“Tidak ada tapi-tapian!”
Upaya Darren untuk bernegosiasi itu pun langsung lenyap saat mama mertuanya kembali berteriak. Setelahnya, kedua mertuanya itu langsung meninggalkan Darren yang masih sibuk dengan pecahan beling di tangannya.Hanya ada satu orang yang begitu manusiawi memperlakukan Darren di rumah ini. Dialah Bi Asih, pembantu utama rumah ini. Wanita paruh baya itu bahkan tak sungkan menawarkan bantuan pada Darren. "Tuan, biar bibi saja. Semua ini bukan tugas Tuan, apalagi Tuan adalah menantu di rumah ini."Darren tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Bi. Biar saya yang bereskan, ini semua memang kesalahan saya."Darren jelas menolak. Kalau dia membiarkan Bi Asih membantu, mertuanya itu pasti akan kembali mencari perkara lain. Darren hanya tidak ingin memperparah keributan, untuk itu dia pun membereskan kekacauan pagi ini sendirian.**"Selamat pagi ...."Darren selalu menyapa karyawan di tempat kerjanya dengan ramah. Dari banyaknya karyawan yang dia sapa, banyak di antaranya yang menatap miris pada pria yang jadi menantu bos, tetapi masih saja harus bekerja dengan pangkat yang rendah. Namun, Darren tidak berkecil hati. Dia tetap ingin dikenal karena pekerjaannya yang bagus, alih-alih dikenal hanya karena menantu 'terpaksa' bosnya sendiri. Seperti hari ini, Darren bertugas untuk mem-back up temannya yang sedang cuti.“Jadi, tugas tambahan yang dimaksud?"Sesuai instruksi manager, Darren ditugaskan untuk membersihkan beberapa ruangan, termasuk ruangan Martano, bos sekaligus mertuanya. Seperti biasa, Darren memang selalu jadi orang paling dicari jika salah salah satu rekannya cuti. Namun, ketika dia yang meminta jatah untuk cuti, manager selalu saja punya alasan untuk menolak permohonan cutinya.Kriet!Darren membuka pintu ruangan mertuanya, sekaligus pemilik perusahaan besar tersebut. Ini adalah kali keduanya dia masuk ke sini. Yang pertama saat diminta untuk menikahi Renata, dan keduanya adalah hari ini. Darren memperhatikan ruangan dengan aroma buah yang lembut, meja kerja yang sedikit berantakan. Beberapa kertas berserakan di atas sana, bahkan kotak sampah penuh dengan kertas bekas.Darren dalam hatinya membatin melihat ruangan bos besar yang sekacau ini. Namun, tanpa banyak komentar, dia pun mulai menjalankan tugasnya, dimulai dari merapikan lemari file yang tampak sangat berantakan. Selesai dengan sampah dan lemari yang telah rapi, Darren pun berpindah pada hamparan file yang berserakkan di atasnya."Pantas saja tidak ada yang mau menggantikan Radi," ujar Darren menyebut satu temannya yang cuti. Temannya itu pasti kesulitan mengatur kekacauan file-file di ruangan ini.Dengan hati-hati, sebelum mengelap meja, pria itu lebih dulu merapikan dan mensortir file yang ada di sana. Biarpun seorang petugas kebersihan, Darren paham jika kertas-kertas yang berserakkan di ruangan bos tentu bukan kertas sembarangan. Beberapa bahkan bisa bernilai puluhan milyar.Tiba-tiba….Praak!Beberapa lembar dokumen terjatuh, dengan cepat Darren mengambil dokumen itu. Namun, tanpa sengaja dia membaca beberapa baris kata-kata yang ada di sana. Membuat tubuhnya tampak membeku dan terdiam.[Daze Company]Darren membaca nama perusahaan yang telah lama 'hilang' itu.“Kenapa ada dokumen ini?" Dahinya mengerut dalam, mencoba mencari tau kemungkinan yang membuat papa mertuanya berurusan dengan perusahaan mendiang orang tua Darren. "Apa hubungannya?”Karena penasaran, Darren akhirnya membaca dokumen itu dengan saksama. Semakin membaca lebih jauh, reaksi tubuhnya justru semakin bergetar dan rahangnya mengeras.Sesuatu yang tidak beres sudah terjadi antara Martano dan mendiang papanya. Gegas, sebelum ada orang yang melihat Darren membaca file penting itu, dia mengeluarkan ponsel dari saku. Dia akan menyimpan salinan dokumen ini dengan hati-hati, dan berjanji untuk mencaritahu apa yang sebenarnya terjadi.Dengan tangan yang masih gemetaran, Darren kembali membersihkan ruangan itu. Dia tetap akan menyelesaikannya, walaupun pikirannya penuh dengan tanda tanya."Aku pasti akan menemukan jawabannya!"****“Papa ....”Darren telah menyelesaikan pekerjaannya dan duduk di ruangan kecil tempat cleaning service biasa berkumpul di sela jam kerja. Kembali Darren melihat dokumen yang tadi sempat dia foto, dan kembali dia merenung dengan semuanya.Saat Daze Company dialihkan kepemilikannya pada orang lain, Darren masih remaja. Dia tidak tahu apa-apa saat itu. Setelah kejadian nahas itu, Darren hanya sibuk untuk meneruskan hidup. Pria itu bahkan sempat tinggal di panti asuhan selama setahun, sebelum panti itu akhirnya digusur. Berkat kebaikan hati ibu pengurus panti lah, Darren bisa berada di Kota X ini."Abitex, Daze." Darren terus mengulang-ulang menyebutkan perusahaan sang mertua, dengan perusahaan mendiang orangtuanya. "Aku harus bertanya kepada siapa?” keluhnya sedikit frustrasi.Namun tiba-tiba, Darren teringat akan satu benda yang pernah papanya berikan untuk dia simpan. Tak ingin gegabah, Darren memilih untuk menunggu sampai jam bekerja selesai untuk mengetahui isi dari benda yang belum
Alih-alih langsung bergegas ke Bank Duta bagian pusat, Darren justru memutuskan untuk menunda kepergiannya ke sana. Semua ini karena pekerjaan di Abitex dan kesulitannya untuk mengajukan cuti. Darren harus benar-benar cermat memikirkan rencana, karena jika salah sedikit saja ... Hanya kehancuran yang dia terima.Pria itu baru akan mengajukan cuti di Hari Rabu, dengan persetujuan atau tanpa persetujuan managernya, kali ini dia akan pastikan untuk tetap pergi. Menjelang malam, Darren baru sampai di rumah. Baru menginjakkan kaki di teras, teriakan yang datang dari mama mertuanya sudah terdengar menggema.“Kau sudah berani melawan dan mengabaikan panggilanku?”Darren menunduk, tidak terlihat kaget karena sudah memprediksi kemarahan dari mama mertuanya. “Maaf, Ma. Ada yang harus Darren kerjakan sebelum pulang."“Sok sibuk kau! Padahal hanyalah seorang cleaning service! Memangnya kau kira, kau akan jadi presiden direktur di kantor itu sehingga selalu mencari kesempatan untuk mendapatkan per
"Rudi, anakmu masih hidup!" Pria bernama Arras itu kemudian menarik Darren ke dalam pelukan. Darren hanya diam saja, dia masih memiliki ketakutan untuk membalas pelukan Arras, karena sadar dia bukanlah siapa-siapa dibandingkan dengan lelaki yang memeluknya itu, dia adalah bos besar di bank tersebut."Jadi, bapak benar teman papa?" tanya Darren setelah Arras melepaskan pelukannya dan mempersilakan Darren duduk pada kursi yang ada di hadapannya.Darren ingin lebih meyakinkan hatinya, dia tidak mau menemui orang yang salah yang akan membuat semuanya berantakan. Dia harus mendengar dari Arras, agar dia lebih yakin."Iya." Setelahnya, pria itu pun menjelaskan bagaimana hubungan Arras dengan papanya, Rudi. "Kami berasal dari panti yang sama. Kami juga bahkan tidak tahu siapa orang tua kami. Dan bukan hanya kami, mama kamu juga adalah anak panti yang sama."Darren mengangguk, karena itu juga dia sudah tahu sebab, dia bahkan tidak memiliki keluarga seorangpun.Kemudian mengalunlah cerita Arr
"Siapa?" tanya Darren lagi dengan rasa penasaran yang mendalam.Arras menghela nafas berat, dia tampak ragu untuk mengatakannya. "Martano dan Buston."Darah Darren terasa berhenti mengalir saat mendengar jawaban dari Arras. Bagaimana tidak, orang yang membuat hidupnya hancur adalah berada sangat dekat dengannya. Bahkan saat ini dia menjadi babu bagi orang tersebut."Berarti ini hubungannya," gumam Darren dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia melihat kembali dokumen yang sudah dia arsipkan di ponselnya itu. "Dia dalangnya."Tangan Darren mengepal, rahangnya mengeras. "Aku harus membalasnya!" Melihat perubahan Darren yang cukup signifikan membuat Areas tampak keheranan, karena wajah Darren seolah-olah menunjukkan sesuatu saat melihat ponselnya."Ada apa? Apa ada yang terjadi?" tanya Arras pelan.Darren kemudian menyodorkan ponselnya ke arah Arras, meminta lelaki paruh baya itu membaca apa yang beberapa hari lalu dia temukan, dan karena itu juga lah yang membuat Darren berada
"Dari bank mengurus kartu ATM yang terblokir," jawab Darren pelan.Martano tersenyum sinis, dia tahu kalau menantunya ini berbohong. Dan entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang ditutupi oleh Darren; "Seharian?" tanyanya menyelidik."Antriannya panjang.""Bantu Zahir perbaiki mobilku, tadi sempat mogok di jalan!" perintah Martano sambil melenggang pergi meninggalkan Darren yang membulatkan matanya. Sekarang dia diminta jadi montir.Darren benar-benar seperti dikerjain oleh orang-orang di rumah itu. Semua pekerjaan dia harus bisa kerjakan. Darren tidak menjawab, dia langsung menuju ke halaman belakang tempat dimana Zahir, montir pribadi keluarga Martano sedang mengecek kondisi mobil mewah itu. Dan seharusnya tidak perlu lagi Darren yang ikut campur, toh Dareen sama sekali tidak tahu masalah otomotif. Namun, Darren tidak ambil pusing tanpa banyak bicara dan tidak berganti pakaian dia membantu Zahir semampunya.Setelah beberapa saat, akhirnya selesai juga masalah pada mobil tersebut, b
"Aku? Ada apa?" tanya Darren kebingungan sambil menunjuk dirinya sendiri, namun matanya terus memperhatikan Kodir.Kodir mengangguk percaya diri; "Ada berkas penting yang hilang di ruangan pak Martano. Dan orang yang terakhir kali masuk kesana adalah kau!"Darren diam membeku mendengar tuduhan yang ditujukan kepadanya itu. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar."Entah kapan berkas itu hilang, yang jelas kau adalah orang yang paling tertuduh. Sekarang mengaku saja sebelum masalah ini dibawa ke pihak berwajib!" sambung Kodir dengan wajah yang berapi-api, bahkan matanya mengintimidasi.Darren tidak terima dengan tuduhan itu, namun dia juga harus menahan dirinya agar semua tidak menjadi boomerang baginya. "Apa yang harus aku akui? Aku tidak mengambil atau menghilangkan apapun, aku hanya merapikan semua yang berantakan diatas meja sesuai dengan tugas kita seharusnya.""Jangan menyangkal!" tiba-tiba sebuah suara dari arah pintu membuat semua orang terdiam. Dan tidak berapa lama terlih
Darren membelalakkan matanya mendengar apa yang diperintahkan oleh Martano. "Brengsek! Apa yang dia rencanakan sebenarnya?" tanya Darren dalam hatinya, karena saat ini Darren sangat yakin kalau Martano memiliki tujuan tertentu.Dia dibuat seperti seorang pencuri, Darren mengumpat dalam hatinya; "Aku tidak akan memaafkanmu!" Martano berjalan meninggalkan ruangan itu dengan santai seolah tidak terjadi hal apapun disana."Ikut kami!" Dua orang satpam tadi menyeret Darren ke ruangan bos, mengikuti langkah kaki Martano yang tersenyum penuh kemenangan. Seolah-olah dia akan mendapatkan sesuatu yang besar dari menantunya itu.Darren benar-benar marah, dia diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, seolah-olah dia adalah seorang pendosa. Bahkan harus diseret seperti itu. Padahal dia tidak akan kabur, dia juga ingin tahu apa yang terjadi dan apa mau sang mertua."Aku bisa jalan sendiri," ujar Darren memberontak ketika dua petugas keamanan itu mengapit tangannya dengan keras."Diam! Jangan ba
"Kau!"Martano berteriak marah melihat Darren merobek kertas tersebut. "Apa yang kau lakukan? Kau benar-benar ingin mati?" Darren menatap tajam ke arah Martano. Kali ini dia tidak akan takut dengan apapun; "Kenapa aku harus menandatangani sesuatu yang tidak aku mengerti? Kalau aku memiliki perusahaan aku tidak mungkin berada disini sebagai cleaning service!"Ternyata Darren tidak mengakui kalau dia adalah ahli waris PT. Daze. Iya, kertas bermaterai yang diberikan oleh Martano itu isinya adalah pemindahan hak dari ahli waris yang sah Daze kepada Martano. Dan jelas kalau Martano sebenarnya tahu siapa Darren, mungkin karena nama Darren mengandung Zervano. Dan saat ini Darren tahu, kalau Martano masih berusaha untuk mendapatkan hak itu secara legal, padahal mereka sudah merubah namanya. Dan bisa jadi itu adalah upaya dari Martano untuk menguasai Daze sepenuhnya dari Buston."Jangan main-main denganku!" teriak Martano menarik leher baju Darren. "Kau adalah anak dari Rudi Zervano, kan?"
Seorang dari mobil putih tersebut melepaskan tembakannya ke arah mobil Darren. Braaaak! Jedaaaar! Setelah suara tembakan yang bergema di tengah malam itu, sebuah ledakan yang kali ini terdengar. Darren tidak bisa mengelak, karena memang dia pergi tanpa pengawal. Dan juga sepertinya pelakunya adalah penembak jitu, peluru yang dilepaskan tidak meleset. "Papa, mama…," hanya suara memanggil kedua orang tuanya yang keluar dari mulut Darren sebelum semuanya menggelap. Ternyata, peluru tepat mengenai kepala Darren, sehingga mobil dengan kecepatan tinggi tersebut kehilangan kendali dan akhirnya menabrak pembatas jalan dengan keras dan mobil b guling-guling beberapa puluh meter yang akhirnya meledak. "Tolong ada kecelakaan!" teriak orang-orang yang melihat kejadian sehingga dalam beberapa menit saja tempat kejadian dikerumuni dengan orang-orang yang berusaha menolong Darren memadamkan api dan mengeluarkan Darren dari dalam mobilnya. Sementara itu, mobil putih pelaku penembakan terhadap D
"Jadi, mama kamu melihat?" tanya Darren penasaran.Renata menggelengkan kepalanya. "Beruntungnya aku melihat kedatangan mama dan rombongan lebih dulu. Jadi, aku meminta kepada semua karyawan untuk mengatakan kalau pemiliknya gak ada jika ada yang bertanya."Darren mengelus lembut rambut sebahu Renata, dia sangat merasa takut kalau suatu saat Gia datang lagi ke butik dan bertemu dengan Renata secara langsung.“Kamu jangan terlalu sering muncul, karena suatu saat tetap akan terjadi lagi seperti ini. Aku bukannya melarang kamu bertemu dengan mamamu, tapi ini belum waktunya,” ujar Darren kepada Renata.Lambat laun, Renata dan Gia pasti akan bertemu. Sebab, usaha yang Renata geluti saat ini sasarannya adalah orang-orang kaya dengan gaya hidup mewah. Dan sudah pasti Gia termasuk di dalam sana. Dan seperti yang diketahui kalau kelompok Gia tersebut sangat senang kalau memakai pakaian buatan luar negeri.“Kalau Gina sudah kembali, pastinya aku akan lebih banyak di dalam ruanganku kok. Ini kar
"Astaga, Bu. Membuat aku terkejut saja," ujar Darren sembari memegang dadanya karena kaget."Jangan banyak alasan! Semalam kamu nginap tempat Renata? Kenapa telepon dan pesan dari ibu tidak mau gubris?" tanya Amina lagi dengan tegas.Darren tidak menjawab, dia hanya tersenyum dan memegang pundak Amina dengan lembut."Aku menginap di hotel, Bu. Rasanya malas banget nyetir karena sudah malam, akhirnya aku memilih untuk menginap di hotel saja," jawab Darren kepada Amina.Darren sengaja tidak mengakui kepada Amina dimana dia menginap. Karena sudah pasti akan memancing keributan, dan Amina akan menasehatinya sepanjang hari."Jangan berbohong!" bentak Amina. Sebab Amina begitu mengenal Darren, dan Amina juga sudah menganggap Darren adalah anak kandungnya. Dia tidak mau kalau Darren jatuh ke dalam kesalahan."Serius, Bu," jawab Darren mencoba membela diri.Sementara itu, Alisa yang mendekat ke arah Amina dan Darren tampak memberikan Darren kode dengan mengedipkan matanya dan memegang leher.
Mungkin kerinduan mereka yang memuncak, atau karena terbawa suasana malam yang dingin, keduanya saat ini sudah saling berhadapan, dan tidak tahu siapa yang memulai, keduanya saat itu sudah bercumbu dengan lembut dan berbagi oksigen."Terima kasih," ucap Darren sambil terus merapatkan tubuhnya kepada tubuh Renata. Dan tangan keduanya saat ini sudah saling meraba satu sama lain.Malam yang semakin dingin, keduanya masih berpagutan dan melupakan makanan hangat yang sudah dimasak oleh Renata. Karena saat ini keduanya masih saling menghangatkan.Renata menggigit bibirnya karena menahan suara panas yang akan terlepas dari bibirnya, karena tidak mampu menahan sentuhan tiap sentuhan yang lembut dari Darren."Lepaskan saja, sayang. Hanya aku yang mendengarnya," bisik Darren sembari berusaha melepaskan pengait yang berada di punggung Renata. Sedangkan baju yang menutupi tubuh Renata sudah terlepas sejak tadi.Akhirnya Renata benar-benar mengeluarkan suara desahannya kala Darren mulai mencapai t
"Apaan sih?" tanya Renata sambil mendelik ke arah Darren. Sebab dia tahu kalau Darren sedang menggodanya."Aku serius. Aku datang kesini untuk melihat kamu bukan untuk belanja di butik," jawab Darren santai dan mengedipkan matanya.Renata melengos, Darren benar-benar berhasil membuatnya salah tingkah. Sebab, walaupun dia terlihat kesal kepada Darren. Tapi, di dalam hatinya merasa begitu senang saat tahu kalau Darren masih peduli dan datang menemuinya."Aku sibuk. Banyak pelanggan, Darren," jawab Renata kemudian."Aku akan menunggu sampai butik kamu tutup," jawab Darren santai."Dimana?" tanya Renata kemudian."Dimana saja boleh, yang penting kamu izinkan," jawab Darren.Renata menghela nafas berat, Darren mulai kumat keras kepalanya. Dan seperti biasanya, tidak akan ada orang yang bisa menyuruhnya pergi."Kamu tunggu di atas aja ya, soalnya saat ini Gina gak ada. Jadi, aku akan membantu melayani pelanggan. Karena banyak barang baru masuk, jadi pelanggan pada rebutan mau koleksi terbar
“Gapapa,” jawab Alisa tergelak.“Hei, kamu pasti tahu sesuatu. Memangnya ada apa kalau aku mau ke rumah Renata mala mini. Kan kebetulan sekarang aku sudah pulang kerja, dan besok kan hari libur. Gak salah kan kalau aku ke rumahnya?” tanya Darren membela diri.Darren tidak mau terlihat kalau dia sangat antusias untuk bertemu Renata, namun Darren juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia sangat senang saat mengetahui kalau Renata cemburu kepadanya.“Iya, kan sekalian malam mingguan. Padahal tadinya aku mau ikut, tapi saat ingat ini adalah malam minggu sepertinya aku harus mengurungkan diri kesana, apalagi dalam suasana yang syahdu. Gina juga saat ini sedang tidak ada di rumah,” kekeh Alisa yang kemudian segera berlari meninggalkan Darren dan menemui Noah yang tampak sedang asyik bermain dengan Amina dan pengasuhnya.“Sekarang main sama Aunty, ya,” ujar Alisa kepada Noah. Karena Alisa melihat kalau Amina dan pengasuhnya sudah sangat kewalahan mengajak Noah bermain bola dan ber
Alisa tersentak mendengar apa yang dikatakan oleh Darren. Sebab, dia baru sadar kalau dia juga tidak lebih baik dari Renata."Iya, aku salah. Tapi, rasanya aku tidak rela saja kalau sampai orang sebaik kamu mendapatkan istri seperti Renata," jawab Alisa menunduk."Renata sangat baik, bahkan dia lebih baik dariku. Bisa jadi awalnya dia tidak baik, tapi sekarang dia sudah berubah," ujar Darren menjelaskan kepada Alisa.Alisa menganggukkan kepalanya. "Semoga kalian kuat, karena aku yakin akan banyak sekali halangan dan rintangannya kalau kalian memilih untuk kembali bersama."Darren tergelak mendengar apa yang disampaikan oleh sang adik. Sebab, saat mengatakan demikian Alisa terlihat sangat dewasa. "Kenapa tertawa?" tanya Alisa merengut."Kamu yang membuat aku merasa lucu. Kamu seperti seorang yang sangat dewasa dan berpengalaman dalam hidup. Kalau gak lihat orangnya, maka gak bakal tahu kalau yang baru saja berbicara adalah anak umur dua puluh tahun," kekeh Darren."Ejek aja terus!" ke
“Astaga, ibuku ini masih belum percaya. Semuanya hanya untuk berjaga-jaga, Bu,” jawab Darren tersenyum dan kali ini tangannya memegang tangan Amina yang sudah mulai keriput. Namun, sangat terawatt.“Kamu itu adalah orang yang paling tidak bisa berbohong kepada ibu, sejak kecil kamu tidak pernah berbohong. Saat kamu mulai mau berbohong, telinga memerah dan matamu tidak pernah bisa menatapku,” jawab Amina.Dari jawaban yang Amina berikan itu membuat Alisa tampak sangat bersemangat memeriksa telinga Darren, sehingga membuat Darren tergelak dan Amina hanya bisa menahan tawanya. Saat ini Amina memiliki dua orang anak yang sama kocaknya.“Bu, lihatlah telinganya memerah. Ini artinya dia memang sedang berbohong!” teriak Alisa kepala Amina.&l
“Iya, Pak. Komandan kami yang membawa mereka kesini dan mengantarkan ke rumah pak Darren sekalian mereka di daftarkan disini sebagai penghuni perumahan sini,” jawab pak Danny serius.Bahkan pak Danny merasa keheranan ketika melihat ekspresi wajah Darren yang tampak terkejut saat mengetahui pengawalnya sudah terdata disana.“Pastinya kami percaya kalau komandan kami yang bawa. Jadi, mereka sudah aman pak. Keluar masuk kompleks sini sudah terdaftar,” lanjut Danny tersenyum.“Okelah kalau begitu, tadinya aku tidak tahu kalau langsung didaftarkan disini,” jawab Darren pelan.“Semuanya, terima kasih ya. Saya lanjut pulang,” ujar Darren kemudian berpamitan kepada para penjaga keamanan tersebut.