“Permisi, Nona Wilson. Anda harus memilih pakaian sekarang,” seru pelayan berambut pixie yang mengarahkannya menuju kembali ke kamar tidur.
Angelina hanya mengangguk mengikuti wanita itu menuntunnya ke arah dinding dengan sistem geser. Tempat lemarinya berada di balik sana—rak pakaian itu terbuat dari kayu berkualitas dengan warna krim yang dipoles sampai mengilap—berukuran besar serta mampu menampung ribuan koleksi pakaian, sepatu, dan tas yang telah terpajang rapi di setiap sekat.
Angelina tercengang dengan pemandangan luar biasa di hadapannya, “Me-mengapa jenis barangnya banyak sekali?”
“Semua benda itu milik Anda, Nona Wilson.”
“Apa? Milikku?”
“Itu benar, Nona Wilson.”
Angelina menatap wajah pelayan itu sekali lagi, “Mengapa Tuan Ford menyiapkan butik untukku?”
“Butik?” sahut pelayan itu merasa geli, dia mengulum senyumnya.
“Apa ada sebutan yang cocok selain itu? Dia membeli seisi toko untuk dipindahkan ke sini,” balas Angelina yang setengah histeris.
“Tuan Ford memang menyediakannya khusus untuk Anda, Nona Wilson. Anda boleh memilih dan mengenakan merek apa saja yang ada di sana.”
Angelina masih bergeming. Sepasang mata cantiknya memandang tanpa berkedip. Pelayan pixie itu lagi-lagi tersenyum, dia mengingatkan Angelina agar segera berdandan sebab waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Dua jam lagi Adam akan datang dan pria itu benci seseorang yang belum siap menyambutnya.
“Izinkan saya memberi Anda saran, Nona Wilson.”
“Baiklah.”
Pelayan itu bergerak mendekat sambil merendahkan suaranya, “Majikan kami suka lingerie yang berwarna cokelat dan hitam dengan model vintage, Nona Wilson. Pilihlah salah satu yang menurut Anda terbaik.”
Angelina sontak beringsut mundur dari bisikan itu, “A-apa? Lingerie?”
“Benar. Lingerie.”
“A-aku tidak memakai pakaian seperti itu, kau tahu,” jawab Angelina sambil tergagap-gagap, usulan yang langsung ditolak mentah-mentah olehnya.
“Baiklah, itu terserah Anda. Maafkan atas kelancangan saya,” pelayan itu pun setengah membungkuk, tetapi senyum jahil di sudut bibirnya masih belum lenyap dari sana.
“Bangunlah. Kau tidak perlu terus-terusan membungkuk padaku.”
“Silakan Anda berganti pakaian, Nona Wilson. Saya akan keluar sekarang,” pamit pelayan pixie yang undur diri.
Angelina mengangguk menanggapi, kemudian melangkah mengitari separuh ruangan yang hanya dipenuhi aksesori milik wanita itu dengan gerakan lamban. Sorot matanya memindai menelusuri setiap merek; Christian Louboutin, Dior, McQueen, Versace, hingga YSL. Dia merasa kedua lututnya gemetar setelah mengetahui seluruh cap produk itu mempunyai harga maha tinggi.
“Apa menjadi CEO membuat Adam juga harus menghamburkan uangnya?” gumam Angelina pada dirinya sendiri.
Dari ratusan helai lingerie, Angelina justru memutuskan untuk menggunakan piama sutra yang sopan; pakaian longgar dua potong yang bertali tipis dan celana panjang semata kaki. Kini selepas memantapkan perasaannya, dia duduk di depan meja rias yang juga punya ukuran besar—cermin oval—dengan sederet produk kulit dan kecantikan yang disusun sesuai fungsinya. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala karena heran.
“Pria itu juga membeli sejumlah produk dalam label bahasa Prancis yang bahkan tidak kutahu artinya,” komentar Angelina yang bingung.
Waktu pun berlalu mengantar kehadiran Adam yang muncul di depan pintu kamar Angelina sekarang. Dia memasuki ruangan itu dengan ekspresi wajah datar, seolah-olah wanita yang ingin dia temui sedang tiada di sana bersamanya. Sementara Angelina yang gugup spontan berdiri di dekat jendela dan meremas-remas jemarinya sendiri. Pria itu sempat melirik sebentar, lantas meneruskan langkahnya menuju ke kamar mandi.
Suara pancuran air dari tiang shower terdengar menggema seiring dengan lajunya degup jantung Angelina memberikan reaksi yang secara otomatis menimbulkan keringat di keningnya. Dia menjadi dua kali lipat lebih gugup. Pikirannya berkelana ke beberapa artikel di berbagai situs website yang dia baca sebelumnya. Rasa nyeri, darah, dan...
“Kemarilah, Angelina.”
Perintah itu membuat Angelina seketika terlonjak dari posisinya. Perutnya terpilin, dia mengatur sistem pernapasannya yang mendadak kacau, kemudian berusaha mematuhi permintaan Adam—pria yang tengah menunggunya untuk bergabung—atau mungkin memandikan dan menggosok punggungnya itu. Dia segera menyusul masuk, menemukan Adam yang tanpa balutan apa pun di tubuh atletiknya. Pria itu basah kuyup dan droplet yang dihasilkan oleh shower memercik ke sekat-sekat kaca transparan yang mengelilinginya.
“Mengapa kau lama sekali?” protes Adam yang gusar.
Angelina menundukkan pandangannya, “A-aku ha—”
“Kemarilah, lebih dekat lagi padaku.”
Bulu kuduk Angelina meremang, dia masih menjaga pandangannya ke bawah menekuri tegel sekaligus ujung kakinya sambil berjalan mendekat menuju Adam. Sikap malu-malu wanita itu langsung melecut hasratnya untuk menarik Angelina terguyur di antara kungkungannya dan akhirnya dia memang melakukannya, membuat Angelina terimpit ke dinding tanpa sanggup menghindari rengkuhan pria itu di punggungnya.
“A-apa yang kau lakukan, Tuan Ford?” jerit Angelina yang terkejut atas aksinya.
Adam kembali menekan punggung Angelina dengan dadanya, “Apa yang kulakukan? Aku ingin menciummu.”
“Me-mencium?”
Kepala Adam turun meraih leher belakang Angelina yang dingin. Bibirnya mengecup dan menjelajahi area itu dengan lembut. Tindakan yang serta-merta menciptakan gemuruh hebat di dada Angelina. Adam menghentikan sentuhannya, lantas menikmati respons yang wanita itu berikan padanya. Sekujur tubuhnya menggigil dan giginya bergemeletuk saling bersentuhan.
“Kau gemetar. Apa kau takut?” goda Adam yang menyunggingkan seringainya.
“Kata takut tidak pernah ada di dalam kamusku,” sesumbar Angelina yang memejamkan matanya rapat-rapat.
“Aku adalah pria yang suka tantangan, tetapi untuk kasusmu aku berani bertaruh bahwa kau akan menyesali ucapanmu nanti.”
Diam-diam Angelina mengutuk mulutnya yang kurang ajar, “Maafkan aku, Tuan Ford.”
“Permintaan maafmu ditolak, kecuali...”
Adam membuat jeda di kalimatnya dan Angelina menyambarnya, “Kecuali apa?”
“Kecuali kau membuktikannya padaku. Buktikan bahwa kau memang bukan penakut.”
“Ca-caranya?”
“Tuntun jemariku ke bagian tubuhmu yang paling mendambakan sentuhan dariku.”
Angelina dilanda tremor sesaat selepas Adam menyelesaikan jawabannya, “Apa aku harus melakukannya, Tuan Ford?”
“Ya, Angelina. Lakukanlah sekarang,” lirih Adam yang deru napasnya yang makin lama makin berat.
Angelina menggigit bibir, dia menggeleng-geleng. Itu sama saja seperti mengundang Adam untuk mempermainkannya. Namun, sekali lagi, wanita itu tak punya opsi. Dia hanya pion bagi Adam. Alat untuk mencapai sesuatu yang ingin pria itu raih ke depannya; melahirkan anak dan tiada hubungan lain setelah semuanya berakhir.
“Apa kau malu? Kau bertingkah seperti remaja belasan yang masih perawan,” sindir Adam yang kesal dengannya.
Angelina tersentak, “Berhentilah mencelaku, Tuan Ford.”
Adam sontak membalikkan tubuh Angelina—meraup dagu wanita itu dan melumat bibirnya—dengan rakus, seolah-olah dia merupakan seorang musafir yang baru saja menemukan ceruk oase di padang pasir sebagai sarana penghapus dahaganya. Tautan fisik itu menyatu—merebut dan menghabisi napas mereka yang tinggal satu-dua—hingga Angelina mendorong tubuh Adam ke belakang demi pasokan oksigen yang menipis di kantong paru-parunya.
“Demi Tuhan, kau manis sekali.”
***
Angelina terengah-engah, dia menyeka bibir dengan punggung tangannya dan memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan mereka saling bertemu. Sementara Adam yang mengetahui tingkah gugup wanita itu kemudian kembali menggodanya. Dia memegangi dagu Angelina, membuat ruang di antara mereka hilang hingga netra abu-abu dan biru itu menyatu dalam jajaran lurus yang sontak menciptakan perasaan lain di dada Angelina; hasrat. Gairah yang sama yang tengah melalap diri pria itu sekarang.Adam tersenyum sesaat sebelum bibirnya lagi-lagi meninggalkan noda basah di permukaan bibir Angelina. Dia mencecap dengan intens, seolah-olah tubuh wanita itu merupakan heroin yang selalu menawarkannya candu. Angelina meringis menahan serangan demi serangan yang pria itu lancarkan untuknya sampai di titik dia tak kuasa lagi membendung sejuta gejolak yang melingkupi dadanya dan Adam langsung melepaskan tautan fisik
Angelina bangun pukul delapan. Dia mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandang ke sekeliling. Awalnya dia pikir Adam akan ada di sana; menyisir rambutnya atau memberikan ucapan selamat pagi untuknya. Namun, sosok pria itu tak ada di sana. Momen tentang adegan pergumulannya bersama Adam mendadak terkenang di dalam kepala wanita itu—menciptakan semburat merah—yang sukses mewarnai kedua pipinya.Angelina beranjak dari atas tempat tidur dengan segera, tetapi rasa nyeri di antara selangkangannya membuat wanita itu berhenti menggerakkan tubuhnya dan mengaduh dalam nada lirih yang membuatnya juga spontan menggigit bibir. Adam telah menjadi pria pertama yang mengantarkannya menuju satu persepsi baru di pengalaman seksualnya. Dia mengakui pria itu memang luar biasa, sementara sisi lain dirinya mengutuk tindakan bodohnya yang terlena dengan mudah oleh keahlian Adam.
“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany
Pagi itu udara cukup nyaman di luar, tetapi tak demikian yang dirasakan oleh Angelina. Dia justru merasa dingin—beku dan kaku—di sekujur tubuhnya, seolah-olah wanita itu baru saja dikurung dalam lemari pendingin selama beberapa jam dengan posisi tubuh yang salah. Punggungnya pun menjerit setiap kali dia melakukan gerakan kecil untuk aksi peregangan, sementara area selangkangannya turut serta mengambil posisi teratas yang menuntut perhatian agar disematkan ke dalam daftar khusus; kategori rasa nyeri yang sulit diabaikan.Adam yang bajingan itu melakukannya dengan kasar tadi malam. Sikapnya seketika berubah menjadi buas—gempuran liar dan gila—sesuatu yang belum pernah Angelina rasakan karena memang dia merupakan orang pertama yang menidurinya. Wanita itu mencoba untuk duduk setelah pikirannya kembali jernih dari kenangan panas yang masih tertinggal. Namun, keputusan itu
Waktu berlalu dengan cepat bagi Adam. Hari-hari yang dilaluinya seperti terbang. Kalender bulan berganti menjadi kalender tahun, pun resolusi lama ikut berganti menjadi resolusi baru untuk sebagian orang. Satu tahun yang dia lewati bersama Angelina terasa menakjubkan. Pria itu—yang pernah menganggap cinta hanya sekadar dongeng bualan belaka—sangat menikmati petualangan liar mereka sepanjang malam.Gairah Adam terhadap Angelina selalu tumbuh di setiap kesempatan seiring dengan menebalnya rajutan cinta itu juga hadir di dalam dirinya. Namun, mengakuinya secara terang-terangan sama sekali bukan karakter yang pria itu punya. Dia akan kehilangan seluruh harga dirinya sebab terpikat pada wanita itu merupakan sesuatu yang terlarang. Bukankah seharusnya singa memangsa buruannya?Adam jauh lebih suka bersikap dingin dan menjaga ja
“Cepatlah, Dad. Kita akan terlambat,” gerutu Arthur yang tengah memakai kaos kakinya dengan terburu-buru.“Kau memintaku untuk bergerak cepat, tetapi kau sendiri belum selesai bersiap-siap sejak dua puluh menit yang lalu.”“Mom akan membunuh kita. Hari ini merupakan hari penting bagi Paman Saga. Dia tidak ingin melewatkan satu momen pun,” balas Arthur yang kini memasang sepatu pantofelnya.“Dia tidak akan membunuhku, Nak. Dia sangat mencintaiku—oh, astaga! Di mana dasiku?”“Bukankah Mom meletakkannya di atas ranjang?”“Tidak ada di sana.”“Entah, Dad. Kau harus bertanya padanya lagi.”“Dia sudah menyiapkan semuanya tadi. Jika aku kembali menanyakan tentang itu, maka dia akan membunuhku.”“Kau bilang, Mom sangat mencintaimu,” seloroh bocah itu dengan nada yang dibuat-buat.“Ya, tetapi untuk yang satu itu, aku dapat memastikan dia akan melakukannya. Ibumu cende
“Saga? Apa kau sudah mengirim undangan untuk teman-temanmu? Semuanya?” tanya Ruby sambil menyesap kopinya yang setengah dingin.“Uh-huh.”“Bagaimana dengan Adam dan Angelina?”“Tentu saja. Mereka juga sudah kukirimi minggu kemarin,” sahut Saga yang masih enggan melepaskan pandangannya dari layar laptop.“Aku harus mengecek ulang tentang daftar orang-orang yang belum kita kirimi. Aku tidak ingin membuat kesalahan dengan melewatkan satu-dua orang yang terlupakan untuk hari penting kita,” keluh Ruby yang kemudian memijit ruang di antara kedua alisnya.“Tenanglah, kau tidak perlu merasa setegang itu.”“Tidak. Aku tidak merasa tegang,” kilah wanita itu sambil mengedikkan bahunya.“Kau menyeruput kopimu berkali-kali. Kau juga menyentuh keningmu tanpa henti. Caramu duduk pun mencerminkan isi hatimu.”“Apa kau memperhatikanku?”“Ya, Ruby. Mengapa kau pikir aku tidak
“Apa kau yakin itu garis dua?”“Tentu saja. Aku sudah mencobanya empat kali dan hasilnya tetap positif,” sahut Angelina yang netranya berkaca-kaca sekarang.Adam seketika menyambar alat uji kehamilan tersebut dari genggaman Angelina dan memandanginya lekat-lekat. Pria itu kemudian menjatuhkan benda yang semula dia pegang—kedua tangannya terulur menarik pinggang ramping sang istri. Kepalanya pun turun—membuat posisi sejajar dengan perut agar dapat memberi kecupan di sana.“Bayiku sedang tumbuh di dalam,” bisik Adam dengan nada memuja.“Dia akan membuat kita jauh lebih lengkap lagi.”Adam sontak mengalihkan tatapan dan beranjak memeluk tubuh Angelina dengan perasaan haru yang menjejali dadanya. Mereka saling mendekap erat satu sama lain. Tenggelam dalam ledakan euforia yang menghujani pikiran masing-masing.Berita tentang kehadiran calon anggota keluarga baru dalam hidup mereka
“Apa kau yakin kau tidak akan ikut bersama kami?”Saga serentak menoleh pada James Ambrose dan Seth O’Connor—rekannya, kemudian mengangguk dengan mantap. Dia kembali mengalihkan pandangan ke layar komputer yang masih menyala di depannya. Berjuang untuk memfokuskan pikirannya yang sedang kacau.“Kami akan mengenalkanmu pada wanita-wanita cantik di sana,” bujuk James sambil menyandarkan kedua sikunya ke atas meja kerja Saga.“Jawabannya tetap tidak.”“Aku kenal satu yang sesuai dengan tipemu.”“Tidak, James.”“Dia pirang, dia juga bermata biru. Ada banyak yang punya ciri-ciri fisik serupa, tetapi aku tahu Barbara sangat pas untukmu.”“Tutup mulutmu atau aku akan menjahitnya tanpa anestesi.”“Ada apa denganmu, Bung? Kau berubah menjadi Saga yang pemarah sekarang,” timpal Seth yang menanggapi lirikan tajam Saga pada mer
Lima pekan berlalu dalam gelombang tenang yang membuat Arthur bahagia untuk keluarga lengkapnya. Pun dengan Adam dan Angelina yang sedang mempersiapkan dokumen kepindahan bagi pendidikan Arthur serta acara pernikahan kedua mereka. Sesuatu yang sakral itu akan berlangsung esok.Angelina siap untuk menjadi pengantin—berdiri mengikat janji pada Adam dalam balutan gaun megar yang memesona—dengan melepaskan semua masa lalunya. Berjalan sebagai sosok yang baru. Angelina Wilson Ford yang telah mendapatkan cintanya lagi.Bersama Adam, Angelina merasa utuh. Bersama pria itu, dia merasa sempurna. Adam seperti kepingan puzzle yang sudah lama hilang, lantas ditemukan kembali olehnya lewat perjalanan panjang.Esok akan menjadi hari yang paling istimewa untuk mereka. Masa yang akan membuat Angelina enggan membiarkan waktu berganti kelewat cepat. Dia ingin mengabadikan segenap momen itu dalam pikirannya.Merekam seluruh prosesinya dengan bentuk memori luar b
“Aku akan kembali kemari esok, Mom.” “Ya, Sayang. Pulanglah bersama Paman Sam dan istirahat. Mom tidak ingin kau kelelahan, kemudian jatuh sakit.” Arthur spontan mengangguk pada ibunya, lantas meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Detik berikutnya, bocah itu menguap lebar hingga sepasang iris abu-abunya berair. Angelina yang menyaksikan tingkah sang putra pun tersenyum dan menanggapi, “Hari yang panjang, hm?” “Sangat amat panjang, tetapi aku mendapatkan hadiah terbaikku juga. Jadi, kupikir itu sepadan.” “Hadiah terbaik?” Arthur pun menoleh pada sosok dominan yang sedang melamun memandang ke luar jendela. Angelina yang mengikuti arah pandangan Arthur seketika paham dengan maksudnya. Adam menjadi kado terindah bagi mereka. Aneh? Angelina juga merasa demikian. Namun, takdir bekerja seperti sihir—ajaib dan tanpa batas. Keadaan bertukar hanya dalam waktu sekejap. Kemarin, dia bersikeras untuk mengenyahkan seluruh luka lamanya. Kini, dia ju
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Adam pada Angelina yang baru saja sadar setelah wanita itu dipindahkan dari ruang transisi ke ruang perawatan untuk pemulihan.“Aku akan selalu ada bersamamu. Kau tidak perlu khawatir tentang apa pun,” lanjutnya lagi.Angelina menyunggingkan senyumnya, lantas menganggukkan kepala tanpa menyahut. Sepasang matanya beralih ke arah lain—mencari sosok Arthur—di sana. Namun, yang dia temukan hanya lah dinding dengan dominasi cat putih dan dua buah nakas kecil di sekitar jendela.“Di mana putraku?” bisik Angelina dengan suara parau.“Dia sedang bicara bersama seseorang di luar.”“Seseorang?”“Saga,” sahut Adam dengan nada enggan.“Apa Saga baik-baik saja?”Kedua alis Adam spontan bertaut pada ekspresi khawatir di wajah Angelina dan membalas, “Pertanyaan itu seharusnya untukmu. Bukan dia.”&ld
“Apa Mom akan baik-baik saja?” tanya Arthur sambil memandangi pintu bangsal ICU yang baru saja ditutup.Adam seketika melayangkan tatapan muram pada Arthur. Dia juga berharap Angelina akan baik-baik saja seperti yang mereka inginkan. Namun, satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanya menunggu para tim medis selesai bekerja dan membiarkan sedikit keajaiban datang.“Angelina wanita yang kuat. Satu luka tembak tidak akan membuatnya menyerah.”Arthur spontan menoleh dan balas menatap pada Adam. Dua pasang iris dengan warna persis itu saling beradu dalam rasa cemas yang menggantung kental di benak mereka masing-masing. Adam kemudian memalingkan wajahnya sambil mendengus canggung.“Jadi, kau adalah Ayahku?”“Kau boleh memanggilku Dad atau sebutan apa saja yang kau suka.”“Apa yang terjadi pada kalian? Mengapa Ayah Saga sangat marah dan ingin menembakmu?” selidik Arthur yang penasaran
“Caramu salah. Itu tidak akan menghentikan pendarahannya. Minggirlah, biar aku yang melakukannya,” ucap Saga setelah dia tersadar dari syok yang sempat menggulung dirinya.“Diam di sana atau aku akan melemparmu ke dalam penjara sekarang juga!”“Tidak ada waktu untuk bertengkar. Nyawa Angelina dalam bahaya.”“Kaulah yang melukainya!” teriak Adam dengan sorot mata penuh dendam.“Ber-berhentilah berkelahi, kumohon. A-aku tidak apa-apa. Ha-hanya se-sedikit sesak,” ungkap Angelina selepas menyaksikan ketegangan yang lagi-lagi menggantung di antara mereka.“Posisikan tubuhnya lebih tinggi lagi. Dia harus tetap terjaga sampai tim medis datang. Ajaklah dia bicara tentang apa saja,” pinta Saga sambil meraba tekanan detak nadi di salah satu pergelangan tangan Angelina.Adam menurut—memosisikan tubuh Angelina sesuai dengan instruksi, lantas mengecup lembut kening Angelina yan