Share

02

Penulis: Nyemoetdz Kim
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-15 02:00:32

"Maaf, Nona. Anda dipanggil Bapak ke ruang kerjanya."

Seorang pria dengan tubuh tinggi kekar, dan kulit sawo matang, wajah tampan sedang menghampiri Sekarwangi Anindita, putri tunggal Presiden ke 10 Bapak Adi Bagus Hanenda dan Ibu Sophia Latif.

Harinya menjadi berubah setelah sang ayah dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia. Hal yang tidak ingin dilakukan karena dia tidak bisa lagi bebas seperti sebelumnya. Geraknya akan diawasi, dia harus berhati-hati dengan tingkah lakunya di depan umum. Tutur bahasa bahkan kesenangnya akan menjadi sorotan saat dia melakukan kesalahan.

"Aku sedang mengerjakan tugas, suruh mereka makan lebih dulu, aku masih kenyang."

Dia enggan menemui orang tuanya karena merasa nyaman di kamar seorang diri dengan kegiatan yang sejak tadi dikerjakan.

"Bapak ingin mengenalkan Ajudan baru beliau, Bapak harap kamu menemuinya sebentar, itu perintah Bapak." Pria tampan itu tidak menyerah, dia kembali mengatakan apa yang Presiden perintahkan.

"Mas, tolonglah. Kepalaku sedikit sakit, jadi—"

"Haruskah aku panggilkan Dokter untukmu, Mbak?" Wajahnya berubah khawatir mendengar keluhan wanita cantik itu.

"Tidak, Mas. Bilang pada Bapak, aku sedang belajar, aku sudah meminta seseorang memberikan plester penurun panas dan meminum obatku. Bukankah aku memang sudah biasa seperti ini." Senyum manis Sekar meyakinkan pria di hadapannya percaya jika dirinya akan baik-baik saja.

Bukan rahasia lagi jika Sekar memiliki penyakit bawaan, memang tidak berbahaya, namun tubuhnya mudah sekali lelah, dan berakhir dia akan demam. Dia memiliki penyakit Hipertiroid yang dikarenakan

Anemia Pernisiosa, membuatnya harus lebih hati-hati.

Namun, hal itu tidak membuatnya harus larut dalam kesedihan karena penyakit genetik yang Buyutnya derita, sekarang dia yang merasakan itu. Dia gadis ceria, dan juga baik. Meski dia tidak setuju dengan pencalonan ayahnya menjadi Presiden, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak apa yang menjadi keinginan orang tuanya.

Kening Sekar sering tertempel plester penurun panas, seperti sudah biasa dia melakukan itu, jadi dia tidak merasa risih. Berjalan 6 bulan dan itu masih panjang jabatan ayahnya akan dia lalui menjadi seorang Presiden, ketika sebelumnya ayahnya sebagai Walikota yang terkenal dengan kredibilitasnya mengayomi masyarakat.

*

Matahari menjulang ketika Sekar mulai membuka mata, meski dia bilang baik-baik saja. Demam pada tubuhnya membuat harus terbangun siang karena alarm yang dia nyalakan.

"Apa Ayah sudah berangkat?"

Sekar terlihat sudah rapi meski plester itu masih di keningnya. Setelah mandi, dia menempelkan plester baru karena tubuhnya masih demam. Dia tetap ingin pergi kuliah hari ini dengan plester di keningnya.

"Sudah, Mbak. Apa Anda akan berangkat dengan kondisi demam?" tanya salah satu asisten rumah dinas.

"Ya, aku ada presentasi hari ini. Bagaimana aku tidak masuk saat aku bekerja keras untuk mengerjakannya." Hal seperti ini sering dialami, dia kadang hanya bertemu ibunya bahkan tidak bertemu mereka saat membuka mata. Apalagi sekarang ayahnya menjadi orang nomor 1 di Indonesia, dia jarang bertemu dengan mereka.

"Oh! Mas Wira, kok kembali, apa ada yang tertinggal?" Suara pengurus rumah membuat Sekar menoleh ke arah seorang pria tampan, betubuh tinggi, gagah, dan terlihat berwibawa sedang berjalan masuk dengan sedikit tergesah-gesah.

Mata Sekar terbelalak dengan siapa yang dia lihat. Pria yang dia temui di Mall waktu itu ada di depan matanya sekarang.

Dia bahkan terus menatap pria yang menunduk hormat menyapa Sekar. Mulut Sekar seakan keluh untuk bertanya siapa pria tampan itu.

"Berkas Bapak tertinggal, aku akan mengambilnya," jelas Wira, pria tampan yang membuat Sekar tidak mengedipkan mata.

"Di mana? Biar Mbok bantu cari. Tadi memang terburu-buru, sampai lupa," sahut Mbok Nanik.

Sekar masih saja diam, dia menatap Wira yang berjalan mengikuti Mbok Nanik untuk membantunya berkas. Hari pertama bekerja, dia melupakan berkas Presiden. Walau tidak penting, tapi dia tetap merasa bersalah.

"Terima kasih, Mbok." Tak lama mereka kembali dengan Wira memegang berkas yang dia cari. Dia segera pergi setelah menunduk hormat pada putri Presiden yang masih di tempat yang sama tanpa mengenalkan diri.

"Mbak ... ada apa?" Mbok Nanik memegang lengan Sekar yang hanya diam menatap Wira pergi meninggilakan rumah dinas.

"Tampan ... oh, maksudku. Siapa dia, Mbok?" tanya Sekar mengalihkan ucapannya karena otaknya terus memikirkan pria itu.

"Mas Wira, Ajudan baru Bapak. Bukannya semalam ... oh, iya, kan Mbak Sekar tidak ikut makan malam."

"Mbak, mobilnya sudah siap," sahut pria paruh baya yang juga salah satu pengurus rumah.

"Aku naik motor kesayanganku saja. Gak mau menggunakan mobil." Sikap rendah hatinya dicontoh dari sang ayah. Meski dia putri orang nomor satu, dia tetap pergi dengan motor matic kesayangannya.

"Tapi, Bapak bilang—"

"Aku tidak mau tau. Sebaiknya aku pergi, apalagi jam kuliahku sangat mepet," timpa Sekar yang segera beranjak dan berjalan menenteng tas dan helmet kesayangannya.

Meski membawa motor sendiri, Sekar tetap di temani dengan pengawal pribadinya. Hal itu wajib dia dapatkan karena ayahnya seorang Presiden. Meski awalnya dia risih, dan harus bersembunyi untuk pergi sendiri, namun sekarang dia terbiasa. Menikmati jalanan kota menuju kampus, dia memikirkan pria yang dia lihat tadi. Kalau dia tau ayahnya akan mengenalkan Ajudan yang dimaksud tadi, mungkin saja Sekar akan ikut makan malam bersama mereka.

Penyesalan itu yang dia gerutui dalam hatinya. Dia merasa bodoh karena tidak makan malam bersama mereka. "Apa kau akan diam di atas motormu seperti itu terus, Sekar?" Tepukan pada bahu membuat Sekar menatap temannya. Dia malah terdiam dengan pemikirannya sejak keluar dari rumah.

"Kau menggagetkanku saja."

"Mulutku hampir sobek karena sejak tadi memanggilmu, dan kau malah termenung di sini. Makanya kalau ke kampus, plester ini dibuka." Lastri, salah satu sahabat Sekar yang satu kampus.

"Ah ... aku baru menempelnya," gerutu Sekar menatap tak terima ketika Lastri melepas plester dikeningnya.

"Kau hanya akan menurunkan standart mu saat kau mengenakan itu. Kau itu ada-ada saja. Wajah cantikmu itu menjadi fokus para laki-laki di sini. Seperti ini jauh lebih cantik."

Tak ingin mendengarkan pujian sahabatnya, Sekar berjalan pergi meninggalkan Lastri yang masih bicara banyak hal. "Kau malah meninggalkanku, dan sekarang malah melamun lagi. Kalau kurang enak badan, harusnya kau itu diam di rumah. Apa harus aku katakan pada pengawal pribadimu agar membawamu pulang."

Sesampainya di kelas, Sekar banyak diam. Dia masih mengingat wajah tampan Wira, Ajudan ayahnya yang baru. "Aku bertemu dengan pria yang membantuku waktu di Mall waktu itu. Pria tampan itu ada di depan mataku sekarang. Sungguh tampan." Bukannya peduli dengan ucapan Lastri, dia malah menceritakan tentang Wira.

"Kau masih saja memikirkan pria itu. Apa spesialnya," sahut Lastri.

"Kau akan terpesona padanya nanti saat bertemu, tapi jangan ... dia milikku. Aku merasa senang jika dia menjadi Ajudan ayah, aku bisa sering bertemu dengannya. Haruskah aku mengutarakan perasaanku?" Raut wajahnya tampak bahagia mengatakan itu, Sekar terpesona dengan Wira.

"Apa ini namanya cinta pada pandangan pertama?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   03

    "Apa yang Mbak Sekar pikirkan sampai tidak fokus. Apa sakit, Mbak?" tanya Mbok Nanik yang coba mengobati luka di lutut Sekar. Setelah mempresentasikan tugas yang dia kerjakan semalam, ditengah perjalanan, motor yang sudah menemani pulang pergi beberapa tahun ini tak sengaja di tabrak, hingga membuat lututnya terluka. Memang tidak parah, karena juga pengemudi itu tak sengaja menyenggol motor Sekar yang memang kurang fokus dengan jalan, otaknya sibuk memikirkan Wira. Dengan jalan tertatih karena lutut sebelah kirinya terluka hingga membuat celana yang dikenakan robek, dia menggerutu karena pengawal pribadinya langsung melaporkan kejadian itu pada Presiden, padahal dia tidak mau orang tuanya khawatir karena dirinya. Sesampainya di rumah dia berbaring dengan santainya, menutup wajahnya menggunakan bantal. Dia menangis dalam diam, terbiasa di tinggal bekerja orang tuanya, dia menjadi pribadi yang kuat, tapi juga ceria. Bukan berarti orang tuanya tidak sayang, karena setelah mendengar ka

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   04

    "Akh ... menyusahkan sekali," gerutu Sekar saat dia coba menaiki motor kesayangannya yang terlihat baret di bagian knalpot dan body karena jatuh kemarin. Kakinya malah sakit, padahal kemarin dia tidak merasakannya. "Bisa saya bantu?" Suara berat itu membuat Sekar menghentikan kegiatannya dan langsung mencari asal suara. Senyum mengembang ketika dia melihat Wira berada di sampingnya. "Apa Mas Panji ikut Bapak hari ini?" Dia bertanya ragu dengan rasa sesak menguasai dirinya, bukan karena sakitnya melainkan menatap wajah tampan Wira. "Iya, apa Mbak ingin berangkat ke kampus? Biar saya yang antar menggunakan mobil." Tawaran yang bagus, tidak mungkin Sekar menolaknya. Dia mengangguk kepala cepat menjawab tawaran pria di hadapannya. Dengan kaki yang terpincang-pincang, Sekar berjalan ke arah mobil. Kalau bukan karena jam dosen killer, dia tidak mau pergi karena kakinya sedikit bengkak, padahal kemarin dia pikir hanya luka lecet saja. Mungkin karena tertimpa motor yang berat, makanya te

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   05

    "Apa Mbak memerlukan sesuatu." Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat. Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar. "Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang. "Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jela

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   06

    "Mau ke mana?"Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain."Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja."Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus."Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu."Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya."Bolehkah berangkat den

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   07

    "Sepertinya meluangkan waktu dengan melukis akan jauh lebih baik." Sekar diantarkan ke tempat yang dia mau, dia membeli beberapa alat untuk menggambar. Dia duduk di batu besar dekat jurang yang ada dihadapannya dengan alat gambar di tangan, sambil menatap bentangan hijau, dia tidak merasa takut duduk di sana. Suasana yang tenang dan juga udara yang segar membuat Sekar merasa nyaman. Pohon besar yang tak jauh darinya menutupi Sekar dari sinar matahari yang terik. Perlahan tangannya digerakan untuk menggambar sesuatu yang ada di pikirannya. Panji dan pengawal yang lain ada di dekatnya, namun mereka tidak berani mengganggu. Panji memberinya waktu 1 jam untuk Sekar yang ingin melampiaskan kesedihannya dengan menggambar. Dia tidak bisa meluapkan kesedihan yang dirasakan di rumah, itu hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sebuah rumah dengan taman yang indah, tergambar di kertas dari tangan Sekar. Bukan rumah istana, hanya rumah sederhana. Begitu detail gambarnya hingga terlihat

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-14
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   08.

    "Biarkan dulu. Sekali saja ya?" Sekar coba berdiri dan berpose di hadapan kamera orang yang minta foto dirinya. "Terima kasih, Mbak, senang bisa bertemu dengan Anda." "Sama-sama." Senyum manisnya begitu ramah, dia tidak mau jika dengan bersikap dingin akan membuat reputasi ayahnya akan memburuk. Padahal dia ingin menikmati waktu tanpa diganggu sekedar meminta foto bersama. Hidupnya harus diatur, dia tidak bisa melakukan hal sesuka hati apalagi sampai melukai perasaaan rakyat. Dia mau saja meski tidak ingin diganggu karena sedang menikmati makan. "Sebaiknya kita cepat pulang," ujar Panji setelah menutup sambungan teleponnya. Seperti ada yang penting harus dilakukan. "Pasti Ayah marah lagi. Ya sudah, kita pulang sekarang." Wajahnya sendu mengingat jika waktu yang dijalani sekarang tidak sama seperti keinginan dia sendiri. Walaupun masih ingin berkumpul bersama mereka, Sekar tetap harus pulang. Sesampainya di rumah tampak sedang ada beberapa orang di sana. Ada juga Wira yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-14
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   09.

    "Akhirnya aku terbebas dari rasa tidak nyaman ini." Sekar melepaskan gips yang membalut kaki setelah beberapa hari dikenakan, rasanya begitu lega. Meski sedikit nyeri karena biasa terbalut, sekarang sudah tidak mengenakannya lagi karena merasa risih. Dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki lagi, dengan langkah pelan Sekar berjalan masuk rumah dinas setelah dari rumah sakit. Dia hanya pergi di temani Panji dan pengawal wanita yang bersamanya. "Nanti bisa jalan bersama Lastri kalau begitu. Akhirnya terbuka gips yang membuat hidupku kesulitan beberapa hari ini." Dia menggerutu sendiri berjalan menuju pintu masuk dengan beberapa anak tangga menjadi jalannya. Langkahnya terhenti ketika suara mobil menusuk gendang telinganya, dia menatap ke arah di mana mobil dinas sang ayah berhenti di sana. Apalagi ada Wira yang turun sebelum ayahnya. Matanya tak berkedip menatap sosok tampan yang dia temui di Mall waktu itu. "Kamu membuka gips mu, apa tidak sakit? Bukannya harus seminggu l

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   10.

    "Tidak boleh ya?" "Sebaiknya Anda istirahat, nanti akan ada tamu yang datang dan Bapak ingin Anda ikut makan malam bersama." Tidak ingin menjawab pertanyaan Sekar, dia mengalihkan pembahasan mereka. "Padahal tinggal jawab saja apa susahnya." Di dalam kamar, Sekar merebahkan tubuhnya dan berteriak, menutup wajahnya dengan bantal karena gagal merayu Wira. Rasa malu itu lebih besar dari sekedar ditampar keras oleh seseorang. Dia tidak mendapatkan respon baik dari pujaan hatinya. Apalagi pertanyaan yang dilontarkan tidak Wira jawab. Meski hanya bercanda karena Sohia pernah bilang Ajudan baru ayahnya masih melajang, dia tetap bertanya pada Wira. Wira sendiri berjalan keluar kamar Sekar sambil tersenyum. Dia memastikan Sekar dalam kondisi baik sebelum benar-benar pergi. "Eh ... Mas Wira, kenapa senyum-senyum sendiri setelah keluar dari kamar Mbak Sekar. Ada apa hayo?" Goda Mbok Nanik saat berpapasan dengan Wira. "Memangnya apa, Mbok? Tidak ada apa-apa. Oh ya, apa untuk nanti ma

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18

Bab terbaru

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   13.

    Seakan tidak terjadi apapun, keesokan harinya Sekar tampak bahagia. Dia sedang bercanda dengan Rini di halaman rumah dinas berdua setelah olahraga pagi. Dari tempatnya berdiri, Wira menatap interaksi mereka berdua. Senyum manis Sekar membuat dirinya hanya fokus pada wanita itu. Dia ingat, semalam Sekar menangis sesegukan tanpa mengatakan apapun. Tidak mungkin tangis Sekara hanya karena ungkapan perasaan yang tidak Wira jawab, pasti ada hal lain yang dia tutupi dibalik senyum indahnya. "Pagi, Mayor," sapa Rini hormat. Sekar yang ada di sampingnya hanya tersenyum menatap pria yang membantunya semalam. "Apa pagi ini akan pergi kegiatan di luar?" tanya Rini. "Bukannya Ayah akan keluar kota dengan Ibu hari ini. Apa sudah akan berangkat, Mas?" Sekar menyelai ucapan Rini yang menyapa Ajudan Adi. "Bapak sedang bersiap di dalam." Matanya tidak lepas menatap wajah Sekar, dia masih ingat tentang semalam. Sekar berjalan melewati Wira yang masih menatapnya. Namun, langkahnya terhenti ketik

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   12.

    "Sepertinya aku menyukaimu." Tanpa merasa bersalah dia tersenyum setelah mengatakannya. Sekar terang-terangan mengatakan isi hatinya, dia tidak lagi takut ataupun ragu setelah tau Wira masih melajang. Namun, sesungguhnya bukan itu yang sedang mengganggu pikirannya. Dia tidak bisa mengatakan dengan jujur pada Wira yang mematung mendengar ucapan wanita yang berdiri di hadapannya. Suasana romantis terasa dan dia berhasil mengatakan itu. "Maafkan saya, Mbak." Wira mundur selangkah dan berbalik sebelum melanjutkan langkah kakinya untuk menemani wanita cantik itu pulang. "Kenapa Mas malah meninggalkanku," gerutu Sekar dengan langkah kaki lebih cepat. Tidak ingin peduli, Wira berjalan lebih dulu. "Aduh!! Sudah tau kaki masih masa pemulihan, tapi aku harus mengejarmu." Dia duduk dan memegangi kakinya. Dia juga memukul pelan kakinya karena kesal. Padahal sikapnya itu membuat Wira canggung. "Jangan dipukul, itu akan terasa semakin sakit." Wira memegang tangan Sekar, berjongkok di hadapan

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   11.

    "Bagaimana Wira, apa kamu sudah menikah?" Presiden Adi melontarkan pertanyaan itu pada pria yang membuat putrinya bahagia. Apalagi jelas terlihat Sekar mengidolakan Ajudan barunya. Kebahagian tergambar ketika tatapan sang puteri begitu tenang melihat pria yang juga Ajudan ayahnya. "Saya belum memikirkan itu, Pak. Karir lebih penting untuk saya saat ini," jawabnya sopan, itu artinya dia menolak secara halus tanpa menyinggung lawan bicaranya. "Kalau begitu masih ada peluang. Yes!!" Sekar menyauti ucapan pria di hadapannya itu. Dia tampak bahagia dengan jawaban Wira yang lantang, ketika Adi yang bertanya. Tanpa malu dia mengatakan itu. "Dia terobsesi padamu, hati-hati padanya." Adi berbisik ke arah Wira, meski begitu putrinya dapat mendengarkan apa yang dikatakan. "Ayah—" panggilan Sekar hanya dibalas senyuman oleh ayahnya. Acara makan di malam itu berjalan dengan khitmat. Tamu yang diundang teman lama Adi yang kebetulan juga menjabat sebagai Walikota di daerahnya. Banyak hal yang

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   10.

    "Tidak boleh ya?" "Sebaiknya Anda istirahat, nanti akan ada tamu yang datang dan Bapak ingin Anda ikut makan malam bersama." Tidak ingin menjawab pertanyaan Sekar, dia mengalihkan pembahasan mereka. "Padahal tinggal jawab saja apa susahnya." Di dalam kamar, Sekar merebahkan tubuhnya dan berteriak, menutup wajahnya dengan bantal karena gagal merayu Wira. Rasa malu itu lebih besar dari sekedar ditampar keras oleh seseorang. Dia tidak mendapatkan respon baik dari pujaan hatinya. Apalagi pertanyaan yang dilontarkan tidak Wira jawab. Meski hanya bercanda karena Sohia pernah bilang Ajudan baru ayahnya masih melajang, dia tetap bertanya pada Wira. Wira sendiri berjalan keluar kamar Sekar sambil tersenyum. Dia memastikan Sekar dalam kondisi baik sebelum benar-benar pergi. "Eh ... Mas Wira, kenapa senyum-senyum sendiri setelah keluar dari kamar Mbak Sekar. Ada apa hayo?" Goda Mbok Nanik saat berpapasan dengan Wira. "Memangnya apa, Mbok? Tidak ada apa-apa. Oh ya, apa untuk nanti ma

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   09.

    "Akhirnya aku terbebas dari rasa tidak nyaman ini." Sekar melepaskan gips yang membalut kaki setelah beberapa hari dikenakan, rasanya begitu lega. Meski sedikit nyeri karena biasa terbalut, sekarang sudah tidak mengenakannya lagi karena merasa risih. Dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki lagi, dengan langkah pelan Sekar berjalan masuk rumah dinas setelah dari rumah sakit. Dia hanya pergi di temani Panji dan pengawal wanita yang bersamanya. "Nanti bisa jalan bersama Lastri kalau begitu. Akhirnya terbuka gips yang membuat hidupku kesulitan beberapa hari ini." Dia menggerutu sendiri berjalan menuju pintu masuk dengan beberapa anak tangga menjadi jalannya. Langkahnya terhenti ketika suara mobil menusuk gendang telinganya, dia menatap ke arah di mana mobil dinas sang ayah berhenti di sana. Apalagi ada Wira yang turun sebelum ayahnya. Matanya tak berkedip menatap sosok tampan yang dia temui di Mall waktu itu. "Kamu membuka gips mu, apa tidak sakit? Bukannya harus seminggu l

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   08.

    "Biarkan dulu. Sekali saja ya?" Sekar coba berdiri dan berpose di hadapan kamera orang yang minta foto dirinya. "Terima kasih, Mbak, senang bisa bertemu dengan Anda." "Sama-sama." Senyum manisnya begitu ramah, dia tidak mau jika dengan bersikap dingin akan membuat reputasi ayahnya akan memburuk. Padahal dia ingin menikmati waktu tanpa diganggu sekedar meminta foto bersama. Hidupnya harus diatur, dia tidak bisa melakukan hal sesuka hati apalagi sampai melukai perasaaan rakyat. Dia mau saja meski tidak ingin diganggu karena sedang menikmati makan. "Sebaiknya kita cepat pulang," ujar Panji setelah menutup sambungan teleponnya. Seperti ada yang penting harus dilakukan. "Pasti Ayah marah lagi. Ya sudah, kita pulang sekarang." Wajahnya sendu mengingat jika waktu yang dijalani sekarang tidak sama seperti keinginan dia sendiri. Walaupun masih ingin berkumpul bersama mereka, Sekar tetap harus pulang. Sesampainya di rumah tampak sedang ada beberapa orang di sana. Ada juga Wira yang

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   07

    "Sepertinya meluangkan waktu dengan melukis akan jauh lebih baik." Sekar diantarkan ke tempat yang dia mau, dia membeli beberapa alat untuk menggambar. Dia duduk di batu besar dekat jurang yang ada dihadapannya dengan alat gambar di tangan, sambil menatap bentangan hijau, dia tidak merasa takut duduk di sana. Suasana yang tenang dan juga udara yang segar membuat Sekar merasa nyaman. Pohon besar yang tak jauh darinya menutupi Sekar dari sinar matahari yang terik. Perlahan tangannya digerakan untuk menggambar sesuatu yang ada di pikirannya. Panji dan pengawal yang lain ada di dekatnya, namun mereka tidak berani mengganggu. Panji memberinya waktu 1 jam untuk Sekar yang ingin melampiaskan kesedihannya dengan menggambar. Dia tidak bisa meluapkan kesedihan yang dirasakan di rumah, itu hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sebuah rumah dengan taman yang indah, tergambar di kertas dari tangan Sekar. Bukan rumah istana, hanya rumah sederhana. Begitu detail gambarnya hingga terlihat

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   06

    "Mau ke mana?"Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain."Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja."Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus."Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu."Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya."Bolehkah berangkat den

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   05

    "Apa Mbak memerlukan sesuatu." Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat. Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar. "Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang. "Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jela

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status