“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.
Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”
“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
Adam menyipitkan mata, lantas beranjak dari posisinya. Sepasang kakinya melangkah mendekati Kate dan menarik jari yang sudah diarahkan pada dirinya. Aksi itu sontak membuat wanita itu menjerit sebab rasa nyeri langsung menjalari tulang pisiformisnya.
“Lepaskan aku! Mengapa kau kasar sekali?” teriak Kate yang mendelik ke arah Adam.
Senyum Adam mengembang di sudut bibirnya. Dia melepaskan cengkeraman itu dengan satu sentakan cepat—membuat Kate spontan terhuyung-huyung—nyaris terjatuh ke pangkuan pria itu. Selepas berhasil menguasai diri dan mendapatkan keseimbangannya lagi, wanita itu kemudian mengangkat tangannya untuk menampar wajah Adam. Namun, gerakannya kalah cepat dan dia lagi-lagi gagal memberi pelajaran pada kekasihnya itu sebab Adam menahannya.
“Kau sangat ringan tangan, Kate. Itu tidak baik,” desis Adam dengan nada rendah yang mendadak menerbitkan rasa gentar di dada Kate; sesuatu yang jarang dia alami.
“Ka-kau! Lepaskan aku!”
“Ingat baik-baik, Kate. Kita menjadi kekasih hanya karena relasi yang ingin orang tuamu jalin dengan keluarga Ford. Jadi, aku memperingatkanmu sebelum kau menyesalinya nanti. Jauhi Angelina. Jika aku tahu kau berusaha menyakitinya lagi, maka keluarga Montgomery yang akan menerima akibatnya.”
Kate terperangah—lupa menutup mulutnya kembali, lantas tersadar dan membentak Adam dengan intonasi tinggi, “Apa kau memilih si jalang itu sekarang?”
Adam yang terkenal dengan sikap dinginnya itu hanya memberikan reaksi yang minim. Dia membebaskan Kate dan garis ekspresif itu lagi-lagi muncul di bibirnya—seulas senyum kaku—tipis dan penuh cemooh.
“Dia bukan jalang, Kate. Kalimatmu mencerminkan dirimu sendiri. Kau berasal dari kalangan terpelajar, bukan?”
“Cukup, Adam! Satu kata lagi, kau akan kulaporkan pada Ibuku,” ancam Kate yang merasa berang pada Adam.
“Aku tahu kau bukan wanita bodoh. Kau berani menentangku, artinya kau juga menghancurkan keluargamu. Aku punya orang-orang yang akan selalu membantuku untuk melakukan sejumlah pekerjaan kotor itu di belakangku. Kau akan mendapatkan mimpi buruk paling buruk yang pernah ada hingga kau lebih suka mati daripada hidup lagi,” ucap Adam yang masih menjaga ekspresi wajahnya tetap datar, sementara Kate yang semula garang berubah menjadi ngeri dan dia mundur dari tempatnya berpijak.
“Kau pria psikopat!” maki Kate yang langsung berbalik arah dan melenggang keluar dari ruang kantor bernuansa modern itu dengan langkah terburu-buru.
“Apa kau baru mengetahuinya sekarang?” bisik Adam yang menonton figur wanita itu lenyap dari pandangannya.
Samuel Hogue—asisten pribadinya—yang menyaksikan pertengkaran dua sejoli itu di pojok sejak tadi masih berdiri mematung tanpa berkomentar. Dia tak akan mengatakan apa pun jika memang Adam tak meminta opininya atas sesuatu. Pria itu mengenal sang pewaris tunggal keluarga Ford bertahun-tahun lamanya, dia tahu Adam tak suka ada mulut-mulut lancang yang mengusik suasana hatinya.
“Kirimkan beberapa orang untuk mengawasi Kate!” titah Adam pada Samuel yang sontak mengangguk menjalankan perintah.
Sisa hari itu Adam habiskan dengan bekerja sampai dirinya lupa waktu—sendiri, berkutat pada beberapa berkas yang menumpuk di atas mejanya. Saat dia merasa cukup lelah, barulah pria itu menyadari jika langit sudah gelap hampir tengah malam. Pikirannya lantas tertuju pada Angelina. Bayangan wanita cantik itu seketika meracuni hormon testosteronnya dan membuat libidonya bangkit.
Tanpa menunggu lama, Adam pun kembali ke rumah. Koenigsegg CCXR Trevita miliknya melaju menembus arus lalu lintas yang masih padat, seolah-olah penduduk di kota kabut itu tak pernah mengenal kata tidur. Setibanya di ‘istana’ kediamannya, Adam langsung naik ke kamar Angelina dan mengecek keadaan wanita itu.
Angelina bergelung dalam tidurnya—tubuhnya meringkuk seperti bayi—mengigau dan menggumamkan nama Adam dua kali. Adam tertegun mendengarnya. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak bersama dasinya yang masih menggantung miring di area lehernya. Pria itu bergerak mendekati Angelina yang kini mendengkur lembut. Sorot matanya meredup memandangi wanita itu, kemudian membisikkan sesuatu dengan nada lirih.
Jemari Adam terulur menyentuh puncak kepala Angelina—mengusapnya dengan hati-hati—enggan membuat wanita itu terbangun dari rangkaian mimpinya. Detik berikutnya, dia tersentak dan menarik kembali tangannya dari tubuh Angelina. Dorongan untuk menjaga citra dirinya kembali memuncak. Dia sadar hubungan mereka hanya sebatas insan yang bersimbiosis pada keuntungan masing-masing.
Buku jari Adam mengepal. Dia pun mundur dan keluar dari ruang itu menuju ke balkon—menghirup lebih banyak udara—di luar sana. Oksigen menjejali kantong paru-parunya dengan secercah rasa bimbang; perasaan yang jarang menghampiri pikirannya. Pria itu melangkah masuk lagi, menyambar sebotol vodka di atas nakas dan langsung menenggak seperempatnya.
“Angelina Wilson,” eja Adam yang pandangannya mengarah ke potret bangunan-bangunan tinggi di kejauhan.
Adam tenggelam dalam emosinya malam itu. Dia kesal sekaligus heran. Dia bukan tipikal pria yang sentimen, tetapi setelah Angelina datang dalam hidupnya, pria itu merasa ada sesuatu yang ganjil juga hadir di antara mereka. Padahal pertemuan mereka sangat singkat dan wanita itu hanya berstatus sebagai seseorang yang dia bayar untuk melahirkan anaknya.
Cinta merupakan perihal yang terkutuk bagi Adam. Daya pikat yang bersifat sementara. Dia beranggapan bahwa orang-orang yang jatuh cinta itu idiot; menjerat diri mereka sendiri pada rantai yang membutakan logika. Pria itu selalu berhasil menampik seluruh pesona para wanita dari berbagai kalangan yang sering kali menggoda dan membuka kedua kakinya di depan Adam. Namun, pergumulan mereka hanya berakhir selama satu malam di ranjang—sama seperti yang lainnya, kecuali Kate.
Kate adalah kerabat. Dia bukan untuk dipermainkan di bawah tubuh Adam. Orang tua mereka berteman baik sejak lama, tetapi pria itu sama sekali tak tertarik padanya. Dia memang cantik dan punya segenap penampilan yang mengundang hasrat para lawan jenis. Namun, bukan untuk Adam. Di matanya, Kate hanya seorang adik. Tidak lebih dari itu.
***
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany
Pagi itu udara cukup nyaman di luar, tetapi tak demikian yang dirasakan oleh Angelina. Dia justru merasa dingin—beku dan kaku—di sekujur tubuhnya, seolah-olah wanita itu baru saja dikurung dalam lemari pendingin selama beberapa jam dengan posisi tubuh yang salah. Punggungnya pun menjerit setiap kali dia melakukan gerakan kecil untuk aksi peregangan, sementara area selangkangannya turut serta mengambil posisi teratas yang menuntut perhatian agar disematkan ke dalam daftar khusus; kategori rasa nyeri yang sulit diabaikan.Adam yang bajingan itu melakukannya dengan kasar tadi malam. Sikapnya seketika berubah menjadi buas—gempuran liar dan gila—sesuatu yang belum pernah Angelina rasakan karena memang dia merupakan orang pertama yang menidurinya. Wanita itu mencoba untuk duduk setelah pikirannya kembali jernih dari kenangan panas yang masih tertinggal. Namun, keputusan itu
Waktu berlalu dengan cepat bagi Adam. Hari-hari yang dilaluinya seperti terbang. Kalender bulan berganti menjadi kalender tahun, pun resolusi lama ikut berganti menjadi resolusi baru untuk sebagian orang. Satu tahun yang dia lewati bersama Angelina terasa menakjubkan. Pria itu—yang pernah menganggap cinta hanya sekadar dongeng bualan belaka—sangat menikmati petualangan liar mereka sepanjang malam.Gairah Adam terhadap Angelina selalu tumbuh di setiap kesempatan seiring dengan menebalnya rajutan cinta itu juga hadir di dalam dirinya. Namun, mengakuinya secara terang-terangan sama sekali bukan karakter yang pria itu punya. Dia akan kehilangan seluruh harga dirinya sebab terpikat pada wanita itu merupakan sesuatu yang terlarang. Bukankah seharusnya singa memangsa buruannya?Adam jauh lebih suka bersikap dingin dan menjaga ja
Adam dan Angelina mendadak menjadi orang asing dalam waktu satu malam. Dia merasa hancur—remuk dalam sekejap, seolah-olah seisi dunia sedang menuding dengan sorot mata tajam serta mengata-ngatainya sekarang. Dia langsung pergi meninggalkan kediaman Ford sesaat setelah pria itu mengusirnya bersama seorang sopir pribadi suruhan Adam yang mengantarkannya ke satu alamat.Tujuan yang asing—rumah besar di kompleks Tibetan Rock City—kawasan elite dengan nilai prestise pada segenap bangunan berdesain modernnya. Lamunan Angelina buyar selepas mobil yang ditumpanginya berhenti dan sang pria separuh baya di kursi kemudi itu memintanya untuk turun.“Anda sudah sampai, Nona Wilson.”“Benarkah? Terima kasih,” bisik Angelina yang konsentrasinya ter
Suasana rumah sakit pagi itu cukup lengang. Hanya ada sejumlah pasien yang duduk mengantre di bangku tunggu—sekitar enam atau tujuh orang—salah satunya termasuk Angelina di sana. Dia masih merasa aneh dengan tubuhnya. Rasa mual yang tak kunjung berhenti sejak semalam membuat wanita itu lemas sebab apa pun yang dia makan justru keluar sebagai muntahan yang selalu berakhir di saluran kamar mandi.“Nomor antrean XX dipersilakan masuk!” seru suara seorang wanita yang berpakaian ala perawat di depan pintu ruang periksa.Angelina bangkit dengan segera—berjalan pelan—menghemat tenaganya. Dia kembali mengingat-ingat jenis makanan yang dimakannya sekali lagi, lantas duduk di hadapan seorang pria tampan dengan kisaran usia sekitar tiga puluh atau lebih sedikit dari itu. Sang dokter memindai kondisi waj
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Angelina yang terkejut dengan kehadiran Adam di teras rumahnya.Adam sontak berbalik dan menjumpai Angelina yang sedang berdiri memandangnya sambil menjinjing tiga kantong belanjaan berlogo supermarket. Dia melirik sebentar, lantas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pria itu terlihat salah tingkah, tetapi suara Samuel yang telah memberikannya ide kemarin mendadak muncul memperingatkannya.“Aku hanya kebetulan lewat saja. Apa itu tidak boleh mampir? Bukankah aku yang memberimu fasilitas untuk dinikmati?”Detik berikutnya, Adam menggigit ujung lidahnya dan menyembunyikan indra pengecap miliknya itu ke langit-langit. Dia spontan mengutuk dirinya sendiri. Mengapa pikiran dan mulutnya sulit saling menyink
“Cepatlah, Dad. Kita akan terlambat,” gerutu Arthur yang tengah memakai kaos kakinya dengan terburu-buru.“Kau memintaku untuk bergerak cepat, tetapi kau sendiri belum selesai bersiap-siap sejak dua puluh menit yang lalu.”“Mom akan membunuh kita. Hari ini merupakan hari penting bagi Paman Saga. Dia tidak ingin melewatkan satu momen pun,” balas Arthur yang kini memasang sepatu pantofelnya.“Dia tidak akan membunuhku, Nak. Dia sangat mencintaiku—oh, astaga! Di mana dasiku?”“Bukankah Mom meletakkannya di atas ranjang?”“Tidak ada di sana.”“Entah, Dad. Kau harus bertanya padanya lagi.”“Dia sudah menyiapkan semuanya tadi. Jika aku kembali menanyakan tentang itu, maka dia akan membunuhku.”“Kau bilang, Mom sangat mencintaimu,” seloroh bocah itu dengan nada yang dibuat-buat.“Ya, tetapi untuk yang satu itu, aku dapat memastikan dia akan melakukannya. Ibumu cende
“Saga? Apa kau sudah mengirim undangan untuk teman-temanmu? Semuanya?” tanya Ruby sambil menyesap kopinya yang setengah dingin.“Uh-huh.”“Bagaimana dengan Adam dan Angelina?”“Tentu saja. Mereka juga sudah kukirimi minggu kemarin,” sahut Saga yang masih enggan melepaskan pandangannya dari layar laptop.“Aku harus mengecek ulang tentang daftar orang-orang yang belum kita kirimi. Aku tidak ingin membuat kesalahan dengan melewatkan satu-dua orang yang terlupakan untuk hari penting kita,” keluh Ruby yang kemudian memijit ruang di antara kedua alisnya.“Tenanglah, kau tidak perlu merasa setegang itu.”“Tidak. Aku tidak merasa tegang,” kilah wanita itu sambil mengedikkan bahunya.“Kau menyeruput kopimu berkali-kali. Kau juga menyentuh keningmu tanpa henti. Caramu duduk pun mencerminkan isi hatimu.”“Apa kau memperhatikanku?”“Ya, Ruby. Mengapa kau pikir aku tidak
“Apa kau yakin itu garis dua?”“Tentu saja. Aku sudah mencobanya empat kali dan hasilnya tetap positif,” sahut Angelina yang netranya berkaca-kaca sekarang.Adam seketika menyambar alat uji kehamilan tersebut dari genggaman Angelina dan memandanginya lekat-lekat. Pria itu kemudian menjatuhkan benda yang semula dia pegang—kedua tangannya terulur menarik pinggang ramping sang istri. Kepalanya pun turun—membuat posisi sejajar dengan perut agar dapat memberi kecupan di sana.“Bayiku sedang tumbuh di dalam,” bisik Adam dengan nada memuja.“Dia akan membuat kita jauh lebih lengkap lagi.”Adam sontak mengalihkan tatapan dan beranjak memeluk tubuh Angelina dengan perasaan haru yang menjejali dadanya. Mereka saling mendekap erat satu sama lain. Tenggelam dalam ledakan euforia yang menghujani pikiran masing-masing.Berita tentang kehadiran calon anggota keluarga baru dalam hidup mereka
“Apa kau yakin kau tidak akan ikut bersama kami?”Saga serentak menoleh pada James Ambrose dan Seth O’Connor—rekannya, kemudian mengangguk dengan mantap. Dia kembali mengalihkan pandangan ke layar komputer yang masih menyala di depannya. Berjuang untuk memfokuskan pikirannya yang sedang kacau.“Kami akan mengenalkanmu pada wanita-wanita cantik di sana,” bujuk James sambil menyandarkan kedua sikunya ke atas meja kerja Saga.“Jawabannya tetap tidak.”“Aku kenal satu yang sesuai dengan tipemu.”“Tidak, James.”“Dia pirang, dia juga bermata biru. Ada banyak yang punya ciri-ciri fisik serupa, tetapi aku tahu Barbara sangat pas untukmu.”“Tutup mulutmu atau aku akan menjahitnya tanpa anestesi.”“Ada apa denganmu, Bung? Kau berubah menjadi Saga yang pemarah sekarang,” timpal Seth yang menanggapi lirikan tajam Saga pada mer
Lima pekan berlalu dalam gelombang tenang yang membuat Arthur bahagia untuk keluarga lengkapnya. Pun dengan Adam dan Angelina yang sedang mempersiapkan dokumen kepindahan bagi pendidikan Arthur serta acara pernikahan kedua mereka. Sesuatu yang sakral itu akan berlangsung esok.Angelina siap untuk menjadi pengantin—berdiri mengikat janji pada Adam dalam balutan gaun megar yang memesona—dengan melepaskan semua masa lalunya. Berjalan sebagai sosok yang baru. Angelina Wilson Ford yang telah mendapatkan cintanya lagi.Bersama Adam, Angelina merasa utuh. Bersama pria itu, dia merasa sempurna. Adam seperti kepingan puzzle yang sudah lama hilang, lantas ditemukan kembali olehnya lewat perjalanan panjang.Esok akan menjadi hari yang paling istimewa untuk mereka. Masa yang akan membuat Angelina enggan membiarkan waktu berganti kelewat cepat. Dia ingin mengabadikan segenap momen itu dalam pikirannya.Merekam seluruh prosesinya dengan bentuk memori luar b
“Aku akan kembali kemari esok, Mom.” “Ya, Sayang. Pulanglah bersama Paman Sam dan istirahat. Mom tidak ingin kau kelelahan, kemudian jatuh sakit.” Arthur spontan mengangguk pada ibunya, lantas meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Detik berikutnya, bocah itu menguap lebar hingga sepasang iris abu-abunya berair. Angelina yang menyaksikan tingkah sang putra pun tersenyum dan menanggapi, “Hari yang panjang, hm?” “Sangat amat panjang, tetapi aku mendapatkan hadiah terbaikku juga. Jadi, kupikir itu sepadan.” “Hadiah terbaik?” Arthur pun menoleh pada sosok dominan yang sedang melamun memandang ke luar jendela. Angelina yang mengikuti arah pandangan Arthur seketika paham dengan maksudnya. Adam menjadi kado terindah bagi mereka. Aneh? Angelina juga merasa demikian. Namun, takdir bekerja seperti sihir—ajaib dan tanpa batas. Keadaan bertukar hanya dalam waktu sekejap. Kemarin, dia bersikeras untuk mengenyahkan seluruh luka lamanya. Kini, dia ju
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Adam pada Angelina yang baru saja sadar setelah wanita itu dipindahkan dari ruang transisi ke ruang perawatan untuk pemulihan.“Aku akan selalu ada bersamamu. Kau tidak perlu khawatir tentang apa pun,” lanjutnya lagi.Angelina menyunggingkan senyumnya, lantas menganggukkan kepala tanpa menyahut. Sepasang matanya beralih ke arah lain—mencari sosok Arthur—di sana. Namun, yang dia temukan hanya lah dinding dengan dominasi cat putih dan dua buah nakas kecil di sekitar jendela.“Di mana putraku?” bisik Angelina dengan suara parau.“Dia sedang bicara bersama seseorang di luar.”“Seseorang?”“Saga,” sahut Adam dengan nada enggan.“Apa Saga baik-baik saja?”Kedua alis Adam spontan bertaut pada ekspresi khawatir di wajah Angelina dan membalas, “Pertanyaan itu seharusnya untukmu. Bukan dia.”&ld
“Apa Mom akan baik-baik saja?” tanya Arthur sambil memandangi pintu bangsal ICU yang baru saja ditutup.Adam seketika melayangkan tatapan muram pada Arthur. Dia juga berharap Angelina akan baik-baik saja seperti yang mereka inginkan. Namun, satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanya menunggu para tim medis selesai bekerja dan membiarkan sedikit keajaiban datang.“Angelina wanita yang kuat. Satu luka tembak tidak akan membuatnya menyerah.”Arthur spontan menoleh dan balas menatap pada Adam. Dua pasang iris dengan warna persis itu saling beradu dalam rasa cemas yang menggantung kental di benak mereka masing-masing. Adam kemudian memalingkan wajahnya sambil mendengus canggung.“Jadi, kau adalah Ayahku?”“Kau boleh memanggilku Dad atau sebutan apa saja yang kau suka.”“Apa yang terjadi pada kalian? Mengapa Ayah Saga sangat marah dan ingin menembakmu?” selidik Arthur yang penasaran
“Caramu salah. Itu tidak akan menghentikan pendarahannya. Minggirlah, biar aku yang melakukannya,” ucap Saga setelah dia tersadar dari syok yang sempat menggulung dirinya.“Diam di sana atau aku akan melemparmu ke dalam penjara sekarang juga!”“Tidak ada waktu untuk bertengkar. Nyawa Angelina dalam bahaya.”“Kaulah yang melukainya!” teriak Adam dengan sorot mata penuh dendam.“Ber-berhentilah berkelahi, kumohon. A-aku tidak apa-apa. Ha-hanya se-sedikit sesak,” ungkap Angelina selepas menyaksikan ketegangan yang lagi-lagi menggantung di antara mereka.“Posisikan tubuhnya lebih tinggi lagi. Dia harus tetap terjaga sampai tim medis datang. Ajaklah dia bicara tentang apa saja,” pinta Saga sambil meraba tekanan detak nadi di salah satu pergelangan tangan Angelina.Adam menurut—memosisikan tubuh Angelina sesuai dengan instruksi, lantas mengecup lembut kening Angelina yan