Angelina terengah-engah, dia menyeka bibir dengan punggung tangannya dan memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan mereka saling bertemu. Sementara Adam yang mengetahui tingkah gugup wanita itu kemudian kembali menggodanya. Dia memegangi dagu Angelina, membuat ruang di antara mereka hilang hingga netra abu-abu dan biru itu menyatu dalam jajaran lurus yang sontak menciptakan perasaan lain di dada Angelina; hasrat. Gairah yang sama yang tengah melalap diri pria itu sekarang.
Adam tersenyum sesaat sebelum bibirnya lagi-lagi meninggalkan noda basah di permukaan bibir Angelina. Dia mencecap dengan intens, seolah-olah tubuh wanita itu merupakan heroin yang selalu menawarkannya candu. Angelina meringis menahan serangan demi serangan yang pria itu lancarkan untuknya sampai di titik dia tak kuasa lagi membendung sejuta gejolak yang melingkupi dadanya dan Adam langsung melepaskan tautan fisik mereka.
“Kupikir kau akan melawanku,” ejek Adam yang diiringi tawa pendeknya.
Kedua pipi Angelina spontan berubah warna. Dia bermaksud membuang muka, tetapi Adam kembali menahan wajahnya. Dia tersenyum dengan garis ekspresif yang menandakan rasa bangga sekaligus puas itu menjilati pikirannya. Pria itu senang menemukan fakta bahwa Angelina memberikan segenap reaksi yang memang ingin dia lihat.
“Tatap aku, Angelina. Kau tidak diizinkan untuk memindahkan pandanganmu,” cetus Adam yang seketika membuat Angelina menumpahkan semua perhatiannya pada pria itu.
Kini jemari Adam bergerak menelusuri garis rahang Angelina—turun dan turun—menetap di area lehernya yang makin lama makin menjenjang sebab dia juga menikmati gerakan dengan pola acak yang pria itu sketsakan padanya. Punggung wanita itu terguncang. Dia nyaris kehilangan akal sehatnya atau barangkali kewarasannya memang sudah menguap bersama pesona Adam yang membutakannya.
Detik berikutnya, Adam menyentak piama Angelina hingga pakaian itu robek dan menjadi seonggok kain tiada arti. Wanita itu terkesiap, lantas menyilangkan kedua tangannya di dada menutupi tubuhnya. Namun, Adam bergerak lebih tangkas. Dia menelikung sepasang pergelangan tangan Angelina ke atas, membatasi pergerakannya.
“Sempurna. Mereka besar,” desis Adam yang mengomentari pemandangan kembar di hadapannya.
“Le-lepaskan aku,” pinta Angelina yang meronta-ronta.
“Sst, berhentilah melawanku. I want you to know how it feels to be powerless.”
Kepala Adam merendah dan mengakses bagian tubuh Angelina dengan mudah. Lidah pria itu mengembara meninggalkan jejak gigi di sekitar areola, membuat satu desahan lolos dari tenggorokannya. Napas Angelina berubah memburu—dia menggigit bibirnya kuat-kuat—mencegah suara lain muncul. Itu sangat memalukan, pikirnya.
“Lihatlah, tubuhmu yang kurang ajar berani menantangku sekarang. Mereka tegang dan siap untukku,” kekeh Adam dengan kadar arogansi yang menyesaki sorot matanya.
“Tidak,” sanggah Angelina yang menyerupai bisikan atau erangan.
“I promise you’re going to enjoy this shit, you hear me?”
Tekanan di permukaan bibir Angelina mencapai batasnya—menggores membran tipis itu dengan ujung giginya sampai mengeluarkan darah—tanpa dia sadari. Adam yang melihatnya refleks mengusap menggunakan ibu jarinya dan mengarahkannya kembali ke wajahnya sendiri. Dia menjilati cairan berisi plasma milik Angelina yang masih merembes ringan di sana.
“Darahmu juga terasa manis sekali,” puji Adam yang sontak membuat wanita itu mengerutkan keningnya.
“Aku tidak tahu bahwa identitas aslimu adalah vampir,” sindir Angelina yang merasa jijik.
“Anggap saja aku dan vampir merupakan entitas yang sama. Kami menyukaimu.”
Angelina hanya melengos dan lagi-lagi mencoba untuk membebaskan diri. Namun, perangkap Adam jauh lebih kuat dari daya yang dia punya. Wanita itu terus memohon, meskipun Adam mengabaikannya.
“Kita akan melakukannya di tempat yang kering agar kau tidak dapat kesempatan untuk menolakku lagi.”
Adam kemudian menggendong Angelina—mengangkut dan menghempaskannya—di atas ranjang. Tubuh Adam yang kokoh seketika menimpanya dari samping. Pria itu mengecek seberapa siap Angelina melaju ke tahap selanjutnya. Dia tahu wanita itu juga menginginkannya. Mulutnya boleh berkata bohong, tetapi raganya tidak. Seluruh sarafnya menuntut stimulan yang lebih dari sekadar kecupan.
Adam melucuti semua pakaian Angelina. Dia kembali menjelajah dan membenamkan kepalanya di antara kedua paha wanita itu secara tiba-tiba. Dalam sekejap, Angelina pun meraung. Sensasi berbeda yang diberikan oleh Adam sukses membuat dirinya terlempar tinggi sebelum akhirnya segenap sel yang berkumpul di pusat tubuhnya meledak menjadi ribuan keping. Sungguh, pengalaman pertama yang menakjubkan baginya.
“Kau menikmatinya, bukan?” tanya Adam sambil menyeka bibirnya yang berkilauan.
Angelina benci mengakuinya, tetapi tubuhnya justru pandai berkhianat. Dia menggeleng, sementara gemetar di sepasang tungkainya masih berlangsung dan mengosongkan isi kepalanya. Adam menyunggingkan seringainya—puas—dengan ketidakberdayaan yang wanita itu rasakan.
“Giliranku sekarang.”
Adam bergerak menuntun penyatuan mereka, memaksakan miliknya masuk dan menciptakan persepsi baru untuk Angelina. Dia menjerit keras setelah pria itu berhasil menembus himen rapuh yang bermuara di dalam dirinya. Gelombang gairah yang semula membakar dada Adam seketika menyusut selepas dia menabrak sesuatu yang belum pernah dikoyaknya—selaput itu tercabik seiring dengan kuatnya hunjaman—membentur inti tubuh Angelina.
Adam terperangah, “Perawan? Kuharap kau tidak sedang membuat lelucon.”
Angelina memandang pria yang ada di atas tubuhnya dengan tatapan gusar, “Apa kau pikir aku badut?”
Rasa bersalah sempat menyelusupi diri Adam. Dia berdecak, lantas membiarkan berahi itu lagi-lagi memuai mengikat logikanya. Dia mencengkeram rahang Angelina, menciumnya dengan kasar serta memajukan tulang panggulnya untuk menukik lebih jauh sekaligus lebih dalam dari sebelumnya. Pria itu menikmati setiap teriakan yang Angelina lontarkan.
Beberapa menit berlalu, nada sumbang itu pun berganti menjadi erangan kecil yang mengalun mengimbangi ayunan Adam. Tubuh Angelina mampu beradaptasi cepat pada ritme pergumulan mereka. Pria itu memberikannya tempo yang sesuai, pacuannya pas dan akan kembali mengirimnya dalam sebuah palung bernama kehancuran; segera.
“Tu-Tuan Ford,” panggil Angelina terbata-bata, sorot matanya membuang ke segala arah.
“Cukup sebut aku Adam saja,” pinta Adam yang sistem pertukaran udaranya ikut kacau sekarang.
“A-Adam, Adam...”
Adam yang tahu bahwa Angelina ingin meraih pelepasannya sontak memperlambat intensitas gerakannya, membuat wanita itu mengejar dan memohon atas kenikmatan yang dia dambakan. Kelopak matanya menjadi sayu dipengaruhi hasrat—oh, dia benar-benar harus memperolehnya sekarang!
“Apa kau menginginkannya?” goda Adam yang berhenti mengayuh pinggulnya.
“Y-ya, kumohon. Aku menginginkanmu. Aku menginginkannya.”
Angelina merengek untuk yang kedua kalinya dan gerakan terlatih itu langsung hadir memenuhi dirinya. Jenis buaian yang tepat; sauh yang berlabuh di titik lemahnya. Tubuh wanita itu membusur serta memekik dengan hebat setelah gulungan ombak yang ditunggu-tunggu datang menyapunya—menyeret Angelina ke dalam muntahan magma Adam yang menenggelamkannya—di antara nikmat duniawi.
“Sialan, Angelina! Kau sempit. Bercinta satu kali denganmu tidak akan pernah cukup,” sembur Adam melalui gertakkan giginya yang saling menggesek satu sama lain dan tubuh pria itu roboh menindihnya mengakhiri babak pertama dari kegiatan intim mereka.
***
Angelina bangun pukul delapan. Dia mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandang ke sekeliling. Awalnya dia pikir Adam akan ada di sana; menyisir rambutnya atau memberikan ucapan selamat pagi untuknya. Namun, sosok pria itu tak ada di sana. Momen tentang adegan pergumulannya bersama Adam mendadak terkenang di dalam kepala wanita itu—menciptakan semburat merah—yang sukses mewarnai kedua pipinya.Angelina beranjak dari atas tempat tidur dengan segera, tetapi rasa nyeri di antara selangkangannya membuat wanita itu berhenti menggerakkan tubuhnya dan mengaduh dalam nada lirih yang membuatnya juga spontan menggigit bibir. Adam telah menjadi pria pertama yang mengantarkannya menuju satu persepsi baru di pengalaman seksualnya. Dia mengakui pria itu memang luar biasa, sementara sisi lain dirinya mengutuk tindakan bodohnya yang terlena dengan mudah oleh keahlian Adam.
“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany
Pagi itu udara cukup nyaman di luar, tetapi tak demikian yang dirasakan oleh Angelina. Dia justru merasa dingin—beku dan kaku—di sekujur tubuhnya, seolah-olah wanita itu baru saja dikurung dalam lemari pendingin selama beberapa jam dengan posisi tubuh yang salah. Punggungnya pun menjerit setiap kali dia melakukan gerakan kecil untuk aksi peregangan, sementara area selangkangannya turut serta mengambil posisi teratas yang menuntut perhatian agar disematkan ke dalam daftar khusus; kategori rasa nyeri yang sulit diabaikan.Adam yang bajingan itu melakukannya dengan kasar tadi malam. Sikapnya seketika berubah menjadi buas—gempuran liar dan gila—sesuatu yang belum pernah Angelina rasakan karena memang dia merupakan orang pertama yang menidurinya. Wanita itu mencoba untuk duduk setelah pikirannya kembali jernih dari kenangan panas yang masih tertinggal. Namun, keputusan itu
Waktu berlalu dengan cepat bagi Adam. Hari-hari yang dilaluinya seperti terbang. Kalender bulan berganti menjadi kalender tahun, pun resolusi lama ikut berganti menjadi resolusi baru untuk sebagian orang. Satu tahun yang dia lewati bersama Angelina terasa menakjubkan. Pria itu—yang pernah menganggap cinta hanya sekadar dongeng bualan belaka—sangat menikmati petualangan liar mereka sepanjang malam.Gairah Adam terhadap Angelina selalu tumbuh di setiap kesempatan seiring dengan menebalnya rajutan cinta itu juga hadir di dalam dirinya. Namun, mengakuinya secara terang-terangan sama sekali bukan karakter yang pria itu punya. Dia akan kehilangan seluruh harga dirinya sebab terpikat pada wanita itu merupakan sesuatu yang terlarang. Bukankah seharusnya singa memangsa buruannya?Adam jauh lebih suka bersikap dingin dan menjaga ja
Adam dan Angelina mendadak menjadi orang asing dalam waktu satu malam. Dia merasa hancur—remuk dalam sekejap, seolah-olah seisi dunia sedang menuding dengan sorot mata tajam serta mengata-ngatainya sekarang. Dia langsung pergi meninggalkan kediaman Ford sesaat setelah pria itu mengusirnya bersama seorang sopir pribadi suruhan Adam yang mengantarkannya ke satu alamat.Tujuan yang asing—rumah besar di kompleks Tibetan Rock City—kawasan elite dengan nilai prestise pada segenap bangunan berdesain modernnya. Lamunan Angelina buyar selepas mobil yang ditumpanginya berhenti dan sang pria separuh baya di kursi kemudi itu memintanya untuk turun.“Anda sudah sampai, Nona Wilson.”“Benarkah? Terima kasih,” bisik Angelina yang konsentrasinya ter
“Cepatlah, Dad. Kita akan terlambat,” gerutu Arthur yang tengah memakai kaos kakinya dengan terburu-buru.“Kau memintaku untuk bergerak cepat, tetapi kau sendiri belum selesai bersiap-siap sejak dua puluh menit yang lalu.”“Mom akan membunuh kita. Hari ini merupakan hari penting bagi Paman Saga. Dia tidak ingin melewatkan satu momen pun,” balas Arthur yang kini memasang sepatu pantofelnya.“Dia tidak akan membunuhku, Nak. Dia sangat mencintaiku—oh, astaga! Di mana dasiku?”“Bukankah Mom meletakkannya di atas ranjang?”“Tidak ada di sana.”“Entah, Dad. Kau harus bertanya padanya lagi.”“Dia sudah menyiapkan semuanya tadi. Jika aku kembali menanyakan tentang itu, maka dia akan membunuhku.”“Kau bilang, Mom sangat mencintaimu,” seloroh bocah itu dengan nada yang dibuat-buat.“Ya, tetapi untuk yang satu itu, aku dapat memastikan dia akan melakukannya. Ibumu cende
“Saga? Apa kau sudah mengirim undangan untuk teman-temanmu? Semuanya?” tanya Ruby sambil menyesap kopinya yang setengah dingin.“Uh-huh.”“Bagaimana dengan Adam dan Angelina?”“Tentu saja. Mereka juga sudah kukirimi minggu kemarin,” sahut Saga yang masih enggan melepaskan pandangannya dari layar laptop.“Aku harus mengecek ulang tentang daftar orang-orang yang belum kita kirimi. Aku tidak ingin membuat kesalahan dengan melewatkan satu-dua orang yang terlupakan untuk hari penting kita,” keluh Ruby yang kemudian memijit ruang di antara kedua alisnya.“Tenanglah, kau tidak perlu merasa setegang itu.”“Tidak. Aku tidak merasa tegang,” kilah wanita itu sambil mengedikkan bahunya.“Kau menyeruput kopimu berkali-kali. Kau juga menyentuh keningmu tanpa henti. Caramu duduk pun mencerminkan isi hatimu.”“Apa kau memperhatikanku?”“Ya, Ruby. Mengapa kau pikir aku tidak
“Apa kau yakin itu garis dua?”“Tentu saja. Aku sudah mencobanya empat kali dan hasilnya tetap positif,” sahut Angelina yang netranya berkaca-kaca sekarang.Adam seketika menyambar alat uji kehamilan tersebut dari genggaman Angelina dan memandanginya lekat-lekat. Pria itu kemudian menjatuhkan benda yang semula dia pegang—kedua tangannya terulur menarik pinggang ramping sang istri. Kepalanya pun turun—membuat posisi sejajar dengan perut agar dapat memberi kecupan di sana.“Bayiku sedang tumbuh di dalam,” bisik Adam dengan nada memuja.“Dia akan membuat kita jauh lebih lengkap lagi.”Adam sontak mengalihkan tatapan dan beranjak memeluk tubuh Angelina dengan perasaan haru yang menjejali dadanya. Mereka saling mendekap erat satu sama lain. Tenggelam dalam ledakan euforia yang menghujani pikiran masing-masing.Berita tentang kehadiran calon anggota keluarga baru dalam hidup mereka
“Apa kau yakin kau tidak akan ikut bersama kami?”Saga serentak menoleh pada James Ambrose dan Seth O’Connor—rekannya, kemudian mengangguk dengan mantap. Dia kembali mengalihkan pandangan ke layar komputer yang masih menyala di depannya. Berjuang untuk memfokuskan pikirannya yang sedang kacau.“Kami akan mengenalkanmu pada wanita-wanita cantik di sana,” bujuk James sambil menyandarkan kedua sikunya ke atas meja kerja Saga.“Jawabannya tetap tidak.”“Aku kenal satu yang sesuai dengan tipemu.”“Tidak, James.”“Dia pirang, dia juga bermata biru. Ada banyak yang punya ciri-ciri fisik serupa, tetapi aku tahu Barbara sangat pas untukmu.”“Tutup mulutmu atau aku akan menjahitnya tanpa anestesi.”“Ada apa denganmu, Bung? Kau berubah menjadi Saga yang pemarah sekarang,” timpal Seth yang menanggapi lirikan tajam Saga pada mer
Lima pekan berlalu dalam gelombang tenang yang membuat Arthur bahagia untuk keluarga lengkapnya. Pun dengan Adam dan Angelina yang sedang mempersiapkan dokumen kepindahan bagi pendidikan Arthur serta acara pernikahan kedua mereka. Sesuatu yang sakral itu akan berlangsung esok.Angelina siap untuk menjadi pengantin—berdiri mengikat janji pada Adam dalam balutan gaun megar yang memesona—dengan melepaskan semua masa lalunya. Berjalan sebagai sosok yang baru. Angelina Wilson Ford yang telah mendapatkan cintanya lagi.Bersama Adam, Angelina merasa utuh. Bersama pria itu, dia merasa sempurna. Adam seperti kepingan puzzle yang sudah lama hilang, lantas ditemukan kembali olehnya lewat perjalanan panjang.Esok akan menjadi hari yang paling istimewa untuk mereka. Masa yang akan membuat Angelina enggan membiarkan waktu berganti kelewat cepat. Dia ingin mengabadikan segenap momen itu dalam pikirannya.Merekam seluruh prosesinya dengan bentuk memori luar b
“Aku akan kembali kemari esok, Mom.” “Ya, Sayang. Pulanglah bersama Paman Sam dan istirahat. Mom tidak ingin kau kelelahan, kemudian jatuh sakit.” Arthur spontan mengangguk pada ibunya, lantas meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Detik berikutnya, bocah itu menguap lebar hingga sepasang iris abu-abunya berair. Angelina yang menyaksikan tingkah sang putra pun tersenyum dan menanggapi, “Hari yang panjang, hm?” “Sangat amat panjang, tetapi aku mendapatkan hadiah terbaikku juga. Jadi, kupikir itu sepadan.” “Hadiah terbaik?” Arthur pun menoleh pada sosok dominan yang sedang melamun memandang ke luar jendela. Angelina yang mengikuti arah pandangan Arthur seketika paham dengan maksudnya. Adam menjadi kado terindah bagi mereka. Aneh? Angelina juga merasa demikian. Namun, takdir bekerja seperti sihir—ajaib dan tanpa batas. Keadaan bertukar hanya dalam waktu sekejap. Kemarin, dia bersikeras untuk mengenyahkan seluruh luka lamanya. Kini, dia ju
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Adam pada Angelina yang baru saja sadar setelah wanita itu dipindahkan dari ruang transisi ke ruang perawatan untuk pemulihan.“Aku akan selalu ada bersamamu. Kau tidak perlu khawatir tentang apa pun,” lanjutnya lagi.Angelina menyunggingkan senyumnya, lantas menganggukkan kepala tanpa menyahut. Sepasang matanya beralih ke arah lain—mencari sosok Arthur—di sana. Namun, yang dia temukan hanya lah dinding dengan dominasi cat putih dan dua buah nakas kecil di sekitar jendela.“Di mana putraku?” bisik Angelina dengan suara parau.“Dia sedang bicara bersama seseorang di luar.”“Seseorang?”“Saga,” sahut Adam dengan nada enggan.“Apa Saga baik-baik saja?”Kedua alis Adam spontan bertaut pada ekspresi khawatir di wajah Angelina dan membalas, “Pertanyaan itu seharusnya untukmu. Bukan dia.”&ld
“Apa Mom akan baik-baik saja?” tanya Arthur sambil memandangi pintu bangsal ICU yang baru saja ditutup.Adam seketika melayangkan tatapan muram pada Arthur. Dia juga berharap Angelina akan baik-baik saja seperti yang mereka inginkan. Namun, satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanya menunggu para tim medis selesai bekerja dan membiarkan sedikit keajaiban datang.“Angelina wanita yang kuat. Satu luka tembak tidak akan membuatnya menyerah.”Arthur spontan menoleh dan balas menatap pada Adam. Dua pasang iris dengan warna persis itu saling beradu dalam rasa cemas yang menggantung kental di benak mereka masing-masing. Adam kemudian memalingkan wajahnya sambil mendengus canggung.“Jadi, kau adalah Ayahku?”“Kau boleh memanggilku Dad atau sebutan apa saja yang kau suka.”“Apa yang terjadi pada kalian? Mengapa Ayah Saga sangat marah dan ingin menembakmu?” selidik Arthur yang penasaran
“Caramu salah. Itu tidak akan menghentikan pendarahannya. Minggirlah, biar aku yang melakukannya,” ucap Saga setelah dia tersadar dari syok yang sempat menggulung dirinya.“Diam di sana atau aku akan melemparmu ke dalam penjara sekarang juga!”“Tidak ada waktu untuk bertengkar. Nyawa Angelina dalam bahaya.”“Kaulah yang melukainya!” teriak Adam dengan sorot mata penuh dendam.“Ber-berhentilah berkelahi, kumohon. A-aku tidak apa-apa. Ha-hanya se-sedikit sesak,” ungkap Angelina selepas menyaksikan ketegangan yang lagi-lagi menggantung di antara mereka.“Posisikan tubuhnya lebih tinggi lagi. Dia harus tetap terjaga sampai tim medis datang. Ajaklah dia bicara tentang apa saja,” pinta Saga sambil meraba tekanan detak nadi di salah satu pergelangan tangan Angelina.Adam menurut—memosisikan tubuh Angelina sesuai dengan instruksi, lantas mengecup lembut kening Angelina yan