"Maaf, Nona. Anda dipanggil Bapak ke ruang kerjanya."
Seorang pria dengan tubuh tinggi kekar, dan kulit sawo matang, wajah tampan sedang menghampiri Sekarwangi Anindita, putri tunggal Presiden ke 10 Bapak Adi Bagus Hanenda dan Ibu Sophia Latif. Harinya menjadi berubah setelah sang ayah dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia. Hal yang tidak ingin dilakukan karena dia tidak bisa lagi bebas seperti sebelumnya. Geraknya akan diawasi, dia harus berhati-hati dengan tingkah lakunya di depan umum. Tutur bahasa bahkan kesenangnya akan menjadi sorotan saat dia melakukan kesalahan. "Aku sedang mengerjakan tugas, suruh mereka makan lebih dulu, aku masih kenyang." Dia enggan menemui orang tuanya karena merasa nyaman di kamar seorang diri dengan kegiatan yang sejak tadi dikerjakan. "Bapak ingin mengenalkan Ajudan baru beliau, Bapak harap kamu menemuinya sebentar, itu perintah Bapak." Pria tampan itu tidak menyerah, dia kembali mengatakan apa yang Presiden perintahkan. "Mas, tolonglah. Kepalaku sedikit sakit, jadi—" "Haruskah aku panggilkan Dokter untukmu, Mbak?" Wajahnya berubah khawatir mendengar keluhan wanita cantik itu. "Tidak, Mas. Bilang pada Bapak, aku sedang belajar, aku sudah meminta seseorang memberikan plester penurun panas dan meminum obatku. Bukankah aku memang sudah biasa seperti ini." Senyum manis Sekar meyakinkan pria di hadapannya percaya jika dirinya akan baik-baik saja. Bukan rahasia lagi jika Sekar memiliki penyakit bawaan, memang tidak berbahaya, namun tubuhnya mudah sekali lelah, dan berakhir dia akan demam. Dia memiliki penyakit Hipertiroid yang dikarenakan Anemia Pernisiosa, membuatnya harus lebih hati-hati. Namun, hal itu tidak membuatnya harus larut dalam kesedihan karena penyakit genetik yang Buyutnya derita, sekarang dia yang merasakan itu. Dia gadis ceria, dan juga baik. Meski dia tidak setuju dengan pencalonan ayahnya menjadi Presiden, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak apa yang menjadi keinginan orang tuanya. Kening Sekar sering tertempel plester penurun panas, seperti sudah biasa dia melakukan itu, jadi dia tidak merasa risih. Berjalan 6 bulan dan itu masih panjang jabatan ayahnya akan dia lalui menjadi seorang Presiden, ketika sebelumnya ayahnya sebagai Walikota yang terkenal dengan kredibilitasnya mengayomi masyarakat. * Matahari menjulang ketika Sekar mulai membuka mata, meski dia bilang baik-baik saja. Demam pada tubuhnya membuat harus terbangun siang karena alarm yang dia nyalakan. "Apa Ayah sudah berangkat?" Sekar terlihat sudah rapi meski plester itu masih di keningnya. Setelah mandi, dia menempelkan plester baru karena tubuhnya masih demam. Dia tetap ingin pergi kuliah hari ini dengan plester di keningnya. "Sudah, Mbak. Apa Anda akan berangkat dengan kondisi demam?" tanya salah satu asisten rumah dinas. "Ya, aku ada presentasi hari ini. Bagaimana aku tidak masuk saat aku bekerja keras untuk mengerjakannya." Hal seperti ini sering dialami, dia kadang hanya bertemu ibunya bahkan tidak bertemu mereka saat membuka mata. Apalagi sekarang ayahnya menjadi orang nomor 1 di Indonesia, dia jarang bertemu dengan mereka. "Oh! Mas Wira, kok kembali, apa ada yang tertinggal?" Suara pengurus rumah membuat Sekar menoleh ke arah seorang pria tampan, betubuh tinggi, gagah, dan terlihat berwibawa sedang berjalan masuk dengan sedikit tergesah-gesah. Mata Sekar terbelalak dengan siapa yang dia lihat. Pria yang dia temui di Mall waktu itu ada di depan matanya sekarang. Dia bahkan terus menatap pria yang menunduk hormat menyapa Sekar. Mulut Sekar seakan keluh untuk bertanya siapa pria tampan itu. "Berkas Bapak tertinggal, aku akan mengambilnya," jelas Wira, pria tampan yang membuat Sekar tidak mengedipkan mata. "Di mana? Biar Mbok bantu cari. Tadi memang terburu-buru, sampai lupa," sahut Mbok Nanik. Sekar masih saja diam, dia menatap Wira yang berjalan mengikuti Mbok Nanik untuk membantunya berkas. Hari pertama bekerja, dia melupakan berkas Presiden. Walau tidak penting, tapi dia tetap merasa bersalah. "Terima kasih, Mbok." Tak lama mereka kembali dengan Wira memegang berkas yang dia cari. Dia segera pergi setelah menunduk hormat pada putri Presiden yang masih di tempat yang sama tanpa mengenalkan diri. "Mbak ... ada apa?" Mbok Nanik memegang lengan Sekar yang hanya diam menatap Wira pergi meninggilakan rumah dinas. "Tampan ... oh, maksudku. Siapa dia, Mbok?" tanya Sekar mengalihkan ucapannya karena otaknya terus memikirkan pria itu. "Mas Wira, Ajudan baru Bapak. Bukannya semalam ... oh, iya, kan Mbak Sekar tidak ikut makan malam." "Mbak, mobilnya sudah siap," sahut pria paruh baya yang juga salah satu pengurus rumah. "Aku naik motor kesayanganku saja. Gak mau menggunakan mobil." Sikap rendah hatinya dicontoh dari sang ayah. Meski dia putri orang nomor satu, dia tetap pergi dengan motor matic kesayangannya. "Tapi, Bapak bilang—" "Aku tidak mau tau. Sebaiknya aku pergi, apalagi jam kuliahku sangat mepet," timpa Sekar yang segera beranjak dan berjalan menenteng tas dan helmet kesayangannya. Meski membawa motor sendiri, Sekar tetap di temani dengan pengawal pribadinya. Hal itu wajib dia dapatkan karena ayahnya seorang Presiden. Meski awalnya dia risih, dan harus bersembunyi untuk pergi sendiri, namun sekarang dia terbiasa. Menikmati jalanan kota menuju kampus, dia memikirkan pria yang dia lihat tadi. Kalau dia tau ayahnya akan mengenalkan Ajudan yang dimaksud tadi, mungkin saja Sekar akan ikut makan malam bersama mereka. Penyesalan itu yang dia gerutui dalam hatinya. Dia merasa bodoh karena tidak makan malam bersama mereka. "Apa kau akan diam di atas motormu seperti itu terus, Sekar?" Tepukan pada bahu membuat Sekar menatap temannya. Dia malah terdiam dengan pemikirannya sejak keluar dari rumah. "Kau menggagetkanku saja." "Mulutku hampir sobek karena sejak tadi memanggilmu, dan kau malah termenung di sini. Makanya kalau ke kampus, plester ini dibuka." Lastri, salah satu sahabat Sekar yang satu kampus. "Ah ... aku baru menempelnya," gerutu Sekar menatap tak terima ketika Lastri melepas plester dikeningnya. "Kau hanya akan menurunkan standart mu saat kau mengenakan itu. Kau itu ada-ada saja. Wajah cantikmu itu menjadi fokus para laki-laki di sini. Seperti ini jauh lebih cantik." Tak ingin mendengarkan pujian sahabatnya, Sekar berjalan pergi meninggalkan Lastri yang masih bicara banyak hal. "Kau malah meninggalkanku, dan sekarang malah melamun lagi. Kalau kurang enak badan, harusnya kau itu diam di rumah. Apa harus aku katakan pada pengawal pribadimu agar membawamu pulang." Sesampainya di kelas, Sekar banyak diam. Dia masih mengingat wajah tampan Wira, Ajudan ayahnya yang baru. "Aku bertemu dengan pria yang membantuku waktu di Mall waktu itu. Pria tampan itu ada di depan mataku sekarang. Sungguh tampan." Bukannya peduli dengan ucapan Lastri, dia malah menceritakan tentang Wira. "Kau masih saja memikirkan pria itu. Apa spesialnya," sahut Lastri. "Kau akan terpesona padanya nanti saat bertemu, tapi jangan ... dia milikku. Aku merasa senang jika dia menjadi Ajudan ayah, aku bisa sering bertemu dengannya. Haruskah aku mengutarakan perasaanku?" Raut wajahnya tampak bahagia mengatakan itu, Sekar terpesona dengan Wira. "Apa ini namanya cinta pada pandangan pertama?""Apa yang Mbak Sekar pikirkan sampai tidak fokus. Apa sakit, Mbak?" tanya Mbok Nanik yang coba mengobati luka di lutut Sekar. Setelah mempresentasikan tugas yang dia kerjakan semalam, ditengah perjalanan, motor yang sudah menemani pulang pergi beberapa tahun ini tak sengaja di tabrak, hingga membuat lututnya terluka. Memang tidak parah, karena juga pengemudi itu tak sengaja menyenggol motor Sekar yang memang kurang fokus dengan jalan, otaknya sibuk memikirkan Wira. Dengan jalan tertatih karena lutut sebelah kirinya terluka hingga membuat celana yang dikenakan robek, dia menggerutu karena pengawal pribadinya langsung melaporkan kejadian itu pada Presiden, padahal dia tidak mau orang tuanya khawatir karena dirinya. Sesampainya di rumah dia berbaring dengan santainya, menutup wajahnya menggunakan bantal. Dia menangis dalam diam, terbiasa di tinggal bekerja orang tuanya, dia menjadi pribadi yang kuat, tapi juga ceria. Bukan berarti orang tuanya tidak sayang, karena setelah mendengar ka
"Akh ... menyusahkan sekali," gerutu Sekar saat dia coba menaiki motor kesayangannya yang terlihat baret di bagian knalpot dan body karena jatuh kemarin. Kakinya malah sakit, padahal kemarin dia tidak merasakannya. "Bisa saya bantu?" Suara berat itu membuat Sekar menghentikan kegiatannya dan langsung mencari asal suara. Senyum mengembang ketika dia melihat Wira berada di sampingnya. "Apa Mas Panji ikut Bapak hari ini?" Dia bertanya ragu dengan rasa sesak menguasai dirinya, bukan karena sakitnya melainkan menatap wajah tampan Wira. "Iya, apa Mbak ingin berangkat ke kampus? Biar saya yang antar menggunakan mobil." Tawaran yang bagus, tidak mungkin Sekar menolaknya. Dia mengangguk kepala cepat menjawab tawaran pria di hadapannya. Dengan kaki yang terpincang-pincang, Sekar berjalan ke arah mobil. Kalau bukan karena jam dosen killer, dia tidak mau pergi karena kakinya sedikit bengkak, padahal kemarin dia pikir hanya luka lecet saja. Mungkin karena tertimpa motor yang berat, makanya te
"Apa Mbak memerlukan sesuatu." Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat. Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar. "Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang. "Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jela
"Mau ke mana?"Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain."Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja."Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus."Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu."Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya."Bolehkah berangkat den
"Sepertinya meluangkan waktu dengan melukis akan jauh lebih baik." Sekar diantarkan ke tempat yang dia mau, dia membeli beberapa alat untuk menggambar. Dia duduk di batu besar dekat jurang yang ada dihadapannya dengan alat gambar di tangan, sambil menatap bentangan hijau, dia tidak merasa takut duduk di sana. Suasana yang tenang dan juga udara yang segar membuat Sekar merasa nyaman. Pohon besar yang tak jauh darinya menutupi Sekar dari sinar matahari yang terik. Perlahan tangannya digerakan untuk menggambar sesuatu yang ada di pikirannya. Panji dan pengawal yang lain ada di dekatnya, namun mereka tidak berani mengganggu. Panji memberinya waktu 1 jam untuk Sekar yang ingin melampiaskan kesedihannya dengan menggambar. Dia tidak bisa meluapkan kesedihan yang dirasakan di rumah, itu hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sebuah rumah dengan taman yang indah, tergambar di kertas dari tangan Sekar. Bukan rumah istana, hanya rumah sederhana. Begitu detail gambarnya hingga terlihat
"Biarkan dulu. Sekali saja ya?" Sekar coba berdiri dan berpose di hadapan kamera orang yang minta foto dirinya. "Terima kasih, Mbak, senang bisa bertemu dengan Anda." "Sama-sama." Senyum manisnya begitu ramah, dia tidak mau jika dengan bersikap dingin akan membuat reputasi ayahnya akan memburuk. Padahal dia ingin menikmati waktu tanpa diganggu sekedar meminta foto bersama. Hidupnya harus diatur, dia tidak bisa melakukan hal sesuka hati apalagi sampai melukai perasaaan rakyat. Dia mau saja meski tidak ingin diganggu karena sedang menikmati makan. "Sebaiknya kita cepat pulang," ujar Panji setelah menutup sambungan teleponnya. Seperti ada yang penting harus dilakukan. "Pasti Ayah marah lagi. Ya sudah, kita pulang sekarang." Wajahnya sendu mengingat jika waktu yang dijalani sekarang tidak sama seperti keinginan dia sendiri. Walaupun masih ingin berkumpul bersama mereka, Sekar tetap harus pulang. Sesampainya di rumah tampak sedang ada beberapa orang di sana. Ada juga Wira yang
"Akhirnya aku terbebas dari rasa tidak nyaman ini." Sekar melepaskan gips yang membalut kaki setelah beberapa hari dikenakan, rasanya begitu lega. Meski sedikit nyeri karena biasa terbalut, sekarang sudah tidak mengenakannya lagi karena merasa risih. Dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki lagi, dengan langkah pelan Sekar berjalan masuk rumah dinas setelah dari rumah sakit. Dia hanya pergi di temani Panji dan pengawal wanita yang bersamanya. "Nanti bisa jalan bersama Lastri kalau begitu. Akhirnya terbuka gips yang membuat hidupku kesulitan beberapa hari ini." Dia menggerutu sendiri berjalan menuju pintu masuk dengan beberapa anak tangga menjadi jalannya. Langkahnya terhenti ketika suara mobil menusuk gendang telinganya, dia menatap ke arah di mana mobil dinas sang ayah berhenti di sana. Apalagi ada Wira yang turun sebelum ayahnya. Matanya tak berkedip menatap sosok tampan yang dia temui di Mall waktu itu. "Kamu membuka gips mu, apa tidak sakit? Bukannya harus seminggu l
"Tidak boleh ya?" "Sebaiknya Anda istirahat, nanti akan ada tamu yang datang dan Bapak ingin Anda ikut makan malam bersama." Tidak ingin menjawab pertanyaan Sekar, dia mengalihkan pembahasan mereka. "Padahal tinggal jawab saja apa susahnya." Di dalam kamar, Sekar merebahkan tubuhnya dan berteriak, menutup wajahnya dengan bantal karena gagal merayu Wira. Rasa malu itu lebih besar dari sekedar ditampar keras oleh seseorang. Dia tidak mendapatkan respon baik dari pujaan hatinya. Apalagi pertanyaan yang dilontarkan tidak Wira jawab. Meski hanya bercanda karena Sohia pernah bilang Ajudan baru ayahnya masih melajang, dia tetap bertanya pada Wira. Wira sendiri berjalan keluar kamar Sekar sambil tersenyum. Dia memastikan Sekar dalam kondisi baik sebelum benar-benar pergi. "Eh ... Mas Wira, kenapa senyum-senyum sendiri setelah keluar dari kamar Mbak Sekar. Ada apa hayo?" Goda Mbok Nanik saat berpapasan dengan Wira. "Memangnya apa, Mbok? Tidak ada apa-apa. Oh ya, apa untuk nanti ma
"Oh ... Mayor di sini. Aku baru akan mengabari Bapak kalau kita akan pulang besok. Kasihan Sekar, tidur begitu lelap.""Apa kondisinya baik-baik saja?" Wira sungguh menghampiri mereka ke rumah sakit, meski tidak begitu jauh dari istana, tapi tetap saja keselamatan Sekar yang menjadi nomor satu."Lihatlah, ada Rini di sana. Aku hubungi Bapak dulu." Panji membiarkan Wira masuk untuk menemui Sekar. Seperti kata Panji, Sekar memang sedang terlelap di brankar rumah sakit. Tepatnya di IGD bersama Rini yang menemaninya. Langkahnya terhenti tepat di samping kanan Sekar, menatap wajah cantik wanita yang beberapa waktu ini menguras pikirannya karena rasa khawatir. Tangis Sekar waktu itu masih dia ingat sampai sekarang, tangis yang begitu menyakitkan, walau begitu sampai sekarang dia belum tau sebenarnya apa yang dia sembunyikan dibalik senyum manisnya."Istirahatlah, biar aku yang menjaganya di sini," pinta Wira lirih.
"Terima kasih kalian sudah membantu untuk perkembangan desa di sini. Ide kalian akan kita terapkan, rumah sehat dengan desain yang kalian berikan. Sekali lagi terima kasih," tutur pria paruh baya yang sedang berdiri dihadapan kelompok KKN."Sama-sama, Pak. Terima kasih juga sudah diberikan kesempatan untuk kita belajar di sini. Maaf banyak merepotkan warga di sini." Lastri yang memang ketua kelompok menyampaikan permintaan maaf karena hari ini mereka harus pamit setelah 3 minggu yang seru dan sibuk. Hanya sebentar memang, namun mereka mendapatkan banyak ilmu dari kegiatan ini.Setelah pamit, rencananya hari ini mereka ingin menghabiskan waktu dengan berlibur. Sekar sendiri malas untuk ikut, dia lebih memilih bermain dengan beberapa anak yang ada di desa itu. Dia bahagia bisa bermain layaknya masa kecil terulang lagi."Apa Teteh tidak main ke sini lagi nanti?" tanya seorang anak berusia 16 tahun, dia yang paling besar dari ke 4 anak yang
"Ini gara-gara Mas Panji," gerutu seorang wanita cantik dengan nafas memburu menghisap beberapa kali oksigen portabel di tangannya. Sudah tau nafasnya memburu, dia masih saja menggerutu karena di kejar Anjing milik warga."Kan aku bilang jangan lari, kenapa kalian malah lari. Ya di kejar." Ada senyum mengejek dibalik ucapan Panji."Mana ponselku sekarang? Apa tidak pecah?" Sekar menodongkan tangan meminta pada Panji."Layarnya pecah, nanti biar aku perbaiki dulu. Sebaiknya kamu istirahat, setelah ini Rini membawa makan. Ada-ada saja." Panji menggeleng pelan dengan senyum mengembang.Tadi setelah dari kantor desa, mereka berjalan menuju di mana rumah singgahnya. Di jalan ada seekor Anjing yang tampak garang berada di tengah jalan. Panji yang iseng, membuat mereka di kejar oleh Anjing itu, padahal tidak perlu berlari juga. Dan bodohnya Sekar ikut berlari saat para wanita berlari karena takut. Ketika Wira tadi menghubungi Sekar sedang mengatur nafas, apalagi rasa sesak mengguasainya. In
"Mbak, apa Anda masih di sana?" Sekar tidak menyauti apa yang Wira katakan."Mbak Sekarwangi." Panggil Wira dengan nama lengkap Sekar, baru pertama kali ini keluar dari mulutnya."Mas bahkan tau naman lengkapku, tapi malah terus saja memanggil Mbak. Aku merasa menyedihkan saja ketika mendengar hal itu." Kali ini gantian Wira yang diam. Namun, diam nya Wira sedang mendengarkan seseorang bicara, bukan Sekar, tapi orang yang bersamanya."Baik, saya kerjakan besok pagi. Kalau bisa saya pamit pulang malam ini. Ada sesuatu perlu saya bawa besok," jawab Wira pada seseorang itu, Sekar belum mematikan sambungan teleponnya. Itu sebabnya dia mendengar Wira sedang bicara."Oh sedang telepon. Siapa? Apa pacar Mayor?" tanyanya seseorang yang bicara dengan Wira. Sepertinya itu juru bicara Adi yang sedang bersama Wira.Sekar menunggu jawaban dari balik sambungan telepon, namun bukannya menjawab, Wira mematikan sambungan telepon begitu saja tanpa mengatakan apapun. Sekar menatap kesal layar ponselnya,
Hari ini Sekar berangkat untuk KKN bersama pengawal pribadinya. Ingin dia ikut dengan yang lain menggunakan satu mobil, tapi Panji tidak membiarkannya. Sejak tadi dia kesal karena itu, dia banyak diam."Mbak Sekar apa mau makan dulu, perjalanan masih jauh?" Pertanyaan Rini tidak membuat Sekar membuka mata. Walau tidak tidur, dia memejamkan mata duduk bersandar di bangku belakang setelah mencoret-coret di ipad miliknya."Kita berhenti di rest area saja." Panji menjawab pertanyaan Rini yang dilontarkan pada Sekar, tapi tidak ada jawaban.Rencananya mereka akan pergi ke salah satu desa yang ada di Sukabumi. Kegiatan ini akan memakan waktu selama 3 minggu, dengan tema Sadar Lingkungan dan selama itu juga Sekar tidak akan bisa bertemu dengan Wira. Apalagi sejak kemarin dia tidak bertemu karena Wira menemani ayahnya untuk dinas keluar kota yang harusnya sampai hari ini."Mobil teman-temanmu di sana. Mau menghampiri mereka?" Panji menunjuk ke sisi kiri dari tempat mereka menepikan mobil mema
Dengan plester penurun panas di kening, Sekar menikmati makan malam atas paksaan Mbok Nanik. Sejak dari kampus, dia hanya tidur. Obatnya saja tidak diminum, Sekar bangun karena Mbok Nanik terus berisik mengganggunya. "Setelah makan Mbak bisa tidur lagi. Jadi, lekas habiskan, Mbok tidak akan pergi sampai Mbak Sekar menghabiskan bubur itu," jelas wanita paruh baya itu, yang sudah mengganggap seperti putrinya sendiri. "Mbok, tidak bisakah makan sesuatu yang pedas gitu. Seperti mie pedas," pintanya. "Tidak. Terakhir kali makan mie, salah masak mie gandum, berakhir di rumah sakit. Bukankah lusa akan berangkat KKN, jadi jaga kesehatan Mbak Sekar." Dari tempatnya Sekar menirukan ucapan Mbok Nanik tanpa bersuara, seakan tau kata-kata apa yang akan keluar dari mulut orang tua asuhnya itu. "Hehe ... tidak, Mbok. Aduh ... kepalaku sedikit sakit, aku selesai makannya." Sekar mengeser mangkuk bubur itu karena tidak nafsu makan, padahal baru juga beberapa suap, Sekar sudah merasa kenyang. Seka
-Flashback- "Lepaskan! Apa yang kau inginkan dariku." Sekar mendorong tubuh seorang pria yang coba mencumbunya. Dia bahkan menendang pria itu sampai terjungkal. "Kau itu hanya harus menikmatinya. Kau kan yang mau ini. Kalah taruhan yang kau buat sendiri, jadi lakukan apa yang kau katakan tadi," ucapnya. Dia berusaha untuk mendekati Sekar lagi. "Bukan seperti ini maksudku. Kau hanya menjebakku saja!" Sekar sampai merangkak agar bisa pergi, namun pria yang tak lain Zaki itu menarik kakinya hingga tubuh Sekar kearahnya lagi. Zaki menindih tubuh Sekar dan menatapnya dengan mata penuh nafs*. Beberapa waktu lalu dia sedang bersama beberapa sahabatnya menghadiri sebuah pesta. Dalam pesta itu ada permainan yang menyebutkan untuk mengutarkan perasaannya pada seseorang yang mereka anggap spesial. Waktu itu yang dekat dengan Sekar adalah Zaki, masih di awal-awal semestar waktu mereka dekat. Dan Zaki pikir Sekar sungguh perempuan yang mau melakukan apa yang dia mau. Dia salah, karena Zaki ti
"Mbak Sekar tidak apa-apa?" Rini melingkarkan tangan ke bahu Sekar yang berjalan meninggalkan Zaki. Ada rasa takut dalam dirinya hingga tubuhnya bergetar dengan tatapan kosong. Ini alasan Adi mau putrinya selalu bersama pengawal pribadinya, karena ada satu pria yang pernah melukai Sekar beberapa waktu lalu sebelum pelantikan Adi menjadi Presiden. Waktu itu masih masa kampanye, dan masalah itu ditutupi agar tidak terjadi sesuatu yang mengganggu kampanye Adi waktu itu. Namun, dia lupa jika kejadian itu membuat Sekar mengalami trauma. Obsesi Zaki padanya membuat takut, pria gila itu tidak takut walau jelas Sekar putri Presiden negeri ini. "Dia masih saja mengejar, sebenarnya apa yang dia mau." Terlihat Zaki yang coba bertemu dengan Sekar, namun Lastri coba menariknya agar tidak terus mengganggu. "Ini alasan Bapak ingin kita ikut dirimu menjalani KKN. Dia pasti mengganggu, apalagi dia seperti sedang membutuhkan sesuatu darimu," jelas Panji yang menatap pria tak jelas itu di dal
"Dia memang terobsesi padamu. Lihat tatapannya itu, bikin takut saja."Mata Sekar mengikuti ke mana Lastri menjelaskan tentang Zaki, pria yang pernah dekat dengan Sekar, namun selalu di tolak saat mengutarakan perasaan itu seperti terobsesi padanya. Mereka di jurusan yang sama, namun Sekar tidak tertarik sama sekali, karena suatu hal. "Biarkan saja. Aku ingin pulang kalau begitu." Sekar beranjak ketika melihat Zaki berjalan ke arahnya, tak ingin bertatap muka lebih dekat lagi. Merasa Sekar akan pergi, Zaki berlari sampai berdiri di hadapan wanita yang dia anggap spesial dihatinya. Walau perasaan itu hanya bertepuk sebelah tangan, namun keyakinan akan perasaannya terbalas begitu besar, mungkin karena dia terobsesi pada wanita semanis Sekar. "Sekar, aku ingin bicara denganmu," ucap Zaki. "Aku terburu-buru, maafkan aku." Zaki menghalangi agar tidak pergi karena dia belum bicara. Dia memaksa untuk bicara, walau Sekar dari tadi coba membuang muka. "Bolehkah aku satu kelompok denganmu,