Bab 79Angin dingin berhembus di penghujung bulan September, saat terdengar suara ketukan pintu dari arah depan, dan mau tak mau membuatku harus membukanya."Ada paket, Bu." Seorang kurir mengangsurkan bingkisan dan sebuket bunga mawar."Tapi aku merasa tidak memesannya, Mas." Jujur aku merasa heran tiba-tiba mendapat mawar sepagi ini dengan bingkisan yang dibawanya. Lelaki yang tengah mengenakan jas hujan dan helm itu, hanya tersenyum menatap ke arahku. Senyum polos yang cukup menggemaskan. "Saya hanya disuruh untuk mengantar, silakan diterima.""Baiklah." Akhirnya dengan terpaksa kuterima bingkisan itu dan buru-buru segera masuk ke dalam rumah, karena udara dingin dari rintik air hujan membasahi tubuhku yang saat ini tidak mengenakan payung. Kuletakkan bingkisan itu di atas meja, sebelum akhirnya membuka sweater dan kerudung yang kupakai barusan, karena basahnya hampir menembus ke dalam kulit kepalaku.Rupanya mawar putih itu dikirim oleh Andreas. [Selamat ulang tahun, Indira. K
Bab 80Akhirnya sampai juga ke tempat yang dituju. Disana Andreas dan Amara sudah menunggu."Indira …."Entah apa yang dilihat lelaki itu dariku. Mamun matanya seperti berbinar saat menatap ke arahku, dengan penampilanku yang memang membuatku merasa berbeda kali ini. Gaun panjang berwarna hitam dengan taburan swarovski di bagian dada, ditambah dengan kerudung warna senada, membuat mata Andreas dan juga Amara seperti terpukau. Anak kecil itu mengangkat dua jempol untukku."Cantik." Satu kata keluar dari bibir Andreas. Dengan mata yang tak berkedip dia mendekat dan mengangsurkan setangkai mawar merah ke arahku. Dengan ragu kuraih juga pada akhirnya. Aku memang tersenyum, tapi jujur merasa pujian itu tak membuatku senang."Mama sangat cantik sekali. Iya kan, Pa?" puji Amara sambil kudekati gadis itu yang seketika kusentuh tangannya tapi langsung terasa sangat dingin. "Iya, sangat cantik.""Makasih Amira dan
Bab 81Pelukan Yuda terasa tenang, saat dia menyergapku masuk ke dalam pelukannya, membuat sanubariku nyaman saat mendengar lembut ucapannya."Sudah, jangan menangis lagi. Setelah ini kamu harus bahagia. Kalau perlu aku akan menikahimu segera, agar jangan sampai lelaki itu mengganggumu lagi dengan alasan anaknya yang tengah sakit itu. Karena jujur aku tidak sesabar itu untuk menghadapi kalian. Terutama menghadapi kamu yang selalu polos dan mau saja diajak pergi kemanapun oleh lelaki beranak satu itu!" "Aku hanya kasihan kepada anaknya, lagi pula aku tidak punya perasaan apapun kepada Andreas. Dia juga tidak pernah mengatakan apapun padaku tentang perasaannya, dan kupikir dia melakukannya hanya demi Amira saja."Yuda melerai pelukannya, dan langsung menjawil hidungku dengan gemas. Dapat kudengar dia menghela nafas lega."Kamu itu kalau dikasih tahu selalu tidak menurut, dan selalu melihat dari pandangan kamu sendiri. Padahal aku mengatakan semua ini, karena aku sayang padamu dan aku m
Bab 82"Meskipun Mas Agung memilih menyerahkan semua itu pada kamu dan anakmu, tapi kalian tidak sepenuhnya berhak. Setidaknya berikan bagianku juga, karena aku juga sangat membutuhkannya! Jangan jadi wanita serakah, Mbak!!" Zahra bicara sambil menggebrak meja. Aku memundurkan posisiku saat Yuda menarik tanganku perlahan. Zahra terlihat sangat emosi. "Kau boleh mengambil semuanya jika memang uang dan properti itu ada di tanganku. Tapi, seperti yang kau lihat, aku tidak memegangnya sama sekali. Bahkan aku tidak mengetahui dari mana almarhum Mas Agung mempunyai uang dan properti itu. Mungkin kau bisa menjelaskannya?!" Aku membalikkan ucapannya. Saat Zahra menata lekat pada manik mataku. Namun aku tidak gentar, meski sepertinya perempuan itu tengah mencari kebenaran dalam mataku. Tapi tentu saja kuharap dia tahu jika aku memang tengah berkata jujur.Wanita itu mendengus seperti kesal kemudian menarik nafas panjang dan membuang muka."Baiklah, jika kamu benar-benar tidak mengetahuinya.
Bab 83"Mbak Indira, ada perkelahian di depan." Anton, salah seorang pegawai di toko yang tadi pamitan pulang, berseru dari pintu penghubung. Aku dan Bu Dian langsung berpandangan."Siapa?" tanya Bu Dian sambil bergerak ke depan. Aku turut mengekor di belakangnya. Rasa penasaran langsung mendera, takut jika Yuda dan Andreas lah yang bertengkar, mengingat tingkah mereka yang seperti 'Tom and Jerry'."Pak Yuda dan temannya Mbak Indira, Bu." Nah kan, sudah kuduga kedua orang itu yang bertengkar."Ayo Indira, kita lihat," ucap Bu Dian yang langsung kubalas dengan anggukan kepala. Tak sabar rasanya ingin melihat mereka kenapa sampai bertengkar seperti itu.Benar saja, di depan sana, tepatnya di parkiran. Yuda dan Andreas sedang saling adu kekuatan di atas tanah entah sedang memperebutkan apa. Yang jelas, amarah keduanya seperti tidak terbendung, bahkan ketika beberapa orang mulai melerai keduanya dan menarik agar menjauh. Terlihat nafas keduanya masih ngos-ngosan dan saling emosi."Ada ap
Bab 84"Bedeb*h!" Andreas dan Yuda saling menarik kerah kemeja masing-masing, dan bersiap saling memukul dengan bogem masing-masing."Ya ampun, bisa nggak sih kalian bersikap seperti orang dewasa?" sergahku dengan penuh kekesalan. Menatap dua orang dewasa yang sama sekali tidak mengenal waktu saat bertengkar."Apa perlu aku ambilkan dua pedang agar kalian bisa bertarung di lapangan?" sinisku yang membuat dua lelaki itu saling melepaskan cangkraman tangannya, kemudian sedikit menjauh, tapi masih saling menatap tajam."Dia yang mulai, Mbak. Aku hanya ingin memberinya pelajaran," kata Yuda memberi pembelaan."Bukankah kau yang duluan mengataiku dengan kata-kata kasar. Aku hanya meladeni apa yang kau lakukan padaku," ucap Andreas tak mau disalahkan."Jangan memutar balikkan fakta!""Memang begitu kenyataannya," kata Andreas lagi."Sudah cukup!" Aku menghela nafas berat, kepalaku terasa pusing memikirkan kedua lelaki itu yang tak mau saling mengalah. Tengah malam seperti ini dengan kondis
Bab 85 Dia yang seharusnya berada di dalam penjara dan menghabiskan waktu menjalani masa hukumannya selama 5 tahun, atas kasus percobaan pembunuhan yang dilakukan secara berencana padaku. Namun saat mendengar ancamannya saat di pemakaman waktu itu, membuatku sedikit khawatir. Apalagi mendengar apa yang Bu Dian katakan. Jika Yanti berkeliaran di jalan? Tidak mungkin."Padahal kan si Yanti masih mempunyai jatah waktu selama empat tahun di dalam penjara, tapi kenapa aku melihatnya di dalam mobil waktu itu. Dia benar-benar melintas persis di depanku," ujarnya waktu itu. Tapi aku terus menyanggahnya dan mengatakan jika itu tidak mungkin."Yanti hanya mendapat izin dua jam saja berada di pemakaman, melihat Amara untuk yang terakhir kalinya. Jadi tidak mungkin jika wanita itu ada di jalan, apalagi mengendarai mobil. Mungkin saja itu adalah orang lain atau wajahnya hanya mirip," sanggahku cepat. Lagipula Yanti bukanlah anak seorang pejabat hingga dia bebas keluar masuk dari balik jeruji be
Bab 86Selepas kepergian dua orang pengacara itu, aku menatap ke arah Yanti yang masih berdiri di teras. Untuk apa wanita itu masih berada di tempat ini. Seharusnya urusan kami sudah selesai begitu pengacara itu pergi. Dia juga tidak bisa menggugat karena aku juga belum tentu mau menerima isi dari wasiat itu."Apakah kamu tidak mau pergi juga? Aku banyak pekerjaan di toko dan tidak ada waktu untuk meladanimu. Untuk urusan keberatanmu, silahkan kamu membicarakannya dengan dua orang pengacara tadi. Karena aku juga tidak mau menerima pemberian itu jika asal-usulnya tidak jelas." "Sombong sekali bicaramu, Indira. Aku sudah punya rencana kedua jika hal ini benar-benar terjadi.""Terserah apa katamu." Aku hendak menutup pintu ketika dari arah belakang, tanpa diduga Yanti langsung menjerat leherku seperti dengan sebuah kawat hingga aku merasa kesulitan bernafas. Udara terasa menyempit di sekitarku dan butuh sekuat tenaga untuk menahannya. Tapi tenaga Yanti begitu kuat, karena posisiku di