Leandra dan Tian kembali ke rutinitas kerja mereka setelah momen bulan madu mereka berakhir.“Lea!” Dini memeluknya erat-erat ketika Leandra masuk kerja lagi. “Bagaimana bulan madunya? Meriah?”“Syahdu, Bu!” jawab Leandra dengan suara lirih. “Saya kerja dulu, ya ....”“Kamu tidak usah kerja lagi, Pak Tian pasti akan kasih gaji kamu. Dobel, Lea!” sahut Dini sambil tertawa menggoda. “Ini kan sama saja kantor kamu sendiri, jadi seharusnya saya mulai panggil kamu Bu Bos.”Leandra balas tertawa kecil.“Ibu ini ... saya tetap karyawan,” katanya salah tingkah. “Jadi saya harus tetap melakukan kewajiban saya, Bu.”“Pak Tian pasti bangga sama kamu,” kata Dini ketika Leandra berlalu ke ruangan Tian.Meskipun sudah berganti status menjadi istri, Leandra tetap berhati-hati ketika membersihkan ruangan suaminya. “Lea, ada yang cari kamu!” seru Dini saat menjelang makan siang.“Siapa, Bu?” tanya Leandra sambil celingukan.“Itu, sedang ngobrol sama Pak Ibnu di pos.” Dini memberi tahu.Lea
“Halo, Mas?”“Kamu belum pulang juga jam segini?” tanya Rendra ketika suara Silvi menyambutnya begitu sambungan terhubung.“Belum, Mas ... aku masih harus merapikan kerjaan junior yang menggantikan aku selama cuti kemarin!” Silvi beralasan. “Kamu pulang duluan saja, Mas ... biar bisa gantian jaga Nayra sama ibu kamu, kasihan.”Rendra mengembuskan napas keras.“Ya kalau kamu merasa kasihan sama ibu, buruan pulang sekarang!” suruhnya tegas. “Kerja kok jam segini belum pulang, kamu seharusnya ingat kalau kamu sudah punya anak, Vi!”“Iya, iya, Mas! Namanya juga kerjaan, wajar kan aku masih penyesuaian?” kilah Silvi. “Lagian ibu pasti nggak keberatan jaga Nayra, bukannya dari dulu ibu sangat menginginkan cucu?”Rendra memijat pelipisnya.“Tapi bukan berarti kamu melupakan kewajiban kamu sebagai seorang ibu bagi Nayra,” kata Rendra letih. “Dia butuh kamu sebagai ....”“Mas, aku minta maaf sebelumnya! Tapi aku harus lanjut kerja lagi—aku akan secepatnya pulang kok, Mas! Sampai ketemu
Motor Ibnu masih ada di sana, dan Leandra bersikap seolah-olah dia baru menyadari hal itu.“Lho, ada Pak Ibnu?” ucap Leandra terkejut. Tian menyempurnakan sikap Leandra dengan ikut memasang ekspresi tidak terduga.Alih-alih bertanya sedang apa, Tian lebih memilih untuk mengucap pertanyaan ini.“Sudah lama, Pak?”Ibnu mengangguk antara sungkan dan malu, “Sekitar satu jam yang lalu, Pak.”“Eh, ada kalian datang ... sini masuk!” ajak Ivana tanpa gelagat yang aneh. “Lea, ajak Tian minum di dalam!”Leandra dan Tian mengangguk sopan ke arah Ibnu, kemudian melangkah memasuki ruang tamu.“Sebentar ya, tante mau menyelesaikan urusan sama Pak Ibnu. Lea, kamu bikinkan minum buat Tian ya—anggap rumah sendiri seperti biasa!”“Iya, Tante.” Leandra mengangguk saja meski pikirannya sibuk bertanya-tanya tentang kedatangan Ibnu ker rumah Ivana.“Mikir apa?” tanya Tian yang curiga saat melihat ekspresi wajah istrinya yang tampak serius.“Aku penasaran, ada urusan apa mereka kira-kira?” balas
Keesokan harinya, Leandra belum juga merasa enakan meskipun demam sudah berangsur-angsur turun.“Kalau kamu masih sakit, lebih baik tidak ikut acara dulu.” Tian menyarankan. “Biar aku yang bicara sama Tante Ivana kalau kamu sakit.”Leandra yang sedang bersandar di bahu Tian, hanya menggeleng tanpa bersuara.“Mau tetap ikut?”Leandra mengangguk.“Kamu masih lemas begini, lebih baik istirahat dulu di rumah.”“Tapi ....”“Kita bisa datang di hari pernikahan Tante Ivana, oke?”Leandra mengangguk lemah. Sudah beberapa kali Tian membujuknya untuk periksa ke dokter, tapi dia menolaknya dan lebih memilih untuk beristirahat di rumah.“Mas? Kamu tidak datang ke acara lamarannya Tante Ivana?” tanya Leandra lirih ketika dia terbangun dari tidur. “Sudah jam berapa ini?”“Jam setengah sepuluh,” jawab Tian sambil menonton televisi. “Kamu belum makan dari tadi, makan dulu yuk?”“Malam-malam begini makan?”“Memangnya kenapa?”“Nanti badanku melar, Mas.”“Kan tidak setiap hari, aku juga b
Leandra menikmati pesta pernikahan Ivana yang berlangsung sederhana, tetapi penuh makna.“Tante Ivana cantik banget ya, Bu?” komentar Leandra dengan wajah berseri-seri.“Iya, ibu saja saja sempat pangling tadi saat menyusul tante kamu di belakang!”Ketika hidangan disajikan, Leandra menolak nasi khusus untuknya.“Kamu tidak makan nasi?” tanya Tian heran ketika melihat Leandra hanya minum teh dan snack.“Tidak, Mas. Kamu saja,” jawab Leandra sementara tamu yang lain asyik menikmati hidangan.“Kamu kan baru sembuh, makan itu harus tetap dijaga.” Tian menyodorkan piringnya. “Ini buat kamu saja.”“Tidak usah, Mas. Aku tidak lapar,” tolak Leandra sambil sedikit menjauhkan kepalanya. “Daripada aku paksa makan, tapi tidak habis kan malah jadi mubazir ... aku juga sudah makan roti tadi sama minum teh.”Tian tidak lagi memaksa. Baginya yang penting perut Leandra tidak kosong sama sekali.Ketika acara berakhir, Leandra merasakan perutnya mulai melilit.“Mas, habis ini beli buah yuk?”
“Iya, Bu. Takutnya aku kena sakit maag nanti,” angguk Leandra.“Tian, titip Lea. Jangan kasih obat sembarangan,” pesan ibu mertua ketika akan pulang. “Jangan lupa kasih kabar kalau ada apa-apa,” timpal ayah Leandra.“Iya, Bu. Hati-hati pulangku, Yah.” Tian mengangguk dan menunggu hingga taksi yang ditumpangi kedua mertuanya berlalu pergi meninggalkan rumah. Di kamar, Leandra mengoleskan minyak kayu putih ke perut dan lehernya. Harum minyak kayu putih menguar hingga ke seantero kamar.“Minyak siapa ini, tumpah?” komentar Tian ketika dia masuk kamar dan hidungnya langsung dipenuhi aroma minyak kayu putih.“Tidak ada yang tumpah, aku pakainya kebanyakan!” Leandra nyengir. “Aku suka wanginya, Mas. Enak ....”Tian memegang tengkuknya, seraya berpikir keras apakah perubahan-perubahan ini sudah cukup menjadikan pertanda kalau Leandra memang sedang hamil?“Makan nasi, yuk? Tadi di kondangan, kamu tidak mau makan.” Tian membujuk.“Tidak lapar, dari kemarin perutku kram. Mungkin aku
Setibanya di rumah, Tian bertanya lebih jauh soal rasa masakan yang mereka makan tadi.“Kamu kelihatan terpaksa, tdiak enak ya?”Leandra tersenyum paksa.“Aku tidak enak ngomongnya tadi, soalnya rumah makannya lumayan ramai—kelihatannya memang lidah aku yang bermasalah, Mas!”Tian menggaruk rambutnya.“Ya sudah, kamu ganti makan roti saja sebagai pengganti nasi—sama buah dan sayur.”“Obat yang bisa menyembuhkan selera makan apa, ya?” oceh Leandra sambil memeluk lengan Tian. “Tapi ada untungnya juga sih, Mas. Aku kan kepingin diet dari dulu ....”“Tidak usah aneh-aneh,” sela Tian. “Kurus begini, bagian mana yang mau diet?”Leandra nyengir tipis dan tidak menjawab.“Pagi ini masak apa?” tanya Leandra keesokan harinya. “Apa pun yang kamu masak, aku pasti makan.” Tian menyahut dari balik kamar mandi.“Ya sudah, deh. Tumis sayur telur puyuh, enak!” Dengan penuh semangat, Leandra menanak nasi, meracik sayur mayur, mengupas telur puyuh, memotong cabai dan bahan-bahan lainnya.Be
“Betul, Bu. Saya ucapkan selamat, Dijaga ya kandungannya, saya akan meresepkan vitamin untuk diminum rutin selama satu bulan.” Leandra masih berbaring sembari mengangguk, seakan masih tidak percaya kalau dirinya bisa mengandung buah cintanya dengan Tian. Ketika dalam perjalanan pulang, Leandra masih belum berkomentar apa-apa mengenai kehamilannya. “Kok diam saja?” tanya Tian sambil melirik Leandra yang duduk membisu di sampingnya. “Aku cuma ... seperti masih sulit percaya, Mas. Apa jangan-jangan aku mimpi?” Tian mengulurkan satu tangannya dan mencubit lengan Leandra hingga dia memekik. “Sakit, Mas!” “Itu berarti kamu tidak bermimpi, masa iya dokter bohong?” Leandra menggosok-gosok lengannya yang dicubit Tian. Bukannya dia tidak bahagia karena berbadan dua, tetapi perasaan shock masih lebih dominan dalam hatinya. “Tapi hasil tes kesuburan itu ...” ucap Leandra ketika dia dan Tian tiba di rumah. “Anggap saja memang sudah tidak berlaku lagi,” tukas Tian tenang. “Saatnya kamu me
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa