Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa.
***
Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu.
Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan.
Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa memiliki wajah yang tampan. Dua orang sahabatnya, selalu mendadani Delano untuk menutupi kekurangan-kekurangan pria itu.
Dengan mengenakan pakaian lengan panjang misalnya. Meskipun jika dari telapak tangan, masih jelas terlihat bahwa tangan kiri tentu berwarna berbeda dengan yang kanan.
Kembali ke laptop Genk, kedua kawannya memilih tiduran memanfaatkan waktu sambil bermalas-malasan. Sementara itu, Delano justru sibuk mencari lowongan pekerjaan. Alasannya sepele, ia ingin kehidupan yang layak. Tidak hanya sebagai pencopet belaka.
Siapa sangka, meski terkesan mengabaikan Delano, mereka memperhatikan dalam diam. Dua hari lagi adalah hari kelahiran Delano. Tentu saja dua orang sahabatnya ingin memberikan kejutan tak terlupakan.
Hendri memberikan isyarat dengan mengangkat kedua alisnya pada Bob. Membuat pria bertubuh subur itu mengerti dan segera mengikuti Hendri yang kurusnya gak ketulungan, menuju kamarnya.
"Ada apa Hen?" tanya Bob penasaran, dengan mulut penuh terisi makanan yang masih dikunyahnya.
Hendri meringis, menatap jijik ingin muntah saat tatapan matanya terhenti di bibir Bob yang asyik mengunyah. "Aku ingin memberikan kejutan untuk Delano, bukankah dua hari lagi adalah hari jadinya yang ke dua puluh tiga tahun?"
Bob manggut-manggut, "Bagaimana caranya, dia itu pelik. Tidak semua hal dia sukai."
Bob segera menelan sisa makanannya kemudian meneguk rakus sebotol air yang berada di atas nakas hingga tandas.
"Kita cari lowongan pekerjaan, yang sesuai jalan menuju impiannya."
Hendri menampakkan raut wajahnya sumringah, namun berbeda dengan Bob yang bingung seketika mengerutkan keningnya dengan bibir melongo, mirip si Komo boneka hitam legam yang bikin macet jalanan saat sedang bingung.
Hendri terkekeh melihat ekspresinya. Bob memang lucu, bukan karena ia suka melawak. Melainkan ekspresi wajahnya yang datar, dilengkapi bibir tebalnya selalu suka melongo membuat siapapun saat melihat ingin terpingkal bahkan bisa jadi terjengkang tak tahan menahan tawa.
Bob seolah membius siapa saja yang menatap di manapun ia berada. Hendri masih berusaha mengatur napasnya, berusaha menahan tawanya.
"Ikut saja aku, gunakan keahlian kita untuk membantunya nanti." Bob berjalan mengikuti di belakang Hendri ketika menghampiri Delano.
"Hey Delano, aku menemukan ini di jalan." Hendri mengejutkan Delano dengan suara beratnya, iris mata pria aneh namun tampan itu tertuju di sebuah kertas di genggaman sahabatnya.
"Lowongan pekerjaan, di sebuah galeri pusat kota. Aku sangat ingin, tapi sebagai apa posisinya?"
Hampir saja Delano menyambar dan membacanya, kedua bola mata Hendri yang seketika membulat menarik kembali kertas tersebut dengan gerakan cepat dengan sekali hentakan saja.
'Hampir saja aku lupa memeriksa posisi pekerjaan apa yang disukai Delano.' Batin Hendri, jantungnya kini bergemuruh tak mampu menyelaraskan detakan yang makin tak berirama karena kegugupannya.
Dibacanya sesekali, ternyata benar. Posisi pekerjaan yang ditawarkan mengecewakan.
"Buat saja sebagai staf administrasi. Nanti begitu ada kesempatan, tawarkan lukisanmu juga untuk di pamerkan di sana. Biar lainnya jadi urusanku." Mata Hendri mengerjap berulang kali saat berkata.
Tanpa curiga Delano segera membuat surat lamaran pekerjaan. Kemudian menyerahkannya pada Hendri dan Bob. Keduanya bergegas pergi menuju tempat tujuan mengantarkan surat lamaran. Sedangkan Delano, memilih menunggu sambil menyelesaikan lukisannya.
Setelah menyerahkan pada satpam galeri lukisan. Keduanya tidak langsung pulang, melainkan melakukan rutinitas sehari-hari sebagai pencopet. Meski cuaca sedang gerimis. Sepulang mencopet keduanya kembali mendatangi galeri lukisan.
Bukan tanpa tujuan dan alasan, tetapi mereka dengan sengaja menyelinap dan mengganti nama Delano sebagai kandidat karyawan yang terpilih.
Semua kegiatan berakhir mulus, sesuai rencana keduanya. Mereka memang ahli urusan seperti itu.
Tepat tengah malam, keduanya kembali ke gedung tua tempat tinggal mereka. Langkah keduanya terhenti, ketika menemukan Delano tertidur di depan sebuah lukisan, dengan tangan yang masih menggenggam sebuah kuas.
Delano adalah sosok yang begitu peduli terhadap kedua temannya, itu sebabnya mereka pun sama pedulinya dengan Delano.
Melihat Delano tertidur dengan kondisi seperti itu, Hendri dan Bob merasa tak tega dan memindahkannya ke dalam kamar Delano.
***
Dua hari telah berlalu. Mentari pagi mulai terbit, menggantikan kelamnya malam dengan benderang. Embun pagi pun menyejukkan dedaunan sekitar gedung tua yang terlihat tak terawat dari arah luar.
Delano menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya, saat pertama kali ia membuka matanya.
"Selamat hari jadi," ucap Bob dan Hendri bersamaan. Membuat Delano yang baru saja membuka mata mengerutkan keningnya. Bingung sekaligus terkejut, melihat dua orang di hadapannya mendatanginya sambil membawa kue ulangtahun.
Mungkin para temannya menganggap, hari kelahiran adalah hari bahagia yang perlu dikenang, dirayakan, dan selalu diulang. Namun, bagi Delano hari itu adalah hari duka. Di mana ibunya direnggut dan ia harus kehilangan kebahagiaannya.
Suara ponsel dari sakunya berbunyi, diiringi nada berdering dan juga tanda getar, membuyarkan lamunan Delano seketika. Lamunan tentang kepergian ibunya yang tidak wajar.
"Ya, halo .... siapa?" ujar Delano, mengawali pembicaraan dari seberang telepon setelah menggeser tombol di layar.
"Namaku Calista, apakah aku berbicara dengan Delano?" tanya seorang wanita di seberang telepon. Terdengar memastikan jika ia tidak salah sasaran.
"Ya, aku sendiri yang bernama Delano. Kenapa?" Delano justru berbalik tanya kebingungan.
"Temui aku di galeri besok pagi. Untuk panggilan interview, jika cocok bisa langsung bekerja. Maka siapkan diri," ucap Calista dari seberang telepon. Setelahnya, ia menutup panggilan telepon secara sepihak.
Seketika senyuman kecil mengembang di bibir Delano. Dari sini petualangan yang sebenarnya, dalam hidup Delano dimulai.
"Aku diterima di galeri lukisan pusat kota, apakah kalian bisa membantuku untuk mencari pakaian yang pas untuk besok pagi?" Delano menghampiri kedua temannya dengan raut wajah sumringah.
"Tentu, jangan cemaskan apapun. Kamu bisa andalkan kami, Delano. Tiup dulu lilinnya, aku sudah lapar," ucap Bob yang sejak tadi menelan ludahnya sendiri menahan keinginan memakan kue di hadapannya.
"Dasar roti sobek," gerutu Delano. Namun disambut tawa canda oleh kedua temannya.
Pagi hari pukul 06.00Delano sudah bersiap dengan penampilan menawan. Balutan pakaian formal yang disiapkan kedua sahabatnya, mampu menutupi kekurangan-kekurangan Delano.Sesekali, ia menatap wajahnya di pantulan cermin. Hanya dalam hitungan menit, selanjutnya ia tertunduk dan mengelus kedua punggung tangannya bergantian. Ya, kulitnya masih sama. Memilih warna berbeda, sawo matang dan albino."Delano, apa kamu sudah siap?" tanya Hendri memastikan di ambang pintu.Suaranya mengejutkan Delano yang saat itu sedang mematung, memikirkan masa lalu yang kenyataannya tidak bisa lepas dari belenggu hidupnya."Sudah, aku berangkat sekarang," balas Delano, sambil melangkah menuju lift yang sama. Lift tua yanga masih berfungsi sempurna.Kakinya melangkah lebar memasuki lift, "Kamu mau pergi tanpa kami?"Suara bariton Bob terdengar menggema memenuhi ruangan. Delano menghen
Delano bangkit dan perlahan menyandarkan tubuhnya di tembok bagian depan galeri. Ia adalah seorang yang pendedam. Meski begitu ia bukan pria yang mudah menyerah atas keadaan.Pandangan Delano mulai nanar, perutnya yang mulai keroncongan membuat kesadarannya menurun. "Sial, jika saja ini bukan galeri lukisan, aku tidak akan memaksa bertahan di tempat ini," gerutunya. Berdecak kesal.Saat akan mencoba bangkit dan berniat pergi mencari makanan. Delano dikejutkan dengan kedua pasang kaki yang sudah berdiri di hadapannya."Delano, makanlah dulu. Kamu pasti lapar," ujar Hendri yang merasa bersalah sambil menyodorkan sebungkus roti.Seharusnya, Hendri dan Bob menyampaikan pada Delano jika sebenarnya lowongan pekerjaan di tempat tersebut hanyalah sebagai petugas kebersihan. Seandainya semua itu terjadi, mungkin Delano tidak akan sekecewa ini.Delano menyambar roti yang diulurkan He
Seluruh penghuni terlihat begitu riuh. Mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan yang luar biasa setelah mendapat kabar, jika Jeff Hilton akan datang berkunjung ke galeri. Bahkan ada juga yang berhamburan ke sana kemari.Sementara di sebuah koridor yang lumayan panjang. Delano kembali terlelap dengan kondisi yang acak-acakan.Suara pintu yang terbuka berderit mengagetkan dirinya yang baru saja membuka kelopak matanya.Delano segera bangkit dari tempat duduknya. Ia yang semula berjongkok membersihkan lantai berpindah mendekati lukisan di dinding. Lukisan yang tak sadar ia buat sebagai bentuk protesnya pada Calista.Niat Delano ingin mengacaukan semua lukisan, agar Calista merasa dipermalukan ketika saat pameran berlangsung.Akan tetapi, keadaan justru membuat siapapun terpana melihat lukisan yang diperbaiki Delano."Delano!
Malam hari di sebuah bangunan mirip kastil tua.Pukul 23.10Delano duduk termenung, sambil memandangi kartu nama yang bertuliskan nama Jeff Hilton di kamarnya. Diusapnya berulang kali, lalu ia mengeluarkan potret kebersamaan dengan ibunya di masa kecil dulu."Lihatlah, anakmu sudah dewasa saat ini. Aku akan mewujudkan impianku, semoga kau berbahagia di sana, Bu." Delano menitikkan air mata, setelah mendengar dua temannya sedang ribut ia segera mengusap kasar bulir bening yang berhasil merembes di pipinya.Delano bangkit, kemudian menghampiri kedua temannya. "Terimakasih sudah membawaku ke tempat terkutuk itu."Hening.Kedua begundal kecil yang kini telah dewasa dan berubah menjadi preman jalanan, terdiam membeku menundukkan kepalanya di hadapan Delano."Kenapa kalian diam?" tanya Delano sambil terkekeh dan membentangkan kedua tangannya. B
Oscar menjelaskan kegiatan kegiatan Jeff Hilton pada Delano. Pria berwajah tampan dengan garis tegas namun memiliki keanehan fisiknya, dengan cepat sekali mempelajari pekerjaan barunya.Ia bahkan bisa menyediakan kopi hitam pekat kesukaan Jeff Hilton. Dan Jeff pun menyukai apapun yang dibuatkan Delano. Bagi Jeff, pekerjaan Delano begitu memuaskan meski masih tergolong baru.Ada hal menarik dalam diri Delano. Pria pendiam, tapi begitu pandai merancang lukisan lukisan.
Firenze - Italia, malam hari.Pukul 21.00Delano pulang dengan rasa kesal dan dilema. Kenangan masa lalu bersama sang ibu kembali bermunculan di benaknya. Semua itu membuat hati Delano begitu sakit.Di sisi lain, ia bingung memilih tetap melangkah atau mengundurkan diri setelah mengetahui kebobrokan Jeff Hilton.Di jalanan yang mulai perlahan sepi, Delano berjalan deng
Oscar dan Delano berjalan dengan langkah kaki seribu menuju ruang pribadi Jeff Hilton, setelah suara bariton si pemilik galeri terus saja memekik tanpa henti.Ya. Ruangan luas, yang bisa disebut sebagai kamar pribadinya ini memang tidak bisa dimasuki sembarang orang. Namun, Jeff memberikan Oscar dan Delano akses khusus memasukinya. Perlakuan spesial untuk orang yang memiliki bakat tak biasa selalu Jeff berlakukan."Dari mana saja kamu!" geram Jeff Hilton, dengan sorot matanya yang tajam mengiris menatap Delano yang berdiri berhadapan dengan kepala tertunduk."Dari aula, menyelesaikan lukisan. Aku pikir kau tidak membutuhkanku, jadi aku memanfaatkan waktu luang," sanggah Delano dengan wajah datar.Tentu jawaban tersebut membuat Jeff Hilton justru terkesan. Meskipun begitu penghinaan yang baru saja terjadi berhasil memancing emosinya."Apa kau tidak melihat kegaduhan di luar
Di malam yang sepi, Delano kembali menyendiri di taman kota. Ya. Tempat favorit Delano belakangan terakhir ketika hatinya kalut.Suasana sekitar masih sama. Hening, menenangkan pikiran siapapun yang berada di sana. Ditambah udara segar yang berhembus, seakan menjadi terapis gratis bagi siapapun.Delano memejamkan matanya di sebuah kursi taman."Delano," desis seseorang memanggil. Suaranya begitu dekat di telinga pendengarnya.Delano terkesiap, ia membuka kelopak matanya perlahan. Ia terkejut melihat sosok tampan yang menyerupai dirinya. Sedang menelengkan kepalanya tepat di depan mata. Wajahnya bagaikan pinang dibelah dua."Kau—" ucapan Delano terputus, ia terkejut saat mengamati wajah pria di hadapannya begitu mirip dengannya.Hanya saja, perbedaannya. Sosok di hadapannya lebih modis, lebih rapi dan kelihatan berkelas. Selain itu, ia tidak memili
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m