Share

03

Author: Nyemoetdz Kim
last update Huling Na-update: 2025-02-15 02:00:41

"Apa yang Mbak Sekar pikirkan sampai tidak fokus. Apa sakit, Mbak?" tanya Mbok Nanik yang coba mengobati luka di lutut Sekar.

Setelah mempresentasikan tugas yang dia kerjakan semalam, ditengah perjalanan, motor yang sudah menemani pulang pergi beberapa tahun ini tak sengaja di tabrak, hingga membuat lututnya terluka. Memang tidak parah, karena juga pengemudi itu tak sengaja menyenggol motor Sekar yang memang kurang fokus dengan jalan, otaknya sibuk memikirkan Wira.

Dengan jalan tertatih karena lutut sebelah kirinya terluka hingga membuat celana yang dikenakan robek, dia menggerutu karena pengawal pribadinya langsung melaporkan kejadian itu pada Presiden, padahal dia tidak mau orang tuanya khawatir karena dirinya.

Sesampainya di rumah dia berbaring dengan santainya, menutup wajahnya menggunakan bantal. Dia menangis dalam diam, terbiasa di tinggal bekerja orang tuanya, dia menjadi pribadi yang kuat, tapi juga ceria. Bukan berarti orang tuanya tidak sayang, karena setelah mendengar kabar putri semata wayang mereka terluka, Adi dan istrinya segera pulang.

"Mana saja yang terluka." Suara Sophia terdengar, membuat Mbok Nanik menghentikan kegiatannya.

"Ibu, hanya lututku saja yang terluka. Bukan luka yang serius," sahut Sekar, dia berusaha untuk duduk bersandar. Perjalanan kembali ke rumah dinas, orang tua Sekar dikabarkan putrinya kecelakaan, mereka langsung ingin pulang.

"Ya Tuhan, Nak. Lihatlah luka ini, apa tidak perih?" Sophia menatap perih luka di lutut putrinya.

"Makanya Ayah bilang menggunakan mobil saja. Ada sopir yang akan mengantarkanmu, kenapa susah sekali diberitahu." Kali ini Adi yang langsung duduk di samping putrinya. Lukanya sudah Nanik obati dan tinggallah mereka bertiga di kamar.

"Makanya juga Sekar lebih baik tinggal di rumah Nenek saja daripada di sini. Ayah dan Ibu jadi mengkhawatirkan aku, padahal juga hanya luka kecil."

"Memang gadis nakal. Orang tua pasti khawatir, saat putrinya terluka seperti ini," sahut Sophia sambil memukul pelan bahu putrinya karena gemas.

"Ayah, apa ada Ajudan baru? Kenapa tidak di kenalkan padaku, jahat sekali." Ketika orang tuanya sedang khawatir, dia coba mengalihkan obrolan mereka dan menanyakan Wira, pria yang dia temui tadi pagi.

"Sudah, lebih baik pejamkan mata dan tidur." Adi mengusap rambut putrinya dan berjalan pergi setelah memastikan putrinya tidak mengalami luka yang serius.

"Ayah jahat sekali, aku—" Ucapan Sekar terhenti saat dadanya terasa tertekan, membuat nafasnya terasa berat. Langkah kaki Adi terhenti dan kembali menatap putrinya dengan wajah pucat.

"Sayang, sebaiknya kita ke rumah sakit. Apa kepala kamu tidak sakit?" tanya Sophia khawatir.

Bukannya menjawab, Sekar hanya diam sambil mengatur nafas. "Ke mana oksigenmu?" Adi yang melihat putrinya sedang merasa sesak segera mencarikan tabung oksigen milik putrinya, sampai dia menemukan di samping lemari.

"Bahkan kamu tidak bilang jika oksigenmu habis semua. Sebenarnya ada apa denganmu, Nak." 3 tabung oksigen yang disimpan ternyata kosong.

"Sekar ..." Sophia coba membuat putirnya menatap, namun tidak ada sautan.

"Kita bawa ke rumah sakit, siapkan mobil." Dengan segera Adi mengendong putrinya keluar, untuk dibawa ke rumah sakit.

Tubuh ringkih puterinya tidak membuat Adi kesulitan menggendong, terjadi kepanikan sesaat melihat Sekar mengalami sesak nafas. Dia syok setelah mengalami kecelakaan, namun dia membiarkan begitu saja. Dia pikir akan hilang sesampainya di rumah.

"Ada apa, Pak?"

Wira berjalan menghampiri Adi yang ada di halaman depan rumah dengan Sekar di gendongannya.

"Kita bawa dia ke rumah sakit. Dia mengalami sesak nafas."

"Ayah, Se–kar tidak apa-apa. Sudahlah, ti–dak perlu ke rumah sa–kit." Sekar menghentikan langkah Adi ketika akan masuk mobil.

Adi mendudukkan tubuh puterinya di bangku belakang mobil saat Wira berhasil membuka pintunya. Sekar menatap pria yang sejak tadi membuat tidak fokus. Matanya tidak terkedip melihat Wira, padahal dia sedang mengalami sesak nafas.

"Pak, gunakan tabung portabel ini." Salah satu Ajudan Adi datang dan membawakan tabung oksigen yang dibutuhkan.

Dengan bantuan Sophia, Sekar menghirup udara dari tabung oksigen itu perlahan dengan mata yang masih menatap Wira. Pria tampan itu sedang mendengarkan Adi bicara, seperti sedikit menjelaskan kondisi Sekar pada Wira yang tidak tau.

"Biar saya yang membantunya." Wira menawarkan diri untuk menggendong Sekar yang gagal pergi ke rumah sakit karena dia sudah mendapatkan oksigen.

Perlahan Wira menyentuh tubuh wanita cantik yang tidak lepas menatapnya. Dia diam seribu bahasa tanpa penolakakan, entah karena tabung oksigen yang menutupi sebagaian wajahnya, atau dia sedang terpesona dengan wajah tampan pria yang menggendongnya.

"Maaf jika saya lancang." Suaranya berat, pas dengan wajahnya yang tampan dan juga berwibawa.

Sekar hanya mengangguk, dia hanya diam saat sebelumnya sangat ingin mengutarakan perasaan. Sampai di kamar Sekar masih diam. Perlahan Wira membaringkan tubuh putri tuannya, dengan mata Sekar terus memandang wajah tampan Ajudan bapaknya.

"Terima kasih, Tuan." Suara Sekar lirih, namun masih terdengar dari balik masker oksigen yang dikenakan.

"Kamu yakin tidak ingin pergi ke rumah sakit, Nak?" Pertanyaan Sophia mengalihkan pandangan Sekar pada pria tampan di hadapannya.

Sekar menggeleng pelan. Syarat jika menolak akan apa yang ibunya tawarkan. "Oh ya, dia ini Wira, Ajudan baru Bapak."

Wira menunduk sopan pada Sekar yang hanya tersenyum tipis. Rasa sesak terasa ketika dia terus menatap ketampanan pria bertubuh kekar dan tampan itu. Bukan hanya karena sakitnya, tapi ketampanan dari Wira.

Setelahnya Wira berjalan pergi, dari tempatnya berbaring, mata Sekar terus menatap punggung kekar Wira yang perlahan meninggalkan kamar. Hingga dia tidak fokus dengan perkataan ayah dan ibunya.

"Sayang, minum obatmu dan segera istirahat agar lebih enakan."

"I–bu, apa Tuan Wira sudah menikah?" tanya Sekar. Entah pertanyaan apa itu, dia malah membahas Wira ketika kondisinya sedang tidak baik-baik saja.

"Dia masih lajang. Kenapa memangnya? Di usianya sekarang, dia sudah menjadi Mayor, bukankah itu hebat," jelas Sophia.

"Memang usia berapa dia, Bu?" tanya Sekar. Dia masih sempat memikirkan Wira saat kondisinya sedang tidak baik saja.

"32 tahun."

"Usia bukan penghalang untuk diriku yang masih 24 tahun ini," jawab Sekar.

"Kamu itu bicara apa? Fokus dengan kondisimu. Jangan selalu menyembunyikan rasa sakitmu seorang diri, Nak. Bahkan tabung oksigenmu habis, kamu tidak peduli. Alergi mu jika tidak hati-hati akan mengancam jiwamu. Ibu tidak merasa terbebani, Ibu malah merasa bersalah saat membiarkanmu. Kamu banyak mengalah karena kesibukan kami, jadi maafkan Ayah dan Ibu, Nak."

"Ibu bicara apa. Sekar mengerti kok, tidak perlu mengatakan hal seperti itu. Apa ibu pikir Sekar anak yang lemah? Walau penyakit ini menjadi kelemahan ku, tapi aku tetap ingin bersikap baik-baik saja. Sekarang akan lebih menjaga diri. Ibu jangan menyalahkan diri, aku baik-baik saja," jelas Sekar.

Ibu mana yang tidak bersedih ketika putri semata wayang mereka kurang kasih sayang karena kesibukan. Sekarang ketika Adi baru di pilih menjadi presiden, Sophia ingin Sekar bersama mereka, tidak lagi dengan Nenek Sekar.

"Kamu memang gadis manis. Ibu sayang padamu, Nak."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   04

    "Akh ... menyusahkan sekali," gerutu Sekar saat dia coba menaiki motor kesayangannya yang terlihat baret di bagian knalpot dan body karena jatuh kemarin. Kakinya malah sakit, padahal kemarin dia tidak merasakannya. "Bisa saya bantu?" Suara berat itu membuat Sekar menghentikan kegiatannya dan langsung mencari asal suara. Senyum mengembang ketika dia melihat Wira berada di sampingnya. "Apa Mas Panji ikut Bapak hari ini?" Dia bertanya ragu dengan rasa sesak menguasai dirinya, bukan karena sakitnya melainkan menatap wajah tampan Wira. "Iya, apa Mbak ingin berangkat ke kampus? Biar saya yang antar menggunakan mobil." Tawaran yang bagus, tidak mungkin Sekar menolaknya. Dia mengangguk kepala cepat menjawab tawaran pria di hadapannya. Dengan kaki yang terpincang-pincang, Sekar berjalan ke arah mobil. Kalau bukan karena jam dosen killer, dia tidak mau pergi karena kakinya sedikit bengkak, padahal kemarin dia pikir hanya luka lecet saja. Mungkin karena tertimpa motor yang berat, makanya te

    Huling Na-update : 2025-02-15
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   05

    "Apa Mbak memerlukan sesuatu." Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat. Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar. "Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang. "Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jela

    Huling Na-update : 2025-02-15
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   06

    "Mau ke mana?"Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain."Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja."Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus."Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu."Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya."Bolehkah berangkat den

    Huling Na-update : 2025-02-15
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   07

    "Sepertinya meluangkan waktu dengan melukis akan jauh lebih baik." Sekar diantarkan ke tempat yang dia mau, dia membeli beberapa alat untuk menggambar. Dia duduk di batu besar dekat jurang yang ada dihadapannya dengan alat gambar di tangan, sambil menatap bentangan hijau, dia tidak merasa takut duduk di sana. Suasana yang tenang dan juga udara yang segar membuat Sekar merasa nyaman. Pohon besar yang tak jauh darinya menutupi Sekar dari sinar matahari yang terik. Perlahan tangannya digerakan untuk menggambar sesuatu yang ada di pikirannya. Panji dan pengawal yang lain ada di dekatnya, namun mereka tidak berani mengganggu. Panji memberinya waktu 1 jam untuk Sekar yang ingin melampiaskan kesedihannya dengan menggambar. Dia tidak bisa meluapkan kesedihan yang dirasakan di rumah, itu hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sebuah rumah dengan taman yang indah, tergambar di kertas dari tangan Sekar. Bukan rumah istana, hanya rumah sederhana. Begitu detail gambarnya hingga terlihat

    Huling Na-update : 2025-03-14
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   08.

    "Biarkan dulu. Sekali saja ya?" Sekar coba berdiri dan berpose di hadapan kamera orang yang minta foto dirinya. "Terima kasih, Mbak, senang bisa bertemu dengan Anda." "Sama-sama." Senyum manisnya begitu ramah, dia tidak mau jika dengan bersikap dingin akan membuat reputasi ayahnya akan memburuk. Padahal dia ingin menikmati waktu tanpa diganggu sekedar meminta foto bersama. Hidupnya harus diatur, dia tidak bisa melakukan hal sesuka hati apalagi sampai melukai perasaaan rakyat. Dia mau saja meski tidak ingin diganggu karena sedang menikmati makan. "Sebaiknya kita cepat pulang," ujar Panji setelah menutup sambungan teleponnya. Seperti ada yang penting harus dilakukan. "Pasti Ayah marah lagi. Ya sudah, kita pulang sekarang." Wajahnya sendu mengingat jika waktu yang dijalani sekarang tidak sama seperti keinginan dia sendiri. Walaupun masih ingin berkumpul bersama mereka, Sekar tetap harus pulang. Sesampainya di rumah tampak sedang ada beberapa orang di sana. Ada juga Wira yang

    Huling Na-update : 2025-03-14
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   09.

    "Akhirnya aku terbebas dari rasa tidak nyaman ini." Sekar melepaskan gips yang membalut kaki setelah beberapa hari dikenakan, rasanya begitu lega. Meski sedikit nyeri karena biasa terbalut, sekarang sudah tidak mengenakannya lagi karena merasa risih. Dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki lagi, dengan langkah pelan Sekar berjalan masuk rumah dinas setelah dari rumah sakit. Dia hanya pergi di temani Panji dan pengawal wanita yang bersamanya. "Nanti bisa jalan bersama Lastri kalau begitu. Akhirnya terbuka gips yang membuat hidupku kesulitan beberapa hari ini." Dia menggerutu sendiri berjalan menuju pintu masuk dengan beberapa anak tangga menjadi jalannya. Langkahnya terhenti ketika suara mobil menusuk gendang telinganya, dia menatap ke arah di mana mobil dinas sang ayah berhenti di sana. Apalagi ada Wira yang turun sebelum ayahnya. Matanya tak berkedip menatap sosok tampan yang dia temui di Mall waktu itu. "Kamu membuka gips mu, apa tidak sakit? Bukannya harus seminggu l

    Huling Na-update : 2025-03-18
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   10.

    "Tidak boleh ya?" "Sebaiknya Anda istirahat, nanti akan ada tamu yang datang dan Bapak ingin Anda ikut makan malam bersama." Tidak ingin menjawab pertanyaan Sekar, dia mengalihkan pembahasan mereka. "Padahal tinggal jawab saja apa susahnya." Di dalam kamar, Sekar merebahkan tubuhnya dan berteriak, menutup wajahnya dengan bantal karena gagal merayu Wira. Rasa malu itu lebih besar dari sekedar ditampar keras oleh seseorang. Dia tidak mendapatkan respon baik dari pujaan hatinya. Apalagi pertanyaan yang dilontarkan tidak Wira jawab. Meski hanya bercanda karena Sohia pernah bilang Ajudan baru ayahnya masih melajang, dia tetap bertanya pada Wira. Wira sendiri berjalan keluar kamar Sekar sambil tersenyum. Dia memastikan Sekar dalam kondisi baik sebelum benar-benar pergi. "Eh ... Mas Wira, kenapa senyum-senyum sendiri setelah keluar dari kamar Mbak Sekar. Ada apa hayo?" Goda Mbok Nanik saat berpapasan dengan Wira. "Memangnya apa, Mbok? Tidak ada apa-apa. Oh ya, apa untuk nanti ma

    Huling Na-update : 2025-03-18
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   11.

    "Bagaimana Wira, apa kamu sudah menikah?" Presiden Adi melontarkan pertanyaan itu pada pria yang membuat putrinya bahagia. Apalagi jelas terlihat Sekar mengidolakan Ajudan barunya. Kebahagian tergambar ketika tatapan sang puteri begitu tenang melihat pria yang juga Ajudan ayahnya. "Saya belum memikirkan itu, Pak. Karir lebih penting untuk saya saat ini," jawabnya sopan, itu artinya dia menolak secara halus tanpa menyinggung lawan bicaranya. "Kalau begitu masih ada peluang. Yes!!" Sekar menyauti ucapan pria di hadapannya itu. Dia tampak bahagia dengan jawaban Wira yang lantang, ketika Adi yang bertanya. Tanpa malu dia mengatakan itu. "Dia terobsesi padamu, hati-hati padanya." Adi berbisik ke arah Wira, meski begitu putrinya dapat mendengarkan apa yang dikatakan. "Ayah—" panggilan Sekar hanya dibalas senyuman oleh ayahnya. Acara makan di malam itu berjalan dengan khitmat. Tamu yang diundang teman lama Adi yang kebetulan juga menjabat sebagai Walikota di daerahnya. Banyak hal yang

    Huling Na-update : 2025-03-21

Pinakabagong kabanata

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   13.

    Seakan tidak terjadi apapun, keesokan harinya Sekar tampak bahagia. Dia sedang bercanda dengan Rini di halaman rumah dinas berdua setelah olahraga pagi. Dari tempatnya berdiri, Wira menatap interaksi mereka berdua. Senyum manis Sekar membuat dirinya hanya fokus pada wanita itu. Dia ingat, semalam Sekar menangis sesegukan tanpa mengatakan apapun. Tidak mungkin tangis Sekara hanya karena ungkapan perasaan yang tidak Wira jawab, pasti ada hal lain yang dia tutupi dibalik senyum indahnya. "Pagi, Mayor," sapa Rini hormat. Sekar yang ada di sampingnya hanya tersenyum menatap pria yang membantunya semalam. "Apa pagi ini akan pergi kegiatan di luar?" tanya Rini. "Bukannya Ayah akan keluar kota dengan Ibu hari ini. Apa sudah akan berangkat, Mas?" Sekar menyelai ucapan Rini yang menyapa Ajudan Adi. "Bapak sedang bersiap di dalam." Matanya tidak lepas menatap wajah Sekar, dia masih ingat tentang semalam. Sekar berjalan melewati Wira yang masih menatapnya. Namun, langkahnya terhenti ketik

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   12.

    "Sepertinya aku menyukaimu." Tanpa merasa bersalah dia tersenyum setelah mengatakannya. Sekar terang-terangan mengatakan isi hatinya, dia tidak lagi takut ataupun ragu setelah tau Wira masih melajang. Namun, sesungguhnya bukan itu yang sedang mengganggu pikirannya. Dia tidak bisa mengatakan dengan jujur pada Wira yang mematung mendengar ucapan wanita yang berdiri di hadapannya. Suasana romantis terasa dan dia berhasil mengatakan itu. "Maafkan saya, Mbak." Wira mundur selangkah dan berbalik sebelum melanjutkan langkah kakinya untuk menemani wanita cantik itu pulang. "Kenapa Mas malah meninggalkanku," gerutu Sekar dengan langkah kaki lebih cepat. Tidak ingin peduli, Wira berjalan lebih dulu. "Aduh!! Sudah tau kaki masih masa pemulihan, tapi aku harus mengejarmu." Dia duduk dan memegangi kakinya. Dia juga memukul pelan kakinya karena kesal. Padahal sikapnya itu membuat Wira canggung. "Jangan dipukul, itu akan terasa semakin sakit." Wira memegang tangan Sekar, berjongkok di hadapan

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   11.

    "Bagaimana Wira, apa kamu sudah menikah?" Presiden Adi melontarkan pertanyaan itu pada pria yang membuat putrinya bahagia. Apalagi jelas terlihat Sekar mengidolakan Ajudan barunya. Kebahagian tergambar ketika tatapan sang puteri begitu tenang melihat pria yang juga Ajudan ayahnya. "Saya belum memikirkan itu, Pak. Karir lebih penting untuk saya saat ini," jawabnya sopan, itu artinya dia menolak secara halus tanpa menyinggung lawan bicaranya. "Kalau begitu masih ada peluang. Yes!!" Sekar menyauti ucapan pria di hadapannya itu. Dia tampak bahagia dengan jawaban Wira yang lantang, ketika Adi yang bertanya. Tanpa malu dia mengatakan itu. "Dia terobsesi padamu, hati-hati padanya." Adi berbisik ke arah Wira, meski begitu putrinya dapat mendengarkan apa yang dikatakan. "Ayah—" panggilan Sekar hanya dibalas senyuman oleh ayahnya. Acara makan di malam itu berjalan dengan khitmat. Tamu yang diundang teman lama Adi yang kebetulan juga menjabat sebagai Walikota di daerahnya. Banyak hal yang

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   10.

    "Tidak boleh ya?" "Sebaiknya Anda istirahat, nanti akan ada tamu yang datang dan Bapak ingin Anda ikut makan malam bersama." Tidak ingin menjawab pertanyaan Sekar, dia mengalihkan pembahasan mereka. "Padahal tinggal jawab saja apa susahnya." Di dalam kamar, Sekar merebahkan tubuhnya dan berteriak, menutup wajahnya dengan bantal karena gagal merayu Wira. Rasa malu itu lebih besar dari sekedar ditampar keras oleh seseorang. Dia tidak mendapatkan respon baik dari pujaan hatinya. Apalagi pertanyaan yang dilontarkan tidak Wira jawab. Meski hanya bercanda karena Sohia pernah bilang Ajudan baru ayahnya masih melajang, dia tetap bertanya pada Wira. Wira sendiri berjalan keluar kamar Sekar sambil tersenyum. Dia memastikan Sekar dalam kondisi baik sebelum benar-benar pergi. "Eh ... Mas Wira, kenapa senyum-senyum sendiri setelah keluar dari kamar Mbak Sekar. Ada apa hayo?" Goda Mbok Nanik saat berpapasan dengan Wira. "Memangnya apa, Mbok? Tidak ada apa-apa. Oh ya, apa untuk nanti ma

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   09.

    "Akhirnya aku terbebas dari rasa tidak nyaman ini." Sekar melepaskan gips yang membalut kaki setelah beberapa hari dikenakan, rasanya begitu lega. Meski sedikit nyeri karena biasa terbalut, sekarang sudah tidak mengenakannya lagi karena merasa risih. Dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki lagi, dengan langkah pelan Sekar berjalan masuk rumah dinas setelah dari rumah sakit. Dia hanya pergi di temani Panji dan pengawal wanita yang bersamanya. "Nanti bisa jalan bersama Lastri kalau begitu. Akhirnya terbuka gips yang membuat hidupku kesulitan beberapa hari ini." Dia menggerutu sendiri berjalan menuju pintu masuk dengan beberapa anak tangga menjadi jalannya. Langkahnya terhenti ketika suara mobil menusuk gendang telinganya, dia menatap ke arah di mana mobil dinas sang ayah berhenti di sana. Apalagi ada Wira yang turun sebelum ayahnya. Matanya tak berkedip menatap sosok tampan yang dia temui di Mall waktu itu. "Kamu membuka gips mu, apa tidak sakit? Bukannya harus seminggu l

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   08.

    "Biarkan dulu. Sekali saja ya?" Sekar coba berdiri dan berpose di hadapan kamera orang yang minta foto dirinya. "Terima kasih, Mbak, senang bisa bertemu dengan Anda." "Sama-sama." Senyum manisnya begitu ramah, dia tidak mau jika dengan bersikap dingin akan membuat reputasi ayahnya akan memburuk. Padahal dia ingin menikmati waktu tanpa diganggu sekedar meminta foto bersama. Hidupnya harus diatur, dia tidak bisa melakukan hal sesuka hati apalagi sampai melukai perasaaan rakyat. Dia mau saja meski tidak ingin diganggu karena sedang menikmati makan. "Sebaiknya kita cepat pulang," ujar Panji setelah menutup sambungan teleponnya. Seperti ada yang penting harus dilakukan. "Pasti Ayah marah lagi. Ya sudah, kita pulang sekarang." Wajahnya sendu mengingat jika waktu yang dijalani sekarang tidak sama seperti keinginan dia sendiri. Walaupun masih ingin berkumpul bersama mereka, Sekar tetap harus pulang. Sesampainya di rumah tampak sedang ada beberapa orang di sana. Ada juga Wira yang

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   07

    "Sepertinya meluangkan waktu dengan melukis akan jauh lebih baik." Sekar diantarkan ke tempat yang dia mau, dia membeli beberapa alat untuk menggambar. Dia duduk di batu besar dekat jurang yang ada dihadapannya dengan alat gambar di tangan, sambil menatap bentangan hijau, dia tidak merasa takut duduk di sana. Suasana yang tenang dan juga udara yang segar membuat Sekar merasa nyaman. Pohon besar yang tak jauh darinya menutupi Sekar dari sinar matahari yang terik. Perlahan tangannya digerakan untuk menggambar sesuatu yang ada di pikirannya. Panji dan pengawal yang lain ada di dekatnya, namun mereka tidak berani mengganggu. Panji memberinya waktu 1 jam untuk Sekar yang ingin melampiaskan kesedihannya dengan menggambar. Dia tidak bisa meluapkan kesedihan yang dirasakan di rumah, itu hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sebuah rumah dengan taman yang indah, tergambar di kertas dari tangan Sekar. Bukan rumah istana, hanya rumah sederhana. Begitu detail gambarnya hingga terlihat

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   06

    "Mau ke mana?"Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain."Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja."Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus."Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu."Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya."Bolehkah berangkat den

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   05

    "Apa Mbak memerlukan sesuatu." Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat. Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar. "Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang. "Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jela

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status