“Terima kasih sudah datang,” ucap Tian datar cenderung dingin.Rendra balas menjawab tangan Tian dengan tak kalah eratnya.“Kamu tentu sudah yakin saat memilih Lea untuk menjadi istri kamu kan?” “Tentu saja ....”“Bagus, apa kamu juga yakin kalau Lea bisa membuat pernikahan kalian bahagia?” potong Rendra licik.“Apa maksud kamu?” Tian nyaris menguliti Rendra dengan tatapan tajamnya.“Lea ini tidak bisa punya anak, dia divonis mandul sama dokter.” Rendra mempertegas ucapannya. “Aku harap kamu juga sudah tahu tentang ini, jadi kesannya kamu tidak seperti membeli kucing dalam karung.”Ini jelas sudah sangat keterlaluan, Tian bahkan nyaris mematahkan jari jemari Rendra hingga hancur berkeping-keping seandainya Leandra tidak menarik tangannya.“Mas, sudah.” Rendra menoleh dengan cepat ke arah Leandra, mengira kalau sang mantan istri memanggilnya.“Sudah cukup ceramah kamu, Ren?” tanya Leandra dingin ketika Tian melepas tangannya dengan kasar.Ayah dan ibu Leandra muncul dengan
“Aku mau ke pantai, kita menginap di sana. Setiap pagi dan sore kita bisa jalan-jalan pinggir pantai ...” Leandra sudah membayangkan suasana syahdu yang di dalam pikirannya.“Oke, kita ke pantai.” Tian mengabulkan permintaan sang istri. “Kamu siap-siap sekarang, aku mau kasih tahu ibu.”Leandra mengangguk antusias dan segera menyiapkan baju-baju yang akan dia bawa.“Bu, aku titip kunci rumahku.” Tian mendatangi ibunya di dapur, dilihatnya Fero baru saja selesai sarapan dan sedang menikmati secangkir kopi.“Kamu jadi pergi? Bukan madu ke mana?” tanya Felin ingin tahu.“Lea minta ke pantai,” jawab Tian.“Ke lantai mana, aku boleh ikut nggak, Kak?” sela Fero antusias.Felin menatap anak bungsunya dan menggeleng. “Kakak kamu ini kan mau bulan madu, kamu ngapain ikut?”“Aku nggak akan mengganggu kok, Bu!” elak Fero. “Maksud aku kan baik, biar bisa gantian nyetir kalau Kak Tian capek ... Nanti di sana aku misah sama teman-temanku sendiri.”“Memangnya kamu mau ke pantai mana, siapa
Leandra dan Tian kembali ke rutinitas kerja mereka setelah momen bulan madu mereka berakhir.“Lea!” Dini memeluknya erat-erat ketika Leandra masuk kerja lagi. “Bagaimana bulan madunya? Meriah?”“Syahdu, Bu!” jawab Leandra dengan suara lirih. “Saya kerja dulu, ya ....”“Kamu tidak usah kerja lagi, Pak Tian pasti akan kasih gaji kamu. Dobel, Lea!” sahut Dini sambil tertawa menggoda. “Ini kan sama saja kantor kamu sendiri, jadi seharusnya saya mulai panggil kamu Bu Bos.”Leandra balas tertawa kecil.“Ibu ini ... saya tetap karyawan,” katanya salah tingkah. “Jadi saya harus tetap melakukan kewajiban saya, Bu.”“Pak Tian pasti bangga sama kamu,” kata Dini ketika Leandra berlalu ke ruangan Tian.Meskipun sudah berganti status menjadi istri, Leandra tetap berhati-hati ketika membersihkan ruangan suaminya. “Lea, ada yang cari kamu!” seru Dini saat menjelang makan siang.“Siapa, Bu?” tanya Leandra sambil celingukan.“Itu, sedang ngobrol sama Pak Ibnu di pos.” Dini memberi tahu.Lea
“Halo, Mas?”“Kamu belum pulang juga jam segini?” tanya Rendra ketika suara Silvi menyambutnya begitu sambungan terhubung.“Belum, Mas ... aku masih harus merapikan kerjaan junior yang menggantikan aku selama cuti kemarin!” Silvi beralasan. “Kamu pulang duluan saja, Mas ... biar bisa gantian jaga Nayra sama ibu kamu, kasihan.”Rendra mengembuskan napas keras.“Ya kalau kamu merasa kasihan sama ibu, buruan pulang sekarang!” suruhnya tegas. “Kerja kok jam segini belum pulang, kamu seharusnya ingat kalau kamu sudah punya anak, Vi!”“Iya, iya, Mas! Namanya juga kerjaan, wajar kan aku masih penyesuaian?” kilah Silvi. “Lagian ibu pasti nggak keberatan jaga Nayra, bukannya dari dulu ibu sangat menginginkan cucu?”Rendra memijat pelipisnya.“Tapi bukan berarti kamu melupakan kewajiban kamu sebagai seorang ibu bagi Nayra,” kata Rendra letih. “Dia butuh kamu sebagai ....”“Mas, aku minta maaf sebelumnya! Tapi aku harus lanjut kerja lagi—aku akan secepatnya pulang kok, Mas! Sampai ketemu
Motor Ibnu masih ada di sana, dan Leandra bersikap seolah-olah dia baru menyadari hal itu.“Lho, ada Pak Ibnu?” ucap Leandra terkejut. Tian menyempurnakan sikap Leandra dengan ikut memasang ekspresi tidak terduga.Alih-alih bertanya sedang apa, Tian lebih memilih untuk mengucap pertanyaan ini.“Sudah lama, Pak?”Ibnu mengangguk antara sungkan dan malu, “Sekitar satu jam yang lalu, Pak.”“Eh, ada kalian datang ... sini masuk!” ajak Ivana tanpa gelagat yang aneh. “Lea, ajak Tian minum di dalam!”Leandra dan Tian mengangguk sopan ke arah Ibnu, kemudian melangkah memasuki ruang tamu.“Sebentar ya, tante mau menyelesaikan urusan sama Pak Ibnu. Lea, kamu bikinkan minum buat Tian ya—anggap rumah sendiri seperti biasa!”“Iya, Tante.” Leandra mengangguk saja meski pikirannya sibuk bertanya-tanya tentang kedatangan Ibnu ker rumah Ivana.“Mikir apa?” tanya Tian yang curiga saat melihat ekspresi wajah istrinya yang tampak serius.“Aku penasaran, ada urusan apa mereka kira-kira?” balas
Keesokan harinya, Leandra belum juga merasa enakan meskipun demam sudah berangsur-angsur turun.“Kalau kamu masih sakit, lebih baik tidak ikut acara dulu.” Tian menyarankan. “Biar aku yang bicara sama Tante Ivana kalau kamu sakit.”Leandra yang sedang bersandar di bahu Tian, hanya menggeleng tanpa bersuara.“Mau tetap ikut?”Leandra mengangguk.“Kamu masih lemas begini, lebih baik istirahat dulu di rumah.”“Tapi ....”“Kita bisa datang di hari pernikahan Tante Ivana, oke?”Leandra mengangguk lemah. Sudah beberapa kali Tian membujuknya untuk periksa ke dokter, tapi dia menolaknya dan lebih memilih untuk beristirahat di rumah.“Mas? Kamu tidak datang ke acara lamarannya Tante Ivana?” tanya Leandra lirih ketika dia terbangun dari tidur. “Sudah jam berapa ini?”“Jam setengah sepuluh,” jawab Tian sambil menonton televisi. “Kamu belum makan dari tadi, makan dulu yuk?”“Malam-malam begini makan?”“Memangnya kenapa?”“Nanti badanku melar, Mas.”“Kan tidak setiap hari, aku juga b
Leandra menikmati pesta pernikahan Ivana yang berlangsung sederhana, tetapi penuh makna.“Tante Ivana cantik banget ya, Bu?” komentar Leandra dengan wajah berseri-seri.“Iya, ibu saja saja sempat pangling tadi saat menyusul tante kamu di belakang!”Ketika hidangan disajikan, Leandra menolak nasi khusus untuknya.“Kamu tidak makan nasi?” tanya Tian heran ketika melihat Leandra hanya minum teh dan snack.“Tidak, Mas. Kamu saja,” jawab Leandra sementara tamu yang lain asyik menikmati hidangan.“Kamu kan baru sembuh, makan itu harus tetap dijaga.” Tian menyodorkan piringnya. “Ini buat kamu saja.”“Tidak usah, Mas. Aku tidak lapar,” tolak Leandra sambil sedikit menjauhkan kepalanya. “Daripada aku paksa makan, tapi tidak habis kan malah jadi mubazir ... aku juga sudah makan roti tadi sama minum teh.”Tian tidak lagi memaksa. Baginya yang penting perut Leandra tidak kosong sama sekali.Ketika acara berakhir, Leandra merasakan perutnya mulai melilit.“Mas, habis ini beli buah yuk?”
“Iya, Bu. Takutnya aku kena sakit maag nanti,” angguk Leandra.“Tian, titip Lea. Jangan kasih obat sembarangan,” pesan ibu mertua ketika akan pulang. “Jangan lupa kasih kabar kalau ada apa-apa,” timpal ayah Leandra.“Iya, Bu. Hati-hati pulangku, Yah.” Tian mengangguk dan menunggu hingga taksi yang ditumpangi kedua mertuanya berlalu pergi meninggalkan rumah. Di kamar, Leandra mengoleskan minyak kayu putih ke perut dan lehernya. Harum minyak kayu putih menguar hingga ke seantero kamar.“Minyak siapa ini, tumpah?” komentar Tian ketika dia masuk kamar dan hidungnya langsung dipenuhi aroma minyak kayu putih.“Tidak ada yang tumpah, aku pakainya kebanyakan!” Leandra nyengir. “Aku suka wanginya, Mas. Enak ....”Tian memegang tengkuknya, seraya berpikir keras apakah perubahan-perubahan ini sudah cukup menjadikan pertanda kalau Leandra memang sedang hamil?“Makan nasi, yuk? Tadi di kondangan, kamu tidak mau makan.” Tian membujuk.“Tidak lapar, dari kemarin perutku kram. Mungkin aku