Gibran Malik Abinaya, salah seorang Dokter bedah yang persis seperti selebriti dan punya banyak penggemar. Tidak mengherankan mengingat perawakannya yang cukup memikat kaum hawa.
Tubuhnya tinggi tegap, dengan dada bidang dan rahang yang kokoh disertai wajah tampan miliknya yang dikagumi kaum hawa. Lagi ia cukup mapan diusianya yang masih terbilang muda, yakni 28 tahun.
Sorot mata yang tajam menyertai kepribadian sang dokter membuatnya terlihat galak dan tidak ramah. Meski begitu tetap saja membuat para kaum hawa ingin menaklukkan dirinya untuk dijadikan kekasih. Tapi satupun dari kaum hawa yang menggodanya tidak ada yang ia respon.
Gibran bukannya tidak tertarik dengan prempuan. Bukan, ia bukan gay ia masih cukup normal untuk menyukai lawan jenisnya. Hanya saja Gibran bukan Pria berengsek atau setipe dengan playboy, karena ia hanya menyukai satu gadis. Gadis kecil pecinta warna merah yang membuatnya memilih profesi Dokter sampai sekarang. Anggie dengan panggilan kesayangan Gibran yaitu Gigi.
"Iya Gigi, nanti Abang Gibgib jadi dokter deh biar bisa menikah sama Gigi." Rayu Gibran mengelus rambut gadis kecil dalam pelukannya dan ajaibnya Anggie pun menurut serta mengangguk.
Gelar dokternya adalah mahar gadis kecilnya itu.
Gibran sedikit senyum lagi-lagi mengingat kilasan masa lalunya sambil menghampiri mobilnya yang terparkir. Ia melepaskan jas Dokter kemudian menggulung kemejanya sampai siku. Kemudian memasuki mobilnya dan mengemudikannya melaju membelah jalanan kota di malam hari.
Ia berhenti menepikan mobilnya di depan swalayan teringat akan beberapa barang yang ia perlukan untuk di beli.
Tapi baru saja Gibran akan turun dari mobilnya, sebuah benturan keras terdengar seperti suara tabrakan kemobilnya.
Sial, bagian belakang mobilnya yang ditabrak pasti benyok.
Siapa orang bodoh itu, berani sekali menabrak mobilnya yang terparkir dan lagi orang itu tidak bisa apa membedakan mana jalan raya dan yang mana bukan. Orang itu pasti gila atau buta pikir Gibran kesal sambil menahan amarahnya
Gibran melangkah lebar menghampiri orang yang telah menabrak mobilnya, dengan tidak sabar untuk memakinya.
"Aduh, kenapa tubuhku ini, kok terasa sakit sekali, padahal motorku yang nabrak. Huhuhu!!"
"ouchh, wajah imutku yang malang kenapa terasa ikut perih, tidak-tidak gue gak mau jadi jelek. Hhhuuuaaa ...."
"Papa maafkan daku."
"Aku janji gak nakal lagi, Papa, Papa aku janji."
Racauan orang yang menabrak mobilnya terdengar heboh. Ternyata seorang gadis gila pelakunya. Terbukti dari suara dan postur tubuhnya yang duduk membelakangi Gibran.
Benar saja dugaannya gadis itu gila. Meracau sambil berteriak, dari isi racauan gadis itu pasti gadis pembanggkan, tebak Gibran.
Dengan tak sabar Gibran akan melayangkan makiannya, namun tidak jadi. Gibran malah sedikit syok pada saat langkah kakinya yang semakin dekat ke arah si gadis gila disadari si gadis gila itu hingga membalikkan wajahnya menatap ke arah Gibran.
Sontak saja membuat Gibran terkejut. Pasalnya ia tahu siapa gadis itu, gadis yang selama 14 tahun lamanya dia rindukan. Gadis kecilnya, Gigi yang sudah kini sudah berubah jadi gadis dewasa. Gibran terbengong terus memperhatikan Anggie dengan tatapan penuh kerinduan. Sampai suara temannya Anggie menyadarkannya.
"Anggie, kamu gak papakan?" Kayla menghampiri Anggie dan memeriksa bagian tubuh Anggie mana yang terluka.
Gibran mengikuti arah teman Anggie yang memperhatikan kondisi Anggie. Tidak ada luka serius sebenarnya hanya luka gores, meski penampilan lumayan mirip dengan seorang gembel karenanya.
Tersadar akan keadaan Anggie yang demikian, Gibran langsung sigap dengan spontan menggendong Anggie kedalam mobilnya sebelum sekerumunan orang berdatangan. Hal itu sontak saja mengakibatkan Anggie kaget dan berusaha menghentikannya meski tak bisa.
Gibran mengacuhkan Kayla, karena fokusnya terarah pada penampilan Anggie. Jelas saja dia tidak akan membiarkan tubuh gadisnya yang sedikit terbuka karena robekan bajunya di lihat oleh orang lain selain dirinya.
"Jangan mencoba untuk turun dan pakai ini." Peringat Gibran sambil memberi Anggie jas dokternya.
Gibran pun menghampiri teman -teman Anggie yang sudah berdatangan dan kerumunan orang yang melihat kejadian tersebut.
Gibran menjelaskan bahwa ia yang akan mengurus Anggie dengan mengaku Anggie adalah tunangannya hingga membuat kerumunan itupun percaya dan mulai bubar. Selanjutnya Gibran menyuruh teman-teman Anggie pulang.
Tapi satu teman Anggie yang keras kepala, Kayla yang bersikukuh ingin tetap bersama Anggie. Padahal Gibran sudah menyakinkannya beberapa kali dan sambil menyuh Kayla membawa motor Anggie yang keadaanya masih baik dan hanya tergores sedikit.
Tapi Kayla tidak percaya begitu saja akan omongan Gibran yang mengatakan Anggie adalah tunangannya dan ia akan merawatnya, karna bisa saja hal itu modus penculikan begitu pikir kayla.
"Apalagi yang kamu tunggu, pulanglah ..., Anggie aman bersama saya." Tegas Gibran.
"Aku gak percaya." Jawab Kayla.
"Itu urusan kamu, bukan urusan saya!" Jawab Gibran dengan sinisnya.
"Sialan. Lepaskan teman saya dan jangan bawa ia pergi. Lepaskan Anggie atau aku akan menghubungi polisi!"
"Silahkan saja, aku tidak takut. Saya sudah katakan sebelumnya, dia Anggie adalah gadis milikku dan tunanganku, jadi pulanglah dan berhenti menghalangiku."
Kayla menggeleng dan bersikeras, "kamu pembohong, kamu bukan tunangannya dan aku juga ingat Anggie itu pacarnya anak kedokteran dan bukan kamu! Lepaskan dia, lepaskan Anggie dan biarkan kami pergi!!"
Gibran menjadi pusing sendiri dan memijat ringan keningnya yang mengerut.
"Terserah," jawab Gibran malas berdebat dengan gadis keras kepala teman dari gadisnya Anggie.
"Yasudah, kalau begitu lepaskan temanku!!"
"Tidak dan pulanglah nona, jangan membuatku marah!"
"Tidak mau, sebelum kamu melepaskan temanku Anggie ...."
"Terserah kamu maunya bagaimana, saya tetap akan pergi dengan tunangan saya." Gibran melewati Kayla begitu saja. Lantas masuk kedalam mobil dan mengemudikannya membelah jalanan kota.
"Bajiingan lepaskan sahabatku jangan culik dia!!" Kata terakhir Kayla yang masih terdengar oleh Gibran sebelum mobilnya benar-benar membuatnya menjauh dari lokasi tersebut.
Sial. Gadis itu membuat kepalanya pusing. Gibran mengehela nafasnya melirik Anggie. Aneh saja gadia itu tidak melawan dan diam saja sejak dirinya berdebat dengan temannya dan ternyata Anggie, gadis itu hanya diam dan terlihat pucat dan Gibran baru menyadari hal itu dan menjadi heran.
"Kenapa Nggie?" Gibran mengulurkan sebelah tangannya mengelus kepala Anggie.
Anehnya hal itu malah membuat Anggie menjadi gemetar dan terlihat teramat takut.
"Anggie, kamu baik-baik saja? Kita ke apartemenku dulu ya." Ucap Gibran membuka percakapan.
"Tidak." Protes Anggie sambil menggeser tubuhnya semakin menjauh dari Gibran. Hasilnya tidak seberapa karena keadaanya yang berada di dalam mobil.
Gibran tak memperdulikan perkataan Anggie dan lebih memperhatikan kelakuannya yang menurutnya aneh, ia menjadi sedikit cemas melihat keadaan gadisnya yang takut padanya, bahkan ia pun lihat bagaimana jas dokternya bagaimana bisa berada di kursi belakang, padahal tadi ia tadi memberinya pada Anggie untuk dipakai. Jas itu pasti Anggie yang membuangnya ke kursi belakang.
"Kamu tidak heran aku bisa tau namamu dari mana?" Tanya Gibran.
"Kenapa kamu tau nama saya?" Tanya Anggie takut tanpa melihat ke Gibran.
"Jangan Saya tapi Aku." Tegas Gibran sambil menatap intens ke Anggie yang melihat kearah luar mobil.
"Bukan urusanmu." Jawab Anggie ketus mencoba memberanikan diri.
Hal itu sontak membuat Gibran kesal dan menatap Anggie galak. Beberapa tahun tidak bertemu, tapi gadisnya itu sudah tampak berubah sekali dan astaga, Gibran pastikan dia akan merubah kembali gadisnya ini seperti semula. Menjadi gadis manis yang suka menempelinya.
Gibran menghela nafasnya kasar, sementara Anggie terus melihat keluar mobil jadi tidak melihatnya.
Anggie memilih melihat ke arah luar jendela, sebab menurutnya di dalam mobil begitu mencekam dan penyebab lainnya adalah karena dirinya merasa takut. Sangat takut pada pria disampingnya karna ternyata Pria itu seorang dokter yang merupakan profesi yang menjadi traumanya di masa lalu dan juga tatapan dari pria itu terlihat sangat menyeramkan.
Mobil pun berhenti dan Gibran turun lalu menghampiri Anggie dan memakaikan Jas dokternya paksa di tubuh Anggie.
Gibran menggendong Anggie paksa. Sebelumnya gadis itu mencoba membrontak tapi kemudian menurut setelah ditatap Gibran galak.
Ternyata menundukkan gadisnya sangat mudah, hanya di beri tatapan galak pun menurut.
Hari ini Gibran begitu senang, tidak disangka ia akan menemui gadis yang dirindukannya setelah sekian lama. Walaupun itu dengan insiden mobilnya sedikit bonyok dan tergores dibagian belakang.
TO BE CONTINUED
"Ini bukan jalan pulang kearah rumahku. Jangan bercanda, apa kamu mau menculikku?"Gibran melirik Anggie dengan seringai aneh dan menakutkan miliknya sambil tersenyum. Pria itu menhentikan mobilnya keluar menyeret Anggie paksa."Tidak, jangan kumohon.. tidak ada gunanya menculikku yang miskin dan kau tidak akan mendapatkan apapun sebagai tebusan."Gibran tidak menghiraukan ucapan Anggie, "kamu ingin berjalan sendiri atau kugendong?" "Aku mau pulang." Anggie berbalik hendak kabur namun Gibran mencekal pergelangan tangannya.
Anggie💋PPPPMasa Allah woy, Kayla sobatku, kawanku, sahabatku yang cantik tapi masih cantikan aku, balesin chatinganku napa!Anggie menuliskan pesan WhatsApp sambil sebelah tangannya memijit kepalanya untuk menghilangkan rasa ngilu yang masih sesekali menerpa betisnya. Bisa ya, sakit di betis dipijitnya kepala sakitnya bisa berkurang? Jawabannya cuma Anggie yang tahu."Kau masih hidup gak sih Key!!" Dumel Anggie merutuki ponselnya. Padahal teleponnya pada Kayla belum tersambung
"Pak, ini sudah saya revisi kembali." Ucap Anggie setelah dengan sopan dia masuk keruangan dosennya untuk bimbingan."Kakimu kenapa Nggie?" Tanya Pak Dirga dosen berumur setengah abat. Laki-laki paruh baya itu memang tak sungkan memberi perhatian lebih pada mahasiswanya yang bernama Anggie. Semua orang dari kalangan kampus tahu itu bukan karena genit. Sebab Pak Dirga bukanlah dosen mesum tapi terhormat, dia bahkan sangat menjunjung tinggi kehormatan perempuan. Pria itu bersikap sopan dan tidak pernah macam-macam."Kemaren jatuh dari motor Pak." Jawab Anggie sopan dan diangguki mengerti oleh Pak Dirga.Detik berikutnya Pak Dirga pun mengecek skripsi Anggie. Wajahnya datar sesekali mengerut membuat Anggie waspada, takut disemprot dan diceramahi panjang lagi. Sebenarnya sang dosen tidaklah begitu kiler namun terkadang dia bisa berubah jadi menakutkan."Analisis yang kamu gunakan sudah bagu," Puji Pak Dirga sejena
"Sehabis ini kamu masih ada kegiatan nggak? Kita pulang ber--"Anggie memutar bola matanya seraya menghentikan makannya dan menatap Gibran tak suka."Aku harus menemani Kayla menemui dosen pembimbingnya," jelas Anggie memotong kalimat Gibran yang belum selesai dan menyebabkan Kayla jadi sasaran sinis Gibran."Temanmu sudah dewasa dan bisa menemui dosen pembimbingnya sendiri, jadi kenapa kamu harus repot menemaninya?!" Tanya Gibran dengan nada tak suka sambil beberapa kali melirik Kayla dengan tajamnya."Sebab Kayla telah menemaniku meskipun aku sudah dewasa dan bisa sendiri," balas Anggie tak mau mengalah. "Pulanglah lebih dulu, kamu juga sudah dewasa memangnya pulang harus bersamaku? Lagipula rumah kita tidak searaah," lanjutnya."Ch, tidak iklas sekali temanmu menemanimu minta balas budi!" Ucap Gibran dengan pedas."Dia tidak minta, aku yang berinisiatif, jad--"
Brakk! Anggie membuka kasar pintu kamar Gibran. Gadis itu dengan tanpa takut menghampiri Gibran dan berdiri dihadapannya sambil berkacak pinggang."Aku mau pulang dan tak mau disini, cepat antarkan aku pulang!" Tegasnya galak."Pulang kemana? Kerumah yang mana?? Apa tadi kamu lupa kalau mulai saat tadi inilah rumahmu." Gibran tak kaget dan datarnya seperti sudah memperikarakan tingkah Anggie tersebut.Laki-laki itu sibuk dengan laptopnya memperhatikan data pasiennya bahkan tak menoleh ketika Anggie masuk dengan kasar kekamarnya hingga saat ini."Sialan! Rumahku masih berada dikediaman orang tuaku dan bukan disini." Anggie tersulut emosi dan kegeraman.Gibran menoleh seraya menatap datar Anggie. "Apa katamu?" Tanyanya dalam nada halus, tapi mampu membuat Anggie meringis takut dan melangkah mundur."Aku ingin pulang," cicitnya pelan, tapi masih terdengar oleh Gibran. "Aku tak nyam
"Sssttt ... diamlah sayang. Ini aku Gibran calon suamimu," beritahu Gibran menyebabkan Anggie melotot kaget seraya berhenti memberontak. Tiba-tiba tubuhnya melemas kaku serta merinding penuh kewaspadaan.Para pria itu berbahaya pandai memamfaatkan situasi dan mengikis jarak yang ada. Mereka itu bukan makhluk yang peka, tapi perayu unggul yang mampu menghipnotis gadis manapun. Dan Gibran lebih dari pada itu dan diketahui sangat terobsesi kepadanya sehingga memicu banyak kemungkinan yang menyebabkan Anggie pikir dia harus lebih mewaspadainya.Gadis itu memastikannya dengan menoleh kebelakang. "Kenapa kamu bisa berada disini?""Tentu saja untukmu."Kening Anggie mengerut dan tak mempercayai jawaban itu mudahnya. Dia yakin bahwa ada alasan lain dibaliknya. Lagipula jika benar Gibran sungguhan berada disini untukknya dari mana Pria itu mengetahui lokasinya berada."Mana
Pada akhirnya Gibran melaksanakan perkataan Mamanya. Pria itu tak lagi memelototi Anggie dan setelahnya dengan patuh pergi berbelanja daging sesuai perintah mamanya dalam harapan semoga di malam yang kian larut masih ada supermarket atau minimarket yang masih buka.Beruntungnya memang masih ada sebuah supermarket yang masih buka. Gibra pun berbelanja dan membeli semua pesanan, membayar lalu kemudian pulang.Setelahnya dirumah Gibran dan Anggie memasak berdua. Selesai memanggang daging barbeque-nya, kini mereka tinggal menyantapnya.Sudah dikatakan sebelumnya bahwa Anggie memang pencinta daging, jadi tak mengherankan jika sekarang matanya sedang berbinar tak sabaran mencicipinya sesegera mungkin.Andai saja saat ini dia bersama Kayla atau Gibran saja tanpa kedua orang tua, Dirga dosen pembimbingnya dan istrinya Anita yang merupakan kedua orang tua Gibran. Dapat dipastikan tanpa malu lagi dan sungkan An
Setelah ditegur demikian oleh Dirga, baik Anggie maupun Gibran menunduk takut bagaikan seorang bocah yang baru saja ketahuan mencuri permen oleh ayahnya. Keduanya beranjak keluar dari kolam renang dan Anggie mencuri garis start lebih dulu.Melihat hal itu ego Gibran sebagai pria tak terima, sehingga dengan usil dan mudahnya tubuh Anggie ditarik kembali agar jatuh ke dalam kolam.BYUUURR!"GIBRAN!" Dirga melotot tak percaya sambil berteriak murka.Sedangkan Gibran yang menyaksikan Anggie kembali terjebur ke dalam kolam malah ternyum puas atas aksi usilnya. pria itu tampak seperti bocah nakal sambil menyembunyikan tawanya. Ternyata jadi usil ditambah mengusil Anggie sangat menyenangkan dan lain hari Gibran mungkin akan mengulanginya atau mungkin Gibran akan sering melakukan hal demikian.Berbeda dengan Anggie yang jatuh dikolam, gadis itu merasa merasa kesal. Dia tak boleh membiarkan Gib
Baik Anggie maupun Gibran, sepasang suami dan istri yang sakit bersamaan itu kini perlahan membaik. Hal itu bukan tidak lain pengaruh dari kehadiran calon sang buah hati. Kehadiran bukan hanya membawa kebahagian bagi seluruh keluarga, tapi juga kesembuhan bagi ibu dan ayahnya.Meski demikian di sisi Anggie, wanita itu belum sepenuhnya sembuh dan tidak jarang kambuh ataupun kumat berreaksi berlebihan sambil meneriakkan kata-kata kalau dirinya bukan pembunuh. Tak jarang ia juga suka menceritakan pengalamannya menyayat kulit para pria tampan, tapi hidung belang suruhan Diana yang hendak melecehkan dirinya.Sebagai solusinya seperti yang telah diketahui sebelumnya, jika keadaan sang buah hati yang belum lahir adalah obatnya, maka ibu mertua dan semua anggota keluarga langsung mengungkit kehamilannya untuk membuatnya tenang dan juga melupakan kejadian yang mengakibatkan dirinya trauma.Keadaan perlahan pulih dan kondisi keluarg
Anggie dengan nafas tersenggal dan ngos-ngosan membuka pintu dengan tubuh yang luar biasa gemetar juga teramat letih dan pucat. Wajahnya memerah kontraks menutupi kulit mulusnya yang seputih susu dan selembut sutera itu.Keringat membanjirinya, hampir sekujur tubuhnya basah dengan beberapa bagian yang bercorak merah yang terjadi akibat cairan merah anyir yang keluar dari kulitnya yang kelupas. Mengalir keluar lewat sudut bibirnya dan juga bagian pelipisnya yang belum mengering menyempurnakan tampilannya sehingga terlihat kacau berantakan.Wanita itu diam membeku berjalan masuk tanpa memperdulikan seseorang yang kaget melihat komdisinya.Gibran yang sebelumnya berada di ruang depan menunggu Anggie yang tiba-tiba saja menghilang, berniat untuk mengomel. Akan tetapi hal itu tidak terjadi dan Gibran dengan seketika malah tercengang seketika menjadi cemas bercampur marah. Cemas melihat kondisi Anggie dan marah pada orang yang m
Kejadian ketika Diana memarahi dan menindas Anggie di depan umum berhasil menciptakan kesan buruk tentangnya dihadapan Gibran. Diana menjadi geram karenanya dan bertambah benci pada sosok yang bernama Anggie. "Aaarrggh!!" Diana mengamuk melembari semua barang dalam ruangannya yang bisa dijangkau tangannya. "Biadap, dasar bocah tengik. Beraninya kamu mempermainkanku, membuatku dibenci oleh Mas Gibran!! Berengsek ... Aaarrggh!" "Awas kau bocah, jika sampai aku mendapatkanmu, kali ini aku tidak hanya akan memberi makan peliharanku dengan tubuhmu, tapi juga akan jual dirimu!!" Gerutu marah Diana tidak tahan dengan perasaannya yang memanas seolah membakar dirinya sendiri dalam kemarahannya. "Hari ini kau boleh menikmati kemenanganmu itu, tapi lain kali jangan harap. Sial! Sial!! Aaarrggh, Rocky, kemarilah ... aku membutuhkan dirimu untuk mendinginkan amarahku!!" Jerit Diana keras. **** Sementara itu di sisi
Setelah berbicara dengan ibu mertuanya lewat telepon perasaan Anggie menjadi sedikit lebih tenang dan melunak. Meskipun masih kesal mengingat bagaimana Gibran dan Diana berpelukan mesra yang membuatnya terluka dan juga kecewa. Namun sedikit demi-sedikit Anggie sudah menerima dan memahaminya.‘Itulah mengapa Mama memintamu pergi ke rumah sakit dan lebih memperhatikan Gibran. Agar wanita iblis itu tidak mempunyai kesempatan mendekatinya, Anggie. Mama tahu kamu kecewa dan merasa diduakan, tapi ketahuilah hubungan apapun yang berhasil diikatkan wanita iblis itu kepada suamimu bukanlah ikatan yang sekuat ikatan hatimu dan Gibran suamimu.’Kata-kata ibu mertuanya terus membayang
Anggie berlari dari Gibran ketika ia berhasil lepas dari pelukan suaminya dan dibelakangnya ada Gibran yang menyusul sambil terus meneriakkan namanya.Melihat hal itu, para perawat dan juga dokter perempuan kepo dan tanpa segaja menyaksikannya drama tersebut, tak tahan untuk tidak berbisik-bisik menggosipi Gibran dan Anggie. Mengakibatkan Diana yang masih di sana menjadi panas dan mendidih."Wanita yang Dikter Gibran kejar itu istrinya?""Kalau dilihat dari kemiripan foto pernikahan Dokter Gibran yang diunggahnya di akun media sosial, wanita itu memanglah mirip dengan istrinya.""Lebih cantik aslinya yah?""Hm, iya. Media sosial memanglah penipu, tapi kali ini tipuannya beda. Jika biasanya membuat oramg cantik sekarang malah berbalik. Kelihatan di foto istrinya dokter Gibran kecantikannya biasa saja. Eh, pas ketemu aslinya, cantiknya kelewatan.""Hm, kamu benar. Wanita yang hamp
Perasaan Anggie bergitu membuncah gelisah sekaligus berdebar senang dan bahagia bercampur aduk sama ratanya. Pernyataan cinta dari Gibran benar-benar tidak Anggie disangka dan Anggie sedikit kaget mendengarnya.Tadinya ia hanya ingin mendebat Gibran seperti kebiasaannya, mencari masalah dan menangis untuk membuatnya merasa lega dari perasaan yang menghimpit keras dadanya hingga membuatnya merasa sesak.Namun apa yang Gibran lakukan benar-benar membuatnya berdebar kencang dan membuat jantungnya berdetak tidak beraturan.Meskipun demikian ia masih terganggu dengan perasaan lain yang masih terselip mengganjal dalam hatinya. Ada wanita lain yang menjadi nomor dua dalam hati Gibran setelah dirinya dan hal itu ditolak mentah-mentah enggan mau berbagi dalam hatinya. Namun boleh dikatakan apa yang sudah Gibran ungkapkan membuat merasa lebih baik dan sedikit merasa lebih baik.Hari ini karena senang dengan ungkapan cin
Anggie terkejut sekaligus menjadi syok. Hatinya terluka mengetahui ada wanita yang diperhatikan Gibran selain dirinya. Setelah mendengarkan penjelasan dari Mertuanya mengenai siapa wanita yang bernama Dinda yang dicurigai merupakan pelaku utama dibalik penculikan yang terjadi kepadanya.Seketika rasa tidak terima menghimpit menyemangati dirinya agar berteriak keras. ingin rasanya marah, mengamuk sekaligus menangis. Namun yang Anggie lakukan hanyalah diam dan termenung sampai beberapa saat berlalu. Beberapa jam dari setelah selesainya ibu mertuanya membantunya mengompres sekitar matanya yang menghitam bengkak.'Haruskah aku menangis lagi setelah semalam aku sudah puas menangis terus. Aku bahkan merasa bahwa mataku yang bengkak belum sepenuhnya sembuh, tapi yang benar saja aku harus menangis,' Anggie berusaha menguatkan hatinya yang cengeng dan juga rapuh. 'Diana wanita jahat itu hanya nomor dua di hati Mas Gib-gib, tapi kenapa rasa
'Ughhh, Mas Gib-gib ini apa-apaan sih? Mengapa mematapku sampai segitunya dan bukannya kasih pelukan kek biar aku berhenti menangis. Aaarrggh, bahkan mataku sudah capek mengeluarkan air mata, tapi dia tenang-tenang saja, huhh ... dasar menyebalkan!!'Gibran terus mengamati istrinya dengan lamat-lamat dan dengan detail mempehatikan lekuk tubuhnya.'Wajahnya agak bercahaya, kulitnya agak memucat, bentuk dadanya lebih bulat dari biasanya dan yang terpenting bagian perutnya agak kelihatan membuncit. Sepertinya dugaanku tidak salah lagi! Anggie memang sudah mengandung anakku. Besok aku harus mengajaknya periksa dan aku harus lebih mewaspadai pergerakannya juga memperhatikannya, jangan sampai anak kami dalam bahaya apalagi jangan sampai kejadian penculikan tadi terjadi lagi. Bagian terpenting lainnya aku juga harus segera mengetahui siapa dalang dibalik penculikan ini dan memberikan orang itu pelajaran. Ah, s
Anggie masih saja menangis meski urusan mereka telah selesai baik sebagai saksi dan memberikan keterangan pada polisi atas kejadian yang barusan terjadi. Bahkan ketika sudah sampai di rumah mereka yang sudah ditunggu oleh kedua keluarga besar mereka yang haraf mencemaskan Anggie, setelah mengetahui kejadian penculikan yang menimpa Anggie. Istrinya Gibran itu masih betah dengan isakan piku yang disertai lelehan air mata yang menyelimuti daerah pipinya.Melihat hal itu para orang tua memaklumi apa yang dilakukan oleh Anggie, mereka pikir mungkin Anggie masih syok dan ketakutan.Berbeda dengan Gibran. Rasa-rasanya dia tidak mempercayai kalau Anggie mengalami trauma setelah penculikannya kali ini. Gibran ingat istrinya itu memang takut, tapi raut wajahnya yang dipikirkan Gibran tidaklah mencerminkan apa yang dikatakan orang-orang. Tapi apa yang membuat Anggie demikian jika bukan karena syok akibat penculikan yang dialaminya, Gibran pun kurang me