Bab 40
'Ada apa denganmu, Mas.'Kupandangi wajah lelaki yang selama sepuluh tahun itu pernah menjadi pelindungku, sebelum akhirnya badai rumah tangga menerjang kami berdua dan Mas Agung ternyata goyah, tak mampu bertahan pada kesetiaan. Hingga akhirnya berjalan di tempat yang tak seharusnya.Mungkin jika dia mendapati wanita yang lebih segalanya dariku, aku tak akan terlalu sakit seperti ini. Tapi nyatanya wanita pilihannya benar-benar minus baik akhlak maupun perangainya.Ayah dari anakku pun sama tengah memandangku dengan tatapan yang entah. Tampak garis kemerahan samar di wajahnya. Segera ku alihkan pandangan ke bawah, agar jangan sampai hati ini goyah. Keputusan sudah kuambil, pendaftaran proses cerai telah diajukan, maka aku tidak ingin terpengaruh lagi oleh hal apapun yang mungkin akan membuatku urung menggugat cerai suamiku yang telah mengecewakanku berkali-kali itu.Setelah selesai acara, Ibu Mertua membagikan bingkisan untuk masing-mBab 41"Mbak, bisakah kita bicara sebentar." Yuni berdiri dengan perasaan sulit kuartikan. Kupandangi wajah itu secara seksama. Aku menelan ludah secara kasar. Tenggorokan rasanya tercekat melihat perut Yuni yang membuncit, sepertinya wanita itu tengah hamil entah berapa bulan. Susah payah aku menormalkan debaran dadaku saat mengingat bagaimana kondisi Mas Agung saat itu di rumah Yuni. Hampir telan*ang. Entah kenapa aku berpikir bahwa anak yang dikandungnya pun adalah anak dari suamiku, yang sebentar lagi akan berubah gelar menjadi mantan suami."Aku mohon, Mbak." Raut wajah Yuni terlihat sayu saat menatapku. Binar matanya mengembun seolah tengah bergelut dalam nestapa. Tentu saja, kupikir tak mudah berada dalam posisinya. Janda anak satu dengan janin yang sudah berkembang, tanpa suami pula.Aku sedikit melirik ke arah Yuda yang mengangguk dan tak berkedip melihat Yuni."Kami akan menunggu di mobil, silahkan jika kalian mau mengobrol," kata Yuda s
Bab 42"Yu--Yuni?!" Mata Zahra menatap tajam ke arahku, saat Yuni turun dari mobil dan melangkah cepat pada Mas Agung. Wanita yang berdiri di sampingnya itu, seperti tak rela ketika suaminya didatangi wanita lain."Mas, aku mau bicara," seru Yuni pada lelaki yang bibirnya tekatup rapat itu. Sesekali dia melirikku dengan pandangan entah."Mau kamu apa kamu datang ke mari?" Zahra berkacak pinggang, aku tersenyum garing. Bisa kubayangkan bagaimana perasaan Zahra saat ini."Bukan urusanmu, aku ingin bicara dengan Mas Agung sekarang," sergah yuni sambil sedikit mengenyahkan Zahra dari hadapannya, dan merapat kepada Mas Agung yang urung membuka pintu mobil."Yuni, kamu--" Mas Agung menatap ragu wanita itu seperti salah tingkah. Apalagi saat melirik ke arahku yang kubalas dengan tatapan tajam. Kendati demikian, di sini aku hanya sebagai penonton dan tidak ingin terlalu ikut campur urusan mereka. Biarlah Mas Agung dan kedua wanita itu menyel
Bab 43Aku mengernyitkan keningku bingung melihat Yuda yang seperti tersenyum tapi entah tengah menertawakan apa. Dan bodohnya bibirku tak tahan untuk sekedar bertanya langsung padanya."Padahal Yanti kelihatannya marah lho, tapi kamu malah tersenyum senang. Kenapa?" Kutatap Yuda dengan wajah heran. Adi kembali tidur di kursi belakang."Kenapa kamu sangat penasaran, Mbak?" Masih dengan tarikan senyum, Yuda bicara."Sudahlah, jika kamu tidak mau cerita, tak penting juga," balasku berusaha mengalihkan pandangan menuju ke jalan raya di depan yang seperti berlari."Katakan saja, apa alasannya hingga aku harus bicara padamu. Mungkin jika bisa aku akan jawab." Aku mengangkat bahu, cuek, meski hati sebenarnya penasaran. Tapi mungkin juga Yuda tidak mau bercerita apapun padaku, itu privasinya."Yanti akan menikah karena terpaksa. Sebenarnya sudah lama dia mengejarku, tapi selalu kuabaikan. Dan belakangan ini niatnya untuk menjadi pacarku
Bab 44Pada akhirnya keadaanku bener-bener memburuk. Meski tidak benar-benar pingsan, tapi aku merasakan seluruh badanku terasa lemas tak bertenaga. Mungkin karena terlalu terkejut hingga aku tidak bisa menguasai badanku sendiri, akhirnya aku ambruk dan terkulai lemas. Beberapa orang mengangkatku masuk ke rumah setelah kurasakan badanku menggigil hebat dengan kepala yang sangat berat. Entahlah apa yang terjadi setelahnya, aku tidak mengetahuinya saat perlahan-lahan kesadaranku mulai hilang.Kubuka kelopak mata perlahan dan mengerjapkan mataku berkali-kali. Ternyata aku berada di dalam kamar dan hari masih siang saat tak kulihat lampu kamar yang menyala.Sedikit terkejut, aku mengingat kejadian saat di mana aku merasakan kepala yang berat dengan badan yang tidak bisa aku kontrol. Apa yang terjadi setelahnya, akupun tidak terlalu mengingatnya. Suara seorang lelaki bersahutan dengan orang lain terdengar samar dari luar ruangan. Kucoba bergerak perlahan untuk bangkit dan menuju sumber s
Bab 45Tiga hari ini, benar-benar kuhabiskan waktuku untuk berbaring dan beristirahat di kamar. Bu Dewi dan Bu Dian yang bolak-balik ke rumah tidak mengizinkanku bekerja, bahkan untuk sekedar membantunya. kedua wanita itu bahkan telah tampak telaten membuat adonan kue diselingi dengan canda tawa.Adi yang iseng tidak segan-segan ikut menimpali sambil mencolek adonan kue dan menempelkannya ke hidung Bu Dewi.Yuda yang datang di saat hari mulai sore bahkan tidak mau kalah. Dia ikut nimbrung di dapur bahkan membantu mengemas kue-kue kering yang dimasukkan ke dalam toples. Pemuda itu tampak tampan meskipun tengah memakai apron khas ibu-ibu. Tangan kekar dan berototnya tanpa lihai saat memilah kue kering sambil mencicipi sebelum mengemasnya.Sesekali ujung sendok atau sutil mengarah ke ujung tangannya. Bu Dewi melotot karena anak itu banyak memakan kue di depannya. "Aku kan cuma nyicip doang," kata Yuda santai saat
Bab 46"Apa maksud semua ini, Mas." Kutatap Mas Agung yang masih menunduk. Seakan bicara denganku adalah sebuah kesalahan."Ayolah, Agung, jangan menjadi lelaki pengecut. Jelaskan para istrimu apa maksud kedatanganmu," cerca Ayah Mertua seperti tidak sabar. Kutatap wajah lelaki yang pernah membersamaiku selama 10 tahun itu dengan perasaan bertanya-tanya. Ada apa ini sebenarnya. Apa yang ingin dikatakan oleh Mas Agung."Katakanlah Agung, ibu yakin Indira akan mengerti. Semua ini demi kebaikan kalian berdua." Ibu ikut bersuara. Dipandangnya anaknya dengan wajah sedih. Aku menghela nafas pelan, sebisa mungkin bersiap dengan apapun yang akan diutarakan olehnya.Mas Agung diam sebentar, untuk menormalkan suaranya. Matanya menatapku lekat, terlihat jelas kepedihan di dalam manik matanya yang dulu pernah membuatku nyaman. "Katakan saja, Mas.""Indira, sebelumnya maafkan aku aku. Se--sepertinya aku harus mengakhiri r
Bab 47Satu bulan kemudian.Aku menghela nafas lega sekaligus melonggarkan rasa sesak yang berat di dalam dadaku. Tak pernah menyangka bahwa akhirnya hubungan pernikahanku dengan Mas Agung harus berakhir setelah 10 tahun kami menjalaninya dengan bermacam cobaan dan ujian. Salah satunya adalah karena lelaki itu tak kuat menghadapi ujian rumah tangga hingga tersesat jalan salah.Kini, setelah mendengar ketukan palu hakim yang menyatakan bahwa kami bukan lagi suami istri, rasanya ada yang mengganjal di dalam hati. Aku memang yang pertama mendaftarkan gugatan cerai itu, kemudian dilanjutkan dengan ucapan talak dari Mas Agung atas desakan orang tuanya yang tidak rela jika lelaki itu terus-terusan menyiksa batinku dan bersikap tidak adil. Juga atas kesalahan-kesalahan yang lelaki itu perbuat yang tidak mungkin kumaafkan begitu saja.Kini kata janda sudah resmi melekat dalam statusku.Setelah ini aku akan memulai hidupku dengan
Bab 48Aku masih berdiri di tempatku sambil memperhatikan dua orang yang terus menekan bel hingga menimbulkan bunyi nyaring di ruangan ini.Aku tidak tahu siapa orang itu, yang jelas dua lelaki itu terlihat sangar dengan badan yang besar mengenakan jaket berwarna hitam. Aku merasa tidak pernah bertemu dan tidak ada urusan dengan mereka. Ragu, apakah aku harus membuka dan membiarkan mereka masuk atau membiarkannya begitu saja? Hanya saja hati kecilku menolak hal itu."Indira, kenapa kamu diam saja. Ibu pikir kamu sedang shalat di kamar. Siapa yang menekan bel, sampai tak sabar sebegitu." Bu Dian berdiri di belakangku menatap dengan heran ketika aku menoleh."Coba deh Bu Dian perhatikan," kataku sambil bergeser. Wanita paruh baya yang masih mengenakan apron itu, langsung melongo dari kaca yang dilapisi dengan gorden tipis berwarna putih. Bisa kupastikan tidak akan ketahuan dari luar."Badannya kok besar begitu, ka