Setelah berhasil mengurus surat pindah sekolah, akhirnya mereka meninggalkan tempat itu.
Tepat di depan pintu gerbang, Delano kembali menoleh menatap gedung kelasnya dengan raut wajah sendu.
Bangunan tua berderet namun masih tampak berkelas. Bangunan penuh dengan kenangan dan juga meninggalkan bekas luka di benak bocah kecil bernama Delano
Dia hanya bisa pasrah. Tidak ada yang menginginkan keberadaannya di tempat itu. Mengingat kejadian sebelumnya, seketika membuat Delano memantapkan diri untuk pergi.
Delano berjalan sambil menggenggam tangan sang ibu menuju mobilnya yang tua dan usang. Bahkan lebih pantas disebut sebagai rongsokan berjalan oleh netra yang menangkap keberadaannya.
Sesampainya di dalam mobil, keduanya saling bertatapan mata. Delano menatap lekat sang ibu dengan rasa bersalah. Sementara sang ibu menatap sendu raut wajah Delano yang masih terlihat polos namun menjengkelkan.
Sang ibu yang merasa gagal, sejenak terdiam. Sang ibu menghela napasnya yang semula tidak teratur hingga beritme lalu membuangnya dengan kasar. Menit setelahnya, dia memilih memejamkan sepasang kelopak matanya diikuti bulir bening yang mengalir deras.
"Maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menjadi anak yang ibu inginkan," ucap Delano dengan suara lirih.
Sang ibu ternyum ramah, setelah ia membuka mata dan menghapus bulir bening yang terus saja lolos melewati pipi mulusnya tanpa terbendung. Ia berusaha terlihat tegar meskipun sebenarnya sedikit menahan rasa kesal dan sesak di dada.
"Tidak masalah, kita akan pindah. Kita akan memulai hidup baru di sana," balas sang ibu sembari menyalahkan mesin mobil.
"D-di mana Bu?" tanya Delano dengan suara terbata.
Raut wajahnya berubah gelisah. Ia bahkan tidak pandai membaur dan bergaul. Kali ini justru dipaksa kembali beradaptasi dengan lingkungan baru, orang-orang yang baru.
"Di sebuah kota yang sejak lama kamu impikan," jawab wanita paruh baya yang masih terlihat menarik itu.
Delano terkesiap. Dalam beberapa menit ia mengerjapkan matanya berulang kali, mencoba mencerna ucapan sang ibu.
"Kota yang ada di foto?" tanya Delano. Lagi. Ia berusaha memastikan jika ibunya benar-benar akan mewujudkan impiannya.
Delano memiliki kota impian. Kota yang selalu ia tatap dari sebuah potret usang yang tersimpan rapi dalam sebuah kotak di setiap menantikan jam tidurnya.
Kota B memanglah ibukota dari negara yang mereka tinggali selama ini. Namun, keduanya selama ini memilih hidup jauh dari tempat itu. Hanya sang ibu yang mengetahui alasannya.
"Ya, kita akan ke sana. Kita akan bahagia di sana. Kita mulai awal, kamu sekolah di sana dan wujudkan impianmu menjadi pelukis terkenal," sahut sang ibu, sementara tatapan matanya tetap fokus lurus ke depan.
"Aku senang mendengarnya, apa kita mampir dulu ke rumah lama?" tanya Delano yang masih memikirkan barang-barang miliknya.
"Tidak," balas ibunya, irit.
"Tapi aku perlu berkemas, Bu. Aku membutuhkan beberapa barang milikku di tempat hidup baru," Delano menukas sambil menunjukkan sikapnya yang berubah dingin.
"Sudah ibu bawa semua saat akan menjemput kamu tadi," ujar sang ibu sambil terus melaju kencang melewati jalanan yang kini mulai ramai.
Suara deru mobil tua yang mereka naiki terlalu bising, lajunya yang lamban membuat pejalan kaki dan pengguna jalan lainnya merasa terganggu ketika mobil tersebut melintas.
Bahkan hampir semua pasang mata menatap tidak suka ke arah mereka yang dirasa mengganggu jalan.
Sang ibu refleks menoleh memperhatikan raut Delano yang berubah murung melihat situasi sekeliling tempat tidak sesuai keinginannya. Dalam bayangan Delano, tempat di potret yang disimpannya adalah tempat yang indah, penduduknya ramah, meski itu adalah kota besar. Namun kenyataannya berbeda.
Tak lama kemudian Delano yang menyadari tatapan mata sang ibu membalasnya dengan senyuman kecil. Hanya kecil. Namun mampu mencairkan hati seorang ibu yang mulai terlihat cemas.
"Setibanya di kota, tempat apa yang ingin sekali kamu singgahi pertama kali?" tanya ibu Delano ragu-ragu.
Delano tersenyum, "Pancuran taman kota," ucapannya melegakan hati sang ibu.
"Ummm ... kamu boleh pergi ke manapun nanti, tapi sebelum itu ikut ibu dulu pergi ke suatu tempat." Ibu Delano seketika menghentikan laju mobilnya, tepat di depan sebuah gedung megah. Terpampang banner besar "pagelaran seni lukis" netranya sejenak menatap, lalu segera turun dari mobil dan membanting daun pintu mobil dengan keras.
Braaak! ....
Usai pintu dibanting, sang ibu mencondongkan tubuhnya dengan wajah setengah terlihat dari kaca jendela mobil seraya berkata, "Tunggu ibu di sini, jangan keluar atau berkeliaran ke manapun sampai ibu kembali."
Tak perlu menunggu jawaban Delano, ia kemudian berjalan menuju gedung yang ramai pengunjung tersebut, semakin lama semakin menjauhi Delano.
Seketika netra Delano mengekor, mengikuti ke manapun langkah ibunya pergi. Tatapan matanya terhenti pada banner besar bergambarkan pelukis legendaris yang sejak lama ia idolakan. Jeff Hilton.
Seakan lupa akan pesan sang ibu, yang semula menyuruhnya hanya boleh menunggu dalam mobil miliknya. Delano seketika membuka daun pintu mobil reotnya, lalu melangkah menuju tempat yang memiliki daya tarik besar ibarat magnet raksasa.
Langkahnya semakin cepat, membelah kerumunan pengunjung yang ramai berdatangan. Kemudian, langkahnya terhenti ketika melihat dua orang bertubuh besar sedang berjaga di ambang pintu dengan seragam serba hitam. Membuat siapapun yang melihat pasti ketakutan.
Delano yang cerdas meski ia masih kecil memperhatikan sekeliling, para pengunjung yang datang hanya diperbolehkan masuk jika mengenakan pakaian formal yang sopan. Ide gila tiba-tiba melintas di benak Delano ketika melihat beberapa mobil yang memamerkan pakaian formal yang tertata rapi dengan pintu mobil serba terbuka di jarak yang tak begitu jauh dari pijakannya.
Seketika dengan cepat ia segera mengganti pakaiannya dengan jas tergantung di salah satu mobil yang terbuka tersebut. Tentu saja sang pemilik segera mengejar. Namun, dengan langkah seribu Delano berhasil memasuki aula gedung pameran seni lukis.
Delano memperlambat langkahnya, mengamati satu persatu keindahan karya Jeff Hilton.
Lukisan wanita dengan berbagai pose menawan, terukir indah. Membuat siapapun yang menatap terpukau dengan goresan cat yang tertuang dalam seni rupa tersebut.
Netra Delano tidak berhenti mengedar, menelusuri koridor yang amat panjang, lengkap dengan karya seni yang begitu indah terpampang rapi di setiap dindingnya.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah kawanan anjing yang berlari ke arahnya. Mata Delano seketika membola. Ia yang begitu terperanjat refleks berlari ke arah sisi lain gedung di lantai tiga. Langkahnya terhenti setelah mengetahui sang anjing ternyata justru hanya melintasinya. Seketika Delano bangkit dengan tubuh gemetar ia melangkah sementara netranya terus menyapu sekeliling. Pandangannya terhenti ketika menemukan sosok wanita paruh baya yang ternyata adalah ibunya.
"Ibu," panggil Delano dari jarak kira-kira dua puluh meter dari tempatnya berpijak.
Delano melihat sang ibu sedang berbincang serius dengan seorang pria misterius lengkap dengan jas merah yang dikenakannya.
Menit kemudian, sang ibu jatuh dari gedung berlantai tiga. Mata Delano nyaris mencelos menyaksikan hal itu. Bibirnya terbuka lebar. Seketika dunianya hancur. Ia yatim piatu dalam sekejap.
Tanpa siapapun di kota besar yang bahkan pertama kalinya ia menginjakkan kaki. Bulir kristal seketika lolos begitu saja melewati pipinya. Belum usai deritanya, sekumpulan lelaki berpakaian serba hitam yang bertubuh gempal berlari mendekat ke arahnya.
Delano terus berlari menjauh, dan berusaha keluar dari gedung. Ia terus menerobos dan membelah kerumunan pengunjung yang ramai menyaksikan pameran seni rupa milik Jeff Hilton. Tanpa disadari, kalung pemberian sang ibu dengan leontin yang dihiasi batu safir berwarna merah terjatuh di sana.
— To Be Continued
— Follow me on IG: @lia_lintang08
— Baca juga karyaku yang lain: Memilih Menjemput Cinta.
Kesedihan yang dirasakan Delano benar-benar kesedihan yang tak berujung. Pikirannya kalut. Dalam rasa pilu yang menyayat jiwanya begitu dalam, Delano terus berlari di bawah guyuran hujan lebat. Netranya menemukan sebuah truk angkutan barang yang sedang berhenti di ujung jalan. Dengan sekuat tenaga, kakinya yang mungil terus memanjat dan diam lalu bernaung di dalam bak bagian belakang truk. "Ibu ... kau bahkan belum membawaku ke air mancur pusat kota," lirih Delano dalam tangisnya. Ia berusaha menahan isakan tangisnya, saat mengetahui sang sopir naik dan mulai melajukan truk pengangkut barang tersebut. Delano duduk meringkuk di bak bagian belakang truk, sementara sebelah tangannya merogoh gambar potret kebersamaan dengan sang ibu yang selalu ia simpan di jaket yang ia kenakan. Dan sekarang, potret itu akan menjadi kenangan sekaligus pengingat luka baginya. Entah be
Delano masih diam. Berusaha mencerna dua orang yang baru saja ia kenal dan kini telah menjadi bagian keluarganya. "Jika aku menolak keinginan mereka, aku tinggal di mana?" Batin Delano, pikirannya melayang, menerawang ke segala arah adalah segala kemungkinan yang mulai bermunculan di benaknya.
Delano tidak menunggu para sahabatnya membuka dompet hasil mereka mencopet di jalanan. Melainkanmemilih menyendiri di dalam kamar. Berbaring nyalang, menatap langit-langit kamar adalah caranya untuk berusaha berdamai dengan amarah. Meski sebenarnya justru mengingatkannya dengan masa lalunya.***Waktu berjalan begitu cepat, Delano kini mulai terbiasa dengan rutinitas sehari-hari. Ia bahkan ikut mahir juga seperti dua sahabatnya. Bahkan Delano menjalani semua seolah tidak memiliki beban.
Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya. Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan. Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar ber
Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa. *** Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu. Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan. Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa
Pagi hari pukul 06.00Delano sudah bersiap dengan penampilan menawan. Balutan pakaian formal yang disiapkan kedua sahabatnya, mampu menutupi kekurangan-kekurangan Delano.Sesekali, ia menatap wajahnya di pantulan cermin. Hanya dalam hitungan menit, selanjutnya ia tertunduk dan mengelus kedua punggung tangannya bergantian. Ya, kulitnya masih sama. Memilih warna berbeda, sawo matang dan albino."Delano, apa kamu sudah siap?" tanya Hendri memastikan di ambang pintu.Suaranya mengejutkan Delano yang saat itu sedang mematung, memikirkan masa lalu yang kenyataannya tidak bisa lepas dari belenggu hidupnya."Sudah, aku berangkat sekarang," balas Delano, sambil melangkah menuju lift yang sama. Lift tua yanga masih berfungsi sempurna.Kakinya melangkah lebar memasuki lift, "Kamu mau pergi tanpa kami?"Suara bariton Bob terdengar menggema memenuhi ruangan. Delano menghen
Delano bangkit dan perlahan menyandarkan tubuhnya di tembok bagian depan galeri. Ia adalah seorang yang pendedam. Meski begitu ia bukan pria yang mudah menyerah atas keadaan.Pandangan Delano mulai nanar, perutnya yang mulai keroncongan membuat kesadarannya menurun. "Sial, jika saja ini bukan galeri lukisan, aku tidak akan memaksa bertahan di tempat ini," gerutunya. Berdecak kesal.Saat akan mencoba bangkit dan berniat pergi mencari makanan. Delano dikejutkan dengan kedua pasang kaki yang sudah berdiri di hadapannya."Delano, makanlah dulu. Kamu pasti lapar," ujar Hendri yang merasa bersalah sambil menyodorkan sebungkus roti.Seharusnya, Hendri dan Bob menyampaikan pada Delano jika sebenarnya lowongan pekerjaan di tempat tersebut hanyalah sebagai petugas kebersihan. Seandainya semua itu terjadi, mungkin Delano tidak akan sekecewa ini.Delano menyambar roti yang diulurkan He
Seluruh penghuni terlihat begitu riuh. Mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan yang luar biasa setelah mendapat kabar, jika Jeff Hilton akan datang berkunjung ke galeri. Bahkan ada juga yang berhamburan ke sana kemari.Sementara di sebuah koridor yang lumayan panjang. Delano kembali terlelap dengan kondisi yang acak-acakan.Suara pintu yang terbuka berderit mengagetkan dirinya yang baru saja membuka kelopak matanya.Delano segera bangkit dari tempat duduknya. Ia yang semula berjongkok membersihkan lantai berpindah mendekati lukisan di dinding. Lukisan yang tak sadar ia buat sebagai bentuk protesnya pada Calista.Niat Delano ingin mengacaukan semua lukisan, agar Calista merasa dipermalukan ketika saat pameran berlangsung.Akan tetapi, keadaan justru membuat siapapun terpana melihat lukisan yang diperbaiki Delano."Delano!
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m