"Apaan sih?" tanya Renata sambil mendelik ke arah Darren. Sebab dia tahu kalau Darren sedang menggodanya."Aku serius. Aku datang kesini untuk melihat kamu bukan untuk belanja di butik," jawab Darren santai dan mengedipkan matanya.Renata melengos, Darren benar-benar berhasil membuatnya salah tingkah. Sebab, walaupun dia terlihat kesal kepada Darren. Tapi, di dalam hatinya merasa begitu senang saat tahu kalau Darren masih peduli dan datang menemuinya."Aku sibuk. Banyak pelanggan, Darren," jawab Renata kemudian."Aku akan menunggu sampai butik kamu tutup," jawab Darren santai."Dimana?" tanya Renata kemudian."Dimana saja boleh, yang penting kamu izinkan," jawab Darren.Renata menghela nafas berat, Darren mulai kumat keras kepalanya. Dan seperti biasanya, tidak akan ada orang yang bisa menyuruhnya pergi."Kamu tunggu di atas aja ya, soalnya saat ini Gina gak ada. Jadi, aku akan membantu melayani pelanggan. Karena banyak barang baru masuk, jadi pelanggan pada rebutan mau koleksi terbar
Mungkin kerinduan mereka yang memuncak, atau karena terbawa suasana malam yang dingin, keduanya saat ini sudah saling berhadapan, dan tidak tahu siapa yang memulai, keduanya saat itu sudah bercumbu dengan lembut dan berbagi oksigen."Terima kasih," ucap Darren sambil terus merapatkan tubuhnya kepada tubuh Renata. Dan tangan keduanya saat ini sudah saling meraba satu sama lain.Malam yang semakin dingin, keduanya masih berpagutan dan melupakan makanan hangat yang sudah dimasak oleh Renata. Karena saat ini keduanya masih saling menghangatkan.Renata menggigit bibirnya karena menahan suara panas yang akan terlepas dari bibirnya, karena tidak mampu menahan sentuhan tiap sentuhan yang lembut dari Darren."Lepaskan saja, sayang. Hanya aku yang mendengarnya," bisik Darren sembari berusaha melepaskan pengait yang berada di punggung Renata. Sedangkan baju yang menutupi tubuh Renata sudah terlepas sejak tadi.Akhirnya Renata benar-benar mengeluarkan suara desahannya kala Darren mulai mencapai t
"Astaga, Bu. Membuat aku terkejut saja," ujar Darren sembari memegang dadanya karena kaget."Jangan banyak alasan! Semalam kamu nginap tempat Renata? Kenapa telepon dan pesan dari ibu tidak mau gubris?" tanya Amina lagi dengan tegas.Darren tidak menjawab, dia hanya tersenyum dan memegang pundak Amina dengan lembut."Aku menginap di hotel, Bu. Rasanya malas banget nyetir karena sudah malam, akhirnya aku memilih untuk menginap di hotel saja," jawab Darren kepada Amina.Darren sengaja tidak mengakui kepada Amina dimana dia menginap. Karena sudah pasti akan memancing keributan, dan Amina akan menasehatinya sepanjang hari."Jangan berbohong!" bentak Amina. Sebab Amina begitu mengenal Darren, dan Amina juga sudah menganggap Darren adalah anak kandungnya. Dia tidak mau kalau Darren jatuh ke dalam kesalahan."Serius, Bu," jawab Darren mencoba membela diri.Sementara itu, Alisa yang mendekat ke arah Amina dan Darren tampak memberikan Darren kode dengan mengedipkan matanya dan memegang leher.
"Jadi, mama kamu melihat?" tanya Darren penasaran.Renata menggelengkan kepalanya. "Beruntungnya aku melihat kedatangan mama dan rombongan lebih dulu. Jadi, aku meminta kepada semua karyawan untuk mengatakan kalau pemiliknya gak ada jika ada yang bertanya."Darren mengelus lembut rambut sebahu Renata, dia sangat merasa takut kalau suatu saat Gia datang lagi ke butik dan bertemu dengan Renata secara langsung.“Kamu jangan terlalu sering muncul, karena suatu saat tetap akan terjadi lagi seperti ini. Aku bukannya melarang kamu bertemu dengan mamamu, tapi ini belum waktunya,” ujar Darren kepada Renata.Lambat laun, Renata dan Gia pasti akan bertemu. Sebab, usaha yang Renata geluti saat ini sasarannya adalah orang-orang kaya dengan gaya hidup mewah. Dan sudah pasti Gia termasuk di dalam sana. Dan seperti yang diketahui kalau kelompok Gia tersebut sangat senang kalau memakai pakaian buatan luar negeri.“Kalau Gina sudah kembali, pastinya aku akan lebih banyak di dalam ruanganku kok. Ini kar
Seorang dari mobil putih tersebut melepaskan tembakannya ke arah mobil Darren. Braaaak! Jedaaaar! Setelah suara tembakan yang bergema di tengah malam itu, sebuah ledakan yang kali ini terdengar. Darren tidak bisa mengelak, karena memang dia pergi tanpa pengawal. Dan juga sepertinya pelakunya adalah penembak jitu, peluru yang dilepaskan tidak meleset. "Papa, mama…," hanya suara memanggil kedua orang tuanya yang keluar dari mulut Darren sebelum semuanya menggelap. Ternyata, peluru tepat mengenai kepala Darren, sehingga mobil dengan kecepatan tinggi tersebut kehilangan kendali dan akhirnya menabrak pembatas jalan dengan keras dan mobil b guling-guling beberapa puluh meter yang akhirnya meledak. "Tolong ada kecelakaan!" teriak orang-orang yang melihat kejadian sehingga dalam beberapa menit saja tempat kejadian dikerumuni dengan orang-orang yang berusaha menolong Darren memadamkan api dan mengeluarkan Darren dari dalam mobilnya. Sementara itu, mobil putih pelaku penembakan terhadap D
“Bunuh mereka semua! Jangan sampai ada yang masih hidup!”Seorang pria tiba-tiba terbangun dari tidurnya dengan napas yang tidak beraturan. Mimpi buruk itu kembali datang. Bahkan, sudah 10 tahun berlalu sejak kejadian tersebut, Darren masih begitu lekat mengingat kejadian mengerikan itu.10 tahun lalu, saat usianya masih 12 tahun, sekelompok pria bertopeng menyerang rumahnya. Semua orang yang ada di rumah dibantai habis, beruntung Darren remaja berhasil lolos dari kejadian nahas itu. Miris, meski telah kehilangan orang tua, Darren remaja pun harus legowo menerima takdir kehilangan seluruh aset yang ditinggalkan ayahnya.Pengadilan memutuskan perusahaan papanya, Daze Company bangkrut dan harus dijual untuk bisa melunasi hutang yang ditinggalkan ayahnya. Belum lagi, pengadilan tidak menjatuhkan hukuman pada terduga pembunuh, karena hal tersebut dinilai sebagai suatu kewajaran."Tidak, mimpi itu lagi!" Darren mengusap wajahnya yang sudah lepek dengan peluh.Tidak lama, sebuah tendangan m
“Tidak ada tapi-tapian!”Upaya Darren untuk bernegosiasi itu pun langsung lenyap saat mama mertuanya kembali berteriak. Setelahnya, kedua mertuanya itu langsung meninggalkan Darren yang masih sibuk dengan pecahan beling di tangannya.Hanya ada satu orang yang begitu manusiawi memperlakukan Darren di rumah ini. Dialah Bi Asih, pembantu utama rumah ini. Wanita paruh baya itu bahkan tak sungkan menawarkan bantuan pada Darren. "Tuan, biar bibi saja. Semua ini bukan tugas Tuan, apalagi Tuan adalah menantu di rumah ini."Darren tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Bi. Biar saya yang bereskan, ini semua memang kesalahan saya."Darren jelas menolak. Kalau dia membiarkan Bi Asih membantu, mertuanya itu pasti akan kembali mencari perkara lain. Darren hanya tidak ingin memperparah keributan, untuk itu dia pun membereskan kekacauan pagi ini sendirian.**"Selamat pagi ...."Darren selalu menyapa karyawan di tempat kerjanya dengan ramah. Dari banyaknya karyawan yang dia sapa, banyak di antaranya yang
“Papa ....”Darren telah menyelesaikan pekerjaannya dan duduk di ruangan kecil tempat cleaning service biasa berkumpul di sela jam kerja. Kembali Darren melihat dokumen yang tadi sempat dia foto, dan kembali dia merenung dengan semuanya.Saat Daze Company dialihkan kepemilikannya pada orang lain, Darren masih remaja. Dia tidak tahu apa-apa saat itu. Setelah kejadian nahas itu, Darren hanya sibuk untuk meneruskan hidup. Pria itu bahkan sempat tinggal di panti asuhan selama setahun, sebelum panti itu akhirnya digusur. Berkat kebaikan hati ibu pengurus panti lah, Darren bisa berada di Kota X ini."Abitex, Daze." Darren terus mengulang-ulang menyebutkan perusahaan sang mertua, dengan perusahaan mendiang orangtuanya. "Aku harus bertanya kepada siapa?” keluhnya sedikit frustrasi.Namun tiba-tiba, Darren teringat akan satu benda yang pernah papanya berikan untuk dia simpan. Tak ingin gegabah, Darren memilih untuk menunggu sampai jam bekerja selesai untuk mengetahui isi dari benda yang belum