Hari itu klinik tidak terlalu ramai pengunjung, sehingga Nezia hanya memantau pegawai yang mengemas paket dan memeriksa buku tamu yang baru terisi separuh.“Apa Tian akan ke sini lagi setelah kita memecat Lea?” tanya Nezia begitu dia masuk ruang staf.“Kurang tahu juga,” jawab Bram sambil menggeleng. “Kenapa? Jangan bilang kalau kamu menyesal sudah memecat Lea?”Nezia menggeleng, kemudian tersenyum kecil. “Ya tidaklah,” kilahnya. “Aku cuma mau tahu apakah Tian mulai tidak profesional dengan prinsipnya sendiri. Bukankah dia tidak suka mencampuradukkan masalah pribadi sama pekerjaan?”“Benar juga, Nez. Tapi tidak tahu juga, Tian kadang tidak bisa ditebak orangnya.”“Mau taruhan sama aku, Bram?”“Buat apa? Tian itu misteri, aku yakin dia tidak bisa diprediksi seperti cuaca ....”Nezia tersenyum lagi dan tidak berkomentar.Di kediaman orang tuanya, Tian sedang berdiskusi dengan rekannya melalui sambungan telepon.“Aku sudah dapat alamat rumah sakit tempat Pak Irawan dirawat ...
Irawan punya alasan tersendiri kenapa dia menutup mulut dan seolah menuruti perintah Silvi untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.“Ayah ini bilang apa? Tidak usah takut, Yah! Mbak Lea akan mendapatkan hukumannya karena dia sudah membuat ayah celaka!” ucap Silvi percaya diri.Leandra dan Tian saling pandang.“Yah, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi.” Rendra meminta. “Siapa yang sudah mendorong Ayah sampai jatuh dari tangga?”Leandra ikut mendengarkan. Meskipun bukan urusannya, tapi dia harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat itu.“Silvi minta ... uang ... masuk kamar ...” Irawan bercerita meski dengan terbata-bata. “Ambil dompet ibumu ... ayah kejar ... dekat tangga ... dia tarik, ayah tarik ... kursi oleng ... ayah jatuh.”Silvi terbelalak tak percaya, dia pikir ayah mertuanya setuju untuk menutup rahasia ini.“Tidak ada ... Lea ... ayah tidak ... lihat,” pungkas Irawan dengan susah payah.Leandra menarik napas lega, tidak menyangka jika Irawan berani mengambil r
Devi tertunduk lesu mendengarkan kemarahan Leandra.“Aku pikir kamu itu temanku,” kata Leandra lagi. “Ternyata bukan, sepertinya cuma aku sendiri yang menganggap kamu sebagai teman.”“Lea, kamu salah paham!” bujuk Devi. “Aku cuma mau membuktikan kalau kamu ... kamu tidak cari muka sama para bos—““Terus?” potong Leandra datar. “Kamu mengakui kalau aku memang pintar cari muka, kan? Asal kamu tahu saja, kalau kinerja kita bagus, bos kamu pasti akan mengakui prestasi kamu tanpa perlu cari muka lagi.”Leandra langsung meninggalkan Devi dan pergi ke ruang staf untuk mencari Tian.“Lea, kamu mau ke mana?” tanya Rio ketika Leandra melewati meja kasir.“Mau bertemu Pak Tian,” jawab Leandra sembari mengetuk pintu ruang staf dan menunggu hingga pintunya terbuka.Devi yang khawatir segera menyusul Leandra yang sudah berhadap-hadapan dengan bos mereka.“Ada apa?” tanya Tian sambil memandang Leandra.“Saya sudah tahu siapa yang memfitnah saya soal pencurian paket itu, Pak.” Leandra member
Tian tidak segera menjawab pertanyaan yang diajukan Leandra.“Berapa yang harus saya bayar, Pak?” tanya Leandra berulang kali.“Sepuluh juta,” jawab Tian asal saja.“Sepuluh juta?” ulang Leandra dengan wajah terkejut.Tian mengangguk kalem dan berpikir bahwa Leandra pasti akan merasa keberatan dengan nominal yang dia sebutkan itu.“Saya tidak akan memaksa kalau kamu tidak bisa bayar,” kata Tian dengan nada menutup pembicaraan.“Bukannya tidak mampu Pak, saya kan sudah berjanji sama Bapak ... Berapa pun biaya yang harus saya bayar, saya bersedia mencicilnya.”Tian mengerutkan kening.“Saya minta nomor rekening Bapak,” kata Leandra sambil mengeluarkan ponselnya. “Akan saya simpan di sini.”“Oke,” angguk Tian singkat, dia lantas menyebutkan nomor rekeningnya sementara Leandra fokus mencatat.“Nah sudah, kalau begitu saya pamit, Pak!”“Kamu mau pulang kampung sekarang?” tanya Tian sambil melihat arloji di pergelangan tangannya. “Jam kerja kamu kan belum selesai.”“Oh iya, Pak.
Sudah dua minggu lebih Leandra tinggal di kampung bersama kedua orang tuanya, menikmati suasana sejuk dan tenang yang sudah lama tidak dia jumpai sejak tinggal di kota bersama Rendra.“Rencana kamu selanjutnya apa, Lea?” tanya ibu. “Kerja di kota lagi?”Leandra berpikir sebentar.“Masih belum tahu, Bu. Tapi aku sudah izin bosku kalau aku cuti sebulan,” katanya.“Cuti sebulan? Apa masih bisa diterima kalau kamu cuti selama itu?”“Mungkin, bosku nggak bilang apa-apa saat aku pamitan. Jadi sekalian saja, Bu ... aku sudah lama tidak pulang ke rumah kan?”“Ayah sama ibu sih senang-senang saja, kamu mau tinggal di sini dan tidak kembali ke kota juga tidak apa-apa. Siapa tahu nanti kamu ketemu jodoh yang lebih baik dari Rendra.”Leandra termenung mendengarkan ucapan ibunya.“Aku mungkin tidak bisa kasih harapan banyak sama Ibu,” katanya dengan wajah sendu.“Kenapa, Nak?” “Aku trauma sama pernikahan, Bu. Vonis dokter juga semakin melengkapi alasanku untuk nggak berani menikah lagi.
Hampir satu bulan lamanya Leandra berada di kampung dan dia belum juga mengambil terkait masa depannya.“Lanjut kerja di kantor Pak Tian nggak, ya?” gumam Leandra sambil rebahan di atas tempat tidurnya. Berminggu-minggu tidak bekerja membuat dia telanjur nyaman tinggal di kampung, terlebih lagi orang tuanya tidak menyuruhnya untuk cepat-cepat bekerja lagi.“Ibu masih bisa kasih makan kamu, Lea. Tidak usah dipikir dulu ....”“Kalau saja kamu cerita sama ayah kalau hidup kamu sesusah itu di kota, ayah pasti akan susul kamu.”Ucapan ayah dan ibunya masih melekat di pikiran Leandra, karena itulah dia merasa bimbang antara ingin kembali ke kantor Tian atau melanjutkan hidupnya dengan tenang dan damai di kampung.“Pak Tian nggak berusaha menghubungi aku,” gumam Leandra lagi seraya memandangi layar ponselnya, padahal Tian terlihat sedang online.Sementara Dini sudah sejak beberapa hari yang lalu memintanya untuk kembali bekerja.“Bu, kelihatannya aku jadi ke kota lagi.” Leandra memb
Leandra menghentikan langkahnya, kemudian memandang Tian.“Bapak sudah tahu kan kalau ....”“Kamu tidak bisa punya anak?”“Betul, dan saya pernah menikah sebelumnya—jadi saya ini ....”“Janda? Saya tahu itu, Leandra.”“Apa Bapak yakin kalau Bapak bisa bahagia menikah sama saya yang punya banyak kekurangan ini?”“Kekurangan itu bukan untuk dipermasalahkan, tapi untuk dilengkapi.”Leandra terdiam selama beberapa saat. “Soal anak, saya rasa Bapak perlu mempertimbangkannya. Untuk awal-awal menikah mungkin kita tidak akan mempermasalahkan itu, tapi setelah beberapa tahun terlewati ... saya yakin Bapak pasti kepikiran dan bukan tidak mungkin disitulah kita mulai diuji.”Tian menarik napas, kemudian memandang hamparan kebun sayur seperti cabai, kacang panjang, dan tomat segar.“Punya anak atau tidak, pada akhirnya seorang istri atau suami akan menghabiskan masa tua mereka bersama pasangannya.” Tian berkata. “Jadi kamu tidak perlu merisaukan soal anak, karena ketika mereka tumbuh b
Leandra terkejut ketika mobil Tian memasuki kawasan perumahan yang dihuni Silvi dan juga kerabat Tian yang dulu pernah menjadi tempat kerjanya. “Sebentar, ini kan ...” Dia menolehkan kepalanya dan melihat blok yang merupakan rumah Silvi. “Sebentar lagi sampai,” kata Tian tenang. Leandra diam dan berpikir kalau rumah orang tua Tian dan kerabatnya sama-sama berada di satu kawasan. Namun, Leandra semakin heran ketika mobil Tian berbelok dan memasuki halaman rumah yang tidak asing di matanya. “Kita mampir ke sini dulu?” tanya Leandra ketika Tian mengajaknya turun dari mobil. “Iya,” angguk Tian singkat. Meskipun sempat bingung, akhirnya Leandra ikut saja ke manapun Tian melangkah. “Kamu pasti tidak asing sama rumah ini,” komentar Tian ketika Leandra berjalan di belakangnya. “Saya pernah bekerja di sini,” ucap Leandra sambil mengangguk. “Jadi rumah ayah dan ibu mertua di mana?” Sebelum Tian menjawab pertanyaannya, sepasang pria dan wanita muncul tepat di depan pintu. Wajah mereka b