Malam hari di sebuah bangunan mirip kastil tua.
Pukul 23.10
Delano duduk termenung, sambil memandangi kartu nama yang bertuliskan nama Jeff Hilton di kamarnya. Diusapnya berulang kali, lalu ia mengeluarkan potret kebersamaan dengan ibunya di masa kecil dulu.
"Lihatlah, anakmu sudah dewasa saat ini. Aku akan mewujudkan impianku, semoga kau berbahagia di sana, Bu." Delano menitikkan air mata, setelah mendengar dua temannya sedang ribut ia segera mengusap kasar bulir bening yang berhasil merembes di pipinya.
Delano bangkit, kemudian menghampiri kedua temannya. "Terimakasih sudah membawaku ke tempat terkutuk itu."
Hening.
Kedua begundal kecil yang kini telah dewasa dan berubah menjadi preman jalanan, terdiam membeku menundukkan kepalanya di hadapan Delano.
"Kenapa kalian diam?" tanya Delano sambil terkekeh dan membentangkan kedua tangannya. B
Oscar menjelaskan kegiatan kegiatan Jeff Hilton pada Delano. Pria berwajah tampan dengan garis tegas namun memiliki keanehan fisiknya, dengan cepat sekali mempelajari pekerjaan barunya.Ia bahkan bisa menyediakan kopi hitam pekat kesukaan Jeff Hilton. Dan Jeff pun menyukai apapun yang dibuatkan Delano. Bagi Jeff, pekerjaan Delano begitu memuaskan meski masih tergolong baru.Ada hal menarik dalam diri Delano. Pria pendiam, tapi begitu pandai merancang lukisan lukisan.
Firenze - Italia, malam hari.Pukul 21.00Delano pulang dengan rasa kesal dan dilema. Kenangan masa lalu bersama sang ibu kembali bermunculan di benaknya. Semua itu membuat hati Delano begitu sakit.Di sisi lain, ia bingung memilih tetap melangkah atau mengundurkan diri setelah mengetahui kebobrokan Jeff Hilton.Di jalanan yang mulai perlahan sepi, Delano berjalan deng
Oscar dan Delano berjalan dengan langkah kaki seribu menuju ruang pribadi Jeff Hilton, setelah suara bariton si pemilik galeri terus saja memekik tanpa henti.Ya. Ruangan luas, yang bisa disebut sebagai kamar pribadinya ini memang tidak bisa dimasuki sembarang orang. Namun, Jeff memberikan Oscar dan Delano akses khusus memasukinya. Perlakuan spesial untuk orang yang memiliki bakat tak biasa selalu Jeff berlakukan."Dari mana saja kamu!" geram Jeff Hilton, dengan sorot matanya yang tajam mengiris menatap Delano yang berdiri berhadapan dengan kepala tertunduk."Dari aula, menyelesaikan lukisan. Aku pikir kau tidak membutuhkanku, jadi aku memanfaatkan waktu luang," sanggah Delano dengan wajah datar.Tentu jawaban tersebut membuat Jeff Hilton justru terkesan. Meskipun begitu penghinaan yang baru saja terjadi berhasil memancing emosinya."Apa kau tidak melihat kegaduhan di luar
Di malam yang sepi, Delano kembali menyendiri di taman kota. Ya. Tempat favorit Delano belakangan terakhir ketika hatinya kalut.Suasana sekitar masih sama. Hening, menenangkan pikiran siapapun yang berada di sana. Ditambah udara segar yang berhembus, seakan menjadi terapis gratis bagi siapapun.Delano memejamkan matanya di sebuah kursi taman."Delano," desis seseorang memanggil. Suaranya begitu dekat di telinga pendengarnya.Delano terkesiap, ia membuka kelopak matanya perlahan. Ia terkejut melihat sosok tampan yang menyerupai dirinya. Sedang menelengkan kepalanya tepat di depan mata. Wajahnya bagaikan pinang dibelah dua."Kau—" ucapan Delano terputus, ia terkejut saat mengamati wajah pria di hadapannya begitu mirip dengannya.Hanya saja, perbedaannya. Sosok di hadapannya lebih modis, lebih rapi dan kelihatan berkelas. Selain itu, ia tidak memili
Hari hampir berganti pagi. Pekatnya malam menunggu mentari yang menggantikannya dengan benderang.Delano kali ini bangun lebih awal dari biasanya. Belum juga nyawanya terkumpul selepas bangun tidur, ia dikejutkan dengan keberadaan Darren yang kini sedang duduk di sebuah kursi yang terletak di dekat jendela.Letaknya tepat dihadapan Delano. Delano hanya menyandarkan diri di sisi ranjang sembari menatap pria misterius yang kini selalu mengikuti kemanapun dirinya pergi.Pria tampan tersebut terlihat mengamati jalanan. Ia bahkan mengacuhkan keberadaan Delano yang sejak tadi memperhatikannya."Apakah ini nyata?" tanya Delano sembari menghela napasnya, ia masih berusaha meyakinkan dirinya send
Delano melotot menahan rasa terkejut, saat mengetahui Darren begitu piawai membaca pikirannya.Sungguh sejak dulu pria itu tidak pernah berhenti membuat Delano takjub hingga menjadi ketergantungan padanya.Tak jarang Darren mengajarinya menjadi liar dan mampu membuat Delano polos menjadi percaya diri.**Siang hari di kota Firenze, nampak riuh dengan ramainya berita televisi yang selalu menyiarkan kabar terbaru tentang Darren. Seniman idola baru bagi para pemuda.Jeff Hilton sedang duduk di sofa mewah yang terletak di ruangan pribadinya, sambil menikmati makan siang yang dihidangkan oleh Delano.
Pagi hari, galeri Jeff Hilton Pukul 05.00Delano datang tepat waktu. Seperti biasanya. Ia menyapa para kaumnya, begitu caranya menyebut sesama seniman yang berkarya bersamanya di Jeff Hilton galeri.Jeff terlihat kurang sehat pagi ini. Terlihat jelas jika wajahnya pucat pasi. Beberapa gerombolan anjing peliharaannya, yang datang berkerumun membuat Delano teringat dengan masa terakhir, saat kehilangan ibunya. Kenangan yang terus-menerus berulang dibenaknya.Hatinya kembali perih. Namun, justru luka itu yang membuatnya kuat dan bertahan hingga saat ini.Kemudian, ia memutar otak memikirkan bagaimana cara membalas dendam pada pria licik bernama Jeff Hilton. Terpikir jika ia ingin merebut apapun yang di
Seluruh seisi galeri berhamburan berlari pergi meninggalkan pameran. Jeff kebingungan, dan juga kesal. Acara yang dinantikan hancur lebur seketika."Sial! Di mana Delano!" teriaknya dengan rasa marah yang luar biasa.Wajahnya yang berkulit putih seketika memerah. Rahangnya mengeras. Ia berjalan ke sana kemari kebingungan, tangannya selalu mengelus kalung batu safir merah yang menggantung di lehernya guna mengurangi gugup.Dalam suasana yang masih riuh. Delano muncul menuruni anak tangga dengan sedikit berlari, ia tergopoh-gopoh menghadap Jeff. Menunjukkan kepedulian dan juga rasa cemas. Berusaha mencuri hati Jeff Hilton."Dari mana saja kau! Kenapa selalu menghilang setiap kali dibutuhkan?" Jeff menginjak kotak penyimpanan karya Delano dengan
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m