“Bunuh mereka semua! Jangan sampai ada yang masih hidup!”
Seorang pria tiba-tiba terbangun dari tidurnya dengan napas yang tidak beraturan. Mimpi buruk itu kembali datang. Bahkan, sudah 10 tahun berlalu sejak kejadian tersebut, Darren masih begitu lekat mengingat kejadian mengerikan itu.10 tahun lalu, saat usianya masih 12 tahun, sekelompok pria bertopeng menyerang rumahnya. Semua orang yang ada di rumah dibantai habis, beruntung Darren remaja berhasil lolos dari kejadian nahas itu. Miris, meski telah kehilangan orang tua, Darren remaja pun harus legowo menerima takdir kehilangan seluruh aset yang ditinggalkan ayahnya.Pengadilan memutuskan perusahaan papanya, Daze Company bangkrut dan harus dijual untuk bisa melunasi hutang yang ditinggalkan ayahnya. Belum lagi, pengadilan tidak menjatuhkan hukuman pada terduga pembunuh, karena hal tersebut dinilai sebagai suatu kewajaran."Tidak, mimpi itu lagi!" Darren mengusap wajahnya yang sudah lepek dengan peluh.Tidak lama, sebuah tendangan mengenai bokong pria itu dan membuatnya terjungkal ke lantai."Hei, katrok! Kau bisa tidak, sehari saja tidak mengigau!" Seorang wanita dengan perut yang tengah membesar berkacak pinggang. Dia terlihat begitu kesal karena tidurnya yang nyenyak terusik oleh pergerakan dan teriakan Darren. "Kalau besok kau mengigau lagi, tidur saja di kamar pembantu, sana! Kau mengganggu tidurku, tau!""Maaf."Darren hanya bisa menjawab sekadarnya. Bukan tanpa dasar Renata bertindak kasar meski wanita itu berstatus istri Darren. Pernikahan mereka terjadi karena sebuah keterpaksaan. Renata sudah hamil duluan dengan pria yang enggan bertanggung jawab. Darren yang memang bekerja sebagai cleaning service di perusahaan ayah Renata lantas ditawari untuk jadi suami sementara untuk menutupi aib Renata.Darren menoleh ke arah jam yang sudah menunjuk pada pukul 4 pagi. Selain bekerja di kantor, dia pun dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Untuk itu, dia terbiasa bangun lebih pagi untuk melakukan segala pekerjaannya sebelum diamuk mertua, juga sang istri."Hei! Apa kau tuli!" Renata berteriak saat melihat Darren sudah berjalan nyaris keluar kamar. "Aku masih berbicara padamu, dasar tidak sopan!"Darren menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ke arah Renata, dia pun menjawab. "Aku harus mengerjakan pekerjaan rumah."Sebelum Darren menutup pintu kamar, pria itu masih bisa mendengar dengan jelas hinaan yang dilontarkan oleh Renata."Apa dia waras? Siapa yang mau mengerjakan pekerjaan rumah di jam 4 pagi?!"Darren sudah hafal betul bagaimana siklus kehidupan di rumah ini. Renata, istrinya baru akan bangun ketika matahari sudah mulai tinggi. Semua itu karena kebiasaan Renata yang masih tetap bersenang-senang menikmati dunia malam, meski perutnya sudah membuncit. Lalu mertuanya, tentu saja mereka masih tertidur dengan lelap dan baru akan bangun ketika semua kebutuhan mereka sudah siap tersaji.Tap! Tap!Darren berjalan pelan menuruni anak tangga dengan hati-hati, dia tidak ingin langkah kakinya mengganggu mertuanya yang masih tertidur.Namun….Prang!Suara sebuah barang pecah dan terdengar pecahannya berjatuhan di lantai.“Astaga!” ujar Darren menyugar kasar rambutnya, karena suasana yang remang-remang lampu ruangan belum dinyalakan, dia tidak sengaja menyenggol vas bunga besar yang terletak di tangga itu sehingga membuat vas itu pecah berserakan di lantai.Cktek!Semua lampu seketika menyala terang, dan terlihat Darren yang menahan nafas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena dia melihat kedua mertuanya berdiri menatap tajam ke arahnya.“Apa yang kau lakukan?!” Mertuanya, Gia bertolak pinggang meneriaki Darren yang sudah pasti jadi tersangka.Sedangkan, wajah Darren kini kusut. Niat hati ingin berhati-hati, malah mengundang keributan yang pasti akan memperpanjang kesulitan hidupnya hari ini.“Maaf, Ma. Vas ini tidak sengaja tersenggol.""Seenaknya saja kau bilang maaf!" Mata mertuanya semakin memelotot mendengar alasan Darren. "Kau pikir harga vas itu murah?! Bahkan gaji kau sebulan di kantor tidak akan cukup untuk membeli itu!”"Saya akan menggantinya." Segera, Darren menundukkan tubuhnya dan meraup pecahan-pecaha beling itu dengan tangannya sendiri.“Miskin saja sombong!" hina Gia lebih kejam lagi. "Mau ganti dengan apa? Kau saja hanya seorang cleaning service, dasar menantu sampah!"Sementara itu, papa mertuanya yang sedari tadi hanya menonton keributan antara menantu dan sang istri pun kini mulai berani bersuara. "Sudahlah Ma, hanya vas aja ribut." Martano, papa mertuanya kemudian menatap Darren dengan pandangan mengintimidasi. "Gajimu akan dipotong selama lima bulan!"Darren yang kaget dengan keputusan papa mertuanya itu terpaku sejenak. Gerakannya yang tengah membersihkan pecahan beling itu terhenti. "Tapi, Pa--"****“Tidak ada tapi-tapian!”Upaya Darren untuk bernegosiasi itu pun langsung lenyap saat mama mertuanya kembali berteriak. Setelahnya, kedua mertuanya itu langsung meninggalkan Darren yang masih sibuk dengan pecahan beling di tangannya.Hanya ada satu orang yang begitu manusiawi memperlakukan Darren di rumah ini. Dialah Bi Asih, pembantu utama rumah ini. Wanita paruh baya itu bahkan tak sungkan menawarkan bantuan pada Darren. "Tuan, biar bibi saja. Semua ini bukan tugas Tuan, apalagi Tuan adalah menantu di rumah ini."Darren tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Bi. Biar saya yang bereskan, ini semua memang kesalahan saya."Darren jelas menolak. Kalau dia membiarkan Bi Asih membantu, mertuanya itu pasti akan kembali mencari perkara lain. Darren hanya tidak ingin memperparah keributan, untuk itu dia pun membereskan kekacauan pagi ini sendirian.**"Selamat pagi ...."Darren selalu menyapa karyawan di tempat kerjanya dengan ramah. Dari banyaknya karyawan yang dia sapa, banyak di antaranya yang
“Papa ....”Darren telah menyelesaikan pekerjaannya dan duduk di ruangan kecil tempat cleaning service biasa berkumpul di sela jam kerja. Kembali Darren melihat dokumen yang tadi sempat dia foto, dan kembali dia merenung dengan semuanya.Saat Daze Company dialihkan kepemilikannya pada orang lain, Darren masih remaja. Dia tidak tahu apa-apa saat itu. Setelah kejadian nahas itu, Darren hanya sibuk untuk meneruskan hidup. Pria itu bahkan sempat tinggal di panti asuhan selama setahun, sebelum panti itu akhirnya digusur. Berkat kebaikan hati ibu pengurus panti lah, Darren bisa berada di Kota X ini."Abitex, Daze." Darren terus mengulang-ulang menyebutkan perusahaan sang mertua, dengan perusahaan mendiang orangtuanya. "Aku harus bertanya kepada siapa?” keluhnya sedikit frustrasi.Namun tiba-tiba, Darren teringat akan satu benda yang pernah papanya berikan untuk dia simpan. Tak ingin gegabah, Darren memilih untuk menunggu sampai jam bekerja selesai untuk mengetahui isi dari benda yang belum
Alih-alih langsung bergegas ke Bank Duta bagian pusat, Darren justru memutuskan untuk menunda kepergiannya ke sana. Semua ini karena pekerjaan di Abitex dan kesulitannya untuk mengajukan cuti. Darren harus benar-benar cermat memikirkan rencana, karena jika salah sedikit saja ... Hanya kehancuran yang dia terima.Pria itu baru akan mengajukan cuti di Hari Rabu, dengan persetujuan atau tanpa persetujuan managernya, kali ini dia akan pastikan untuk tetap pergi. Menjelang malam, Darren baru sampai di rumah. Baru menginjakkan kaki di teras, teriakan yang datang dari mama mertuanya sudah terdengar menggema.“Kau sudah berani melawan dan mengabaikan panggilanku?”Darren menunduk, tidak terlihat kaget karena sudah memprediksi kemarahan dari mama mertuanya. “Maaf, Ma. Ada yang harus Darren kerjakan sebelum pulang."“Sok sibuk kau! Padahal hanyalah seorang cleaning service! Memangnya kau kira, kau akan jadi presiden direktur di kantor itu sehingga selalu mencari kesempatan untuk mendapatkan per
"Rudi, anakmu masih hidup!" Pria bernama Arras itu kemudian menarik Darren ke dalam pelukan. Darren hanya diam saja, dia masih memiliki ketakutan untuk membalas pelukan Arras, karena sadar dia bukanlah siapa-siapa dibandingkan dengan lelaki yang memeluknya itu, dia adalah bos besar di bank tersebut."Jadi, bapak benar teman papa?" tanya Darren setelah Arras melepaskan pelukannya dan mempersilakan Darren duduk pada kursi yang ada di hadapannya.Darren ingin lebih meyakinkan hatinya, dia tidak mau menemui orang yang salah yang akan membuat semuanya berantakan. Dia harus mendengar dari Arras, agar dia lebih yakin."Iya." Setelahnya, pria itu pun menjelaskan bagaimana hubungan Arras dengan papanya, Rudi. "Kami berasal dari panti yang sama. Kami juga bahkan tidak tahu siapa orang tua kami. Dan bukan hanya kami, mama kamu juga adalah anak panti yang sama."Darren mengangguk, karena itu juga dia sudah tahu sebab, dia bahkan tidak memiliki keluarga seorangpun.Kemudian mengalunlah cerita Arr
"Siapa?" tanya Darren lagi dengan rasa penasaran yang mendalam.Arras menghela nafas berat, dia tampak ragu untuk mengatakannya. "Martano dan Buston."Darah Darren terasa berhenti mengalir saat mendengar jawaban dari Arras. Bagaimana tidak, orang yang membuat hidupnya hancur adalah berada sangat dekat dengannya. Bahkan saat ini dia menjadi babu bagi orang tersebut."Berarti ini hubungannya," gumam Darren dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia melihat kembali dokumen yang sudah dia arsipkan di ponselnya itu. "Dia dalangnya."Tangan Darren mengepal, rahangnya mengeras. "Aku harus membalasnya!" Melihat perubahan Darren yang cukup signifikan membuat Areas tampak keheranan, karena wajah Darren seolah-olah menunjukkan sesuatu saat melihat ponselnya."Ada apa? Apa ada yang terjadi?" tanya Arras pelan.Darren kemudian menyodorkan ponselnya ke arah Arras, meminta lelaki paruh baya itu membaca apa yang beberapa hari lalu dia temukan, dan karena itu juga lah yang membuat Darren berada
"Dari bank mengurus kartu ATM yang terblokir," jawab Darren pelan.Martano tersenyum sinis, dia tahu kalau menantunya ini berbohong. Dan entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang ditutupi oleh Darren; "Seharian?" tanyanya menyelidik."Antriannya panjang.""Bantu Zahir perbaiki mobilku, tadi sempat mogok di jalan!" perintah Martano sambil melenggang pergi meninggalkan Darren yang membulatkan matanya. Sekarang dia diminta jadi montir.Darren benar-benar seperti dikerjain oleh orang-orang di rumah itu. Semua pekerjaan dia harus bisa kerjakan. Darren tidak menjawab, dia langsung menuju ke halaman belakang tempat dimana Zahir, montir pribadi keluarga Martano sedang mengecek kondisi mobil mewah itu. Dan seharusnya tidak perlu lagi Darren yang ikut campur, toh Dareen sama sekali tidak tahu masalah otomotif. Namun, Darren tidak ambil pusing tanpa banyak bicara dan tidak berganti pakaian dia membantu Zahir semampunya.Setelah beberapa saat, akhirnya selesai juga masalah pada mobil tersebut, b
"Aku? Ada apa?" tanya Darren kebingungan sambil menunjuk dirinya sendiri, namun matanya terus memperhatikan Kodir.Kodir mengangguk percaya diri; "Ada berkas penting yang hilang di ruangan pak Martano. Dan orang yang terakhir kali masuk kesana adalah kau!"Darren diam membeku mendengar tuduhan yang ditujukan kepadanya itu. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar."Entah kapan berkas itu hilang, yang jelas kau adalah orang yang paling tertuduh. Sekarang mengaku saja sebelum masalah ini dibawa ke pihak berwajib!" sambung Kodir dengan wajah yang berapi-api, bahkan matanya mengintimidasi.Darren tidak terima dengan tuduhan itu, namun dia juga harus menahan dirinya agar semua tidak menjadi boomerang baginya. "Apa yang harus aku akui? Aku tidak mengambil atau menghilangkan apapun, aku hanya merapikan semua yang berantakan diatas meja sesuai dengan tugas kita seharusnya.""Jangan menyangkal!" tiba-tiba sebuah suara dari arah pintu membuat semua orang terdiam. Dan tidak berapa lama terlih
Darren membelalakkan matanya mendengar apa yang diperintahkan oleh Martano. "Brengsek! Apa yang dia rencanakan sebenarnya?" tanya Darren dalam hatinya, karena saat ini Darren sangat yakin kalau Martano memiliki tujuan tertentu.Dia dibuat seperti seorang pencuri, Darren mengumpat dalam hatinya; "Aku tidak akan memaafkanmu!" Martano berjalan meninggalkan ruangan itu dengan santai seolah tidak terjadi hal apapun disana."Ikut kami!" Dua orang satpam tadi menyeret Darren ke ruangan bos, mengikuti langkah kaki Martano yang tersenyum penuh kemenangan. Seolah-olah dia akan mendapatkan sesuatu yang besar dari menantunya itu.Darren benar-benar marah, dia diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, seolah-olah dia adalah seorang pendosa. Bahkan harus diseret seperti itu. Padahal dia tidak akan kabur, dia juga ingin tahu apa yang terjadi dan apa mau sang mertua."Aku bisa jalan sendiri," ujar Darren memberontak ketika dua petugas keamanan itu mengapit tangannya dengan keras."Diam! Jangan ba