“Mas, gimana?” tanya Silvi ketika Rendra tiba di rumah. “Ada perkembangan soal ayah kamu?”“Sepertinya ayah kena stroke,” jawab Rendra sekadarnya. “Entah, tadi aku cuma dengar sekilas saat ibu bicara sama dokter ... aku nggak terlalu fokus karena sempat mampir ke kantor polisi.”“Terus Mbak Lea gimana, jadi dipenjara?” kejar Silvi bersemangat.“Belum, tadi dia masih dimintai keterangan. Lea tetap pada keterangannya kalau dia nggak mendorong ayah sampai jatuh ke tangga.” Rendra menjelaskan dengan nada tidak puas.“Aku justru heran kalau Mbak Lea mau mengaku,” komentar Silvi sambil meraih lengan Rendra. “Namanya kejahatan pasti akan berusaha dia tutup-tutupi, aku sebenarnya juga nggak tega kalau dia sampai masuk penjara.”Rendra terdiam. Sejujurnya dia hampir-hampir tidak percaya kalau Leandra yang mencelakai sang ayah, tapi kesaksian Silvi dan Widi tentu tidak bisa dia kesampingkan begitu saja.Leandra harus dihukum setimpal jika dia terbukti melakukan kejahatan itu, batin Rendra
“Maksud Bapak?” tanya Leandra sambil menoleh.Bahkan di malam yang gelap sekalipun, dia masih bisa melihat wajah Tian yang tampak serius.“Kekurangan kamu masih bisa ditoleransi dengan mengadopsi anak,” jawab Tian logis. “Jaman sekarang teknologi sudah semakin canggih, uang bisa dicari untuk pengobatan atau terapi.”“Itu artinya Bapak masih mengharapkan keturunan dari saya kan?” sahut Leandra menyimpulkan. “Sedangkan dokter sendiri sudah cek dan memvonis saya mandul, Pak ... saya khawatir nantinya Bapak kecewa karena harapan itu tidak pernah akan ada untuk saya.”Tian belum sempat berkomentar karena tepat saat itu rekannya memanggil dari dalam mobil.“Wajib lapor seminggu tiga kali, jangan lupa.” Tian berpesan, setelah itu dia masuk ke mobil dan berlalu.Malam itu Leandra langsung masuk kamar dan tidur tanpa membersihkan wajahnya lebih dulu. Dia sudah sangat lelah, hingga panggilan Ivana untuk menyuruhnya makan pun tidak dia pedulikan.“Lea, cepat makan!” suruh Ivana berulang k
“Tian!” Nezia tercekat ketika melihat Leandra membentur Tian yang baru saja muncul. “Ada apa ini?” tanya Tian datar sementara Leandra menundukkan kepalanya.Nezia pada awalnya ingin menggunakan kesempatan itu untuk menjaga posisinya di depan Tian, tapi niat itu dia urungkan demi bisa menyingkirkan Leandra.“Aku terpaksa memecat Lea,” ucap Nezia terus terang. “Akhir-akhir ini kinerja Lea sangat buruk dan malah terlihat kasus yang mencoreng reputasi klinik kita.”Tian menyipitkan matanya. “Memecat Leandra? Kita masih bisa mempertimbangkannya ....”“Maksud kamu, dia layak dipertahankan?” tukas Nezia tidak setuju.“Kita bicara di dalam, Bram ada kan?” “Ya, di ruang staf.”Tian menoleh kepada Leandra sekilas. “Tunggu di sini sebentar.”Leandra mengangguk dan menunggu sesuai perintah Tian.Bram mendongak di saat Tian dan Nezia muncul di ruang staf, tampang keduanya terlihat sangat keruh.“Tumben kalian kompak begini,” komentar Bram, maksudnya untuk bercanda. Namun, kelihatan se
“Lea, lama tidak bertemu!” Dini menyambut kedatangan Leandra di kantor Tian. “Apa yang terjadi?”Tian meneruskan langkah dan menyahut, “Mulai hari ini kamu kerja di kantor lagi.”“Terima kasih, Pak.” Leandra menganggukkan kepalanya.“Sini duduk dulu,” suruh Dini yang melihat wajah muram Leandra. “Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu? Aku dengar katanya kamu kena kasus yang melibatkan mantan suami kamu ...?”“Mantan ayah mertua saya, lebih tepatnya.” Leandra menjelaskan. “Itu semacam fitnah dari istri kedua suami saya dulu, Bu ... Entahlah, padahal saya sudah merelakan suami saya buat dia.”Dini geleng-geleng kepala.“Memang ya, namanya pelakor itu tidak cukup puas Cuma dengan mendapatkan suami dan hartanya saja.” Dia mengecam.“Betul, dia seperti ingin mengambil semua kebahagiaan saya ... Bahkan dia sampai cerita ke bos saya di klinik dan bilang kalau saya ini pelakornya!” timpal Leandra seraya geleng-geleng kepala.“Wah, benar-benar itu perempuan tidak tahu diri sekali!” “
Hari itu klinik tidak terlalu ramai pengunjung, sehingga Nezia hanya memantau pegawai yang mengemas paket dan memeriksa buku tamu yang baru terisi separuh.“Apa Tian akan ke sini lagi setelah kita memecat Lea?” tanya Nezia begitu dia masuk ruang staf.“Kurang tahu juga,” jawab Bram sambil menggeleng. “Kenapa? Jangan bilang kalau kamu menyesal sudah memecat Lea?”Nezia menggeleng, kemudian tersenyum kecil. “Ya tidaklah,” kilahnya. “Aku cuma mau tahu apakah Tian mulai tidak profesional dengan prinsipnya sendiri. Bukankah dia tidak suka mencampuradukkan masalah pribadi sama pekerjaan?”“Benar juga, Nez. Tapi tidak tahu juga, Tian kadang tidak bisa ditebak orangnya.”“Mau taruhan sama aku, Bram?”“Buat apa? Tian itu misteri, aku yakin dia tidak bisa diprediksi seperti cuaca ....”Nezia tersenyum lagi dan tidak berkomentar.Di kediaman orang tuanya, Tian sedang berdiskusi dengan rekannya melalui sambungan telepon.“Aku sudah dapat alamat rumah sakit tempat Pak Irawan dirawat ...
Irawan punya alasan tersendiri kenapa dia menutup mulut dan seolah menuruti perintah Silvi untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.“Ayah ini bilang apa? Tidak usah takut, Yah! Mbak Lea akan mendapatkan hukumannya karena dia sudah membuat ayah celaka!” ucap Silvi percaya diri.Leandra dan Tian saling pandang.“Yah, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi.” Rendra meminta. “Siapa yang sudah mendorong Ayah sampai jatuh dari tangga?”Leandra ikut mendengarkan. Meskipun bukan urusannya, tapi dia harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat itu.“Silvi minta ... uang ... masuk kamar ...” Irawan bercerita meski dengan terbata-bata. “Ambil dompet ibumu ... ayah kejar ... dekat tangga ... dia tarik, ayah tarik ... kursi oleng ... ayah jatuh.”Silvi terbelalak tak percaya, dia pikir ayah mertuanya setuju untuk menutup rahasia ini.“Tidak ada ... Lea ... ayah tidak ... lihat,” pungkas Irawan dengan susah payah.Leandra menarik napas lega, tidak menyangka jika Irawan berani mengambil r
Devi tertunduk lesu mendengarkan kemarahan Leandra.“Aku pikir kamu itu temanku,” kata Leandra lagi. “Ternyata bukan, sepertinya cuma aku sendiri yang menganggap kamu sebagai teman.”“Lea, kamu salah paham!” bujuk Devi. “Aku cuma mau membuktikan kalau kamu ... kamu tidak cari muka sama para bos—““Terus?” potong Leandra datar. “Kamu mengakui kalau aku memang pintar cari muka, kan? Asal kamu tahu saja, kalau kinerja kita bagus, bos kamu pasti akan mengakui prestasi kamu tanpa perlu cari muka lagi.”Leandra langsung meninggalkan Devi dan pergi ke ruang staf untuk mencari Tian.“Lea, kamu mau ke mana?” tanya Rio ketika Leandra melewati meja kasir.“Mau bertemu Pak Tian,” jawab Leandra sembari mengetuk pintu ruang staf dan menunggu hingga pintunya terbuka.Devi yang khawatir segera menyusul Leandra yang sudah berhadap-hadapan dengan bos mereka.“Ada apa?” tanya Tian sambil memandang Leandra.“Saya sudah tahu siapa yang memfitnah saya soal pencurian paket itu, Pak.” Leandra member
Tian tidak segera menjawab pertanyaan yang diajukan Leandra.“Berapa yang harus saya bayar, Pak?” tanya Leandra berulang kali.“Sepuluh juta,” jawab Tian asal saja.“Sepuluh juta?” ulang Leandra dengan wajah terkejut.Tian mengangguk kalem dan berpikir bahwa Leandra pasti akan merasa keberatan dengan nominal yang dia sebutkan itu.“Saya tidak akan memaksa kalau kamu tidak bisa bayar,” kata Tian dengan nada menutup pembicaraan.“Bukannya tidak mampu Pak, saya kan sudah berjanji sama Bapak ... Berapa pun biaya yang harus saya bayar, saya bersedia mencicilnya.”Tian mengerutkan kening.“Saya minta nomor rekening Bapak,” kata Leandra sambil mengeluarkan ponselnya. “Akan saya simpan di sini.”“Oke,” angguk Tian singkat, dia lantas menyebutkan nomor rekeningnya sementara Leandra fokus mencatat.“Nah sudah, kalau begitu saya pamit, Pak!”“Kamu mau pulang kampung sekarang?” tanya Tian sambil melihat arloji di pergelangan tangannya. “Jam kerja kamu kan belum selesai.”“Oh iya, Pak.
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa