BRUK!
Pagi ini lagi-lagi pria kecil itu tersungkur di lantai. Beberapa orang tertawa melihat hal itu, beberapa lainnya mencibirnya dengan kata makian.
Bukan tanpa alasan, tubuhnya memiliki warna kulit yang berbeda. Sawo matang dan putih albino. Inilah yang membuatnya terlihat berbeda.
Siapa yang menyukai warna kulit seperti ini? Tidak ada, bahkan Delano membencinya.
Pemuda kecil itu bangkit, mengepalkan tinju dengan amarah yang meluap-luap.
Delano tidak suka dirinya dihina, apa lagi dipandang rendah oleh orang lain. Karena hal inilah membuat karakter Delano menjadi pemberani.
Plak. Pukulan mendarat di wajah teman-temannya, pukulan marah bercampur sedih menjadi satu.
"Ada yang berkelahi!" para murid mulai berteriak.
"Delano! Delano mulai menghajar murid yang lain!"
Teriakan para murid membuat sebagian guru datang untuk melerai. Satu guru menarik tangan Delano sambil berteriak, "Hentikan! Hentikan Delano!"
Semua guru dan juga kepala sekolah selalu geram dengan tingkah Delano. Tetapi, bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu. Semua karena ia selalu diejek sebagai anak aneh, kurang waras.
Pantas saja teman-teman Delano berkata demikian. Dari segi penampilan dan juga caranya bergaul, Delano memanglah tidak terlihat wajar seperti anak kebanyakan. Ia lebih cerdas, meski terbilang lebih kasar dan sulit mengendalikan amarahnya.
Tidak hanya sekali, setiap hari ia memberikan perlakuan yang sama terhadap teman yang selalu mengejek dan menggangunya. Tak jarang, beberapa guru berpikir jika Delano adalah pengganggu berjalannya proses pelajaran berlangsung.
Delano kecil adalah anak yang unik, ia terlahir berbeda dengan anak-anak lainnya. Ia memiliki mimpi sebagai seorang pelukis ternama. Meski sering dicemooh, ia memiliki sisi lain yang cerdas. Di waktu senggang ia lebih suka menyendiri, menghabiskan waktu dengan menggambar di berbagai media, kertas, tembok, kanvas. Semua hasil karyanya begitu indah.
Namun, karena kenakalannya, guru dan juga kepala sekolah tidak begitu menyukainya. Bahkan mereka sengaja mencari alasan untuk mengeluarkan Delano dari sekolahnya.
***
Pagi itu, Delano berangkat ke sekolah dengan tergesa-gesa. Sang ibu pun membuat sarapan disela-sela kesibukannya. Sang ibu yang merupakan pekerja serabutan, harus mampu membagi waktu dengan baik. Antara mengurus Delano dan juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Suasana dapur begitu riuh dengan suara perabot dapur yang beradu. Terlihat sang ibu berkutat memanggang roti kesukaan putranya sembari bersiap untuk kerja.
"Delano! Siapkan kotak makanmu, makanlah serealnya, rotinya untuk bekal di sekolah ya!" teriak sang ibu.
Mendengar suara keras yang menggema di seluruh seisi rumah, Delano berlari menuruni anak tangga, ia bahkan berseluncur menggunakan pegangan tangga sembari merapikan tas dan seragamnya.
Penampilannya acak-acakan. Namun sembari berlari ia berusaha menyelesaikan ritual mengenakan seragam. Meski tidak terlihat rapi, setidaknya semua kancing tertutup rapi.
Tak butuh waktu lama, Delano segera menyantap sereal yang sudah disajikan sang ibu, dan memasukkan bekal ke dalam kotak makannya. Bahkan, sang ibu menangkap Delano makan tanpa mengunyah terlebih dahulu. Ia tidak ingin membuang waktu dan membuat sang ibu terlambat bekerja. Sungguh anak cerdas, ia begitu memahami kondisi sang ibu.
Di sepanjang perjalanan, Delano selalu menyempatkan diri bercengkrama dengan sang ibu. Karena hanya waktu itu yang dia punya ketika bersama.
Delano begitu menyayangi ibunya. Seringkali ia bergelayut manja. Sedangkan sang ibu selalu menatapnya penuh cinta sembari memperingati Delano agar bisa mengendalikan emosi.
"Delano, dengarkan ibu. Berusahalah membaur, bersikaplah yang baik dan ramah. Karena jika tidak, ibu terpaksa harus memindahkan sekolahmu di kota lain. Berjanjilah pada ibu bahwa semua akan baik-baik saja. Berjanjilah kamu akan menepati janjimu pada ibu untuk mewujudkan impian kamu," ucap sang ibu di sela-sela mengemudi.
Ketika itu, Delano hanya mengangguk setuju, sembari menyunggingkan senyuman yang melengkung sempurna. Membuat mata sang ibu berembun dan mulai mengelus kepala dengan sebelah telapak tangannya.
***
Mentari pagi telah menampakkan sinarnya. Rasa hangat saat sinarnya mulai terasa menyentuh kulit. Bayu pun menyapa dengan semilirnya yang menerpa wajah diikuti debu yang beterbangan ke sana kemari.
Setelah beberapa saat kemudian, Delano kembali menapakkan kaki di sekolah kesayangannya.
Seorang pria kecil berambut ikal, pemilik sepatu hitam yang nyaris usang itu, kini sedang berjalan dengan santai memasuki pintu gerbang sekolah dasar.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti saat dihadang segerombolan anak nakal, yang selalu menggodanya. Delano mengerucutkan bibirnya. Ia berusaha mengingat ucapan sang ibu, dan memilih menghindari para kawanan begundal kecil.
Namun naas, seseorang telah menarik tas punggung yang sedari tadi di gendongnya hingga robek. Buku-buku yang bertengger di dalamnya pun kini jatuh berserak di lantai. Bahkan ada beberapa yang menyerupai sampah karena diinjak oleh pemilik sepatu yang telah dicelupkan ke dalam lumpur sebelumnya. Bukan itu saja, dua orang begundal kecil juga membuat Delano terjatuh hingga hidungnya yang runcing menyentuh bukunya yang terjatuh.
Mata Delano refleks memanas. Emosinya membuncah, rahangnya mengeras. Menunjukkan garis tegas kemarahan di wajahnya.
Delano meronta-ronta sekuat tenaga, hingga ia mampu berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Lalu ia mulai kembali memberikan pelajaran pada pada kawanan begundal kecil yang selalu membuat onar.
Menit kemudian. Beberapa guru telah berdiri diantara mereka. Delano terperanjat. Namun ia menyadari, jika dirinya memang tidak pernah diinginkan di sekolah tersebut.
Wajah Delano berubah mendung, terlebih ketika para guru menyuruhnya memasuki ruangan kepala sekolah pagi itu.
Dunia serasa hancur baginya. Ucapan sang ibu kembali berdengung di telinganya. Ia hanya bisa duduk tertunduk sambil menunggu.
Terdengar samar-samar kepala sekolah sedang menelepon ibunya. Jantung Delano semakin bergemuruh tak karuan. Ia merasa bersalah, untuk hidup saja pas-pasan. Ibunya harus membanting tulang. Ia sendiri heran, selama ini belum pernah melihat siapa sosok ayahnya.
"Hari ini, kamu tamat! Tidak lagi ada pelajaran yang bisa kamu ikuti!" seloroh seorang guru yang memang tidak menyukai Delano sejak lama.
Saat itu, Delano hanya membalasnya dengan senyuman kecut dan tatapan matanya yang tajam mengiris.
Hatinya mungkin sedih, tetapi tidak mungkin Delano membiarkan siapapun yang telah menghina mengetahui perasaannya, hingga mereka semakin tertawa dan memandang rendah.
Semua guru mulai meninggalkan ruangan kepala sekolah satu persatu. Sementara Delano, ia memilih membuang muka saat mereka melintasinya.
Pintu ruangan kepala sekolah kini ditutup rapat. Di dalamnya hanya tersisa seorang Delano, bersama kepala sekolah yang terlihat sibuk mengerjakan rutinitasnya. Delano tetap menunggu dalam ketidakpastian.
Hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah kaki yang berjalan berdentum kemudian mengetuk pintu dengan begitu keras.
Tok ... tok ... tok!
"Masuk," ucap kepala sekolah tak acuh. Netranya tetap terfokus pada tumpukan lembaran kertas di atas meja.
Kedua pasang bola mata kini saling bertatapan. Ibu Delano sudah memikirkan kemungkinan terburuk ini jauh hari sebelum hal ini terjadi.
Tatapan mata ibu Delano berpindah pada bibir kepala sekolah, seakan berusaha menerka apa yang akan diucapkan pria berbadan gemuk di depannya.
"Dia dikeluarkan!" teriakan itu baru saja keluar dari bibir kepala sekolah, namun kalah cepat dengan ucapan ibu Delano ,"Putraku akan pindah".
Ibu Delano menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan kasar.
"Aku yang lebih dulu mengatakan pengajuan pindah, jadi kamu tidak berhak mengeluarkan anak yang mengajukan permohonan pindah, atau aku akan mengatakan pada para orang tua jika reputasi sekolah ini amat buruk," ucap ibu Delano berkilah.
Delano tersenyum lega setelah mengetahui sang ibu mengerti dan berpihak kepadanya.
— To be continued
— Hola semua, ini karya keduaku di platform ini, jangan lupa favorit dan tinggalkan jejak review sebagai apresiasi terhadap penulis. Salam cinta. Lia Lintang.
Setelah berhasil mengurus surat pindah sekolah, akhirnya mereka meninggalkan tempat itu.Tepat di depan pintu gerbang, Delano kembali menoleh menatap gedung kelasnya dengan raut wajah sendu.Bangunan tua berderet namun masih tampak berkelas. Bangunan penuh dengan kenangan dan juga meninggalkan bekas luka di benak bocah kecil bernama DelanoDia hanya bisa pasrah. Tidak ada yang menginginkan keberadaannya di tempat itu. Mengingat kejadian sebelumnya, seketika membuat Delano memantapkan diri untuk pergi.Delano berjalan sambil menggenggam tangan sang ibu menuju mobilnya yang tua dan usang. Bahkan lebih pantas disebut sebagai rongsokan berjalan oleh netra yang menangkap keberadaannya.Sesampainya di dalam mobil, keduanya saling bertatapan mata. Delano menatap lekat sang ibu dengan rasa bersalah. Sementara sang ibu menatap sendu raut wajah Delano yang masih terliha
Kesedihan yang dirasakan Delano benar-benar kesedihan yang tak berujung. Pikirannya kalut. Dalam rasa pilu yang menyayat jiwanya begitu dalam, Delano terus berlari di bawah guyuran hujan lebat. Netranya menemukan sebuah truk angkutan barang yang sedang berhenti di ujung jalan. Dengan sekuat tenaga, kakinya yang mungil terus memanjat dan diam lalu bernaung di dalam bak bagian belakang truk. "Ibu ... kau bahkan belum membawaku ke air mancur pusat kota," lirih Delano dalam tangisnya. Ia berusaha menahan isakan tangisnya, saat mengetahui sang sopir naik dan mulai melajukan truk pengangkut barang tersebut. Delano duduk meringkuk di bak bagian belakang truk, sementara sebelah tangannya merogoh gambar potret kebersamaan dengan sang ibu yang selalu ia simpan di jaket yang ia kenakan. Dan sekarang, potret itu akan menjadi kenangan sekaligus pengingat luka baginya. Entah be
Delano masih diam. Berusaha mencerna dua orang yang baru saja ia kenal dan kini telah menjadi bagian keluarganya. "Jika aku menolak keinginan mereka, aku tinggal di mana?" Batin Delano, pikirannya melayang, menerawang ke segala arah adalah segala kemungkinan yang mulai bermunculan di benaknya.
Delano tidak menunggu para sahabatnya membuka dompet hasil mereka mencopet di jalanan. Melainkanmemilih menyendiri di dalam kamar. Berbaring nyalang, menatap langit-langit kamar adalah caranya untuk berusaha berdamai dengan amarah. Meski sebenarnya justru mengingatkannya dengan masa lalunya.***Waktu berjalan begitu cepat, Delano kini mulai terbiasa dengan rutinitas sehari-hari. Ia bahkan ikut mahir juga seperti dua sahabatnya. Bahkan Delano menjalani semua seolah tidak memiliki beban.
Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya. Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan. Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar ber
Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa. *** Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu. Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan. Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa
Pagi hari pukul 06.00Delano sudah bersiap dengan penampilan menawan. Balutan pakaian formal yang disiapkan kedua sahabatnya, mampu menutupi kekurangan-kekurangan Delano.Sesekali, ia menatap wajahnya di pantulan cermin. Hanya dalam hitungan menit, selanjutnya ia tertunduk dan mengelus kedua punggung tangannya bergantian. Ya, kulitnya masih sama. Memilih warna berbeda, sawo matang dan albino."Delano, apa kamu sudah siap?" tanya Hendri memastikan di ambang pintu.Suaranya mengejutkan Delano yang saat itu sedang mematung, memikirkan masa lalu yang kenyataannya tidak bisa lepas dari belenggu hidupnya."Sudah, aku berangkat sekarang," balas Delano, sambil melangkah menuju lift yang sama. Lift tua yanga masih berfungsi sempurna.Kakinya melangkah lebar memasuki lift, "Kamu mau pergi tanpa kami?"Suara bariton Bob terdengar menggema memenuhi ruangan. Delano menghen
Delano bangkit dan perlahan menyandarkan tubuhnya di tembok bagian depan galeri. Ia adalah seorang yang pendedam. Meski begitu ia bukan pria yang mudah menyerah atas keadaan.Pandangan Delano mulai nanar, perutnya yang mulai keroncongan membuat kesadarannya menurun. "Sial, jika saja ini bukan galeri lukisan, aku tidak akan memaksa bertahan di tempat ini," gerutunya. Berdecak kesal.Saat akan mencoba bangkit dan berniat pergi mencari makanan. Delano dikejutkan dengan kedua pasang kaki yang sudah berdiri di hadapannya."Delano, makanlah dulu. Kamu pasti lapar," ujar Hendri yang merasa bersalah sambil menyodorkan sebungkus roti.Seharusnya, Hendri dan Bob menyampaikan pada Delano jika sebenarnya lowongan pekerjaan di tempat tersebut hanyalah sebagai petugas kebersihan. Seandainya semua itu terjadi, mungkin Delano tidak akan sekecewa ini.Delano menyambar roti yang diulurkan He
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m