Delano masih diam. Berusaha mencerna dua orang yang baru saja ia kenal dan kini telah menjadi bagian keluarganya.
"Jika aku menolak keinginan mereka, aku tinggal di mana?" Batin Delano, pikirannya melayang, menerawang ke segala arah adalah segala kemungkinan yang mulai bermunculan di benaknya.
"Bagaimana, Delano. Kamu menyediakan?" tanya Bob kembali berharap, jika Delano memantapkan niatnya bergabung dengan komplotan copet kecil itu.
"Ya," jadi. marah.
"Kita mandi, dan setelahnya makan dan istirahat. Besok pagi-pagi sekali, kamu harus memperhatikan bagaimana cara kami bekerja. Ingat, kamu harus bisa melakukannya atau tidak akan menjadi bagian dari kami," ujar Hendri. Penuh penekanan, sengaja lontarkan agar Delano yakin dengan pilihannya.
Delano hanya membalas ucapan rekan barunya dengan senyuman misteriusnya dan juga menganggukkan kepala. Setelahnya mereka memasuki kamarnya masing-masing.
Delano memilih kamar paling depan, yang dekat dengan jendela. Ia menyingkap gorden yang menutupinya untuk memperhatikan hiruk-pikuk jalanan.
"Setidaknya aku masih memiliki tempat tinggal, Bu. Aku tidak mencari di jalanan. Beristirahatlah dengan tenang, aku akan tetap menjadi Delano yang kau mau. Mimpiku di kota ini 'kan?" Delano berceloteh sendiri, ia sosok sosok yang tiada.
Keadaan telah memaksa untuk mengubah cara hidup Delano. Malam itu, Delano yang hendak mandi sedang membuka pakaiannya, baru pakai bagian atas tubuhnya saja yang ia tanggalkan tetapi sudah disambut oleh ketukan pintu.
Tok, tok....
"Masuk," ucap Delano. Menghentikan pergerakan yang hampir saja menanggalkan seluruh pakaiannya yang kemudian ia urungkan.
Hendri dan Bob memasuki kamar Delano sembari membawa beberapa stel pakaian layak pakai.
"Delano, kami akan membeli beberapa pasang pakaian untukmu. Tapi sebelum itu, kamu bisa memakai pakaian ini," ujar Hendri berinteraksi dengan paper bag di genggamannya.
"Terima kasih," jawab Delano.
Meski preman, kedua teman barunya sangat memperhatikan Delano. Membuatnya merasa nyaman dan hangat tinggal di tempat asing.
Tatapan mata keduanya tercekat setelah mengamati keadaan Delano. Mereka terkejut mendapati keanehan dalam diri Delano. ya. Kulitnya yang memiliki dua warna berbeda membuatnya mencolok.
"Kau—" belum sempat Hendri menyelesaikan kalimatnya, Delano menyahuti ucapan sahabatnya, "Aneh, belang, apa lagi?"
Hendri dan Bob saling bertatapan mata. Delano sudah menduga dan terbiasa mendapat perlakuan seperti itu sebelumnya. Karena hal tersebutlah yang menjadi alasan bocah tersebut dikucilkan hingga berada di kota saat ini dan mengakibatkan dirinya kehilangan segala sesuatu yang terasa berat. Mimpinya bahkan hancur karena keadaan itu.
Delano mengungkapkan Bob dan Hendri dengan tajam mengiris. Ia menghela napas lega, lalu menghempaskannya secara kasar. Delano bergeming, begitu juga dua orang pria di hadapannya.
"Kenapa kalian tidak lagi? Kenapa tidak meninggalkan aku sendiri? Kenapa tidak mengusirku dalam sunyi? tanya Delano, mencecar.
"Karena kita adalah keluarga," sahut Bob. Ia mendekat, kemudian tap-nepuk bahu Delano. Tepukan hangat yang nyatanya mampu merekam emosinya yang tak terkendali sebelumnya.
"Kami pergi, istirahatlah dengan nyaman. Sampai bertemu di meja makan," desis Bob, lalu meninggalkan kamar Delano tanpa menunggu jawaban darinya lagi.
Malam itu adalah malam yang berbeda bagi Delano. Hatinya sedih, begitu pilu. Namun pada hari itu pula ia pertama kali memiliki teman.
***
Mentari menyadarkannya malam. Gelap perlahan menghilang, memudarkan cerahnya sinar mentari yang menyeruak melewati bias kaca jendela kamar Delano.
Delano menggeliat, rasa remuk itu seolah berkurang setelah peregangan otot yang ia lakukan. Perlahan, Delano mulai bangun dan membersihkan diri.
Ia menemukan pengaturan pakaian formal yang terlihat mewah di dinding kamar.
"Pakaian itu untuk kamu, Delano." Hendri muncul dari ambang pintu, berjalan memasuki kamar.
Delano memperhatikan gaya busana Hendri yang terkesan modis. Jauh dari rencana pekerjaan yang membayangi benak Delano.
"Kenapa? Apakah pencopet tidak boleh terlihat keren?" tanya Hendri sengaja menggoda.
Delano yang sejatinya masih bingung berusaha menyunggingkan senyumnya.
Bob kemudian juga muncul dari balik tembok, dan melangkah memasuki kamar Delano.
"Kita harus melakukan penyamaran, Kawan. Hari ini kita akan menaiki bus antarkota," jelas Bob memberikan gambaran serta informasi mengenai kegiatan harian mereka.
"Baiklah, akan ku coba! Tapi untuk sementara, biarkan aku mengamati kalian terlebih dahulu," sahut Delano. Berusaha mencari kedua kawannya.
Bob dan Hendri mengangguk bersamaan. Kemudian, ketiganya berjalan menuju meja makan dan menyantap sarapan paginya.
Di sana Delano masih mematung. Mengingat kembali kebersamaan dengan sang ibu yang begitu ia cintai. Saat itu pula, Hendri dan Bob merasakan pilu yang sama.
"Kami pernah merasakan rasa yang sama, Delano. Badai yang sedang menderamu pasti berlalu. Percaya, bisa memainkan dunia jika kamu mampu mewujudkan semua mimpi-mimpimu, meski kita tak memiliki orangtua." Hendri berdiri sambil mengelus punggung Delano.
"Kalian belum mengenalku dengan baik, aku ini pemberani meski dengan kekuranganku." Delano menyingkap kemeja yang dikenakannya, memamerkan dua warna kulitnya yang berbeda.
Hendri dan Bob tersenyum sambil manggut-manggut menyaksikan tingkah Delano.
Usai menyantap sarapan, ketiganya mulai beraksi. Diawali dengan menaiki lift dengan pintu rahasia di gedung tua nan megah namun tak terawat. Kemudian setelah ketiganya sampai di jalanan, mereka bertingkah seperti orang asing yang tak saling kenal.
Delano berpura-pura duduk sembari membaca sebuah buku, di sebuah kolam yang dilengkapi air mancur. Tempat yang pertama ingin ia singgahi saat berada di kota itu.
Sementara Hendri segera memasuki bus dari pintu samping kemudi, sedangkan Bob mulai masuk dari pintu belakang. Setelahnya, Delano menyusul berpura-pura sebagai penumpang sembari menenteng paper bag berdiri dan membaur dengan penumpang yang lainnya.
Mereka sebenarnya saling memperhatikan, namun terlihat samar. seolah tidak saling kenal.
Bob maju lebih dulu, mendekati seorang wanita berambut cokelat sebahu, di waktu bersamaan Delano berpapasan dengan Bob, tepat ketika berpapasan itu Bob menjatuhkan dompet yang baru saja dicopetnya ke dalam paper bag milik Delano. Hendri yang cepat dan tanggap, sudah bersiap di pintu belakang segera bertukar paper bag dengan Delano. Setelah itu pun Hendri bergegas turun di pemberhentian selanjutnya.
Sementara Bob dan Delano, tetap berada di bus. Mereka seolah benar-benar seperti sedang menumpang bus.
Meski Delano anak yang nakal, ini adalah kesalahan yang pertama kali ia buat. Selama ini, ia tidak pernah melakukan kriminal dalam bentuk apapun. Keadaan memaksa Delano terperosok ke dalam jurang kejahatan.
Nurani baiknya ingin berontak, namun takdir menolaknya.
'Maafkan aku, Bu.' Batin Delano lalu mengalihkan pandangan ke arah luar jendela bus yang melesat dengan kecepatan sedang tersebut.
Setelah dua puluh menit berlalu, Delano dan Bob turun di pemberhentian bus selanjutnya. Setelah itu keduanya mencari kendaraan lain untuk pulang.
Sepanjang perjalanan pulang, Bob yang menyadari kegugupan Delano tak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Ia begitu memahami jika Delano sedang dilema memikirkan permasalahan hidupnya yang dirasa begitu berat.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga akhirnya mereka sampai di kediamannya. Delano saat itu berjalan lunglai ketika menapaki lantai rumah berbahan marmer yang memperlihatkan kemewahan gedung yang mereka jadikan sebagai tempat tinggal.
"Delano, apa kau baik-baik saja?" tanya Hendri, melihat Delano pulang dengan raut wajah ditekuk.
"Ya," balasnya dingin, dan irit.
Membuat kedua kawannya mengerti jika Delano berusaha menyembunyikan perasaannya, bahwa ia sedang tidak baik-baik saja saat itu.
— Mampukah Delano melewati hari-harinya? Dengan apa ia akan meraih mimpi sebagai pelukis ternama? Ikuti terus keseruan kisahnya.
— To be continued
Delano tidak menunggu para sahabatnya membuka dompet hasil mereka mencopet di jalanan. Melainkanmemilih menyendiri di dalam kamar. Berbaring nyalang, menatap langit-langit kamar adalah caranya untuk berusaha berdamai dengan amarah. Meski sebenarnya justru mengingatkannya dengan masa lalunya.***Waktu berjalan begitu cepat, Delano kini mulai terbiasa dengan rutinitas sehari-hari. Ia bahkan ikut mahir juga seperti dua sahabatnya. Bahkan Delano menjalani semua seolah tidak memiliki beban.
Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya. Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan. Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar ber
Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa. *** Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu. Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan. Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa
Pagi hari pukul 06.00Delano sudah bersiap dengan penampilan menawan. Balutan pakaian formal yang disiapkan kedua sahabatnya, mampu menutupi kekurangan-kekurangan Delano.Sesekali, ia menatap wajahnya di pantulan cermin. Hanya dalam hitungan menit, selanjutnya ia tertunduk dan mengelus kedua punggung tangannya bergantian. Ya, kulitnya masih sama. Memilih warna berbeda, sawo matang dan albino."Delano, apa kamu sudah siap?" tanya Hendri memastikan di ambang pintu.Suaranya mengejutkan Delano yang saat itu sedang mematung, memikirkan masa lalu yang kenyataannya tidak bisa lepas dari belenggu hidupnya."Sudah, aku berangkat sekarang," balas Delano, sambil melangkah menuju lift yang sama. Lift tua yanga masih berfungsi sempurna.Kakinya melangkah lebar memasuki lift, "Kamu mau pergi tanpa kami?"Suara bariton Bob terdengar menggema memenuhi ruangan. Delano menghen
Delano bangkit dan perlahan menyandarkan tubuhnya di tembok bagian depan galeri. Ia adalah seorang yang pendedam. Meski begitu ia bukan pria yang mudah menyerah atas keadaan.Pandangan Delano mulai nanar, perutnya yang mulai keroncongan membuat kesadarannya menurun. "Sial, jika saja ini bukan galeri lukisan, aku tidak akan memaksa bertahan di tempat ini," gerutunya. Berdecak kesal.Saat akan mencoba bangkit dan berniat pergi mencari makanan. Delano dikejutkan dengan kedua pasang kaki yang sudah berdiri di hadapannya."Delano, makanlah dulu. Kamu pasti lapar," ujar Hendri yang merasa bersalah sambil menyodorkan sebungkus roti.Seharusnya, Hendri dan Bob menyampaikan pada Delano jika sebenarnya lowongan pekerjaan di tempat tersebut hanyalah sebagai petugas kebersihan. Seandainya semua itu terjadi, mungkin Delano tidak akan sekecewa ini.Delano menyambar roti yang diulurkan He
Seluruh penghuni terlihat begitu riuh. Mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan yang luar biasa setelah mendapat kabar, jika Jeff Hilton akan datang berkunjung ke galeri. Bahkan ada juga yang berhamburan ke sana kemari.Sementara di sebuah koridor yang lumayan panjang. Delano kembali terlelap dengan kondisi yang acak-acakan.Suara pintu yang terbuka berderit mengagetkan dirinya yang baru saja membuka kelopak matanya.Delano segera bangkit dari tempat duduknya. Ia yang semula berjongkok membersihkan lantai berpindah mendekati lukisan di dinding. Lukisan yang tak sadar ia buat sebagai bentuk protesnya pada Calista.Niat Delano ingin mengacaukan semua lukisan, agar Calista merasa dipermalukan ketika saat pameran berlangsung.Akan tetapi, keadaan justru membuat siapapun terpana melihat lukisan yang diperbaiki Delano."Delano!
Malam hari di sebuah bangunan mirip kastil tua.Pukul 23.10Delano duduk termenung, sambil memandangi kartu nama yang bertuliskan nama Jeff Hilton di kamarnya. Diusapnya berulang kali, lalu ia mengeluarkan potret kebersamaan dengan ibunya di masa kecil dulu."Lihatlah, anakmu sudah dewasa saat ini. Aku akan mewujudkan impianku, semoga kau berbahagia di sana, Bu." Delano menitikkan air mata, setelah mendengar dua temannya sedang ribut ia segera mengusap kasar bulir bening yang berhasil merembes di pipinya.Delano bangkit, kemudian menghampiri kedua temannya. "Terimakasih sudah membawaku ke tempat terkutuk itu."Hening.Kedua begundal kecil yang kini telah dewasa dan berubah menjadi preman jalanan, terdiam membeku menundukkan kepalanya di hadapan Delano."Kenapa kalian diam?" tanya Delano sambil terkekeh dan membentangkan kedua tangannya. B
Oscar menjelaskan kegiatan kegiatan Jeff Hilton pada Delano. Pria berwajah tampan dengan garis tegas namun memiliki keanehan fisiknya, dengan cepat sekali mempelajari pekerjaan barunya.Ia bahkan bisa menyediakan kopi hitam pekat kesukaan Jeff Hilton. Dan Jeff pun menyukai apapun yang dibuatkan Delano. Bagi Jeff, pekerjaan Delano begitu memuaskan meski masih tergolong baru.Ada hal menarik dalam diri Delano. Pria pendiam, tapi begitu pandai merancang lukisan lukisan.
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m