Kesedihan yang dirasakan Delano benar-benar kesedihan yang tak berujung. Pikirannya kalut. Dalam rasa pilu yang menyayat jiwanya begitu dalam, Delano terus berlari di bawah guyuran hujan lebat.
Netranya menemukan sebuah truk angkutan barang yang sedang berhenti di ujung jalan. Dengan sekuat tenaga, kakinya yang mungil terus memanjat dan diam lalu bernaung di dalam bak bagian belakang truk.
"Ibu ... kau bahkan belum membawaku ke air mancur pusat kota," lirih Delano dalam tangisnya.
Ia berusaha menahan isakan tangisnya, saat mengetahui sang sopir naik dan mulai melajukan truk pengangkut barang tersebut.
Delano duduk meringkuk di bak bagian belakang truk, sementara sebelah tangannya merogoh gambar potret kebersamaan dengan sang ibu yang selalu ia simpan di jaket yang ia kenakan. Dan sekarang, potret itu akan menjadi kenangan sekaligus pengingat luka baginya.
Entah berapa lama Delano tertidur di bak belakang truk. Hingga akhirnya, truk tersebut menghentikan lajunya. Membuat Delano yang semula terlelap dalam lelah terperanjat.
Perlahan ia membuka kelopak matanya hingga nyaris sempurna. Kedua telapak tangannya mengusap kasar sepasang mata dengan manik indah berwarna abu-abu. Mempertegas bahwa ia memiliki darah campuran.
Perlahan Delano kecil mengamati sekeliling jalanan yang nampak sepi, setelahnya ia melompat turun hingga jatuh tersungkur di aspal. Sambil menahan rasa sakit, Delano memegangi sebelah tangan kirinya yang terbentur keras di aspal hingga tubuhnya nyaris melengkung menahan saat sakit. Bahkan ia sampai meringis.
"Ibu, aku kini sendiri. Tanganku sakit Bu," rintihnya sambil terisak-isak. Sungguh keadaan yang sangat menyedihkan.
Menit kemudian. Ia menghentikan tangisnya setelah beberapa orang yang melintas di jalan tersebut melemparkan beberapa uang koin namun didominasi oleh kertas.
Perlahan tangisnya terhenti. Ia menyembunyikan lembaran uang kertas dan juga uang logam yang terkumpul dibalik jaketnya yang mulai berubah Kumal.
Jangankan pakaian ganti, Delano bahkan tidak sempat menghampiri mobil rongsokan milk ibunya.
Menit kemudian, matanya berubah membola. Senyumannya perlahan melengkung sempurna setelah mengamati sekitar tempat tersebut.
"Pancuran pusat taman kota"
Delano bangkit dengan wajah yang mulai berbinar ia mengamati sekeliling tempat. Lalu ia perlahan melangkah mendekati lingkaran yang menyerupai kolam, lengkap dengan pancuran.
Disentuhnya air yang terasa dingin. Sejenak ia terdiam. Mengingat kembali lukanya yang baru saja terjadi.
"Aku hanya sendiri, aku harus bangkit demi mimpiku," lirih Delano.
Menit kemudian, ia berusaha menarik para pejalan kaki dengan menyanyi. Bahkan suaranya bisa dibilang jauh dari kata merdu. Namun, karena hidupnya yang keras Delano memberanikan diri melakukan hal itu.
Tak butuh waktu lama, para pejalan kaki yang melintas kian tertarik dengan sikapnya yang lucu. Meski penampilannya aneh, tetapi mereka tetap memberikan sumbangan untuk Delano meski itu hanya sekedar uang receh.
Delano merasa beruntung, ia mulai menghitung uang yang ia dapatkan hari itu, "Aku bisa membeli makanan dengan ini, lihatlah Bu ... aku bahkan bekerja seperti ini tanpamu," ia menukas dengan suara yang begitu lirih.
Aktivitas Delano terhenti, ketika bola matanya menemukan dua orang yang seumuran dengannya tengah berdiri tepat di hadapannya.
"Apa mau kalian?" tanya Delano, dengan iris matanya yang tajam dan dingin.
Meski di kota baru, Delano sedikitpun tidak menunjukkan ekspresi wajah takut pada siapapun yang mendekat. Jika sebelumnya ia sulit membaur dengan lingkungan, saat ini ia sedang dipaksa membaur oleh alam.
"Kau mengamen di wilayah kami! Kami memperhatikan mu sejak tadi!" teriak begundal kecil bertubuh gemuk.
Saat para begundal kecil sedang asyik bernegosiasi, suara sirine polisi berbunyi. Delano terkesiap, kedua iris matanya membola. Sedangkan dua kawanan begundal kecil di hadapannya segera berlari.
Bukannya menjauh, Delano justru mengikuti kemana kedua kawanan yang baru saja menegurnya.
Kedua begundal kecil itu, berlari menyusuri lorong-lorong sempit pertokoan yang begitu padat, lalu berbelok, dan memanjat pagar bangunan yang terlihat lama tak berpenghuni.
Delano terus mengikutinya, meski napasnya mulai terengah-engah. Dengan sekuat tenaga pula Delano ikut memanjat pagar yang berbahan menyerupai besi kecil. Setelah sampai di halaman bangunan, netra Delano menatap dua kawanan seusianya itu menaiki sebuah tangga darurat kemudian menaiki bagian atap bangunan dan berpindah ke bangunan lainnya. Kemudian melompat setelah menemukan lubang di bagian atap berbentuk kotak.
Delano mengatur napasnya yang sedari tadi memburu. Kemudian mengintip celah lubang atap rumah yang berbentuk persegi itu. Lalu setelah menemukan kedua pria kecil berada di sana, Delano ikut melompat dan mendarat di sebuah kasur yang sengaja diletakkan tepat di bawah lubang.
"Hey, kenapa kau mengikuti kami?" tanya begundal kecil bertubuh gemuk.
Delano tersenyum kecut, entah mengapa baginya pria itu terlihat lucu meski ekspresinya sedang mengamuk.
"Aku Delano, hari ini adalah pertama kalinya aku menjadi seorang yatim piatu," Delano menukas sembari mengulurkan tangannya.
Bob dan Hendri saling bertatapan mata. Seolah memberikan isyarat lewat mata masing-masing. Setelahnya mengangguk pelan.
"Namaku Bob, panggil saja begitu," balas begundal kecil bertubuh gemuk.
"Aku Hendri," ucap begundal kecil bertubuh kurus lainnya.
"Apakah kita bisa menjadi keluarga?" tanya Delano menawar.
"Tentu, aku juga baru kehilangan keluargaku. Aku sama denganmu, seorang yatim piatu," jawab Bob.
"Tidak, kita baru saja bertemu dengannya! Bagaimana mungkin bisa mudah mempercayai orang yang baru saja kita temui?" Hendri memalingkan wajahnya, kemudian menjatuhkan diri ke sebuah kursi usang di sudut ruangan.
Bob kemudian berjalan mendekat, ia menyentuh bahu Hendri sambil berkata, "Dia sendiri di kota kejam ini, apa kau lupa bagaimana pertama kali di sini menemukan aku?"
Hendri refleks menoleh, kemudian berdiri dan berjalan mendekati Delano.
"Baiklah, kita keluarga!" seru Hendri, seraya mengulurkan tangannya.
Kemudian ketiganya saling merangkul satu sama lainnya. Menit kemudian, ketiganya melepaskan pelukan hangat mereka.
"Ayo, kita masuk! Selamat datang di rumah baru," tukas Hendri, sembari mengajak Delano dan Bob masuk ke lift tua namun masih berguna dengan baik.
Delano mengikuti langkah kedua sahabat barunya, yang kini telah menjadi keluarga baginya. Di dalam lift, tatapan matanya tidak berhenti sedetikpun menyisir sekeliling tempat tersebut.
Hanya dalam hitungan menit. Delano dan kedua kawan barunya sampai di sebuah ruangan yang amat luas. Sungguh kontras dengan bagian luar bangunan yang terlihat tua, lama tak berpenghuni, bagian dalamnya terlihat menarik. Bahkan banyak perabot rumah yang terbilang mahal.
Mata Delano membulat sempurna saat mengedar menelusuri ruangan.
"Kamu bisa pilih kamar, yang akan kau jadikan ruangan pribadi. Selebihnya ruangan untuk bersama," ucap Hendri.
Delano benar-benar merasa beruntung, sejenak ia terdiam. Memikirkan berbagai hal yang dirasakan di luar nalarnya.
"Apa yang kalian kerjakan, hingga mamt merubah tempat ini?" tanya Delano, dengan ucapan menusuk bagi para pendengarnya.
Kedua kawannya tersenyum kecut, kemudian berjalan mendekati Delano bersamaan.
"Kamu pun juga harus mengikuti jejak kami, jika mau tinggal di sini. Ingat, kehidupan di sini keras. Tidak ada yang gratis Delano," ucap Bob dengan raut datar.
"Pekerjaan apa itu?" tanya Delano, sambil mengerutkan keningnya merasa penasaran.
"Menjadi pencopet," ujar Hendri tanpa ragu-ragu.
Delano terkesiap, kedua bola matanya hampir saja mencelos mendengar ucapan kedua sahabatnya. Bibirnya terbuka lebar.
Akankah Delano mengikuti jejak mereka? Ikuti terus keseruan kisahnya ya. Salam hangat, Lia Lintang.
— To be continued
— Follow me on IG: @lia_lintang08
Delano masih diam. Berusaha mencerna dua orang yang baru saja ia kenal dan kini telah menjadi bagian keluarganya. "Jika aku menolak keinginan mereka, aku tinggal di mana?" Batin Delano, pikirannya melayang, menerawang ke segala arah adalah segala kemungkinan yang mulai bermunculan di benaknya.
Delano tidak menunggu para sahabatnya membuka dompet hasil mereka mencopet di jalanan. Melainkanmemilih menyendiri di dalam kamar. Berbaring nyalang, menatap langit-langit kamar adalah caranya untuk berusaha berdamai dengan amarah. Meski sebenarnya justru mengingatkannya dengan masa lalunya.***Waktu berjalan begitu cepat, Delano kini mulai terbiasa dengan rutinitas sehari-hari. Ia bahkan ikut mahir juga seperti dua sahabatnya. Bahkan Delano menjalani semua seolah tidak memiliki beban.
Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya. Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan. Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar ber
Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa. *** Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu. Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan. Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa
Pagi hari pukul 06.00Delano sudah bersiap dengan penampilan menawan. Balutan pakaian formal yang disiapkan kedua sahabatnya, mampu menutupi kekurangan-kekurangan Delano.Sesekali, ia menatap wajahnya di pantulan cermin. Hanya dalam hitungan menit, selanjutnya ia tertunduk dan mengelus kedua punggung tangannya bergantian. Ya, kulitnya masih sama. Memilih warna berbeda, sawo matang dan albino."Delano, apa kamu sudah siap?" tanya Hendri memastikan di ambang pintu.Suaranya mengejutkan Delano yang saat itu sedang mematung, memikirkan masa lalu yang kenyataannya tidak bisa lepas dari belenggu hidupnya."Sudah, aku berangkat sekarang," balas Delano, sambil melangkah menuju lift yang sama. Lift tua yanga masih berfungsi sempurna.Kakinya melangkah lebar memasuki lift, "Kamu mau pergi tanpa kami?"Suara bariton Bob terdengar menggema memenuhi ruangan. Delano menghen
Delano bangkit dan perlahan menyandarkan tubuhnya di tembok bagian depan galeri. Ia adalah seorang yang pendedam. Meski begitu ia bukan pria yang mudah menyerah atas keadaan.Pandangan Delano mulai nanar, perutnya yang mulai keroncongan membuat kesadarannya menurun. "Sial, jika saja ini bukan galeri lukisan, aku tidak akan memaksa bertahan di tempat ini," gerutunya. Berdecak kesal.Saat akan mencoba bangkit dan berniat pergi mencari makanan. Delano dikejutkan dengan kedua pasang kaki yang sudah berdiri di hadapannya."Delano, makanlah dulu. Kamu pasti lapar," ujar Hendri yang merasa bersalah sambil menyodorkan sebungkus roti.Seharusnya, Hendri dan Bob menyampaikan pada Delano jika sebenarnya lowongan pekerjaan di tempat tersebut hanyalah sebagai petugas kebersihan. Seandainya semua itu terjadi, mungkin Delano tidak akan sekecewa ini.Delano menyambar roti yang diulurkan He
Seluruh penghuni terlihat begitu riuh. Mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan yang luar biasa setelah mendapat kabar, jika Jeff Hilton akan datang berkunjung ke galeri. Bahkan ada juga yang berhamburan ke sana kemari.Sementara di sebuah koridor yang lumayan panjang. Delano kembali terlelap dengan kondisi yang acak-acakan.Suara pintu yang terbuka berderit mengagetkan dirinya yang baru saja membuka kelopak matanya.Delano segera bangkit dari tempat duduknya. Ia yang semula berjongkok membersihkan lantai berpindah mendekati lukisan di dinding. Lukisan yang tak sadar ia buat sebagai bentuk protesnya pada Calista.Niat Delano ingin mengacaukan semua lukisan, agar Calista merasa dipermalukan ketika saat pameran berlangsung.Akan tetapi, keadaan justru membuat siapapun terpana melihat lukisan yang diperbaiki Delano."Delano!
Malam hari di sebuah bangunan mirip kastil tua.Pukul 23.10Delano duduk termenung, sambil memandangi kartu nama yang bertuliskan nama Jeff Hilton di kamarnya. Diusapnya berulang kali, lalu ia mengeluarkan potret kebersamaan dengan ibunya di masa kecil dulu."Lihatlah, anakmu sudah dewasa saat ini. Aku akan mewujudkan impianku, semoga kau berbahagia di sana, Bu." Delano menitikkan air mata, setelah mendengar dua temannya sedang ribut ia segera mengusap kasar bulir bening yang berhasil merembes di pipinya.Delano bangkit, kemudian menghampiri kedua temannya. "Terimakasih sudah membawaku ke tempat terkutuk itu."Hening.Kedua begundal kecil yang kini telah dewasa dan berubah menjadi preman jalanan, terdiam membeku menundukkan kepalanya di hadapan Delano."Kenapa kalian diam?" tanya Delano sambil terkekeh dan membentangkan kedua tangannya. B
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m