“Apa? Rujuk sama kamu?” desis Leandra tak percaya. “Kamu jangan gila, aku mampu kok cari pengacara yang hebat.”Dia lantas mengambil ponselnya dan pura-pura menelepon seseorang.“Ya sudah, siap-siap saja kamu masuk penjara!” tepis Rendra. “Aku sudah kasih kamu kesempatan, tapi kamu nggak menganggap baik niat aku ini.”Leandra menghela napas, pikirannya mulai semrawut setelah mendengar ucapan Rendra yang seakan memberi racun dan penawarnya sekaligus.“Aku akan memikirkannya,” kata Leandra antara pasrah dan terpaksa.“Memikirkannya?” cemooh Rendra. “Kamu kira kamu punya banyak waktu? Seluruh saksi dan bukti pasti mengarah ke kamu, Lea. Kamu nggak punya pilihan selain menerima tawaran aku untuk rujuk.”Leandra tidak segera menjawab.“Gimana, kamu mau menerima tawaran aku atau enggak?” tanya Rendra lagi. “Aku belum bisa jawab sekarang,” kata Leandra sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. “Tapi pada intinya kamu pasti lebih percaya sama Silvi daripada aku kan?”“Menurut kamu?
“Mas, gimana?” tanya Silvi ketika Rendra tiba di rumah. “Ada perkembangan soal ayah kamu?”“Sepertinya ayah kena stroke,” jawab Rendra sekadarnya. “Entah, tadi aku cuma dengar sekilas saat ibu bicara sama dokter ... aku nggak terlalu fokus karena sempat mampir ke kantor polisi.”“Terus Mbak Lea gimana, jadi dipenjara?” kejar Silvi bersemangat.“Belum, tadi dia masih dimintai keterangan. Lea tetap pada keterangannya kalau dia nggak mendorong ayah sampai jatuh ke tangga.” Rendra menjelaskan dengan nada tidak puas.“Aku justru heran kalau Mbak Lea mau mengaku,” komentar Silvi sambil meraih lengan Rendra. “Namanya kejahatan pasti akan berusaha dia tutup-tutupi, aku sebenarnya juga nggak tega kalau dia sampai masuk penjara.”Rendra terdiam. Sejujurnya dia hampir-hampir tidak percaya kalau Leandra yang mencelakai sang ayah, tapi kesaksian Silvi dan Widi tentu tidak bisa dia kesampingkan begitu saja.Leandra harus dihukum setimpal jika dia terbukti melakukan kejahatan itu, batin Rendra
“Maksud Bapak?” tanya Leandra sambil menoleh.Bahkan di malam yang gelap sekalipun, dia masih bisa melihat wajah Tian yang tampak serius.“Kekurangan kamu masih bisa ditoleransi dengan mengadopsi anak,” jawab Tian logis. “Jaman sekarang teknologi sudah semakin canggih, uang bisa dicari untuk pengobatan atau terapi.”“Itu artinya Bapak masih mengharapkan keturunan dari saya kan?” sahut Leandra menyimpulkan. “Sedangkan dokter sendiri sudah cek dan memvonis saya mandul, Pak ... saya khawatir nantinya Bapak kecewa karena harapan itu tidak pernah akan ada untuk saya.”Tian belum sempat berkomentar karena tepat saat itu rekannya memanggil dari dalam mobil.“Wajib lapor seminggu tiga kali, jangan lupa.” Tian berpesan, setelah itu dia masuk ke mobil dan berlalu.Malam itu Leandra langsung masuk kamar dan tidur tanpa membersihkan wajahnya lebih dulu. Dia sudah sangat lelah, hingga panggilan Ivana untuk menyuruhnya makan pun tidak dia pedulikan.“Lea, cepat makan!” suruh Ivana berulang k
“Tian!” Nezia tercekat ketika melihat Leandra membentur Tian yang baru saja muncul. “Ada apa ini?” tanya Tian datar sementara Leandra menundukkan kepalanya.Nezia pada awalnya ingin menggunakan kesempatan itu untuk menjaga posisinya di depan Tian, tapi niat itu dia urungkan demi bisa menyingkirkan Leandra.“Aku terpaksa memecat Lea,” ucap Nezia terus terang. “Akhir-akhir ini kinerja Lea sangat buruk dan malah terlihat kasus yang mencoreng reputasi klinik kita.”Tian menyipitkan matanya. “Memecat Leandra? Kita masih bisa mempertimbangkannya ....”“Maksud kamu, dia layak dipertahankan?” tukas Nezia tidak setuju.“Kita bicara di dalam, Bram ada kan?” “Ya, di ruang staf.”Tian menoleh kepada Leandra sekilas. “Tunggu di sini sebentar.”Leandra mengangguk dan menunggu sesuai perintah Tian.Bram mendongak di saat Tian dan Nezia muncul di ruang staf, tampang keduanya terlihat sangat keruh.“Tumben kalian kompak begini,” komentar Bram, maksudnya untuk bercanda. Namun, kelihatan se
“Lea, lama tidak bertemu!” Dini menyambut kedatangan Leandra di kantor Tian. “Apa yang terjadi?”Tian meneruskan langkah dan menyahut, “Mulai hari ini kamu kerja di kantor lagi.”“Terima kasih, Pak.” Leandra menganggukkan kepalanya.“Sini duduk dulu,” suruh Dini yang melihat wajah muram Leandra. “Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu? Aku dengar katanya kamu kena kasus yang melibatkan mantan suami kamu ...?”“Mantan ayah mertua saya, lebih tepatnya.” Leandra menjelaskan. “Itu semacam fitnah dari istri kedua suami saya dulu, Bu ... Entahlah, padahal saya sudah merelakan suami saya buat dia.”Dini geleng-geleng kepala.“Memang ya, namanya pelakor itu tidak cukup puas Cuma dengan mendapatkan suami dan hartanya saja.” Dia mengecam.“Betul, dia seperti ingin mengambil semua kebahagiaan saya ... Bahkan dia sampai cerita ke bos saya di klinik dan bilang kalau saya ini pelakornya!” timpal Leandra seraya geleng-geleng kepala.“Wah, benar-benar itu perempuan tidak tahu diri sekali!” “
Hari itu klinik tidak terlalu ramai pengunjung, sehingga Nezia hanya memantau pegawai yang mengemas paket dan memeriksa buku tamu yang baru terisi separuh.“Apa Tian akan ke sini lagi setelah kita memecat Lea?” tanya Nezia begitu dia masuk ruang staf.“Kurang tahu juga,” jawab Bram sambil menggeleng. “Kenapa? Jangan bilang kalau kamu menyesal sudah memecat Lea?”Nezia menggeleng, kemudian tersenyum kecil. “Ya tidaklah,” kilahnya. “Aku cuma mau tahu apakah Tian mulai tidak profesional dengan prinsipnya sendiri. Bukankah dia tidak suka mencampuradukkan masalah pribadi sama pekerjaan?”“Benar juga, Nez. Tapi tidak tahu juga, Tian kadang tidak bisa ditebak orangnya.”“Mau taruhan sama aku, Bram?”“Buat apa? Tian itu misteri, aku yakin dia tidak bisa diprediksi seperti cuaca ....”Nezia tersenyum lagi dan tidak berkomentar.Di kediaman orang tuanya, Tian sedang berdiskusi dengan rekannya melalui sambungan telepon.“Aku sudah dapat alamat rumah sakit tempat Pak Irawan dirawat ...
Irawan punya alasan tersendiri kenapa dia menutup mulut dan seolah menuruti perintah Silvi untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.“Ayah ini bilang apa? Tidak usah takut, Yah! Mbak Lea akan mendapatkan hukumannya karena dia sudah membuat ayah celaka!” ucap Silvi percaya diri.Leandra dan Tian saling pandang.“Yah, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi.” Rendra meminta. “Siapa yang sudah mendorong Ayah sampai jatuh dari tangga?”Leandra ikut mendengarkan. Meskipun bukan urusannya, tapi dia harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat itu.“Silvi minta ... uang ... masuk kamar ...” Irawan bercerita meski dengan terbata-bata. “Ambil dompet ibumu ... ayah kejar ... dekat tangga ... dia tarik, ayah tarik ... kursi oleng ... ayah jatuh.”Silvi terbelalak tak percaya, dia pikir ayah mertuanya setuju untuk menutup rahasia ini.“Tidak ada ... Lea ... ayah tidak ... lihat,” pungkas Irawan dengan susah payah.Leandra menarik napas lega, tidak menyangka jika Irawan berani mengambil r
Devi tertunduk lesu mendengarkan kemarahan Leandra.“Aku pikir kamu itu temanku,” kata Leandra lagi. “Ternyata bukan, sepertinya cuma aku sendiri yang menganggap kamu sebagai teman.”“Lea, kamu salah paham!” bujuk Devi. “Aku cuma mau membuktikan kalau kamu ... kamu tidak cari muka sama para bos—““Terus?” potong Leandra datar. “Kamu mengakui kalau aku memang pintar cari muka, kan? Asal kamu tahu saja, kalau kinerja kita bagus, bos kamu pasti akan mengakui prestasi kamu tanpa perlu cari muka lagi.”Leandra langsung meninggalkan Devi dan pergi ke ruang staf untuk mencari Tian.“Lea, kamu mau ke mana?” tanya Rio ketika Leandra melewati meja kasir.“Mau bertemu Pak Tian,” jawab Leandra sembari mengetuk pintu ruang staf dan menunggu hingga pintunya terbuka.Devi yang khawatir segera menyusul Leandra yang sudah berhadap-hadapan dengan bos mereka.“Ada apa?” tanya Tian sambil memandang Leandra.“Saya sudah tahu siapa yang memfitnah saya soal pencurian paket itu, Pak.” Leandra member