Delano tidak menunggu para sahabatnya membuka dompet hasil mereka mencopet di jalanan. Melainkan memilih menyendiri di dalam kamar. Berbaring nyalang, menatap langit-langit kamar adalah caranya untuk berusaha berdamai dengan amarah. Meski sebenarnya justru mengingatkannya dengan masa lalunya.
***
Waktu berjalan begitu cepat, Delano kini mulai terbiasa dengan rutinitas sehari-hari. Ia bahkan ikut mahir juga seperti dua sahabatnya. Bahkan Delano menjalani semua seolah tidak memiliki beban.
Suatu siang, di deret pertokoan pusat kota yang begitu ramai. Langkah kaki Delano terhenti tepat di depan sebuah toko buku berukuran besar.
Toko buku yang begitu ramai pengunjung. Membuat jiwa imajinasinya tergugah. Hasratnya untuk menggapai mimpi seolah terpanggil. Ia hanya mengikuti langkahnya, memasuki toko buku. Bob dan Hendri menyadari keningnya menyadari Delano masuk ke pertokoan tersebut.
Bob yang terkejut mencoba bertanya pada Hendri dengan mengangkat kepala sebagai apa yang dilakukan oleh Delano. Mengerti dengan Bob Hendri hanya menjawab dengan mengedikkan bahu sebagai jawaban ia tidak tahu dengan rencana Delano.
ini bukan rencana mereka, Hendri dan Bob memasuki toko, mengikuti ke mana pun langkah Delano pergi.
"Delano," panggil Hendri setengah berbisik.
Delano diam. Berpura-pura tidak mengenal rekannya. Ia malah mengambil beberapa buku bacaan dan juga membeli sebuah kanvas berukuran kecil, lengkap dengan terpentin dan juga cat minyaknya.
Entah berapa kali Hendri dan Bob berusaha memperingatkan Delano, agar tidak membeli apapun di toko buku tersebut. Namun, ia seolah acuh sedikitpun tidak merespon pada kedua kawannya yang semakin kesal dengan ulah Delano.
Menit kemudian, setelah mendapatkan beberapa barang yang dibutuhkan, Delano berjalan menuju kasir dan membayarnya.
Kedua kawannya yang semakin mencemaskan Delano terkena masalah, pada akhirnya memaksa mendekati.
"Delano, kembalikan," desis Bob.
Delano bergeming, usai membayar di kasir dan mengambil bukti pembayaran ia pun segera meninggalkan toko dan pulang menuju gedung tua tempat di mana mereka tinggal selama ini.
Hendri dan Bob merasa kesal sekali, sebab Delano yang awalnya menyenangkan menjadi menyebalkan. Ia acuh, sedikitpun tidak merespon keduanya.
Delano berjalan dengan langkah lebar, setengah berlari memasuki gedung tempat tinggalnya. Ia bergegas membuka beberapa buku.
Matanya mulai berembun, buku jemarinya mengusap lembut lembaran demi lembaran buku yang ia buka. Di hirupnya bau khas kertas yang begitu lama ia rindukan.
Sementara itu, kedua kawannya mematung mengamati Delano di ambang pintu. Sejenak Delano membaca salah satu buku yang dibelinya.
Siapa sangka Hendri merampasnya dengan kasar, lalu menghempaskannya ke lantai.
BRUK! ....
"Kamu tidak perlu belajar, Delano!" sergahnya dengan suara bergetar, serak khas orang marah.
Delano menoleh menatap dingin ke arah sumber suara. Ia hanya memungut buku itu kembali. Kemudian ia membuka barang-barang lain yang dibelinya.
Kedua kawannya terkesiap mengetahui Delano mengeluarkan sebuah kanvas, kuas, palet, cat minyak beraneka macam warna, dan terpentin untuk membersihkan kuas yang terkena cat.
Kedua temannya penasaran, kenapa Delano terlihat berbeda. Mulanya mereka hanya menganggap Delano adalah bocah seusia mereka dengan kenakalan sesuai. Namun, kini keduanya tertegun mengetahui Delano mampu melukis raut wajah seorang wanita yang amat cantik meski masih separuh jadi.
Seketika tatapan mata Hendri berubah sendu. Dia takut kehilangan Delano yang selama ini membersamainya.
"Delano, apa tujuan kamu sebenarnya datang kemari?" tanya Hendri, dengan wajah yang kini berubah merah padam.
"Menjadi pelukis impian semua orang yang melegenda," jawabnya, dengan suara dingin.
Hendri melangkah mendekat, ia memberanikan diri menatap tajam ke arah Delano. Sementara sebelah tangannya mencengkram erat ke arah kulkas dan melemparnya dengan kasar ke lantai. Membuat Delano terperanjat sekaligus tersulut amarahnya.
"Hendri!" pekiknya sembari mendorong tubuh Hendri hingga membentur dinding.
Kedua pasang bola mata yang sedang beradu pandang kini saling menatap dengan iris yang sama tajamnya.
"Apa yang kamu inginkan? Haaaah!" Delano berteriak di telinga Hendri sembari menarik kain yang menempel di tubuh pria kecil bernama Hendri.
Mengetahui kedua kawannya berseteru, Bob berusaha melerai.
"Sudah, kalian adalah keluarga! Jika ada masalah selesaikan dengan baik. Apa yang kalian dapatkan dengan pertengkaran ini. Hendri, katakan kenapa sikapmu demikian? Dan ... kamu juga perlu menjelaskan apa yang kamu lakukan, Delano!"
Bob adalah anak yang paling jarang marah apa lagi berseteru. Namun, kali ini terpaksa harus ia lakukan mengetahui pertengkaran hebat yang terjadi begitu saja di depan matanya.
Keduanya saling melepaskan cengkeramannya masing-masing. Kemudian Delano memundurkan langkahnya, perlahan menjauhkan jarak dari Hendri.
"Aku datang kemari bersama ibuku, dahulu. Aku sudah mengisahkan segalanya tentangku pada kalian. Sejak lama mimpiku adalah ingin menjadi pelukis hebat," jelas Delano, berkilah atas perbuatannya.
"Aku marah, karena aku tidak mau kau pergi meninggalkan kita yang sudah menjadi keluarga. Aku bahkan tidak suka melihatmu belajar, karena semua itu hanya akan membuatmu pandai lalu menjauhi kita," jawab Hendri.
Sungguh jawabannya di luar dugaan Delano. Kedua kawannya ternyata amat mencintainya seperti keluarga sendiri. Bahkan mereka takut kehilangan satu sama lainnya.
Delano membenci fakta jika dirinya adalah seorang yatim piatu yang dipandang aneh karena keadaan fisiknya yang memiliki warna kulit berbeda. Pria itu mengumpat dirinya sendiri yang tak mampu bangkit dari keterpurukannya.
Namun bibirnya terasa ke kelu. Bahkan langkahnya kini tercekat di pijakannya meski kakinya mulai gemetar menahan emosinya. Setelah mengetahui lukisan ibunya yang pertama kali ia buat, telah robek dan teronggok di lantai.
Ingin rasanya Delano memukul Hendri dan menghimpitkan tubuhnya hingga terjepit di tembok. Namun, ia tak mampu melakukan hal itu. Sehingga membuatnya semakin kesal saja.
"Delano, tenanglah! Ini hanya sebuah lukisan, kamu bisa membeli kanvas lagi dan melukiskannya ulang nanti," desis Bob berusaha menenangkan.
Delano menjatuhkan diri hingga bersimpuh di lantai dan mendekap lukisan setengah jadi itu. Membuat mata Hendri membola.
Kini ia menyadari, jika Delano melukis gambar seorang wanita yang sejak lama ia rindukan.
"Delano, apakah wanita itu amat berarti dalam hidupmu? Lukisannya, bahkan masih belum sempurna," Hendri memberanikan diri menukas, meski terdengar kurang lugas.
"Ya, ini gambar ibuku yang telah tiada," balas Delano, raut wajahnya berubah datar.
Hendri benar-benar merasa bersalah telah menghancurkan lukisan yang dianggapnya sebagai jarak pemisah antara dirinya dan Delano.
Setelah mendengar jawaban Delano, bahwa lukisan tersebut amat berarti bagi Delano, Hendri bergegas memeluk erat Delano. Meminta maaf atas kesalahannya. Seandainya tahu itu adalah lukisan ibunya, Hendri tidak akan merusaknya.
Delano hanya diam. Ia bahkan tidak mengangkat kedua tangannya yang masih menggantung di udara sejak tadi meski untuk sekedar membalas pelukan permintaan maaf sahabatnya.
"Maafkan aku, hukum aku! Apapun akan aku terima asalkan bisa memperbaiki hubungan persahabatan yang telah kita jalin selama ini," ucap Hendri, merutuki kebodohannya sendiri.
Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya. Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan. Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar ber
Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa. *** Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu. Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan. Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa
Pagi hari pukul 06.00Delano sudah bersiap dengan penampilan menawan. Balutan pakaian formal yang disiapkan kedua sahabatnya, mampu menutupi kekurangan-kekurangan Delano.Sesekali, ia menatap wajahnya di pantulan cermin. Hanya dalam hitungan menit, selanjutnya ia tertunduk dan mengelus kedua punggung tangannya bergantian. Ya, kulitnya masih sama. Memilih warna berbeda, sawo matang dan albino."Delano, apa kamu sudah siap?" tanya Hendri memastikan di ambang pintu.Suaranya mengejutkan Delano yang saat itu sedang mematung, memikirkan masa lalu yang kenyataannya tidak bisa lepas dari belenggu hidupnya."Sudah, aku berangkat sekarang," balas Delano, sambil melangkah menuju lift yang sama. Lift tua yanga masih berfungsi sempurna.Kakinya melangkah lebar memasuki lift, "Kamu mau pergi tanpa kami?"Suara bariton Bob terdengar menggema memenuhi ruangan. Delano menghen
Delano bangkit dan perlahan menyandarkan tubuhnya di tembok bagian depan galeri. Ia adalah seorang yang pendedam. Meski begitu ia bukan pria yang mudah menyerah atas keadaan.Pandangan Delano mulai nanar, perutnya yang mulai keroncongan membuat kesadarannya menurun. "Sial, jika saja ini bukan galeri lukisan, aku tidak akan memaksa bertahan di tempat ini," gerutunya. Berdecak kesal.Saat akan mencoba bangkit dan berniat pergi mencari makanan. Delano dikejutkan dengan kedua pasang kaki yang sudah berdiri di hadapannya."Delano, makanlah dulu. Kamu pasti lapar," ujar Hendri yang merasa bersalah sambil menyodorkan sebungkus roti.Seharusnya, Hendri dan Bob menyampaikan pada Delano jika sebenarnya lowongan pekerjaan di tempat tersebut hanyalah sebagai petugas kebersihan. Seandainya semua itu terjadi, mungkin Delano tidak akan sekecewa ini.Delano menyambar roti yang diulurkan He
Seluruh penghuni terlihat begitu riuh. Mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan yang luar biasa setelah mendapat kabar, jika Jeff Hilton akan datang berkunjung ke galeri. Bahkan ada juga yang berhamburan ke sana kemari.Sementara di sebuah koridor yang lumayan panjang. Delano kembali terlelap dengan kondisi yang acak-acakan.Suara pintu yang terbuka berderit mengagetkan dirinya yang baru saja membuka kelopak matanya.Delano segera bangkit dari tempat duduknya. Ia yang semula berjongkok membersihkan lantai berpindah mendekati lukisan di dinding. Lukisan yang tak sadar ia buat sebagai bentuk protesnya pada Calista.Niat Delano ingin mengacaukan semua lukisan, agar Calista merasa dipermalukan ketika saat pameran berlangsung.Akan tetapi, keadaan justru membuat siapapun terpana melihat lukisan yang diperbaiki Delano."Delano!
Malam hari di sebuah bangunan mirip kastil tua.Pukul 23.10Delano duduk termenung, sambil memandangi kartu nama yang bertuliskan nama Jeff Hilton di kamarnya. Diusapnya berulang kali, lalu ia mengeluarkan potret kebersamaan dengan ibunya di masa kecil dulu."Lihatlah, anakmu sudah dewasa saat ini. Aku akan mewujudkan impianku, semoga kau berbahagia di sana, Bu." Delano menitikkan air mata, setelah mendengar dua temannya sedang ribut ia segera mengusap kasar bulir bening yang berhasil merembes di pipinya.Delano bangkit, kemudian menghampiri kedua temannya. "Terimakasih sudah membawaku ke tempat terkutuk itu."Hening.Kedua begundal kecil yang kini telah dewasa dan berubah menjadi preman jalanan, terdiam membeku menundukkan kepalanya di hadapan Delano."Kenapa kalian diam?" tanya Delano sambil terkekeh dan membentangkan kedua tangannya. B
Oscar menjelaskan kegiatan kegiatan Jeff Hilton pada Delano. Pria berwajah tampan dengan garis tegas namun memiliki keanehan fisiknya, dengan cepat sekali mempelajari pekerjaan barunya.Ia bahkan bisa menyediakan kopi hitam pekat kesukaan Jeff Hilton. Dan Jeff pun menyukai apapun yang dibuatkan Delano. Bagi Jeff, pekerjaan Delano begitu memuaskan meski masih tergolong baru.Ada hal menarik dalam diri Delano. Pria pendiam, tapi begitu pandai merancang lukisan lukisan.
Firenze - Italia, malam hari.Pukul 21.00Delano pulang dengan rasa kesal dan dilema. Kenangan masa lalu bersama sang ibu kembali bermunculan di benaknya. Semua itu membuat hati Delano begitu sakit.Di sisi lain, ia bingung memilih tetap melangkah atau mengundurkan diri setelah mengetahui kebobrokan Jeff Hilton.Di jalanan yang mulai perlahan sepi, Delano berjalan deng
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m