari ibunya. "Kau pasti sangat senang."Beatrice mendongak menatap Fasha. Kepala pirangnya mengangguk. Dia belum bisa menjawabnya, masih ingin tersenyum saja. Fasha menggeleng pelan beberapa kali. Senyum kembali menghiasi bibirnya. Dia memaklumi, sebagai seorang yang tidak pernah memiliki seorang teman
Langit malam ini sangat indah. Cerah dan dihiasi taburan bintang. Kejora berkelip manja di bagian timur langit, seperti mata seorang gadis yang menggoda pemuda kecintaannya. Angin bertiup semilir, nyaris tak terasa di kulit meski tidak tertutup apa pun. Satu kata untuk malam ini, sempurna. Crystal duduk di pangkuan Astrid di balkon kamar tidurnya. Sejak selesai makan malam mereka duduk di sana, memandangi langit yang terlihat lebih indah dari biasanya. Mereka meninggalkan Edmund di ruangannya bersama salah seorang temannya, seorang bangsawan dari kota. Pria itu sebulan sekali pasti datang ke kediaman mereka di Rainbow Hill, menceritakan segalanya yang terjadi di kota pada Edmund. Obrolan yang tidak terlalu penting itu biasanya akan berakhir setelah lewat tengah malam, disambung besok ketika dia kembali berkunjung. Mereka –para wanita– tidak pernah tertarik dengan obrolan mengenai politik semacam itu. Astrid selalu membawa Crystal menjauh –biasanya ke kamar tidurnya, dan menemaninya
"Jangan pernah sekali-kali lagi kau mencoba untuk belajar bersama Pangeran Alexant." Selena menggeram tertahan. "Cukup Fasha saja yang mengajarimu, kau tidak memerlukan guru yang lain!" Dengan kasar Selena mengempaskan lengan Beatrice yang dicengkeramnya. Ini sudah keterlaluan! Apa yang dilakukan Beatrice sangat memalukan. Bisa-bisanya dia kembali kedapatan berada di perpustakaan pribadi raja, bersama Alexant yang sedang belajar ilmu alam. Ini sudah yang kesekian kali. Lord Damian –guru ilmu alam Alexant– sudah dua kali melaporkan padanya tentang masalah ini. Begitu juga dengan Madam Petrova. Guru etika dan tata krama itu mengeluhkan kehadiran Beatrice di perpustakaan. Katanya, Beatrice mengganggu dan sulit untuk diajari tata krama. Madam Petrova tidak mengusir Beatrice seperti yang dilakukan guru-guru Alexant lainnya, dia justru mengajarinya. Sayangnya, Beatrice tidak pernah bisa melakukan seperti yang diperintahkannya. Tidak bisa berjalan anggun selayaknya wanita bangsawan, atau
Sunyi, senyap, tak terdengar suara, bahkan helaan napas. Ruangan luas ini seolah meredam semua bunyi-bunyian yang ada. Beatrice menggigil di tempatnya, di kaki sofa tempat Selena menghempaskannya. Dia tidak berani bergerak sejak beberapa saat yang lalu, posisinya tetap sama. Kedua tangan memeluk lutut, kepalanya terbenam di antara kedua lutut, menunduk dalam-dalam sehingga hanya sebuah gundukan berwarna pirang yang terlihat, dan bahu mungil yang bergetar. Beatrice menangis tanpa suara saking takutnya dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Mama.Tidak ada yang lebih mengerikan dari ancaman Mama barusan. Berpisah dari Alexant merupakan mimpi buruk baginya, dia tak ingin itu terjadi. Alexant adalah segalanya, bersama Alexant selamanya adalah mimpinya. Jika harus dipisahkan dari Alexant, lebih baik mati rasanya. Mungkin terlalu berlebihan bagi seorang anak yang masih berusia sepuluh tahun untuk berpikir tentang kematian dan lain sebagainya. Masalah itu adalah masalah orang dewasa, t
Alexant celingukan, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri berkali-kali seperti sedang mencari sesuatu. Sudah sejak beberapa menit yang lalu ia melakukannya, sampai sekarang pun masih. "Ke mana Beatrice? Kenapa aku tidak melihatnya akhir-akhir ini?"Pertanyaan itu terlontar dari mulut Alexant setelah ia tidak juga menemukan yang dicarinya. Beatrice Llyod menghilang dari pandangannya sepuluh hari terakhir, dan itu sangat mengganggunya. Ia mengkhawatirkannya, takut jika terjadi sesuatu yang tidak-tidak padanya. Beatrice jelas-jelas tersiksa dengan sikap Ibu kandungnya yang selalu menyalahkannya atas semua hal buruk yang terjadi. Namun, di depannya dia selalu berusaha tersenyum dengan sewajarnya. Jujur saja, Alexant sudah terbiasa dengan kehadiran Beatrice dalam dua tahun terakhir. Beatrice yang selalu bersemangat dan pantang menyerah membuatnya tidak menyerah pada waktu. Iya, ini menyangkut Crystal. Ia hampir menyerah padanya karena berkali-kali mencari, tetapi tak pernah menemukan.
Sepuluh hari, dan itu bukan waktu yang sebentar bagi Beatrice. Rasanya seperti sepuluh abad. Meskipun dia tidak tahu apa itu sepuluh abad, tetapi dia yakin pasti hitungan waktu yang sangat lama. Itulah yang dirasakannya sekarang. Setiap menit, setiap detik berlalu dengan sangat lambat. Tanpa ada Alexant semuanya terasa tidak menyenangkan. Semangatnya hilang, selera makannya berkurang. Dia sangat ingin bertemu Alexant, tetapi takut pada ancaman Mama. Dia tidak ingin berpisah dari Alexant, ingin terus bersamanya, ingin terus berada di dekatnya. Meskipun mereka tidak bisa bertemu, dia rela, asal tinggal di satu atap yang sama. Dia akan menahan semua rasa sakitnya, asalkan bisa mendengar kabar tentang Alexant setiap harinya. Hari kesepuluh sudah berjalan menuju akhir. Matahari sudah berada di sebelah barat sejak beberapa menit yang lalu, beberapa jam lagi kedudukannya akan digantikan oleh bulan. Beatrice mencoba untuk melangkah keluar. Dia membuka pintu kamar dengan hati-hati, melongok
"Kita tidak bisa melanjutkan mencari Beatrice sekarang, George. Jenderal Wallace pasti sudah menunggu kita."George tersentak. Kenapa ia baru menyadarinya? Alexant benar, sekarang adalah jam mereka berlatih. Para orang dewasa –termasuk ayahnya– pasti berpikir apa yang mereka lakukan tidak penting. Keselamatan seorang anak yang bukan anak mereka, bukanlah urusan mereka. Tidak akan ada yang peduli pada Beatrice, meskipun seandainya Selena menyiksanya. Apalagi, yang melakukan itu adalah ibu kandungnya sendiri, tidak akan ada yang mau ikut campur. Semua orang di istana ini berlomba hanya untuk keselamatan dan kepentingan mereka. George hanya berharap ayahnya tidak termasuk ke dalam golongan itu, yang hanya mementingkan diri sendiri. "Baik, Yang Mulia. Maafkan saya!" pinta George sambil masih terus mengikuti langkah Alexant yang semakin lebar saja. Bahkan sekarang mereka sudah setengah berlari. Entah apa yang terjadi, tetapi langkah kaki Alexant semakin cepat menuju taman bagian selatan
"Kau tidak apa-apa, Beatrice?" tanya Alexant. Tangannya berada di bahu Beatrice yang bergetar. Beatrice masih menangis, pipinya yang pucat basah oleh air matanya, padahal Selena dan Fasha sudah tidak berada bersama mereka lagi. Kedua wanita tersebut sudah meninggalkan taman sejak lima belas menit yang lalu. Namun, Beatrice masih terus saja menangis, tubuhnya juga masih gemetar. Tidak ada jawaban, Beatrice masih belum menemukan suaranya. Dia hanya bisa mengangguk, itu pun dengan gerakan yang kaku. Dia masih menggigil. Suara Mama yang mengguntur dan tindakannya yang hampir menamparnya masih belum dapat dilupakannya. Keringat masih membasahi pelipis dan leher Beatrice, padahal angin sore berembus semilir, tidak akan membuatmu berkeringat. Air mata juga tidak bisa berhenti keluar, dia sudah mencoba untuk menghentikannya, tetap tidak bisa. Dadanya semakin sesak jika dia mencoba untuk menahannya. "Kau tidak perlu takut lagi, Beatrice. Kupikir, Selena tidak akan berani lagi mengganggumu.
Hutan di gunung Bond masih liar, tak ada seorang pun dari penduduk Namira yang berani memasukinya. Gunung Bond sendiri merupakan tempat terlarang bagi mereka karena tidak ada orang yang pernah kembali jika menginjakkan kaki ke gunung paling tinggi di Namira. Fasha sudah pernah mendengar akan hal itu, juga gosip yang diembuskan oleh para prajurit dan warga tentang adanya mahluk mengerikan yang mendiami dan menjaga gunung Bond. Dia yakin, alasan kenapa orang-orang yang tidak pernah pulang lagi itu disebabkan mereka tersesat. Orang-orang itu tidak bisa menemukan jalan pulang karena hutan di gunung ini yang terlalu lebat. Jika memang ada makhluk buas seperti yang dikatakan orang-orang itu, pastilah sekarang mereka sudah berada di dalam perutnya. Buktinya, sampai sekarang mereka yang berada di sini baik-baik saja. Hanya saja, mereka tidak bisa pulang karena tidak bisa menemukan jalan pulang lagi. Prajurit yang membawa mereka ke sini sudah pulang. Prajurit itu juga yang sudah membawa Ime
Bukit pelangi. Begitu Crystal dan teman-temannya menyebut bukit yang terletak di belakang kediaman keluarga Mars. Bukit itu tidak terlalu terjal jika ditempuh melewati jalan setapak yang berada di samping kanan kediaman keluarga Mars. Jalan yang beberapa hari ini selalu dilalui oleh Alexant untuk mencapai bukit, sampai-sampai ia hafal dengan kondisi jalan itu. Batu-batu kerikil yang tersebar di sepanjang jalan membuat jalanan selebar satu meter itu seperti jalanan menuju taman. Ilalang yang tumbuh di kanan dan kirinya membuat jalan tak terlihat dari jauh. Bisa dikatakan jalan ini tersembunyi, termasuk dari sinar matahari. Meskipun sudah hafal di luar kepala, Alexant tetap berusaha memetakan pemandangan terakhir jalan setapak ini, di dalam memori otaknya. Sesekali ia memejamkan mata, tetapi lebih banyak menarik napas dan mengembuskannya melalui mulut, tanpa suara karena ia tak ingin George yang selalu setia mengikuti ke mana pun ia pergi, mendengar suara desahan napasnya. Ia tak ing
"Bisakah kita tidak kembali ke istana hari ini, George?" Pertanyaan pertama Alexant setelah keheningan menguasai mereka beberapa saat lamanya. "Bisakah kita terus berada di sini dalam dua tahun ini? Masalahnya aku ...." Jeda. Ia mengibaskan kedua tangan dengan kacau. "Aku masih belum ingin pulang, aku tidak bisa. Aku tidak ingin meninggalkan Crystal lagi.""Saya pikir tidak bisa seperti itu, Yang Mulia!" George berseru mendengar permintaan Alexant. "Baginda Raja...!"Alexant memotong perkataan George dengan mengangkat tangan kanannya. Ia tak ingin mendengar apa pun saat ini, apalagi yang berhubungan dengan istana. Berbicaralah padanya tentang Crystal atau katakan padanya jika mereka tidak ke mana-mana, tetap di sini saja maka ia akan membiarkan. "Untuk apa kau berdiri di sana, George?" tanya Alexant datar. Tangannya memijit pelipis kemudian mengusap wajah. "Masuklah!" pintanya sambil menggerakkan kepala meminta sahabat sekaligus pengawal pribadinya untuk masuk. Tak perlu diminta dua
Tak ada seorang pun yang ingin berpisah dari orang yang dicintai. Apalagi, jika baru saja bertemu setelah berpisah selama tujuh tahun. Alexant memeluk Cristal erat, rasanya tak ingin melepaskannya. Seandainya saja bisa, pasti dia akan membawanya ke istana sekatang juga. Persetan dengan peraturan bodoh kerajasn yang tidak memperbolehkan seorang putra mahkota menikah sebelum naik takhta. Ia tidak memerlukan takhta, tidak juga menginginkannya. Ia hanya menginginkan Crystal dan menghabiskan waktu hingga tua bersamanya. "Kenapa kau harus pulang dengan cepat? Apakah perburuan prajuritmu sudah selesai?" Crystal mendongak menatap Alexant saat bertanya. Meskipun saat ini dia duduk di pangkuannya, Alexant tetap lebih tinggi darinya. Ia memang sudah membohongi Crystal tentang perburuan itu, dan itu bukanlah sesuatu yang baik, Alexant menyadarinya. Hanya saja, saat itu ia tidak memiliki alasan lain lagi yang bisa digunakan untuk bisa berada di sampingnya. Alexant tak ingin berbohong, tetapi j
Pagi datang lebih cepat saat kita berada di tempat yang lebih tinggi, Beatrice merasakannya. Sudah dua hari ini dia menyaksikan matahari terbit lebih awal dari biasanya saat dia masih di istana. Hari jadi terasa lebih panjang dan semakin membosankan. Tak ada gadis seusianya di sini, yang ada hanya Nenek dan Bibi Fasha. Prajurit yang waktu itu pergi bersama mereka juga sudah tidak terlihat lagi, sepertinya dia hanya mengantarkan saja, tidak menetap di sini bersama mereka. Tidak apa-apa, dia justru mensyukurinya. Daripada prajurit itu juga ikut tinggal di sini bersama mereka akan membuat dia ketakutan saja. Selama ini hanya Alexant, laki-laki yang dekat dengannya. Dia tidak memercayai yang lainnya. Pengalaman buruk saat ayahnya masih hidup membekas sampai sekarang. Meskipun ayahnya tidak pernah berbuat kasar, tetapi Ayah selalu mabuk. Bahkan Ayah tewas karena mabuknya itu. Ayah yang sudah sakit keras terlalu banyak meminum alkohol sampai nyawanya tak tertolong. Kejadian itu membuatnya
"Bisakah kita tetap berada di sini beberapa hari lagi?" George dan Jerome Walker, prajurit yang memimpin tugas di Rainbow Hill, sudah menduga jika Alexant akan bertanya seperti itu. Cepat atau lambat dia pasti akan menanyakannya, seolah waktu satu minggu bersama Crystal masih kurang saja baginya. George memutar bola mata jengah. "Kupikir tidak bisa." Ia memalingkan muka hanya untuk menyembunyikan senyumnya. "Kita harus segera kembali ke istana, Yang Mulia. Sepuluh hari merupakan waktu yang lama bagi seorang pangeran meninggalkan istana." Alexant mendengkus kesal. "Aku baru beberapa hari di sini, George!" erangnya kesal. "Baru satu minggu, belum sepuluh hari seperti yang kau katakan.""Ditambah tiga hari selama perjalanan kita menuju ke sini, Yang Mulia.""Astaga!" Alexant memotong perkataan George tiba-tiba. Kepalanya langsung terasa berdenyut nyeri, dadanya panas seakan terbakar. "Lama di perjalanan tidak dihitung!" Ia mengibaskan kedua tangannya. "Lagi pula, George, kenapa kita h
Sejak dia tinggal di istana, Nenek juga tidak lagi bekerja. Mama secara rutin mengirimkan uang untuknya, juga untuk membayar pekerjaan gadis pelayan yang menemani Nenek. Sebab, tidak lagi bekerja di perkebunan tomat, Nenek tidak lagi memasak sup tomat. Sekarang makanan di rumahnya sudah berbeda, berbagai hidangan selalu tersedia di meja saat tiba waktu makan. Kehidupan Nenek lebih terjamin. Beatrice mensyukurinya, dia merasa sangat senang karena Nenek bahagia. "Kita ada di mana, Nek?" tanya Beatrice dengan alis berkerut tajam. Matanya menatap liar sekeliling kamar. Dugaannya jika dia tidak sedang berada di rumah Nenek, semakin kuat. Keadaan kamar ini berbeda, lebih sederhana dibandingkan dengan kamar tidurnya di rumah nenek. Tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah meja dan kursi yang kelihatannya sudah tua. "Apakah kita di rumah Nenek?" Imelda tersenyum melihat kepanikan di wajah cucu tersayangnya. Dia sendiri juga awalnya kaget ketika bangun tidur menemukan dirinya di tempat yang
Kicauan burung yang terdengar tajam di telinga membangunkan Beatrice dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk membiasakan penglihatannya pada cahaya yang masuk. Alam tampak terang benderang di tangkap indra penglihatannya.Beatrice mengucek mata untuk memastikan. Dia menggerakkan kepala ke arah kanan, segera memejamkan mata dan menaikkan tangan untuk melindungi wajahnya dari paparan sinar matahari. Hangat terasa, tetapi juga sangat menyilaukan. Keadaan yang berbeda setiap dia bangun pagi pada biasanya. Beatrice menjauhkan tangan, duduk perlahan. Sepasang alisnya berkerut merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Mulutnya tanpa sadar mengeluarkan ringisan. Dia baru bangun tidur, bahkan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Apa yang terjadi tadi malam masih belum diingat semuanya, masih samar-samar. Pagi ini dia merasa ada yang aneh. Entah keadaan kamarnya yang terasa jauh lebih terang dari biasanya –sinar matahari langsung masuk tanpa halangan apa pun– juga s
Beatrice mencoba untuk tidur lagi, dan berharap saat terbangun nanti semuanya hanya mimpi. Dia akan tetap berada di istana, berbaring di ranjang empuknya, di kamarnya bersama Bibi Fasha. Sayangnya, Beatrice tidak dapat tidur lagi. Meskipun sudah memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap melayang ke mana-mana. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran, tetap saja tidak bisa. Alexant memenuhi pikirannya. Dadanya bergemuruh, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terikat. Belum lagi dia berada di atas kereta kuda yang melaju kencang. Siapa yang dapat tidur dalam keadaan seperti dirinya saat ini? Air mata terus mengalir membasahi pipi Beatrice. Dalam hati dia terus berdoa semoga dia bisa keluar dari kereta ini dan bertemu dengan Alexant. Dia yakin Bibi Fasha berbohing saat mengatakan padanya tentang Alexant. Tidak mungkin Alexant memiliki gadis lain selain dirinya, hubungan mereka sangat dekat. Alexant selalu jujur padanya, jika ada seorang gadis yang mendekatinya, dia pasti akan berceri