Angelina merupakan salah satu saksi bahwa sifat serakah dapat menyengsarakan siapa saja. Kini dia berjalan dalam lingkaran takdir yang diciptakan oleh Adam—bundaran tiada berujung yang memerangkapnya—hingga hari-hari ke depan. Wanita itu hanya tertidur selama tiga jam dengan antrean mimpi buruk yang selalu menghampirinya. Dia terbangun setelah meneriakkan nama Hannah—ibunya, lantas menangis di bawah lindungan selimut berbahan katun yang menutupi sekujur tubuhnya.
Bulan Juli menjadi bulan terburuk sekaligus titik terendah dari hidup Angelina; bulan kelahirannya sendiri. Kadang-kadang dia bahkan berharap jika usianya akan memendek dari yang seharusnya dan menemui Hannah dengan cepat. Namun, kadang-kadang wanita itu juga berharap dia sanggup melalui segenap problematik yang melintang di hadapannya.
Angelina duduk di pinggir ranjang sekarang, memandang jauh ke diorama pepohonan beech yang tumbuh bersama koloni lain di luar jendela dan mengatur napas untuk menekan sisi emosionalnya yang kembali naik. Persetan dengan Rupert, pikirnya. Selepas perasaannya berubah menjadi stabil, dia mengedarkan pandang ke sekeliling. Wanita itu sedang mengamati setiap detail kecil yang ada di sekitarnya. Sesuatu yang belum sempat dia lakukan sejak pertama kali tiba di kediaman keluarga Ford sebab perhatiannya terbagi ke hal-hal lain.
Ruang seluas belasan meter itu memang besar dan mewah, tetapi nyaman—terlalu nyaman malah, nuansa klasik memenuhi seluruh dekorasinya. Desain yang estetik itu berhasil membuat orang yang menempatinya merasa tengah berada di kawasan hotel fasilitas bintang wahid. Gaya interiornya pun memberikan suasana ikonik dengan sentuhan elemen ukir di mana-mana; kepala ranjang, lemari, gagang pintu sampai chandelier ala abad pertengahan yang dijalin menggunakan rantai dua susun.
Angelina terus mengayunkan langkahnya, kemudian berhenti di depan sebuah patung karya Alberto Giacometti yang terbuat dari bahan perunggu. Dia menurunkan kepalanya sedikit dan menjernihkan pandangan lekat-lekat. Wanita itu bukan penikmat seni, tetapi dia tahu semua benda yang terpajang di sana adalah barang-barang berharga fantastis. Sesuatu yang tak akan pernah mampu dia beli. Tak peduli seberapa keras usahanya untuk mengumpulkan lembaran dolar ke dalam rekening pribadinya.
Suara ketukan pada pintu mendadak terdengar—bunyi yang menyela aktivitas Angelina, dia seketika menoleh dan menyahut, “Masuklah.”
Pintu langsung terbuka melebar. Sepuluh orang pelayan yang sedang mendorong kereta berisi lusinan nampan masakan masuk dengan barisan rapi, berjejer di dekat Angelina. Salah satu dari mereka memberikan salam, lantas menjelaskan menu sajian yang mereka bawa di lima kereta pertama—tema Asia; bebek peking, burrito, kari, sushi hingga samosa.
“A-apa aku harus menghabiskan seluruh hidangan itu?” komentar Angelina yang terkejut atas jumlah makanan yang datang.
“Anda boleh memilih yang mana pun, Nona Wilson.”
Si pelayan itu lagi-lagi menerangkan berbagai isi dari sisa kereta berikutnya—bertema Eropa; banitza, currywurst, gnocchi, steik, dan sup krim jagung. Angelina tercengang menyaksikan para pelayan itu bergerak sigap membuka satu-persatu penutup nampan, seolah-olah tengah memeragakan mini parade.
“Apa aku boleh memberi saran?”
Pelayan berlesung pipi itu mengernyitkan keningnya, “Tentu saja, Nona Wilson.”
Angelina menghela napas panjang sebelum membalas, “Kalian tidak perlu mengantarkan masakan sebanyak itu. Cukup dua atau tiga menu hidangan saja. Berlebihan juga bukan sesuatu yang baik.”
“Baiklah, Nona Wilson. Maafkan kami,” angguknya sambil setengah membungkuk.
“Bangunlah, kumohon. Kalian tidak usah bersikap seformal itu padaku. Aku bukan siapa-siapa.”
“Anda merupakan tamu dari majikan kami. Tuan Ford akan menghukum kami jika perilaku kami kurang sopan.”
Angelina memijit ruang di antara alisnya dan kembali berujar, “Apa Adam—mak-maksudku Tuan Ford selalu berlaku kejam pada kalian?”
“Tidak, Nona Wilson. Tuan Ford adalah orang yang baik.”
Angelina nyaris tersedak air liurnya sendiri, “Baik?”
Pelayan itu tersenyum, “Ya. Kadang-kadang Tuan Ford memang berbicara dengan lugas dan agak tajam, tetapi dia pria yang baik.”
“Aku tidak percaya,” gumam Angelina pada dirinya sendiri.
“Apa Anda mengatakan sesuatu, Nona Wilson?”
“Eh? Ti-tidak, tidak ada. Kalian boleh pergi.”
Deretan pelayan itu keluar dari sana, meninggalkan Angelina yang memandangi sejumlah makanan dengan asap yang masih mengepul di hadapannya. Jika dia berada di situasi normal, maka wanita itu tak akan melewatkan kesempatan untuk mencicipi semuanya. Selera makannya menjadi kacau, menahan rasa lapar terdengar wajar baginya sekarang.
Sisa hari itu kemudian bergulir menuju senja. Angelina duduk di balkon menonton matahari terbenam. Dia merindukan udara. Hawa segar dan panasnya sengatan bintang yang menjadi pusat tata surya itu pada kulitnya. Dia bosan terkurung di dalam kamar sepanjang waktu sekaligus khawatir dengan perihal ‘pukul sembilan’ yang akan datang sebentar lagi.
Suara ketukan lagi-lagi terdengar dan dua orang pelayan yang berbeda dari sebelumnya hadir menyapa Angelina. Mereka membawa dua helai handuk berserat bambu—berbahan campuran katun atau linen lembut—tersampir di lengan kiri masing-masing serta sekeranjang peralatan khusus untuk berendam. Salah satunya lantas meminta wanita itu ikut ke kamar mandi.
“Ada apa?” tanya Angelina sesaat setelah mereka masuk ke area bathub.
“Anda harus mempersiapkan diri, Nona Wilson.”
“Bukankah hari masih petang?”
Pelayan bergigi besar itu mengangguk, “Anda benar, tetapi Tuan Ford memerintahkan kami agar melayani Anda berendam sekarang. Kami akan menyiapkan lilin aroma terapinya dahulu.”
“Apa bau lilin yang Anda sukai, Nona Wilson?” tegur pelayan lainnya—rambut cokelatnya dipotong pendek model pixie yang mencuat ke segala arah.
“Um, entah. Maksudku, aku belum pernah menggunakan lilin seperti itu. Pilihkan saja satu yang wanginya menyerupai bunga-bungaan.”
Si pelayan refleks menyambar dua jenis hidrokarbon padat itu dan menaruhnya di ujung bathub, “Aroma bunga lavender akan membuat Anda rileks.”
“Benarkah? Terima kasih.”
“Apa Anda ingin susu almon atau susu kambing, Nona Wilson?”
“Busa saja cukup.”
“Maafkan kami, tetapi Tuan Ford yang menginginkannya. Dia ingin Anda mandi susu.”
Angelina melengos kesal, “Apa dia juga berhak mengatur acara mandiku?”
Pelayan pixie itu menjawab, “Tentu saja, Nona Wilson.”
“Tuan Ford yang menyuruh kami,” sambung pelayan bergigi besar.
“Pria itu tahu caranya membuatku marah,” gerutu Angelina yang seketika memalingkan wajahnya ke arah bathub—bak itu terlihat kental—dengan sentuhan romantik.
“Ada beberapa pilihan kelopak bunga juga, Nona Wilson.”
Angelina berdecak jengkel, “Tolong, campurkan apa saja di sana. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin ritualnya lekas berakhir.”
Dua pelayan itu mengangguk serentak, kemudian menuang susu almon dan kelopak bunga mawar putih di dalam sana—membiarkan Angelina mengambil waktu berendam yang nyaman—sebelum menyelesaikan tahap selanjutnya, yaitu memilih pakaian. Adam ingin memastikan wanita itu benar-benar siap untuk dirinya—menaklukkan dan mengontrol Angelina di bawah pacuan tubuhnya serta ‘menghancurkannya’—sampai dia sendiri yang memohon di bawah kaki pria itu.
***
“Permisi, Nona Wilson. Anda harus memilih pakaian sekarang,” seru pelayan berambut pixie yang mengarahkannya menuju kembali ke kamar tidur.Angelina hanya mengangguk mengikuti wanita itu menuntunnya ke arah dinding dengan sistem geser. Tempat lemarinya berada di balik sana—rak pakaian itu terbuat dari kayu berkualitas dengan warna krim yang dipoles sampai mengilap—berukuran besar serta mampu menampung ribuan koleksi pakaian, sepatu, dan tas yang telah terpajang rapi di setiap sekat.Angelina tercengang dengan pemandangan luar biasa di hadapannya, “Me-mengapa jenis barangnya banyak sekali?”“Semua benda itu milik Anda, Nona Wilson.”
Angelina terengah-engah, dia menyeka bibir dengan punggung tangannya dan memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan mereka saling bertemu. Sementara Adam yang mengetahui tingkah gugup wanita itu kemudian kembali menggodanya. Dia memegangi dagu Angelina, membuat ruang di antara mereka hilang hingga netra abu-abu dan biru itu menyatu dalam jajaran lurus yang sontak menciptakan perasaan lain di dada Angelina; hasrat. Gairah yang sama yang tengah melalap diri pria itu sekarang.Adam tersenyum sesaat sebelum bibirnya lagi-lagi meninggalkan noda basah di permukaan bibir Angelina. Dia mencecap dengan intens, seolah-olah tubuh wanita itu merupakan heroin yang selalu menawarkannya candu. Angelina meringis menahan serangan demi serangan yang pria itu lancarkan untuknya sampai di titik dia tak kuasa lagi membendung sejuta gejolak yang melingkupi dadanya dan Adam langsung melepaskan tautan fisik
Angelina bangun pukul delapan. Dia mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandang ke sekeliling. Awalnya dia pikir Adam akan ada di sana; menyisir rambutnya atau memberikan ucapan selamat pagi untuknya. Namun, sosok pria itu tak ada di sana. Momen tentang adegan pergumulannya bersama Adam mendadak terkenang di dalam kepala wanita itu—menciptakan semburat merah—yang sukses mewarnai kedua pipinya.Angelina beranjak dari atas tempat tidur dengan segera, tetapi rasa nyeri di antara selangkangannya membuat wanita itu berhenti menggerakkan tubuhnya dan mengaduh dalam nada lirih yang membuatnya juga spontan menggigit bibir. Adam telah menjadi pria pertama yang mengantarkannya menuju satu persepsi baru di pengalaman seksualnya. Dia mengakui pria itu memang luar biasa, sementara sisi lain dirinya mengutuk tindakan bodohnya yang terlena dengan mudah oleh keahlian Adam.
“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany
Pagi itu udara cukup nyaman di luar, tetapi tak demikian yang dirasakan oleh Angelina. Dia justru merasa dingin—beku dan kaku—di sekujur tubuhnya, seolah-olah wanita itu baru saja dikurung dalam lemari pendingin selama beberapa jam dengan posisi tubuh yang salah. Punggungnya pun menjerit setiap kali dia melakukan gerakan kecil untuk aksi peregangan, sementara area selangkangannya turut serta mengambil posisi teratas yang menuntut perhatian agar disematkan ke dalam daftar khusus; kategori rasa nyeri yang sulit diabaikan.Adam yang bajingan itu melakukannya dengan kasar tadi malam. Sikapnya seketika berubah menjadi buas—gempuran liar dan gila—sesuatu yang belum pernah Angelina rasakan karena memang dia merupakan orang pertama yang menidurinya. Wanita itu mencoba untuk duduk setelah pikirannya kembali jernih dari kenangan panas yang masih tertinggal. Namun, keputusan itu
“Cepatlah, Dad. Kita akan terlambat,” gerutu Arthur yang tengah memakai kaos kakinya dengan terburu-buru.“Kau memintaku untuk bergerak cepat, tetapi kau sendiri belum selesai bersiap-siap sejak dua puluh menit yang lalu.”“Mom akan membunuh kita. Hari ini merupakan hari penting bagi Paman Saga. Dia tidak ingin melewatkan satu momen pun,” balas Arthur yang kini memasang sepatu pantofelnya.“Dia tidak akan membunuhku, Nak. Dia sangat mencintaiku—oh, astaga! Di mana dasiku?”“Bukankah Mom meletakkannya di atas ranjang?”“Tidak ada di sana.”“Entah, Dad. Kau harus bertanya padanya lagi.”“Dia sudah menyiapkan semuanya tadi. Jika aku kembali menanyakan tentang itu, maka dia akan membunuhku.”“Kau bilang, Mom sangat mencintaimu,” seloroh bocah itu dengan nada yang dibuat-buat.“Ya, tetapi untuk yang satu itu, aku dapat memastikan dia akan melakukannya. Ibumu cende
“Saga? Apa kau sudah mengirim undangan untuk teman-temanmu? Semuanya?” tanya Ruby sambil menyesap kopinya yang setengah dingin.“Uh-huh.”“Bagaimana dengan Adam dan Angelina?”“Tentu saja. Mereka juga sudah kukirimi minggu kemarin,” sahut Saga yang masih enggan melepaskan pandangannya dari layar laptop.“Aku harus mengecek ulang tentang daftar orang-orang yang belum kita kirimi. Aku tidak ingin membuat kesalahan dengan melewatkan satu-dua orang yang terlupakan untuk hari penting kita,” keluh Ruby yang kemudian memijit ruang di antara kedua alisnya.“Tenanglah, kau tidak perlu merasa setegang itu.”“Tidak. Aku tidak merasa tegang,” kilah wanita itu sambil mengedikkan bahunya.“Kau menyeruput kopimu berkali-kali. Kau juga menyentuh keningmu tanpa henti. Caramu duduk pun mencerminkan isi hatimu.”“Apa kau memperhatikanku?”“Ya, Ruby. Mengapa kau pikir aku tidak
“Apa kau yakin itu garis dua?”“Tentu saja. Aku sudah mencobanya empat kali dan hasilnya tetap positif,” sahut Angelina yang netranya berkaca-kaca sekarang.Adam seketika menyambar alat uji kehamilan tersebut dari genggaman Angelina dan memandanginya lekat-lekat. Pria itu kemudian menjatuhkan benda yang semula dia pegang—kedua tangannya terulur menarik pinggang ramping sang istri. Kepalanya pun turun—membuat posisi sejajar dengan perut agar dapat memberi kecupan di sana.“Bayiku sedang tumbuh di dalam,” bisik Adam dengan nada memuja.“Dia akan membuat kita jauh lebih lengkap lagi.”Adam sontak mengalihkan tatapan dan beranjak memeluk tubuh Angelina dengan perasaan haru yang menjejali dadanya. Mereka saling mendekap erat satu sama lain. Tenggelam dalam ledakan euforia yang menghujani pikiran masing-masing.Berita tentang kehadiran calon anggota keluarga baru dalam hidup mereka
“Apa kau yakin kau tidak akan ikut bersama kami?”Saga serentak menoleh pada James Ambrose dan Seth O’Connor—rekannya, kemudian mengangguk dengan mantap. Dia kembali mengalihkan pandangan ke layar komputer yang masih menyala di depannya. Berjuang untuk memfokuskan pikirannya yang sedang kacau.“Kami akan mengenalkanmu pada wanita-wanita cantik di sana,” bujuk James sambil menyandarkan kedua sikunya ke atas meja kerja Saga.“Jawabannya tetap tidak.”“Aku kenal satu yang sesuai dengan tipemu.”“Tidak, James.”“Dia pirang, dia juga bermata biru. Ada banyak yang punya ciri-ciri fisik serupa, tetapi aku tahu Barbara sangat pas untukmu.”“Tutup mulutmu atau aku akan menjahitnya tanpa anestesi.”“Ada apa denganmu, Bung? Kau berubah menjadi Saga yang pemarah sekarang,” timpal Seth yang menanggapi lirikan tajam Saga pada mer
Lima pekan berlalu dalam gelombang tenang yang membuat Arthur bahagia untuk keluarga lengkapnya. Pun dengan Adam dan Angelina yang sedang mempersiapkan dokumen kepindahan bagi pendidikan Arthur serta acara pernikahan kedua mereka. Sesuatu yang sakral itu akan berlangsung esok.Angelina siap untuk menjadi pengantin—berdiri mengikat janji pada Adam dalam balutan gaun megar yang memesona—dengan melepaskan semua masa lalunya. Berjalan sebagai sosok yang baru. Angelina Wilson Ford yang telah mendapatkan cintanya lagi.Bersama Adam, Angelina merasa utuh. Bersama pria itu, dia merasa sempurna. Adam seperti kepingan puzzle yang sudah lama hilang, lantas ditemukan kembali olehnya lewat perjalanan panjang.Esok akan menjadi hari yang paling istimewa untuk mereka. Masa yang akan membuat Angelina enggan membiarkan waktu berganti kelewat cepat. Dia ingin mengabadikan segenap momen itu dalam pikirannya.Merekam seluruh prosesinya dengan bentuk memori luar b
“Aku akan kembali kemari esok, Mom.” “Ya, Sayang. Pulanglah bersama Paman Sam dan istirahat. Mom tidak ingin kau kelelahan, kemudian jatuh sakit.” Arthur spontan mengangguk pada ibunya, lantas meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Detik berikutnya, bocah itu menguap lebar hingga sepasang iris abu-abunya berair. Angelina yang menyaksikan tingkah sang putra pun tersenyum dan menanggapi, “Hari yang panjang, hm?” “Sangat amat panjang, tetapi aku mendapatkan hadiah terbaikku juga. Jadi, kupikir itu sepadan.” “Hadiah terbaik?” Arthur pun menoleh pada sosok dominan yang sedang melamun memandang ke luar jendela. Angelina yang mengikuti arah pandangan Arthur seketika paham dengan maksudnya. Adam menjadi kado terindah bagi mereka. Aneh? Angelina juga merasa demikian. Namun, takdir bekerja seperti sihir—ajaib dan tanpa batas. Keadaan bertukar hanya dalam waktu sekejap. Kemarin, dia bersikeras untuk mengenyahkan seluruh luka lamanya. Kini, dia ju
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Adam pada Angelina yang baru saja sadar setelah wanita itu dipindahkan dari ruang transisi ke ruang perawatan untuk pemulihan.“Aku akan selalu ada bersamamu. Kau tidak perlu khawatir tentang apa pun,” lanjutnya lagi.Angelina menyunggingkan senyumnya, lantas menganggukkan kepala tanpa menyahut. Sepasang matanya beralih ke arah lain—mencari sosok Arthur—di sana. Namun, yang dia temukan hanya lah dinding dengan dominasi cat putih dan dua buah nakas kecil di sekitar jendela.“Di mana putraku?” bisik Angelina dengan suara parau.“Dia sedang bicara bersama seseorang di luar.”“Seseorang?”“Saga,” sahut Adam dengan nada enggan.“Apa Saga baik-baik saja?”Kedua alis Adam spontan bertaut pada ekspresi khawatir di wajah Angelina dan membalas, “Pertanyaan itu seharusnya untukmu. Bukan dia.”&ld
“Apa Mom akan baik-baik saja?” tanya Arthur sambil memandangi pintu bangsal ICU yang baru saja ditutup.Adam seketika melayangkan tatapan muram pada Arthur. Dia juga berharap Angelina akan baik-baik saja seperti yang mereka inginkan. Namun, satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanya menunggu para tim medis selesai bekerja dan membiarkan sedikit keajaiban datang.“Angelina wanita yang kuat. Satu luka tembak tidak akan membuatnya menyerah.”Arthur spontan menoleh dan balas menatap pada Adam. Dua pasang iris dengan warna persis itu saling beradu dalam rasa cemas yang menggantung kental di benak mereka masing-masing. Adam kemudian memalingkan wajahnya sambil mendengus canggung.“Jadi, kau adalah Ayahku?”“Kau boleh memanggilku Dad atau sebutan apa saja yang kau suka.”“Apa yang terjadi pada kalian? Mengapa Ayah Saga sangat marah dan ingin menembakmu?” selidik Arthur yang penasaran
“Caramu salah. Itu tidak akan menghentikan pendarahannya. Minggirlah, biar aku yang melakukannya,” ucap Saga setelah dia tersadar dari syok yang sempat menggulung dirinya.“Diam di sana atau aku akan melemparmu ke dalam penjara sekarang juga!”“Tidak ada waktu untuk bertengkar. Nyawa Angelina dalam bahaya.”“Kaulah yang melukainya!” teriak Adam dengan sorot mata penuh dendam.“Ber-berhentilah berkelahi, kumohon. A-aku tidak apa-apa. Ha-hanya se-sedikit sesak,” ungkap Angelina selepas menyaksikan ketegangan yang lagi-lagi menggantung di antara mereka.“Posisikan tubuhnya lebih tinggi lagi. Dia harus tetap terjaga sampai tim medis datang. Ajaklah dia bicara tentang apa saja,” pinta Saga sambil meraba tekanan detak nadi di salah satu pergelangan tangan Angelina.Adam menurut—memosisikan tubuh Angelina sesuai dengan instruksi, lantas mengecup lembut kening Angelina yan