"Pak, ini sudah saya revisi kembali." Ucap Anggie setelah dengan sopan dia masuk keruangan dosennya untuk bimbingan.
"Kakimu kenapa Nggie?" Tanya Pak Dirga dosen berumur setengah abat. Laki-laki paruh baya itu memang tak sungkan memberi perhatian lebih pada mahasiswanya yang bernama Anggie. Semua orang dari kalangan kampus tahu itu bukan karena genit. Sebab Pak Dirga bukanlah dosen mesum tapi terhormat, dia bahkan sangat menjunjung tinggi kehormatan perempuan. Pria itu bersikap sopan dan tidak pernah macam-macam.
"Kemaren jatuh dari motor Pak." Jawab Anggie sopan dan diangguki mengerti oleh Pak Dirga.
Detik berikutnya Pak Dirga pun mengecek skripsi Anggie. Wajahnya datar sesekali mengerut membuat Anggie waspada, takut disemprot dan diceramahi panjang lagi. Sebenarnya sang dosen tidaklah begitu kiler namun terkadang dia bisa berubah jadi menakutkan.
"Analisis yang kamu gunakan sudah bagu," Puji Pak Dirga sejenak. "Hm simbolnya juga."
Skripsi dikomentari baik oleh dosen pembimbing ternyata lebih indah dari pada jatuh cinta. Tanpa dapat ditahan lagi Anggie tersenyum senang. Hari ini bolehkah ada perayaan untuk perasaan yang terasa menyenangkan ini.
'Karena Pak Dirga baik padaku, untuk hari ini aku akan pulang cepat dan tidak bandel pada Mama Papa.' Niat Anggie sungguh-sungguh.
Namun hal itu tak bertahan lama. "Ck, tapi kok masih banyak typonya Anggie? Kamu ini bagaimana sih? Kemarin Analisis yang kamu gunakan bermasalah sekarang typo!"
'Yahh, janji gue yang tadi dibatalkan. Sekarang aku butuh refreshing. Baru juga benar sudah Salah mulu lagi, salah mulu.. kapan benarnya aku di matamu sih Pak?'
"Kamu nikah sama anak saya saja biar kamu benar."
Jleb.. ini dosen apa cenayang. Kok bisa-bisanya menembus pikiran. Apa karena udah berpengalaman dalam hidup.
"Bapak ngaur jangan bercanda Pak. Hubungan typo sama nikah dengan anak Bapak itu gak ada."
"Kalau kamu sudah jadi mantu saja jelas ada hubungannya." Ngaco Pak Dirga. Hal inilah yang membuat perlakuannya beda pada Anggie dan mahasiswanya yang lain. Hanya bersikap lebik baik pada Anggie dan selalu meminta Anggie jadi Menantunya, namun kalau soal nilai dan bimbingan Pak Dirga masih cukup profesional.
"Sudah, kamu perbaiki bagian yang salah dan saya harap yang benar hari ini tidak jadi salah saat besok."Pak Dirga menatap Anggie sambil memberikan skripsi yang sudah di coret beberapa bagian.
Mahasiswanya Anggie memang cukup mudah dibimbing. Diberi arahan sedikit langsung bisa namun anehnya apa yang salah kemaren jadi benar dan yang benar jadi salah. Hari ini simbolnya benar dan analisisnya salah maka besoknya yang terjadi kebalikannya. Pas keduanya benar malah ada typonya. Begitulah terus berulang sampai membuat Pak Dirga pusing menghadapi Anggie.
Setelah Anggie pamit dari ruangan dosennya dia pun menghampiri Kayla yang menunggunya diluar ruang dosen.
"Gimana Nggie, ACC belum.."
Anggie menarik Kayla agar mengikutinya. Keduanya pun mengobrol sambil berjalan.
"Boro-boro ACC, kemarin dia ngamuk dan sekarang malah gilanya kambuh nawarin gue jadi mantu. Aduh, apa aku harus beneran nikah dengan anaknya aja ya.." Prustasi Anggie.
"Lahh.. si Bapak kan sudah begitu semejak semester pertama. Setiap kamu salah bukannya dimarahi kamu malah ditawarin jadi mantunya beda sama kami mahasiswa lain yang langsung diomelin. Ya, sudah.. kamu menikah sajalah dengan anaknya biar Pak Dirga enggak gila nawarin kamu mulu nikah sama anaknya."
"Tamatlah riwatku kalo nikah dengan anak Pak Dirga, kamu ajalah.."
Begitulah kenyataannya. Entah apa yang membuat Pak Dirga sangat menginginkan Anggie jadi mantunya. Laki-laki tua paruh baya itu sungguh aneh dan itu hanya pada Anggie. Tapi entah kenapa wajahnya sejak pertama ketemu tidak pernah asing bagi Anggie. Apa mereka sebelum berhubungan jadi dosen-mahasiswa sudah saling mengenal?
"Kenapa? Aku saja kepengenloh diperhatiin gitu. Dibaikin kayak kamu."
"Jadi loh mau diperlakuin sama dengan gue.." Ketus Anggie sebal, "Kayla kamu mau menikah dengan anaknya Pak Dirga."
Kayla menggeleng, "maaf ya Anggie bukannya aku gak mau. Tetapi aku gak punya bakat merebut hak milik orang lain. Kayak Pak Dirga sudah mencantumkanmu jadi mantunya jadi aku gak mau merebut posisi itu darimu. Apalagi sampai membuat dosen baik hati semacam Pak Dirga kecewa."
"Astaga, teman gue ikut ketiban aneh oleh Pak Dirga. Insap Key! Ogah aku tidak mau nikah dengan anak Pak Dirga. Jangan-jangan anaknya jelek lagi."
"Souzhon, mana mungkin anaknya jelek, Pak Dirga saja ganteng meskipun sudah tua."
○○○○
Anggie berjalan beriringan dengan Kayla dilorong fakultas. Setelah sedikit berdebat masalah dosen pembimbing Anggie yang ngotot agar Anggie jadi menantunya kini keduanya diam-diaman. Mereka berniat menjumpai dosen pembimbing Kayla gantian kali ini Anggie yang menemaninya.
"Aduh, kok aku tiba-tiba lapar bangat!" Ungkap Anggie dramatis sambil memengangi perutnya.
"Yasudah, kita kantin aja yuk. Baru habis itu temani aku menemui dosen pembimbingku."
Anggie menggeleng tak setuju. "Di kantin fakultas kita itu menunya itu-itu saja, bosan tau."
"Terus maunya kemana, ngafe? Restoran? atau jajanan pinggir jalan depan sekolah SD, itu?"
Anggie kembali menggeleng.
"Masuk akal dikitlah, Key. Kalau kita kesana dulu yang ada Aku keburu kelaparan sampe pingsan dahulu ..." ringis Anggie dengan lebaynya.
"Jadi maunya kemana, katanya bosan menu difakultas," jawab Kayla mencoba bersabar, menghadapi sahabatnya Anggie memanglah begini amat.
"Kan bisa usul kantin kefakultas lain, Key ... gimana sih!"
Keyla menghela nafasnya mencoba bersabar. Mendebat Anggie percuma saja tidak ada gunanya yang ada malah membuat naik darah.
"Yasudah, yuk kita ke kantin fakultas lain. Menu di fakultas kedokteran kayaknya enak, Nggie."
"Jangan kese--"
"Udahlah jangan banyak protes lagi, katanya tadi sudah laparkan. Yuklah, sebelum kamu keburu pingsan." Kayla memotong kalimat Anggie yang belum selesai seraya menarik Anggie bergegas kearah yang dituju.
Ditengah jalan Kayla merasakan bahwa Anggie yang dia seret makin berat bahkan tak mampu diseret lagi, sontak menoleh dan kaget.
"Pak Dokter!" Kaget Kayla.
Ternyata Gibran menahan tangan Anggie pantasan saja terasa berat.
"Key, tolongin Aku ..." mohon Anggie seraya berusaha melepaskan sebelah tangannya yang Gibran genggam.
"Iya Pak Dokter, tolong lepaskan temanku dia katanya sudah kelaparan kalau gak segera ke kantin dia bisa pingsan," beritahu Kayla seadaanya menyebakan Anggie memelototinya dan Gibran malah tersenyum aneh.
"Yasudah, kalian berdua ikut aku!" Tegas Gibran seraya mengeratkan genggaman tangannya pada Anggie dan bahkan kini seenaknya merangkulnya secara paksa. Mau tak mau akhirnya Anggie menurut.
Ketiganya berjalan beriringan dituntun Gibran. Pria itu membawa kedua mahasiswi itu keluar area kampus dengan mobilnya.
"Aduh Pak Dokter kita mau kemana, teman saya bakalan pingsan nih!" Cerewet Kayla protes.
Sementara itu Anggie antara meringis sedikit gemetar takut bersamaan dengan kesal sambil memandang kearah luar jendela mobil. Gadis itu cemberut, enggan bicara bahkan untuk protes pada Gibran.
Tidak ada pembicaraan lagi dan suasana dalam mobil hanya dihiasi keheningan. Hingga ketika mereka sampai ditempat yang Gibran maksud. Mereka pun turun dari mobil.
"Anggie kamu sudah pingsan tidak? Kalau iya, biar Mas gendong," ucap Gibran menggoda Anggie yang masih diam di tempat.
"Gak usah!" Jawab Anggie ketus sambil keluar dari mobil Gibran dan menutup pintunya kasar.
"Kalau sampai lecet, kamu harus ganti rugi dengan cara secepatnya mau tak mau saya nikahi!" Tukas Gibran memperingati sambil menarik tangan Anggie untuk ia genggam mesra agar mengikutinya masuk ke sebuah restoran.
"Pak Dokter, mau traktirin kita?" tanya Kayla penuh harap dan diangguki Gibran.
"Ya." Jawabnya singkat dengan datar.
Hanya kepada Anggie sajalah Gibran cerewet dan bawel. Sedangkan kepada wanita lain dia terkesan dingin dan acuh. Sekalipun wanita itu cantik bak bidadari dan sangat memujanya Gibran tak perduli hal itu.
"Tadi pagi kamu kemana, Saya jemput kerumah, kata Om Ardi kamu sudah pergi."
"Tadi bukannya kamu menemukanku di kampus kenapa nanya lagi. Justru kamu tuh, kenapa bisa-bisanya ada disana?"
"Saya dosen dikampus itu dan sudah berlangsung kurang lebih setengah tahun. Gak nyangka juga saya cari-cari kamu kemana ternyata selama enam bulan sudah berkeliaran disekitar saya."
"Oh, yaa?" Sinis Anggie.
"Ya!"
Kayla makan dengan antengnya melupakan dua insan dihapannya yang tengah berdebat, persetan dengan hal itu makanan enak dihadapannya lebih butuh dirinya untuk menghabiskannya.
"Bagaimana kakimu?"
"Liat saja sendiri," ketus Anggie sambil ogahan menikmati makanannya padahal amat menggoda seleranya.
Gibran tanpa diduga tiba-tiba saja menghentikan makannya dan membungkuk.
"Hey, apa-apan sih Mas? Kakiku ..." protes Anggie kala sebelah kakinya diperiksa gibran.
"Sepertinya sudah baik," beritahu Gibran sambil kembali duduk dengan baik.
"Lain kali hati-hatilah. Hukum berkendara di jalan raya, tidak pedulu kamu yang salah atau orang lain, jika sudah tabrakan kamu tetap saja akan merasakan sakitnya," nasehat Gibran.
"Hm," jawab Anggie singkatnya.
"Jangan, 'hm' mulu."
"Iya."
"Cuma iya sajakah?"
Anggie melotot tak suka, "terus bagaimana?!!'
***
TO BE CONTINUED
"Sehabis ini kamu masih ada kegiatan nggak? Kita pulang ber--"Anggie memutar bola matanya seraya menghentikan makannya dan menatap Gibran tak suka."Aku harus menemani Kayla menemui dosen pembimbingnya," jelas Anggie memotong kalimat Gibran yang belum selesai dan menyebabkan Kayla jadi sasaran sinis Gibran."Temanmu sudah dewasa dan bisa menemui dosen pembimbingnya sendiri, jadi kenapa kamu harus repot menemaninya?!" Tanya Gibran dengan nada tak suka sambil beberapa kali melirik Kayla dengan tajamnya."Sebab Kayla telah menemaniku meskipun aku sudah dewasa dan bisa sendiri," balas Anggie tak mau mengalah. "Pulanglah lebih dulu, kamu juga sudah dewasa memangnya pulang harus bersamaku? Lagipula rumah kita tidak searaah," lanjutnya."Ch, tidak iklas sekali temanmu menemanimu minta balas budi!" Ucap Gibran dengan pedas."Dia tidak minta, aku yang berinisiatif, jad--"
Brakk! Anggie membuka kasar pintu kamar Gibran. Gadis itu dengan tanpa takut menghampiri Gibran dan berdiri dihadapannya sambil berkacak pinggang."Aku mau pulang dan tak mau disini, cepat antarkan aku pulang!" Tegasnya galak."Pulang kemana? Kerumah yang mana?? Apa tadi kamu lupa kalau mulai saat tadi inilah rumahmu." Gibran tak kaget dan datarnya seperti sudah memperikarakan tingkah Anggie tersebut.Laki-laki itu sibuk dengan laptopnya memperhatikan data pasiennya bahkan tak menoleh ketika Anggie masuk dengan kasar kekamarnya hingga saat ini."Sialan! Rumahku masih berada dikediaman orang tuaku dan bukan disini." Anggie tersulut emosi dan kegeraman.Gibran menoleh seraya menatap datar Anggie. "Apa katamu?" Tanyanya dalam nada halus, tapi mampu membuat Anggie meringis takut dan melangkah mundur."Aku ingin pulang," cicitnya pelan, tapi masih terdengar oleh Gibran. "Aku tak nyam
"Sssttt ... diamlah sayang. Ini aku Gibran calon suamimu," beritahu Gibran menyebabkan Anggie melotot kaget seraya berhenti memberontak. Tiba-tiba tubuhnya melemas kaku serta merinding penuh kewaspadaan.Para pria itu berbahaya pandai memamfaatkan situasi dan mengikis jarak yang ada. Mereka itu bukan makhluk yang peka, tapi perayu unggul yang mampu menghipnotis gadis manapun. Dan Gibran lebih dari pada itu dan diketahui sangat terobsesi kepadanya sehingga memicu banyak kemungkinan yang menyebabkan Anggie pikir dia harus lebih mewaspadainya.Gadis itu memastikannya dengan menoleh kebelakang. "Kenapa kamu bisa berada disini?""Tentu saja untukmu."Kening Anggie mengerut dan tak mempercayai jawaban itu mudahnya. Dia yakin bahwa ada alasan lain dibaliknya. Lagipula jika benar Gibran sungguhan berada disini untukknya dari mana Pria itu mengetahui lokasinya berada."Mana
Pada akhirnya Gibran melaksanakan perkataan Mamanya. Pria itu tak lagi memelototi Anggie dan setelahnya dengan patuh pergi berbelanja daging sesuai perintah mamanya dalam harapan semoga di malam yang kian larut masih ada supermarket atau minimarket yang masih buka.Beruntungnya memang masih ada sebuah supermarket yang masih buka. Gibra pun berbelanja dan membeli semua pesanan, membayar lalu kemudian pulang.Setelahnya dirumah Gibran dan Anggie memasak berdua. Selesai memanggang daging barbeque-nya, kini mereka tinggal menyantapnya.Sudah dikatakan sebelumnya bahwa Anggie memang pencinta daging, jadi tak mengherankan jika sekarang matanya sedang berbinar tak sabaran mencicipinya sesegera mungkin.Andai saja saat ini dia bersama Kayla atau Gibran saja tanpa kedua orang tua, Dirga dosen pembimbingnya dan istrinya Anita yang merupakan kedua orang tua Gibran. Dapat dipastikan tanpa malu lagi dan sungkan An
Setelah ditegur demikian oleh Dirga, baik Anggie maupun Gibran menunduk takut bagaikan seorang bocah yang baru saja ketahuan mencuri permen oleh ayahnya. Keduanya beranjak keluar dari kolam renang dan Anggie mencuri garis start lebih dulu.Melihat hal itu ego Gibran sebagai pria tak terima, sehingga dengan usil dan mudahnya tubuh Anggie ditarik kembali agar jatuh ke dalam kolam.BYUUURR!"GIBRAN!" Dirga melotot tak percaya sambil berteriak murka.Sedangkan Gibran yang menyaksikan Anggie kembali terjebur ke dalam kolam malah ternyum puas atas aksi usilnya. pria itu tampak seperti bocah nakal sambil menyembunyikan tawanya. Ternyata jadi usil ditambah mengusil Anggie sangat menyenangkan dan lain hari Gibran mungkin akan mengulanginya atau mungkin Gibran akan sering melakukan hal demikian.Berbeda dengan Anggie yang jatuh dikolam, gadis itu merasa merasa kesal. Dia tak boleh membiarkan Gib
Anggie dan Kayla kompak menatap lurus kedepan sambil cemberut, menyimpan cerita malam mengesalkan yang telah mereka lalui masing-masing. Rencana keduanya gagal total serta meninggalkan kesan buruk."Harusnya kamu biarkan aku menginap dirumahmu, Key. Aku pasti takkan pilek sekarang, hahattttchiiii!" Anggie menggosok hidungnya yang terasa gatal."Jangan menyalahkanku, justru harusnya kamulah yang harusnya membiarkanku menginap dirumahmu atau rumah calon mertuamu. Sehingga kejadian tak terjadi. Asal kamu tahu saja nasibku tidak akan miris, jadi jika kamu mengajakku dan tidak akan jadi pengasuh dari anak si duda sedangkan duda bapak si anak malah enak-enakan pacaran dengan kak Silvira." Kayla berkata menggebu dengan kesalnya yang sudah seakan mau meluap. Kejadian semalam yang dilaluinya masih belum diterimanya.Hal itu membuat Anggie menoleh dan melirik Kayla. "Itu sih kamu aja yang bodoh, kenapa mau-maunya jadi pengasuh dan ngga
Anggie menghela napasnya panjang seraya melemparkan tas miliknya ke atas tempat tidur dengan sembarangan. Menyusul dengan tubuhnya yang ikut jatuh menimpa matras empuk yang membuatnya sejenak terpejam mengusir penat."Sial! Gue di kampus seharian buat bimbingan, tapi pak Dirga malah enggak datang. Mana chatingan tidak dibalas, huh ...." Anggie merutuk kesal.Anggie beranjak bangkit meraih proposal miliknya dan berlalu ke luar kamar. Gadis itu nekat menerobos masuk ruang kerja tuan rumah, karena berpikir orang yang dicarinya ada di sana dan benar saja pak Dirga memang sedang di dalam ruang kerjanya.Mendadak langkah kaki Anggie menjadi kaku. Bagaimana pun juga dan meski telah tinggal dirumahnya, tetap saja pak Dirga merupakan dosennya. Anggie tak boleh demikian sembrono menyerobot masuk tanpa sopan, oleh karena itu perlahan langkah kaki Anggie mundur teratur sebelum pak Dirga menyadari kehadirannya.'Kayakn
“Saya terima nikah dan kawinnya Anggie Anastasya ...!” Ucapan lantang serta tegas tersebut mengawali prosesi ijab kabul acara pernikahan. Prosesnya berlangsung dengan hikmat dan berjalan dengan lancar tanpa kendala sama sekali. Kini Anggie berdampingan dengan Gibran menyalami tamu undangan yang menghadiri pernikahan mereka. Dengan pasrah dan juga mulai merasakan lelah yang menghampirinya, Anggie bertahan dengan secerca senyuman yang menghiasi pipinya.Itu bukanlah mimpi, sebab Anggie benar-benar menikah saat ini. Ya dia menikah setelah berhasil menyelesaikan prosesi sidang skripsinya minggu lalu. Siapa sangka persetujuan yang diiyakannya selang sebulan lalu pada orang tuanya Gibran kini telah dilaksanakannya, padahal saat itu dirinya tidak bersungguh-sungguh. Namun apa boleh buat semuanya terlanjur terjadi.Pernikahan yang mulanya tak diinginkan yang juga berdasar perjodohan di tambah bagian dari permintaannya semasa kanak-kanak kini harus Anggie jalani.Anggie
Baik Anggie maupun Gibran, sepasang suami dan istri yang sakit bersamaan itu kini perlahan membaik. Hal itu bukan tidak lain pengaruh dari kehadiran calon sang buah hati. Kehadiran bukan hanya membawa kebahagian bagi seluruh keluarga, tapi juga kesembuhan bagi ibu dan ayahnya.Meski demikian di sisi Anggie, wanita itu belum sepenuhnya sembuh dan tidak jarang kambuh ataupun kumat berreaksi berlebihan sambil meneriakkan kata-kata kalau dirinya bukan pembunuh. Tak jarang ia juga suka menceritakan pengalamannya menyayat kulit para pria tampan, tapi hidung belang suruhan Diana yang hendak melecehkan dirinya.Sebagai solusinya seperti yang telah diketahui sebelumnya, jika keadaan sang buah hati yang belum lahir adalah obatnya, maka ibu mertua dan semua anggota keluarga langsung mengungkit kehamilannya untuk membuatnya tenang dan juga melupakan kejadian yang mengakibatkan dirinya trauma.Keadaan perlahan pulih dan kondisi keluarg
Anggie dengan nafas tersenggal dan ngos-ngosan membuka pintu dengan tubuh yang luar biasa gemetar juga teramat letih dan pucat. Wajahnya memerah kontraks menutupi kulit mulusnya yang seputih susu dan selembut sutera itu.Keringat membanjirinya, hampir sekujur tubuhnya basah dengan beberapa bagian yang bercorak merah yang terjadi akibat cairan merah anyir yang keluar dari kulitnya yang kelupas. Mengalir keluar lewat sudut bibirnya dan juga bagian pelipisnya yang belum mengering menyempurnakan tampilannya sehingga terlihat kacau berantakan.Wanita itu diam membeku berjalan masuk tanpa memperdulikan seseorang yang kaget melihat komdisinya.Gibran yang sebelumnya berada di ruang depan menunggu Anggie yang tiba-tiba saja menghilang, berniat untuk mengomel. Akan tetapi hal itu tidak terjadi dan Gibran dengan seketika malah tercengang seketika menjadi cemas bercampur marah. Cemas melihat kondisi Anggie dan marah pada orang yang m
Kejadian ketika Diana memarahi dan menindas Anggie di depan umum berhasil menciptakan kesan buruk tentangnya dihadapan Gibran. Diana menjadi geram karenanya dan bertambah benci pada sosok yang bernama Anggie. "Aaarrggh!!" Diana mengamuk melembari semua barang dalam ruangannya yang bisa dijangkau tangannya. "Biadap, dasar bocah tengik. Beraninya kamu mempermainkanku, membuatku dibenci oleh Mas Gibran!! Berengsek ... Aaarrggh!" "Awas kau bocah, jika sampai aku mendapatkanmu, kali ini aku tidak hanya akan memberi makan peliharanku dengan tubuhmu, tapi juga akan jual dirimu!!" Gerutu marah Diana tidak tahan dengan perasaannya yang memanas seolah membakar dirinya sendiri dalam kemarahannya. "Hari ini kau boleh menikmati kemenanganmu itu, tapi lain kali jangan harap. Sial! Sial!! Aaarrggh, Rocky, kemarilah ... aku membutuhkan dirimu untuk mendinginkan amarahku!!" Jerit Diana keras. **** Sementara itu di sisi
Setelah berbicara dengan ibu mertuanya lewat telepon perasaan Anggie menjadi sedikit lebih tenang dan melunak. Meskipun masih kesal mengingat bagaimana Gibran dan Diana berpelukan mesra yang membuatnya terluka dan juga kecewa. Namun sedikit demi-sedikit Anggie sudah menerima dan memahaminya.‘Itulah mengapa Mama memintamu pergi ke rumah sakit dan lebih memperhatikan Gibran. Agar wanita iblis itu tidak mempunyai kesempatan mendekatinya, Anggie. Mama tahu kamu kecewa dan merasa diduakan, tapi ketahuilah hubungan apapun yang berhasil diikatkan wanita iblis itu kepada suamimu bukanlah ikatan yang sekuat ikatan hatimu dan Gibran suamimu.’Kata-kata ibu mertuanya terus membayang
Anggie berlari dari Gibran ketika ia berhasil lepas dari pelukan suaminya dan dibelakangnya ada Gibran yang menyusul sambil terus meneriakkan namanya.Melihat hal itu, para perawat dan juga dokter perempuan kepo dan tanpa segaja menyaksikannya drama tersebut, tak tahan untuk tidak berbisik-bisik menggosipi Gibran dan Anggie. Mengakibatkan Diana yang masih di sana menjadi panas dan mendidih."Wanita yang Dikter Gibran kejar itu istrinya?""Kalau dilihat dari kemiripan foto pernikahan Dokter Gibran yang diunggahnya di akun media sosial, wanita itu memanglah mirip dengan istrinya.""Lebih cantik aslinya yah?""Hm, iya. Media sosial memanglah penipu, tapi kali ini tipuannya beda. Jika biasanya membuat oramg cantik sekarang malah berbalik. Kelihatan di foto istrinya dokter Gibran kecantikannya biasa saja. Eh, pas ketemu aslinya, cantiknya kelewatan.""Hm, kamu benar. Wanita yang hamp
Perasaan Anggie bergitu membuncah gelisah sekaligus berdebar senang dan bahagia bercampur aduk sama ratanya. Pernyataan cinta dari Gibran benar-benar tidak Anggie disangka dan Anggie sedikit kaget mendengarnya.Tadinya ia hanya ingin mendebat Gibran seperti kebiasaannya, mencari masalah dan menangis untuk membuatnya merasa lega dari perasaan yang menghimpit keras dadanya hingga membuatnya merasa sesak.Namun apa yang Gibran lakukan benar-benar membuatnya berdebar kencang dan membuat jantungnya berdetak tidak beraturan.Meskipun demikian ia masih terganggu dengan perasaan lain yang masih terselip mengganjal dalam hatinya. Ada wanita lain yang menjadi nomor dua dalam hati Gibran setelah dirinya dan hal itu ditolak mentah-mentah enggan mau berbagi dalam hatinya. Namun boleh dikatakan apa yang sudah Gibran ungkapkan membuat merasa lebih baik dan sedikit merasa lebih baik.Hari ini karena senang dengan ungkapan cin
Anggie terkejut sekaligus menjadi syok. Hatinya terluka mengetahui ada wanita yang diperhatikan Gibran selain dirinya. Setelah mendengarkan penjelasan dari Mertuanya mengenai siapa wanita yang bernama Dinda yang dicurigai merupakan pelaku utama dibalik penculikan yang terjadi kepadanya.Seketika rasa tidak terima menghimpit menyemangati dirinya agar berteriak keras. ingin rasanya marah, mengamuk sekaligus menangis. Namun yang Anggie lakukan hanyalah diam dan termenung sampai beberapa saat berlalu. Beberapa jam dari setelah selesainya ibu mertuanya membantunya mengompres sekitar matanya yang menghitam bengkak.'Haruskah aku menangis lagi setelah semalam aku sudah puas menangis terus. Aku bahkan merasa bahwa mataku yang bengkak belum sepenuhnya sembuh, tapi yang benar saja aku harus menangis,' Anggie berusaha menguatkan hatinya yang cengeng dan juga rapuh. 'Diana wanita jahat itu hanya nomor dua di hati Mas Gib-gib, tapi kenapa rasa
'Ughhh, Mas Gib-gib ini apa-apaan sih? Mengapa mematapku sampai segitunya dan bukannya kasih pelukan kek biar aku berhenti menangis. Aaarrggh, bahkan mataku sudah capek mengeluarkan air mata, tapi dia tenang-tenang saja, huhh ... dasar menyebalkan!!'Gibran terus mengamati istrinya dengan lamat-lamat dan dengan detail mempehatikan lekuk tubuhnya.'Wajahnya agak bercahaya, kulitnya agak memucat, bentuk dadanya lebih bulat dari biasanya dan yang terpenting bagian perutnya agak kelihatan membuncit. Sepertinya dugaanku tidak salah lagi! Anggie memang sudah mengandung anakku. Besok aku harus mengajaknya periksa dan aku harus lebih mewaspadai pergerakannya juga memperhatikannya, jangan sampai anak kami dalam bahaya apalagi jangan sampai kejadian penculikan tadi terjadi lagi. Bagian terpenting lainnya aku juga harus segera mengetahui siapa dalang dibalik penculikan ini dan memberikan orang itu pelajaran. Ah, s
Anggie masih saja menangis meski urusan mereka telah selesai baik sebagai saksi dan memberikan keterangan pada polisi atas kejadian yang barusan terjadi. Bahkan ketika sudah sampai di rumah mereka yang sudah ditunggu oleh kedua keluarga besar mereka yang haraf mencemaskan Anggie, setelah mengetahui kejadian penculikan yang menimpa Anggie. Istrinya Gibran itu masih betah dengan isakan piku yang disertai lelehan air mata yang menyelimuti daerah pipinya.Melihat hal itu para orang tua memaklumi apa yang dilakukan oleh Anggie, mereka pikir mungkin Anggie masih syok dan ketakutan.Berbeda dengan Gibran. Rasa-rasanya dia tidak mempercayai kalau Anggie mengalami trauma setelah penculikannya kali ini. Gibran ingat istrinya itu memang takut, tapi raut wajahnya yang dipikirkan Gibran tidaklah mencerminkan apa yang dikatakan orang-orang. Tapi apa yang membuat Anggie demikian jika bukan karena syok akibat penculikan yang dialaminya, Gibran pun kurang me