“Tenang, Bu. Darren gapapa kok,” ujar Darren sambil menyunggingkan senyumannya dan menggenggam tangan Amina dengan lembut.Darren tahu, ibunya pasti sangat mendengar hal semacam itu, karena Amina tahu pasti bagaimana kejamnya Martano dan Buston menghabisi kedua orang tua Darren. Dahulu, berita kematian Rudi Zervano dan istrinya selalu menghiasi surat kabar dan televisi. Bahkan lebih dari dua bulan. Dan akhirnya lenyap bagaikan di telan bumi.“Bagaimana ibu bisa tenang. Sudah ibu katakan kamu harus hati-hati dengan Renata, bagaimanapun juga dia adalah anak satu-satunya dari Martano,” jawab Amina menatap Darren dengan pandangan yang khawatir.“Renata tidak ada hubungannya dengan ini, Bu. Jangan khawatir dengan Renata bersekongkol, walaupun mereka ayah dan anak. Tapi, hubungan keduanya tidaklah baik. Renata tidak akan ikut campur,” ujar Darren menjelaskan kepada Amina tentang Renata.Darren masih begitu yakin dengan Renata yang tidak akan melakukan hal semacam itu untuk membahayakannya.
"Apakah seserius itu?" tanya Darren dalam hatinya setelah Arras mematikan sambungan telepon tanpa salam.Darren benar-benar dibuat keheranan, karena sepertinya Arras juga sangat mengkhawatirkannya, sehingga meminta Darren segera menemuinya. Padahal Darren belum menceritakan secara keseluruhan tentang pertemuannya dengan Martano."Semua orang saat ini begitu takut saat aku berhubungan dengan Martano. Apakah wajahku ini begitu mirip papa, sehingga akan mudah dikenali oleh Martano?" tanya Darren sambil menatap wajahnya di cermin.Samar, dia tidak terlalu mengingat dengan jelas lagi wajah ayahnya. Sebab, kerasnya hidup selama ini membuat Darren terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Walaupun Darren masih menyimpan foto kedua orang tuanya. Namun, Darren merasa tidak tidak terlalu mirip.Darren menghela nafas berat, dan kemudian segera menemui seluruh karyawannya untuk melancarkan rencananya.Darren tahu apa yang dia sampaikan kepada para karyawan di rumahnya itu terdengar sangat konyol.
Arras menghela nafas berat. “Kita harus atur ulang semua rencana.”“Maksudnya? Kita akan percepat?” tanya Darren yang merasa tidak sabar untuk melihat kehancuran Martano dan Buston.Bagi Darren, selagi kedua orang itu masih bebas di luar sana, semua permasalahan belum selesai. Dan mereka berdua harus segera mendapatkan keadilannya.Arras menganggukkan kepalanya.“Saat ini perusahaan kamu juga sudah mulai normal. Keuntungan sudah mulai stabil, dan sudah siap masuk ke dalam dunia persaingan. Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang tahu siapa pemilik perusahaan itu, semuanya berjalan sesuai rencana,” ujar Arras yang kembali menikmati sarapannya dengan begitu nikmat.Bahkan di sela-sela obrolan seriusnya, Arras juga menceritakan kalau ubi rebus itu adalah sarapan yang paling disukainya. Karena hal itu mengingatkan perjuangannya dulu bersama ayahnya Darren selama di panti asuhan. Mereka sering kekurangan makanan, sehingga mereka selalu memanfaatkan lahan yang sempit menanam ubi yang bisa
"Menungguku? Astaga, ada apa lagi ini?" tanya Darren kesal.Darren masih mengamati ke sekeliling dari dalam mobilnya. Dia belum memutuskan untuk turun ataukah kembali pergi meninggalkan cafe. Alih-alih mau menenangkan diri di cafe tersebut, Darren malah semakin tidak tenang."Saya sudah menjelaskan kepada mereka kalau pak Darren tidak berada di cafe. Tapi, mereka ngotot mau menunggu. Dan mereka malah ada yang menanyakan alamat rumah pak Darren kalau kami tetap meminta mereka pergi," ujar Ninda pada menit berikutnya.Darren tidak sepenuhnya mendengar apa yang Ninda katakan, sebab saat ini dia sedang fokus mencari cara untuk melewati kerumunan itu."Baiklah, Ninda," jawab Darren yang terdengar putus asa."Apa yang bisa saya bantu, pak?" tanya Ninda yang merasa tidak enak kepada Darren karena tidak bisa berbuat apapun. Masalahnya memang tidak ada jalan lain untuk Darren masuk ke cafe tersebut selain melewati kerumunan itu
“Kami mendapatkan informasi dari Nana yang mengatakan kalau pak Darren yang akan menjelaskan semuanya. Karena menurut Nana, semua itu terjadi karena pak Darren yang terlalu ngefans dengan Nana sehingga melakukan segala cara untuk bertemu dengannya. Padahal Nana tidak pernah mengenal pak Darren.”Salah satu wartawan itu menjawab pertanyaan Darren, dan jawabannya sangat mengejutkan. Darren tidak pernah menyangka kalau Nana mengatakan demikian kepada wartawan. Seolah-olah Darren lah yang memancing emosinya.“Ini akibat TV di rumah tidak pernah dinyalakan semenjak berita itu mengganggu. Sekarang aku tidak tahu perkembangan mereka, dan tidak tahun klarifikasi dari wanita gila itu,” gumam Darren dalam hatinya.Darren menyunggingkan senyumannya, walaupun ada kemarahan di dalam hatinya dengan apa yan
"Darren hanya menjawab pertanyaan dari wartawan," jawab Darren sambil menyunggingkan senyumannya. Walaupun Darren tahu kalau Amina juga saat ini tidak bisa melihat senyumannya."Pertanyaan apa? Mengapa kamu jawab seperti itu, kasihan Nana," ujar Amina yang terdengar emosi mendengar jawaban yang diberikan oleh Darren.Amina merasa tidak enak dengan Anaya yang meneleponnya, dan juga mengatakan saat ini Nana marah dan emosi kepada Darren.."Tidak perlu kasihan sama orang seperti itu, Bu. Nana yang memulai, Darren hanyalah mengikuti permainan Nana. Dan membalas apa yang dia lakukan," jawab Darren kemudian.Amina menghela nafas berat. "Kenapa jadi seperti ini?"Amina merasa bersalah. Semua menjadi kacau dan serba salah. "Andai kemarin tidak ada perkenalan itu, semua tidak akan seperti ini," ujar Amina pelan.Amina terdengar seperti sedang menyesali semuanya, karena memang perkenalan Darren dan Nana berawal dari Amina. Awalnya Amina hanya berharap kalau perkenalan Darren dan Nana bisa beru
"Kau mau mencari masalah denganku?!" teriak seseorang yang baru saja masuk ke cafe Darren dengan tergesa-gesa dan penuh dengan kemarahan.Dia adalah Nana. Dia datang dengan wajah yang memerah karena marah. Entah dia sedang berada dimana, sehingga dia dengan begitu cepat datang ke cafe tempat Darren berada."Santai, Nana," ujar Darren sambil menyunggingkan senyumannya."Santai? Kau bilang santai? Setelah apa yang kau lakukan ini? Kau benar-benar membuatku muak, Darren!" teriak Nana sambil menunjuk wajah Darren dengan kemarahan yang memuncak.Darren melihat ke arah Nana dengan senyuman yang terkembang di bibirnya. Dia bahkan tidak berniat menjawab sedikitpun perkataan Nana.Darren menyeruput kopi di hadapannya dengan santai, sehingga membuat Nana semakin emosi."Kau…."Nana menahan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Padahal biasanya Nana tidak pernah menahan kata-katanya."Silakan duduk dan mati kita bicara dengan pelan," ujar Darren kemudian kepada Nana dan melihat kursi yang berada
"Hah? Apa untungnya bagiku?" tanya Darren heran dan memandang Nana dengan pandangan sinis."Karena kau berpikir bisa menikah denganku!" jawab Nana semakin ngawur."Astaga! Aku suka kau yang sangat percaya diri, tapi sayangnya kau berlebihan!" jawab Darren.Sementara itu Viko masih menatap Nana menuntut jawaban dari sang kekasih yang masih tampak marah-marah kepada Darren."Kalian jangan bertengkar, siapa yang bisa menjelaskan kejadian sebenarnya kepadaku?" tanya Viko yang kemudian menatap Darren dan Nana secara bergantian."Tontonlah pernyataanku kepada wartawan, itulah cerita yang sebenarnya," jawab Darren santai."Nana…," panggil Viko kepada Nana.Sepertinya Viko masih ingin mendengarkan penjelasan dari Nana. Darren tidak tahu hubungan seperti apa yang mereka jalani, bahkan Viko tidak tahu kalau orang tua Nana tidak menyetujuinya dan ingin menjodohkan Nana dengan orang lain."Kau sudah terpengaruh dengan orang ini, terserah kau mau percaya atau tidak sama aku!" jawab Nana berteriak