Kediaman Adam sukses membuat mulut Angelina melongo lebar. Bibirnya terbuka sejak tadi, seolah-olah dia kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara tiba-tiba. Kawasan Bittersweet Valley merupakan area wastu yang megah—mansion—yang hanya pernah dia lihat di kolom tabloid properti. Desainnya mengusung tema klasik modern. Halamannya dilengkapi taman luas dengan aneka ragam pepohonan yang ditata simetris serta helipad dan kolam renang yang ukurannya empat kali lipat lebih besar daripada kolam renang umum yang biasa wanita itu kunjungi di libur musim panas sewaktu sekolah.
Angelina seketika disambut oleh sepuluh orang pelayan berseragam ala maid di depan gerbang. Mereka setengah membungkuk, lantas seseorang dari mereka menuntunnya masuk ke dalam dan menunjukkan kamar khusus padanya. Ruangan yang telah disiapkan Adam itu terletak di lantai empat. Angelina pun harus menaikinya melalui lift. Dia lagi-lagi berdecak kagum selepas empat orang pelayan menyambutnya dengan takzim.
“Tuan Ford akan segera kemari, Nona Wilson. Mohon, kesediaannya menunggu,” pinta seorang pelayan wanita yang mengantarnya.
“Ba-baiklah.”
Pelayan berkepang dua itu pamit setelah menyampaikan pesan agar memanggilnya jika membutuhkan sesuatu; jenis sajian yang ingin dia makan atau minyak esensial di bathub, apa saja. Angelina kembali mengangguk mengiyakan sebab kepalanya mulai pening. Dia belum tidur, apalagi sarapan. Wanita itu memutuskan untuk duduk di pinggir ranjang king size yang sanggup diisi tiga hingga empat orang dewasa di sana dengan raut wajah kusut.
Ingatan tentang perilaku buruk Rupert menciptakan kabut yang makin lama makin mengembun di sudut matanya. Dia memaki sang ayah berulang kali sebelum akhirnya sosok rupawan yang sedang berdiri di dekat pintu itu hadir menertawakannya. Adam melipat kedua tangannya di dada, sementara sepasang matanya dinginnya memandangi Angelina dengan tatapan mencemooh. Sorot yang selalu dia berikan terhadap wanita itu.
“Apa kau akan terus-menerus meratapinya?”
Isak tangis Angelina spontan berhenti, “Ka-kau.”
“Apa kau suka kamar barumu?”
Angelina mengusap jejak air mata di kedua pipinya. Ada masalah lain yang jauh lebih besar daripada sekadar mengutuk Rupert yang tengah menantinya sekarang; Adam. Pria itu tak akan membiarkan hidupnya tenang sampai dua tahun berikutnya.
“Aku bertanya padamu, Angelina. Jawab aku. Apa kau suka kamar barumu?” sambungnya lagi.
“Kupikir agak berlebihan. Maksudku, suasananya memang nyaman, tetapi terlalu besar untuk ditinggali sendiri.”
“Kau hanya harus membiasakan diri. Kau tinggal di kamar yang kecil sebelumnya. Satu lagi, mengapa kau mengira kau akan sendiri?”
Angelina melihat kedua alis Adam yang tebal bertaut dan wanita itu pun menyahut, “A-apa kau juga tidur di kamar yang sama denganku, Tuan Ford?”
“Tentu saja. Apa kau pikir aku menyewamu sebagai piala untuk dipajang? Kita punya program bercinta hingga kau hamil.”
Jadwal terprogram itu akan membuat Adam mengoyak tubuh Angelina yang malang. Dia terperangah dan tetesan bening lagi-lagi merebak menuruni wajahnya. Rasanya sulit mengontrol diri di dekat pria itu.
“Aku mengerti wanita adalah makhluk emosional, tetapi kau selalu menjual air matamu.”
“Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Ford. Anggap saja aku memang seperti itu,” desis Angelina yang menahan rasa marahnya.
“Tidurlah dan berhenti berdebat denganku. Aku tahu kau belum tidur.”
Angelina menggigit bibir. Dia bingung dengan perubahan sikap Adam yang mendadak perhatian padanya. Wanita itu mendongak, tetapi yang dia temukan hanya ekspresi pongah di wajah aristokratnya.
Adam adalah tipe lawan jenis yang mudah dicintai. Sorot mata tajam, hidung runcing yang ideal, juga warna kulit cokelat memukau yang membungkus otot-otot biseps dan pecs di tubuhnya yang liat. Postur semampai serta rambut hitamnya yang selalu ditata ala pompadour menyumbangkan segenap nilai lebih sebagai penunjang penampilannya.
Figur yang berhasil mendominasi sekaligus memesona hidup Angelina sekarang. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang selalu merindukan sosok ibunya. Dia hanya punya tinggi badan rata-rata, iris terang yang menyerupai batu safir, serta rambut pirang panjang sepunggung yang mengombak setiap kali dia mengayunkan langkahnya.
“Ba-bagaimana kau tahu?”
“Itu bukan sesuatu yang sulit, kau tahu. Kantung matamu terlihat dua kali lipat lebih besar dari sejam lalu,” ejek Adam sambil melipat kedua tangannya di dada.
Angelina hanya mendengus, enggan mengacuhkan kalimat bernada hinaan itu karena dia letih berdebat dengan Adam. Pria itu tak pernah suka menerima kekalahan, meskipun dia salah. Jadi, apa gunanya dia membuang tenaga untuk sekadar menanggapi?
“Aku ingin tidur,” gumam Angelina yang menguap dan menutup mulutnya.
“Persiapkan dirimu pukul sembilan nanti malam.”
“Apa maksudmu?”
Adam mengetatkan rahang sampai bibirnya yang semula rapat menjadi berkedut-kedut, “Berhentilah berlagak idiot. Kita akan bercinta. Apa itu cukup jelas sekarang?”
Angelina menekuri sepasang kakinya sendiri, “Y-ya.”
“Ada beberapa peraturan yang kubuat dan salah satu kewajibanmu adalah mematuhinya. Pertama, kau hanya boleh sarapan di ruang makan bersamaku. Setiap pukul satu siang, orang-orangku akan datang kemari dan mengantarkan aneka sajian yang kau minta. Kau tidak diizinkan keluar dari kamarmu selain waktu makan pagi. Apa kau mengerti?”
Angelina memandang Adam dengan tatapan ngeri, “Kau memperlakukanku seperti tawanan.”
Sorot mata Adam yang terkunci pada ekspresi wajah Angelina pun sontak mengeras, “Aku punya hak atasmu, Angelina. Aku membelimu.”
Bibir Angelina bergetar menahan jutaan sesak yang menjejali dadanya, “Kau juga membuatku terdengar seperti jalang.”
“Itu fakta. Aku menyewa rahimmu, aku punya hak untuk memperlakukanmu sesuai dengan keinginanku.”
Angelina memejamkan matanya, “Baiklah, Tuan Ford.”
“Tidurlah. Kau boleh menikmati waktu istirahatmu.”
“Apa kau pikir aku masih ingin tidur selepas kau mencela harga diriku?” sahut Angelina yang jengkel.
Adam menyipitkan mata, “Kupikir aku harus menambahkan satu aturan baru.”
“Aturan baru?”
“Kau harus menjaga semua perilakumu di hadapanku, Angelina. Aku benci dibantah. Aku juga benci ditentang. Ingat itu.”
Angelina mengangguk tanpa mempertemukan tatapan mereka, “Bolehkah aku bertanya satu hal padamu, Tuan Ford?”
“Itu tergantung.”
“Lupakan saja,” desah Angelina yang putus asa.
“Apa yang ingin kau tahu?”
Angelina kembali mendongak, “Mengapa... mengapa kau memilihku? Kau seharusnya tidak perlu mencampuri urusan ayahku, bukan?”
“Pertanyaan yang menarik,” bisik Adam yang membalas tatapan sedih Angelina.
“Apa kau sengaja melakukannya?”
“Dengar, Angelina. Aku punya kekasih, dia seorang model yang memegang prinsip childfree dalam hubungan kami. Aku menghormati pilihannya, tetapi aku tetap membutuhkan seorang pewaris. Aku ingin darah dagingku sendiri. Anggaplah kau sedang dinaungi oleh Dewi Fortuna, aku melemparkan sasaran yang membidikmu malam itu.”
“Ke-kekasih? Apa dia tahu kau menyimpan wanita lain di belakangnya?”
Adam mengumbar tawanya, “Tentu saja. Ada apa? Apa kau menaruh minat pada aktivitas threesome atau sejenisnya?”
Kedua pipi Angelina terasa panas, “Tidak. Berhentilah berpikir bahwa aku akan menyetujui ide gila itu.”
“Sayang sekali,” komentar Adam yang menerbitkan seringai sinis di wajahnya.
“A-apa aku boleh istirahat sekarang, Tuan Ford?”
“Baiklah,” sahut Adam pendek, dia berbalik memunggungi Angelina keluar dari sana dan meninggalkan wanita itu dengan seluruh ketidakberdayaannya.
***
Angelina merupakan salah satu saksi bahwa sifat serakah dapat menyengsarakan siapa saja. Kini dia berjalan dalam lingkaran takdir yang diciptakan oleh Adam—bundaran tiada berujung yang memerangkapnya—hingga hari-hari ke depan. Wanita itu hanya tertidur selama tiga jam dengan antrean mimpi buruk yang selalu menghampirinya. Dia terbangun setelah meneriakkan nama Hannah—ibunya, lantas menangis di bawah lindungan selimut berbahan katun yang menutupi sekujur tubuhnya.Bulan Juli menjadi bulan terburuk sekaligus titik terendah dari hidup Angelina; bulan kelahirannya sendiri. Kadang-kadang dia bahkan berharap jika usianya akan memendek dari yang seharusnya dan menemui Hannah dengan cepat. Namun, kadang-kadang wanita itu juga berharap dia sanggup melalui segenap problematik yang melintang di hadapannya.Angelina duduk di pi
“Permisi, Nona Wilson. Anda harus memilih pakaian sekarang,” seru pelayan berambut pixie yang mengarahkannya menuju kembali ke kamar tidur.Angelina hanya mengangguk mengikuti wanita itu menuntunnya ke arah dinding dengan sistem geser. Tempat lemarinya berada di balik sana—rak pakaian itu terbuat dari kayu berkualitas dengan warna krim yang dipoles sampai mengilap—berukuran besar serta mampu menampung ribuan koleksi pakaian, sepatu, dan tas yang telah terpajang rapi di setiap sekat.Angelina tercengang dengan pemandangan luar biasa di hadapannya, “Me-mengapa jenis barangnya banyak sekali?”“Semua benda itu milik Anda, Nona Wilson.”
Angelina terengah-engah, dia menyeka bibir dengan punggung tangannya dan memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan mereka saling bertemu. Sementara Adam yang mengetahui tingkah gugup wanita itu kemudian kembali menggodanya. Dia memegangi dagu Angelina, membuat ruang di antara mereka hilang hingga netra abu-abu dan biru itu menyatu dalam jajaran lurus yang sontak menciptakan perasaan lain di dada Angelina; hasrat. Gairah yang sama yang tengah melalap diri pria itu sekarang.Adam tersenyum sesaat sebelum bibirnya lagi-lagi meninggalkan noda basah di permukaan bibir Angelina. Dia mencecap dengan intens, seolah-olah tubuh wanita itu merupakan heroin yang selalu menawarkannya candu. Angelina meringis menahan serangan demi serangan yang pria itu lancarkan untuknya sampai di titik dia tak kuasa lagi membendung sejuta gejolak yang melingkupi dadanya dan Adam langsung melepaskan tautan fisik
Angelina bangun pukul delapan. Dia mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandang ke sekeliling. Awalnya dia pikir Adam akan ada di sana; menyisir rambutnya atau memberikan ucapan selamat pagi untuknya. Namun, sosok pria itu tak ada di sana. Momen tentang adegan pergumulannya bersama Adam mendadak terkenang di dalam kepala wanita itu—menciptakan semburat merah—yang sukses mewarnai kedua pipinya.Angelina beranjak dari atas tempat tidur dengan segera, tetapi rasa nyeri di antara selangkangannya membuat wanita itu berhenti menggerakkan tubuhnya dan mengaduh dalam nada lirih yang membuatnya juga spontan menggigit bibir. Adam telah menjadi pria pertama yang mengantarkannya menuju satu persepsi baru di pengalaman seksualnya. Dia mengakui pria itu memang luar biasa, sementara sisi lain dirinya mengutuk tindakan bodohnya yang terlena dengan mudah oleh keahlian Adam.
“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany
“Cepatlah, Dad. Kita akan terlambat,” gerutu Arthur yang tengah memakai kaos kakinya dengan terburu-buru.“Kau memintaku untuk bergerak cepat, tetapi kau sendiri belum selesai bersiap-siap sejak dua puluh menit yang lalu.”“Mom akan membunuh kita. Hari ini merupakan hari penting bagi Paman Saga. Dia tidak ingin melewatkan satu momen pun,” balas Arthur yang kini memasang sepatu pantofelnya.“Dia tidak akan membunuhku, Nak. Dia sangat mencintaiku—oh, astaga! Di mana dasiku?”“Bukankah Mom meletakkannya di atas ranjang?”“Tidak ada di sana.”“Entah, Dad. Kau harus bertanya padanya lagi.”“Dia sudah menyiapkan semuanya tadi. Jika aku kembali menanyakan tentang itu, maka dia akan membunuhku.”“Kau bilang, Mom sangat mencintaimu,” seloroh bocah itu dengan nada yang dibuat-buat.“Ya, tetapi untuk yang satu itu, aku dapat memastikan dia akan melakukannya. Ibumu cende
“Saga? Apa kau sudah mengirim undangan untuk teman-temanmu? Semuanya?” tanya Ruby sambil menyesap kopinya yang setengah dingin.“Uh-huh.”“Bagaimana dengan Adam dan Angelina?”“Tentu saja. Mereka juga sudah kukirimi minggu kemarin,” sahut Saga yang masih enggan melepaskan pandangannya dari layar laptop.“Aku harus mengecek ulang tentang daftar orang-orang yang belum kita kirimi. Aku tidak ingin membuat kesalahan dengan melewatkan satu-dua orang yang terlupakan untuk hari penting kita,” keluh Ruby yang kemudian memijit ruang di antara kedua alisnya.“Tenanglah, kau tidak perlu merasa setegang itu.”“Tidak. Aku tidak merasa tegang,” kilah wanita itu sambil mengedikkan bahunya.“Kau menyeruput kopimu berkali-kali. Kau juga menyentuh keningmu tanpa henti. Caramu duduk pun mencerminkan isi hatimu.”“Apa kau memperhatikanku?”“Ya, Ruby. Mengapa kau pikir aku tidak
“Apa kau yakin itu garis dua?”“Tentu saja. Aku sudah mencobanya empat kali dan hasilnya tetap positif,” sahut Angelina yang netranya berkaca-kaca sekarang.Adam seketika menyambar alat uji kehamilan tersebut dari genggaman Angelina dan memandanginya lekat-lekat. Pria itu kemudian menjatuhkan benda yang semula dia pegang—kedua tangannya terulur menarik pinggang ramping sang istri. Kepalanya pun turun—membuat posisi sejajar dengan perut agar dapat memberi kecupan di sana.“Bayiku sedang tumbuh di dalam,” bisik Adam dengan nada memuja.“Dia akan membuat kita jauh lebih lengkap lagi.”Adam sontak mengalihkan tatapan dan beranjak memeluk tubuh Angelina dengan perasaan haru yang menjejali dadanya. Mereka saling mendekap erat satu sama lain. Tenggelam dalam ledakan euforia yang menghujani pikiran masing-masing.Berita tentang kehadiran calon anggota keluarga baru dalam hidup mereka
“Apa kau yakin kau tidak akan ikut bersama kami?”Saga serentak menoleh pada James Ambrose dan Seth O’Connor—rekannya, kemudian mengangguk dengan mantap. Dia kembali mengalihkan pandangan ke layar komputer yang masih menyala di depannya. Berjuang untuk memfokuskan pikirannya yang sedang kacau.“Kami akan mengenalkanmu pada wanita-wanita cantik di sana,” bujuk James sambil menyandarkan kedua sikunya ke atas meja kerja Saga.“Jawabannya tetap tidak.”“Aku kenal satu yang sesuai dengan tipemu.”“Tidak, James.”“Dia pirang, dia juga bermata biru. Ada banyak yang punya ciri-ciri fisik serupa, tetapi aku tahu Barbara sangat pas untukmu.”“Tutup mulutmu atau aku akan menjahitnya tanpa anestesi.”“Ada apa denganmu, Bung? Kau berubah menjadi Saga yang pemarah sekarang,” timpal Seth yang menanggapi lirikan tajam Saga pada mer
Lima pekan berlalu dalam gelombang tenang yang membuat Arthur bahagia untuk keluarga lengkapnya. Pun dengan Adam dan Angelina yang sedang mempersiapkan dokumen kepindahan bagi pendidikan Arthur serta acara pernikahan kedua mereka. Sesuatu yang sakral itu akan berlangsung esok.Angelina siap untuk menjadi pengantin—berdiri mengikat janji pada Adam dalam balutan gaun megar yang memesona—dengan melepaskan semua masa lalunya. Berjalan sebagai sosok yang baru. Angelina Wilson Ford yang telah mendapatkan cintanya lagi.Bersama Adam, Angelina merasa utuh. Bersama pria itu, dia merasa sempurna. Adam seperti kepingan puzzle yang sudah lama hilang, lantas ditemukan kembali olehnya lewat perjalanan panjang.Esok akan menjadi hari yang paling istimewa untuk mereka. Masa yang akan membuat Angelina enggan membiarkan waktu berganti kelewat cepat. Dia ingin mengabadikan segenap momen itu dalam pikirannya.Merekam seluruh prosesinya dengan bentuk memori luar b
“Aku akan kembali kemari esok, Mom.” “Ya, Sayang. Pulanglah bersama Paman Sam dan istirahat. Mom tidak ingin kau kelelahan, kemudian jatuh sakit.” Arthur spontan mengangguk pada ibunya, lantas meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Detik berikutnya, bocah itu menguap lebar hingga sepasang iris abu-abunya berair. Angelina yang menyaksikan tingkah sang putra pun tersenyum dan menanggapi, “Hari yang panjang, hm?” “Sangat amat panjang, tetapi aku mendapatkan hadiah terbaikku juga. Jadi, kupikir itu sepadan.” “Hadiah terbaik?” Arthur pun menoleh pada sosok dominan yang sedang melamun memandang ke luar jendela. Angelina yang mengikuti arah pandangan Arthur seketika paham dengan maksudnya. Adam menjadi kado terindah bagi mereka. Aneh? Angelina juga merasa demikian. Namun, takdir bekerja seperti sihir—ajaib dan tanpa batas. Keadaan bertukar hanya dalam waktu sekejap. Kemarin, dia bersikeras untuk mengenyahkan seluruh luka lamanya. Kini, dia ju
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Adam pada Angelina yang baru saja sadar setelah wanita itu dipindahkan dari ruang transisi ke ruang perawatan untuk pemulihan.“Aku akan selalu ada bersamamu. Kau tidak perlu khawatir tentang apa pun,” lanjutnya lagi.Angelina menyunggingkan senyumnya, lantas menganggukkan kepala tanpa menyahut. Sepasang matanya beralih ke arah lain—mencari sosok Arthur—di sana. Namun, yang dia temukan hanya lah dinding dengan dominasi cat putih dan dua buah nakas kecil di sekitar jendela.“Di mana putraku?” bisik Angelina dengan suara parau.“Dia sedang bicara bersama seseorang di luar.”“Seseorang?”“Saga,” sahut Adam dengan nada enggan.“Apa Saga baik-baik saja?”Kedua alis Adam spontan bertaut pada ekspresi khawatir di wajah Angelina dan membalas, “Pertanyaan itu seharusnya untukmu. Bukan dia.”&ld
“Apa Mom akan baik-baik saja?” tanya Arthur sambil memandangi pintu bangsal ICU yang baru saja ditutup.Adam seketika melayangkan tatapan muram pada Arthur. Dia juga berharap Angelina akan baik-baik saja seperti yang mereka inginkan. Namun, satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanya menunggu para tim medis selesai bekerja dan membiarkan sedikit keajaiban datang.“Angelina wanita yang kuat. Satu luka tembak tidak akan membuatnya menyerah.”Arthur spontan menoleh dan balas menatap pada Adam. Dua pasang iris dengan warna persis itu saling beradu dalam rasa cemas yang menggantung kental di benak mereka masing-masing. Adam kemudian memalingkan wajahnya sambil mendengus canggung.“Jadi, kau adalah Ayahku?”“Kau boleh memanggilku Dad atau sebutan apa saja yang kau suka.”“Apa yang terjadi pada kalian? Mengapa Ayah Saga sangat marah dan ingin menembakmu?” selidik Arthur yang penasaran
“Caramu salah. Itu tidak akan menghentikan pendarahannya. Minggirlah, biar aku yang melakukannya,” ucap Saga setelah dia tersadar dari syok yang sempat menggulung dirinya.“Diam di sana atau aku akan melemparmu ke dalam penjara sekarang juga!”“Tidak ada waktu untuk bertengkar. Nyawa Angelina dalam bahaya.”“Kaulah yang melukainya!” teriak Adam dengan sorot mata penuh dendam.“Ber-berhentilah berkelahi, kumohon. A-aku tidak apa-apa. Ha-hanya se-sedikit sesak,” ungkap Angelina selepas menyaksikan ketegangan yang lagi-lagi menggantung di antara mereka.“Posisikan tubuhnya lebih tinggi lagi. Dia harus tetap terjaga sampai tim medis datang. Ajaklah dia bicara tentang apa saja,” pinta Saga sambil meraba tekanan detak nadi di salah satu pergelangan tangan Angelina.Adam menurut—memosisikan tubuh Angelina sesuai dengan instruksi, lantas mengecup lembut kening Angelina yan