Alih-alih langsung bergegas ke Bank Duta bagian pusat, Darren justru memutuskan untuk menunda kepergiannya ke sana. Semua ini karena pekerjaan di Abitex dan kesulitannya untuk mengajukan cuti. Darren harus benar-benar cermat memikirkan rencana, karena jika salah sedikit saja ... Hanya kehancuran yang dia terima.
Pria itu baru akan mengajukan cuti di Hari Rabu, dengan persetujuan atau tanpa persetujuan managernya, kali ini dia akan pastikan untuk tetap pergi. Menjelang malam, Darren baru sampai di rumah. Baru menginjakkan kaki di teras, teriakan yang datang dari mama mertuanya sudah terdengar menggema.“Kau sudah berani melawan dan mengabaikan panggilanku?”Darren menunduk, tidak terlihat kaget karena sudah memprediksi kemarahan dari mama mertuanya. “Maaf, Ma. Ada yang harus Darren kerjakan sebelum pulang."“Sok sibuk kau! Padahal hanyalah seorang cleaning service! Memangnya kau kira, kau akan jadi presiden direktur di kantor itu sehingga selalu mencari kesempatan untuk mendapatkan perhatian!” teriak Gia langsung menyerang Darren. Tatapannya begitu mengisyaratkan jika wanita itu jijik pada menantunya sendiri. “Cepat kau cuci mobilku, malam ini aku ada acara!” perintah Gia kemudian.Darren hanya bisa menghela napas berat. Mertuanya yang sejak tadi menelponnya seperti ada keadaan darurat, ternyata hanya memintanya mencuci mobil.Tap! Tap!Darren menaiki tangga dengan cepat, karena dia tidak mau kembali di teriaki sang mertua kalau dia terlambat melakukan tugas yang diberikan kepadanya.Kriet!Darren membuka pintu dan mendapat Renata sedang tiduran dengan santai di atas ranjang, mengenakan dress satin transparan dan sangat seksi. Paha mulusnya terlihat sangat menggoda, walaupun perutnya yang mulai membuncit dan itu juga menjadi daya tarik bagi Darren.Darren menelan ludahnya, dia hanya bisa melihat namun tidak akan bisa merasakan semua yang ada di depan matanya itu."Jam 7, antar aku ke dokter!" Renata tanpa perlu repot-repot menoleh ke arah Darren, memerintah. "Sopir sudah punya kerjaan lain. Kau juga harus menemaniku bertemu dokternya!"Darren yang baru melepas seluruh kancing pada kemejanya kembali menghela napas. Menjadi cleaning service, pencuci mobil, lalu merangkap sopir ... Semua hal Darren lakukan, bak pekerja serabutan di rumah ini. Meski sebenarnya tubuh pria itu begitu lelah, tetapi dia tetap mengiyakan perintah sang istri."Tentu. Aku akan mengantarmu."**Hari rabu seperti yang Darren rencanakan, dia akan mendatangi Bank Duta untuk bertemu dengan Pak Arras. Seperti yang sudah diduga, pengajuan cuti yang diajukan Darren ditolak mentah-mentah oleh managernya. Namun, karena pria itu sudah bertekad bahwa inilah jalan yang membukanya pada misteri dalam hidup, Darren tetap absen ke kantor dan pergi menuju Bank Duta.Namun meski begitu, Darren tidak ingin menimbulkan curiga. Seperti hari-hari biasa dia bekerja, Darren melakukan semua rutinitasnya, sampai tak seorang pun di rumah itu menyadari gelagatnya."Adakah disini yang bernama pak Arras Samuel?” tanya Darren kepada security yang bertugas menjaga keamanan bank tersebut. Saat Darren datang, suasana kantor bank tersebut masih sedikit sepi.Para nasabah belum datang, bahkan mungkin para karyawan juga banyak yang belum tiba.Security yang bertugas tampak memperhatikan Darren dari atas hingga ke bawah. Mungkin dia heran ada orang dengan penampilan yang sangat biasa saja itu mencari seseorang, bukannya ingin mengantri ke teller.“Bapak siapa?” tanya security itu menyelidik. Bahkan dia menatap wajah Darren dengan penuh curiga. Wajah Darren yang tampak sedikit garang dan tegas dengan bulu-bulu tipis tumbuh di wajahnya. Dia memang tidak sempat merapikan wajahnya karena pastinya itu akan membuat Renata curiga.“Saya ada keperluan kepada beliau. Apakah beliau ada disini?” tanya Darren dengan antusias.Darren tidak peduli dengan pandangan curiga si satpam, baginya respon dari satpam itu menunjukkan kalau memang ada orang yang dia cari di kantor ini. Karena terlihat wajah satpam itu tampak mengkhawatirkan sesuatu.“A-ada,” jawab si satpam dengan gugup.“Bisa saya bertemu? Katakan kepadanya kalau seseorang bernama Darren Zervano putra dari Rudi Zervano ingin menemuinya,” ujar Darren kemudian kepada si satpam. Dia sangat berharap kalau pak Arras mengingat tentang papanya, makanya dia menyebutkan nama papanya agar lebih cepat dikenali.Security itu hanya mengangguk, dan dia tampak meraih sebuah gagang telepon yang berada di dinding. Mendial beberapa angka dan tampak berbicara di telepon dengan sesekali melirik sinis ke arah Darren. Namun, beberapa saat kemudian dia tampak melihat Darren dengan wajah penuh keheranan.“Ikut saya!” ujar security itu kepada Darren setelah memutuskan sambungan telepon.“Terima kasih,” ucap Darren yang merasa bersyukur karena jalannya sangat mudah, dia menduga kalau pak Arras pasti berada di bank tersebut.“Kau siapanya pak Arras? Biasanya orang sangat sulit untuk bertemu dengannya,” tanya si security yang bernama Bobi itu kepada Darren.Darren mengedikkan bahunya santai. "Aku hanya mengikuti pesan orang tuaku."Keduanya naik ke lantai lima dengan menggunakan lift, dan kemudian berjalan di lorong-lorong ruangan kerja yang sangat sunyi. Hingga mereka berhenti di sebuah ruangan yang pada daun pintunya bertuliskan nama Arras Samuel.“Silakan masuk,” ujar Bobi yang kemudian meninggalkan Darren yang tampak ragu untuk masuk.Tok! Tok!Darren memberanikan diri mengetuk pintu, hingga terdengar suara berat dari dalam ruangan itu mempersilahkannya masuk.Seorang lelaki paruh baya dengan beberapa rambut yang sudah tumbuh uban itu tampak menatap Darren dengan intens dan berkali-kali, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki."Kau bilang, kau adalah putra dari Rudi Zervano? Buktikan padaku jika itu memang benar!" tantang pria bernama Arras itu pada Darren.Dengan tangan yang sedikit gemetar, Darren mengeluarkan kertas wasiat yang dia miliki itu dan menyerahkannya kepada Arras.Setelah membaca itu, Arras tampak memandang Darren dengan mata yang memerah.“Ternyata kau benar-benar masih hidup!”****"Rudi, anakmu masih hidup!" Pria bernama Arras itu kemudian menarik Darren ke dalam pelukan. Darren hanya diam saja, dia masih memiliki ketakutan untuk membalas pelukan Arras, karena sadar dia bukanlah siapa-siapa dibandingkan dengan lelaki yang memeluknya itu, dia adalah bos besar di bank tersebut."Jadi, bapak benar teman papa?" tanya Darren setelah Arras melepaskan pelukannya dan mempersilakan Darren duduk pada kursi yang ada di hadapannya.Darren ingin lebih meyakinkan hatinya, dia tidak mau menemui orang yang salah yang akan membuat semuanya berantakan. Dia harus mendengar dari Arras, agar dia lebih yakin."Iya." Setelahnya, pria itu pun menjelaskan bagaimana hubungan Arras dengan papanya, Rudi. "Kami berasal dari panti yang sama. Kami juga bahkan tidak tahu siapa orang tua kami. Dan bukan hanya kami, mama kamu juga adalah anak panti yang sama."Darren mengangguk, karena itu juga dia sudah tahu sebab, dia bahkan tidak memiliki keluarga seorangpun.Kemudian mengalunlah cerita Arr
"Siapa?" tanya Darren lagi dengan rasa penasaran yang mendalam.Arras menghela nafas berat, dia tampak ragu untuk mengatakannya. "Martano dan Buston."Darah Darren terasa berhenti mengalir saat mendengar jawaban dari Arras. Bagaimana tidak, orang yang membuat hidupnya hancur adalah berada sangat dekat dengannya. Bahkan saat ini dia menjadi babu bagi orang tersebut."Berarti ini hubungannya," gumam Darren dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia melihat kembali dokumen yang sudah dia arsipkan di ponselnya itu. "Dia dalangnya."Tangan Darren mengepal, rahangnya mengeras. "Aku harus membalasnya!" Melihat perubahan Darren yang cukup signifikan membuat Areas tampak keheranan, karena wajah Darren seolah-olah menunjukkan sesuatu saat melihat ponselnya."Ada apa? Apa ada yang terjadi?" tanya Arras pelan.Darren kemudian menyodorkan ponselnya ke arah Arras, meminta lelaki paruh baya itu membaca apa yang beberapa hari lalu dia temukan, dan karena itu juga lah yang membuat Darren berada
"Dari bank mengurus kartu ATM yang terblokir," jawab Darren pelan.Martano tersenyum sinis, dia tahu kalau menantunya ini berbohong. Dan entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang ditutupi oleh Darren; "Seharian?" tanyanya menyelidik."Antriannya panjang.""Bantu Zahir perbaiki mobilku, tadi sempat mogok di jalan!" perintah Martano sambil melenggang pergi meninggalkan Darren yang membulatkan matanya. Sekarang dia diminta jadi montir.Darren benar-benar seperti dikerjain oleh orang-orang di rumah itu. Semua pekerjaan dia harus bisa kerjakan. Darren tidak menjawab, dia langsung menuju ke halaman belakang tempat dimana Zahir, montir pribadi keluarga Martano sedang mengecek kondisi mobil mewah itu. Dan seharusnya tidak perlu lagi Darren yang ikut campur, toh Dareen sama sekali tidak tahu masalah otomotif. Namun, Darren tidak ambil pusing tanpa banyak bicara dan tidak berganti pakaian dia membantu Zahir semampunya.Setelah beberapa saat, akhirnya selesai juga masalah pada mobil tersebut, b
"Aku? Ada apa?" tanya Darren kebingungan sambil menunjuk dirinya sendiri, namun matanya terus memperhatikan Kodir.Kodir mengangguk percaya diri; "Ada berkas penting yang hilang di ruangan pak Martano. Dan orang yang terakhir kali masuk kesana adalah kau!"Darren diam membeku mendengar tuduhan yang ditujukan kepadanya itu. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar."Entah kapan berkas itu hilang, yang jelas kau adalah orang yang paling tertuduh. Sekarang mengaku saja sebelum masalah ini dibawa ke pihak berwajib!" sambung Kodir dengan wajah yang berapi-api, bahkan matanya mengintimidasi.Darren tidak terima dengan tuduhan itu, namun dia juga harus menahan dirinya agar semua tidak menjadi boomerang baginya. "Apa yang harus aku akui? Aku tidak mengambil atau menghilangkan apapun, aku hanya merapikan semua yang berantakan diatas meja sesuai dengan tugas kita seharusnya.""Jangan menyangkal!" tiba-tiba sebuah suara dari arah pintu membuat semua orang terdiam. Dan tidak berapa lama terlih
Darren membelalakkan matanya mendengar apa yang diperintahkan oleh Martano. "Brengsek! Apa yang dia rencanakan sebenarnya?" tanya Darren dalam hatinya, karena saat ini Darren sangat yakin kalau Martano memiliki tujuan tertentu.Dia dibuat seperti seorang pencuri, Darren mengumpat dalam hatinya; "Aku tidak akan memaafkanmu!" Martano berjalan meninggalkan ruangan itu dengan santai seolah tidak terjadi hal apapun disana."Ikut kami!" Dua orang satpam tadi menyeret Darren ke ruangan bos, mengikuti langkah kaki Martano yang tersenyum penuh kemenangan. Seolah-olah dia akan mendapatkan sesuatu yang besar dari menantunya itu.Darren benar-benar marah, dia diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, seolah-olah dia adalah seorang pendosa. Bahkan harus diseret seperti itu. Padahal dia tidak akan kabur, dia juga ingin tahu apa yang terjadi dan apa mau sang mertua."Aku bisa jalan sendiri," ujar Darren memberontak ketika dua petugas keamanan itu mengapit tangannya dengan keras."Diam! Jangan ba
"Kau!"Martano berteriak marah melihat Darren merobek kertas tersebut. "Apa yang kau lakukan? Kau benar-benar ingin mati?" Darren menatap tajam ke arah Martano. Kali ini dia tidak akan takut dengan apapun; "Kenapa aku harus menandatangani sesuatu yang tidak aku mengerti? Kalau aku memiliki perusahaan aku tidak mungkin berada disini sebagai cleaning service!"Ternyata Darren tidak mengakui kalau dia adalah ahli waris PT. Daze. Iya, kertas bermaterai yang diberikan oleh Martano itu isinya adalah pemindahan hak dari ahli waris yang sah Daze kepada Martano. Dan jelas kalau Martano sebenarnya tahu siapa Darren, mungkin karena nama Darren mengandung Zervano. Dan saat ini Darren tahu, kalau Martano masih berusaha untuk mendapatkan hak itu secara legal, padahal mereka sudah merubah namanya. Dan bisa jadi itu adalah upaya dari Martano untuk menguasai Daze sepenuhnya dari Buston."Jangan main-main denganku!" teriak Martano menarik leher baju Darren. "Kau adalah anak dari Rudi Zervano, kan?"
"Hahaha!"Darren malah tertawa mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Kodir. Sedangkan rekan kerja yang lainnya hanya saling berbisik, tidak berani bertanya kepada Darren secara langsung; "Apa yang terjadi dengan Darren?"Darren mendekat ke arah pak Kodir, membuat lelaki dengan tubuh sedikit sintal itu merasa takut. Apalagi pandangan Darren sangat menakutkan, seolah ingin menelannya hidup-hidup."Sejak kapan kau merencanakan ini bersama dia?" tanya Darren dengan dingin. Ruangan dengan pendingin ruangan yang menyala itu bahkan terasa menjadi panas."Aku tidak mengerti maksudmu," jawab Kodir memilih duduk pada kursinya.Darren tersenyum menyeringai; "Jangan pura-pura bego! Kau sengaja pagi ini memintaku menggantikan Radi membersihkan ruangan itu, sedangkan hari ini Radi masuk kerja. Apa yang kalian rencanakan?" Darren berjalan menuju pintu ruangan dan mengunci pintu ruangan itu. Ceklek!Dan Darren mencabut kuncinya lalu mengantonginya. Yang lainnya hanya terdiam duduk saling pandan
"Astaga, dasar pengecut!" Darren terus saja mengumpat. Dia sangat kesal dengan apa yang Martano lakukan, hal itu tidak gentle.Kodir yang menangkap kertas yang dilemparkan Darren tampak sedang membaca isinya, kemudian bergumam; "Dipecat gitu aja?"Darren tersenyum sinis ke arah Kodir. "Harusnya apa? Setelah salah orang dan mencemarkan nama baik seseorang, harusnya kalian apakan aku ini?" tanya Darren lagi dengan lantang membuat Kodir terdiam."Bu-bukan begitu," jawab Kodir tergagap."Apa?!" tanya Darren dengan berteriak sambil membereskan semua barang-barangnya.Rekan-rekannya hanya bisa melihat apa yang terjadi, karena mereka juga tidak menyangka kalau Darren dipecat, dan tidak ada pernyataan resmi apakah Darren yang mencuri atau tidak. "Tapi, kalau melihat bagaimana Darren berani melawan dan marah itu artinya bukan Darren pelakunya," bisik mereka.Darren melihat ke arah mereka dengan menarik kedua sudut bibirnya hingga tersenyum sempurna; "Tidak ada satu berkas pun yang hilang, kita