Leandra menghentikan langkahnya, kemudian memandang Tian.“Bapak sudah tahu kan kalau ....”“Kamu tidak bisa punya anak?”“Betul, dan saya pernah menikah sebelumnya—jadi saya ini ....”“Janda? Saya tahu itu, Leandra.”“Apa Bapak yakin kalau Bapak bisa bahagia menikah sama saya yang punya banyak kekurangan ini?”“Kekurangan itu bukan untuk dipermasalahkan, tapi untuk dilengkapi.”Leandra terdiam selama beberapa saat. “Soal anak, saya rasa Bapak perlu mempertimbangkannya. Untuk awal-awal menikah mungkin kita tidak akan mempermasalahkan itu, tapi setelah beberapa tahun terlewati ... saya yakin Bapak pasti kepikiran dan bukan tidak mungkin disitulah kita mulai diuji.”Tian menarik napas, kemudian memandang hamparan kebun sayur seperti cabai, kacang panjang, dan tomat segar.“Punya anak atau tidak, pada akhirnya seorang istri atau suami akan menghabiskan masa tua mereka bersama pasangannya.” Tian berkata. “Jadi kamu tidak perlu merisaukan soal anak, karena ketika mereka tumbuh b
Leandra terkejut ketika mobil Tian memasuki kawasan perumahan yang dihuni Silvi dan juga kerabat Tian yang dulu pernah menjadi tempat kerjanya. “Sebentar, ini kan ...” Dia menolehkan kepalanya dan melihat blok yang merupakan rumah Silvi. “Sebentar lagi sampai,” kata Tian tenang. Leandra diam dan berpikir kalau rumah orang tua Tian dan kerabatnya sama-sama berada di satu kawasan. Namun, Leandra semakin heran ketika mobil Tian berbelok dan memasuki halaman rumah yang tidak asing di matanya. “Kita mampir ke sini dulu?” tanya Leandra ketika Tian mengajaknya turun dari mobil. “Iya,” angguk Tian singkat. Meskipun sempat bingung, akhirnya Leandra ikut saja ke manapun Tian melangkah. “Kamu pasti tidak asing sama rumah ini,” komentar Tian ketika Leandra berjalan di belakangnya. “Saya pernah bekerja di sini,” ucap Leandra sambil mengangguk. “Jadi rumah ayah dan ibu mertua di mana?” Sebelum Tian menjawab pertanyaannya, sepasang pria dan wanita muncul tepat di depan pintu. Wajah mereka b
Leandra memekik kaget sambil berdiri menjauh dari tempat tidur.“Kenapa?” tanya Tian dengan kening berkerut melihat reaksi istrinya yang begitu berlebihan.“Bisa tidak sih kamu muncul pakai suara?” protes Leandra sebagai jawaban, detak jantungnya berdegup begitu kencang seperti genderang perang yang dipukul bertalu-talu.“Oh, jadi kamu pikir saya hantu karena muncul tanpa suara?” komentar Tian kalem.Leandra tidak menjawab, tapi sebagai gantinya dia sibuk mengusap-usap bagian atas dadanya dengan tangan.“Kamu mau saya bersuara seperti apa?” tanya Tian sembari berjalan memutari tempat tidur untuk mendatangi Leandra yang masih shock.“Ya setidaknya ... jangan muncul diam-diam seperti tadi, saya kaget ...! Serius ....”Tian memegang keningnya dengan tangan selama beberapa detik, kemudian menarik Leandra ke dalam pelukannya.Itulah pertama kalinya Leandra dan Tian menyatu sedekat itu tanpa adanya batas sedikit pun. Tian meletakkan dagunya di atas kepala Leandra sementara dua len
Fero tiba di kediaman orang tua Leandra setelah lewat jam makan siang. “Aku pergi dulu ya, Bu?” Leandra berpamitan kepada kedua orang tuanya. “Yah, aku jalan sekarang ya?”“Itu Fero suruh makan dulu, Lea!”“Saya sudah makan siang di rumah, Bu.” Fero memberi tahu sambil mengangkut koper Leandra, sementara Tian berpamitan kepada kedua mertuanya.“Ini kita mau langsung pulang ke rumah, Kak?” tanya Fero kepada Tian yang menyetir.“Iya, memangnya mau ke rumah siapa lagi?”“Aku kira mau ke hotel atau bulan madu.”“Belum ada rencana, yang penting sampai rumah dulu.”Leandra duduk anteng di belakang, kepalanya bersandar sambil melihat pemandangan dari kaca jendela.“Kita di sini dulu semingguan, ya?” ucap Tian ketika mereka tiba di kediaman orang tuanya. “Setelah itu baru kita cari rumah.”Leandra mengangguk.“Rumah ... rumah buat kita tinggali berdua?” “Iya, memangnya siapa lagi? Bisa bertiga, berempat, dan seterusnya kalau nanti kamu siap adopsi anak.”Leandra terdiam, dia se
Seminggu setelah Leandra tinggal di rumah orang tuanya, Tian menepati janji dengan mengajak sang istri untuk mencari rumah yang akan digunakan sebagai tempat tinggal pribadi mereka berdua. “Kamu mau pilih rumah di daerah mana?” tanya Tian ketika dia dan Leandra berkeliling menggunakan mobil. “Rumah yang tidak terlalu jauh dari lokasi mertua, tempat kerja dan rumah Tante Ivana.” Leandra menjawab. “Biar strategis, tapi pasti harganya juga mahal ... Kita patungan saja, Mas! Aku ada tabungan kok, biarpun tidak terlalu banyak.” “Tidak usah kamu pikirkan soal dana,” sahut Tian. “Itu kewajiban aku.” “Tapi ....” “Kalau aku tidak mampu, baru aku minta bantuan kamu.” “Oh, oke kalau begitu.” Leandra sangat terkesan dengan sikap Tian yang begitu mendalami tugasnya sebagai suami yang bertanggung jawab. Meskipun dia tidak keberatan untuk saling membantu termasuk soal uang, tapi dia tidak akan memaksa jika Tian tidak menghendakinya. Hari itu mereka berdua meninjau beberapa lokasi perumahan ya
“Terima kasih sudah datang,” ucap Tian datar cenderung dingin.Rendra balas menjawab tangan Tian dengan tak kalah eratnya.“Kamu tentu sudah yakin saat memilih Lea untuk menjadi istri kamu kan?” “Tentu saja ....”“Bagus, apa kamu juga yakin kalau Lea bisa membuat pernikahan kalian bahagia?” potong Rendra licik.“Apa maksud kamu?” Tian nyaris menguliti Rendra dengan tatapan tajamnya.“Lea ini tidak bisa punya anak, dia divonis mandul sama dokter.” Rendra mempertegas ucapannya. “Aku harap kamu juga sudah tahu tentang ini, jadi kesannya kamu tidak seperti membeli kucing dalam karung.”Ini jelas sudah sangat keterlaluan, Tian bahkan nyaris mematahkan jari jemari Rendra hingga hancur berkeping-keping seandainya Leandra tidak menarik tangannya.“Mas, sudah.” Rendra menoleh dengan cepat ke arah Leandra, mengira kalau sang mantan istri memanggilnya.“Sudah cukup ceramah kamu, Ren?” tanya Leandra dingin ketika Tian melepas tangannya dengan kasar.Ayah dan ibu Leandra muncul dengan
“Aku mau ke pantai, kita menginap di sana. Setiap pagi dan sore kita bisa jalan-jalan pinggir pantai ...” Leandra sudah membayangkan suasana syahdu yang di dalam pikirannya.“Oke, kita ke pantai.” Tian mengabulkan permintaan sang istri. “Kamu siap-siap sekarang, aku mau kasih tahu ibu.”Leandra mengangguk antusias dan segera menyiapkan baju-baju yang akan dia bawa.“Bu, aku titip kunci rumahku.” Tian mendatangi ibunya di dapur, dilihatnya Fero baru saja selesai sarapan dan sedang menikmati secangkir kopi.“Kamu jadi pergi? Bukan madu ke mana?” tanya Felin ingin tahu.“Lea minta ke pantai,” jawab Tian.“Ke lantai mana, aku boleh ikut nggak, Kak?” sela Fero antusias.Felin menatap anak bungsunya dan menggeleng. “Kakak kamu ini kan mau bulan madu, kamu ngapain ikut?”“Aku nggak akan mengganggu kok, Bu!” elak Fero. “Maksud aku kan baik, biar bisa gantian nyetir kalau Kak Tian capek ... Nanti di sana aku misah sama teman-temanku sendiri.”“Memangnya kamu mau ke pantai mana, siapa
Leandra dan Tian kembali ke rutinitas kerja mereka setelah momen bulan madu mereka berakhir.“Lea!” Dini memeluknya erat-erat ketika Leandra masuk kerja lagi. “Bagaimana bulan madunya? Meriah?”“Syahdu, Bu!” jawab Leandra dengan suara lirih. “Saya kerja dulu, ya ....”“Kamu tidak usah kerja lagi, Pak Tian pasti akan kasih gaji kamu. Dobel, Lea!” sahut Dini sambil tertawa menggoda. “Ini kan sama saja kantor kamu sendiri, jadi seharusnya saya mulai panggil kamu Bu Bos.”Leandra balas tertawa kecil.“Ibu ini ... saya tetap karyawan,” katanya salah tingkah. “Jadi saya harus tetap melakukan kewajiban saya, Bu.”“Pak Tian pasti bangga sama kamu,” kata Dini ketika Leandra berlalu ke ruangan Tian.Meskipun sudah berganti status menjadi istri, Leandra tetap berhati-hati ketika membersihkan ruangan suaminya. “Lea, ada yang cari kamu!” seru Dini saat menjelang makan siang.“Siapa, Bu?” tanya Leandra sambil celingukan.“Itu, sedang ngobrol sama Pak Ibnu di pos.” Dini memberi tahu.Lea