Tian tidak segera menjawab pertanyaan yang diajukan Leandra.“Berapa yang harus saya bayar, Pak?” tanya Leandra berulang kali.“Sepuluh juta,” jawab Tian asal saja.“Sepuluh juta?” ulang Leandra dengan wajah terkejut.Tian mengangguk kalem dan berpikir bahwa Leandra pasti akan merasa keberatan dengan nominal yang dia sebutkan itu.“Saya tidak akan memaksa kalau kamu tidak bisa bayar,” kata Tian dengan nada menutup pembicaraan.“Bukannya tidak mampu Pak, saya kan sudah berjanji sama Bapak ... Berapa pun biaya yang harus saya bayar, saya bersedia mencicilnya.”Tian mengerutkan kening.“Saya minta nomor rekening Bapak,” kata Leandra sambil mengeluarkan ponselnya. “Akan saya simpan di sini.”“Oke,” angguk Tian singkat, dia lantas menyebutkan nomor rekeningnya sementara Leandra fokus mencatat.“Nah sudah, kalau begitu saya pamit, Pak!”“Kamu mau pulang kampung sekarang?” tanya Tian sambil melihat arloji di pergelangan tangannya. “Jam kerja kamu kan belum selesai.”“Oh iya, Pak.
Sudah dua minggu lebih Leandra tinggal di kampung bersama kedua orang tuanya, menikmati suasana sejuk dan tenang yang sudah lama tidak dia jumpai sejak tinggal di kota bersama Rendra.“Rencana kamu selanjutnya apa, Lea?” tanya ibu. “Kerja di kota lagi?”Leandra berpikir sebentar.“Masih belum tahu, Bu. Tapi aku sudah izin bosku kalau aku cuti sebulan,” katanya.“Cuti sebulan? Apa masih bisa diterima kalau kamu cuti selama itu?”“Mungkin, bosku nggak bilang apa-apa saat aku pamitan. Jadi sekalian saja, Bu ... aku sudah lama tidak pulang ke rumah kan?”“Ayah sama ibu sih senang-senang saja, kamu mau tinggal di sini dan tidak kembali ke kota juga tidak apa-apa. Siapa tahu nanti kamu ketemu jodoh yang lebih baik dari Rendra.”Leandra termenung mendengarkan ucapan ibunya.“Aku mungkin tidak bisa kasih harapan banyak sama Ibu,” katanya dengan wajah sendu.“Kenapa, Nak?” “Aku trauma sama pernikahan, Bu. Vonis dokter juga semakin melengkapi alasanku untuk nggak berani menikah lagi.
Hampir satu bulan lamanya Leandra berada di kampung dan dia belum juga mengambil terkait masa depannya.“Lanjut kerja di kantor Pak Tian nggak, ya?” gumam Leandra sambil rebahan di atas tempat tidurnya. Berminggu-minggu tidak bekerja membuat dia telanjur nyaman tinggal di kampung, terlebih lagi orang tuanya tidak menyuruhnya untuk cepat-cepat bekerja lagi.“Ibu masih bisa kasih makan kamu, Lea. Tidak usah dipikir dulu ....”“Kalau saja kamu cerita sama ayah kalau hidup kamu sesusah itu di kota, ayah pasti akan susul kamu.”Ucapan ayah dan ibunya masih melekat di pikiran Leandra, karena itulah dia merasa bimbang antara ingin kembali ke kantor Tian atau melanjutkan hidupnya dengan tenang dan damai di kampung.“Pak Tian nggak berusaha menghubungi aku,” gumam Leandra lagi seraya memandangi layar ponselnya, padahal Tian terlihat sedang online.Sementara Dini sudah sejak beberapa hari yang lalu memintanya untuk kembali bekerja.“Bu, kelihatannya aku jadi ke kota lagi.” Leandra memb
Leandra menghentikan langkahnya, kemudian memandang Tian.“Bapak sudah tahu kan kalau ....”“Kamu tidak bisa punya anak?”“Betul, dan saya pernah menikah sebelumnya—jadi saya ini ....”“Janda? Saya tahu itu, Leandra.”“Apa Bapak yakin kalau Bapak bisa bahagia menikah sama saya yang punya banyak kekurangan ini?”“Kekurangan itu bukan untuk dipermasalahkan, tapi untuk dilengkapi.”Leandra terdiam selama beberapa saat. “Soal anak, saya rasa Bapak perlu mempertimbangkannya. Untuk awal-awal menikah mungkin kita tidak akan mempermasalahkan itu, tapi setelah beberapa tahun terlewati ... saya yakin Bapak pasti kepikiran dan bukan tidak mungkin disitulah kita mulai diuji.”Tian menarik napas, kemudian memandang hamparan kebun sayur seperti cabai, kacang panjang, dan tomat segar.“Punya anak atau tidak, pada akhirnya seorang istri atau suami akan menghabiskan masa tua mereka bersama pasangannya.” Tian berkata. “Jadi kamu tidak perlu merisaukan soal anak, karena ketika mereka tumbuh b
Leandra terkejut ketika mobil Tian memasuki kawasan perumahan yang dihuni Silvi dan juga kerabat Tian yang dulu pernah menjadi tempat kerjanya. “Sebentar, ini kan ...” Dia menolehkan kepalanya dan melihat blok yang merupakan rumah Silvi. “Sebentar lagi sampai,” kata Tian tenang. Leandra diam dan berpikir kalau rumah orang tua Tian dan kerabatnya sama-sama berada di satu kawasan. Namun, Leandra semakin heran ketika mobil Tian berbelok dan memasuki halaman rumah yang tidak asing di matanya. “Kita mampir ke sini dulu?” tanya Leandra ketika Tian mengajaknya turun dari mobil. “Iya,” angguk Tian singkat. Meskipun sempat bingung, akhirnya Leandra ikut saja ke manapun Tian melangkah. “Kamu pasti tidak asing sama rumah ini,” komentar Tian ketika Leandra berjalan di belakangnya. “Saya pernah bekerja di sini,” ucap Leandra sambil mengangguk. “Jadi rumah ayah dan ibu mertua di mana?” Sebelum Tian menjawab pertanyaannya, sepasang pria dan wanita muncul tepat di depan pintu. Wajah mereka b
Leandra memekik kaget sambil berdiri menjauh dari tempat tidur.“Kenapa?” tanya Tian dengan kening berkerut melihat reaksi istrinya yang begitu berlebihan.“Bisa tidak sih kamu muncul pakai suara?” protes Leandra sebagai jawaban, detak jantungnya berdegup begitu kencang seperti genderang perang yang dipukul bertalu-talu.“Oh, jadi kamu pikir saya hantu karena muncul tanpa suara?” komentar Tian kalem.Leandra tidak menjawab, tapi sebagai gantinya dia sibuk mengusap-usap bagian atas dadanya dengan tangan.“Kamu mau saya bersuara seperti apa?” tanya Tian sembari berjalan memutari tempat tidur untuk mendatangi Leandra yang masih shock.“Ya setidaknya ... jangan muncul diam-diam seperti tadi, saya kaget ...! Serius ....”Tian memegang keningnya dengan tangan selama beberapa detik, kemudian menarik Leandra ke dalam pelukannya.Itulah pertama kalinya Leandra dan Tian menyatu sedekat itu tanpa adanya batas sedikit pun. Tian meletakkan dagunya di atas kepala Leandra sementara dua len
Fero tiba di kediaman orang tua Leandra setelah lewat jam makan siang. “Aku pergi dulu ya, Bu?” Leandra berpamitan kepada kedua orang tuanya. “Yah, aku jalan sekarang ya?”“Itu Fero suruh makan dulu, Lea!”“Saya sudah makan siang di rumah, Bu.” Fero memberi tahu sambil mengangkut koper Leandra, sementara Tian berpamitan kepada kedua mertuanya.“Ini kita mau langsung pulang ke rumah, Kak?” tanya Fero kepada Tian yang menyetir.“Iya, memangnya mau ke rumah siapa lagi?”“Aku kira mau ke hotel atau bulan madu.”“Belum ada rencana, yang penting sampai rumah dulu.”Leandra duduk anteng di belakang, kepalanya bersandar sambil melihat pemandangan dari kaca jendela.“Kita di sini dulu semingguan, ya?” ucap Tian ketika mereka tiba di kediaman orang tuanya. “Setelah itu baru kita cari rumah.”Leandra mengangguk.“Rumah ... rumah buat kita tinggali berdua?” “Iya, memangnya siapa lagi? Bisa bertiga, berempat, dan seterusnya kalau nanti kamu siap adopsi anak.”Leandra terdiam, dia se
Seminggu setelah Leandra tinggal di rumah orang tuanya, Tian menepati janji dengan mengajak sang istri untuk mencari rumah yang akan digunakan sebagai tempat tinggal pribadi mereka berdua. “Kamu mau pilih rumah di daerah mana?” tanya Tian ketika dia dan Leandra berkeliling menggunakan mobil. “Rumah yang tidak terlalu jauh dari lokasi mertua, tempat kerja dan rumah Tante Ivana.” Leandra menjawab. “Biar strategis, tapi pasti harganya juga mahal ... Kita patungan saja, Mas! Aku ada tabungan kok, biarpun tidak terlalu banyak.” “Tidak usah kamu pikirkan soal dana,” sahut Tian. “Itu kewajiban aku.” “Tapi ....” “Kalau aku tidak mampu, baru aku minta bantuan kamu.” “Oh, oke kalau begitu.” Leandra sangat terkesan dengan sikap Tian yang begitu mendalami tugasnya sebagai suami yang bertanggung jawab. Meskipun dia tidak keberatan untuk saling membantu termasuk soal uang, tapi dia tidak akan memaksa jika Tian tidak menghendakinya. Hari itu mereka berdua meninjau beberapa lokasi perumahan ya
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa