"Mbak, apa Anda masih di sana?" Sekar tidak menyauti apa yang Wira katakan."Mbak Sekarwangi." Panggil Wira dengan nama lengkap Sekar, baru pertama kali ini keluar dari mulutnya."Mas bahkan tau naman lengkapku, tapi malah terus saja memanggil Mbak. Aku merasa menyedihkan saja ketika mendengar hal itu." Kali ini gantian Wira yang diam. Namun, diam nya Wira sedang mendengarkan seseorang bicara, bukan Sekar, tapi orang yang bersamanya."Baik, saya kerjakan besok pagi. Kalau bisa saya pamit pulang malam ini. Ada sesuatu perlu saya bawa besok," jawab Wira pada seseorang itu, Sekar belum mematikan sambungan teleponnya. Itu sebabnya dia mendengar Wira sedang bicara."Oh sedang telepon. Siapa? Apa pacar Mayor?" tanyanya seseorang yang bicara dengan Wira. Sepertinya itu juru bicara Adi yang sedang bersama Wira.Sekar menunggu jawaban dari balik sambungan telepon, namun bukannya menjawab, Wira mematikan sambungan telepon begitu saja tanpa mengatakan apapun. Sekar menatap kesal layar ponselnya,
"Ini gara-gara Mas Panji," gerutu seorang wanita cantik dengan nafas memburu menghisap beberapa kali oksigen portabel di tangannya. Sudah tau nafasnya memburu, dia masih saja menggerutu karena di kejar Anjing milik warga."Kan aku bilang jangan lari, kenapa kalian malah lari. Ya di kejar." Ada senyum mengejek dibalik ucapan Panji."Mana ponselku sekarang? Apa tidak pecah?" Sekar menodongkan tangan meminta pada Panji."Layarnya pecah, nanti biar aku perbaiki dulu. Sebaiknya kamu istirahat, setelah ini Rini membawa makan. Ada-ada saja." Panji menggeleng pelan dengan senyum mengembang.Tadi setelah dari kantor desa, mereka berjalan menuju di mana rumah singgahnya. Di jalan ada seekor Anjing yang tampak garang berada di tengah jalan. Panji yang iseng, membuat mereka di kejar oleh Anjing itu, padahal tidak perlu berlari juga. Dan bodohnya Sekar ikut berlari saat para wanita berlari karena takut. Ketika Wira tadi menghubungi Sekar sedang mengatur nafas, apalagi rasa sesak mengguasainya. In
"Terima kasih kalian sudah membantu untuk perkembangan desa di sini. Ide kalian akan kita terapkan, rumah sehat dengan desain yang kalian berikan. Sekali lagi terima kasih," tutur pria paruh baya yang sedang berdiri dihadapan kelompok KKN."Sama-sama, Pak. Terima kasih juga sudah diberikan kesempatan untuk kita belajar di sini. Maaf banyak merepotkan warga di sini." Lastri yang memang ketua kelompok menyampaikan permintaan maaf karena hari ini mereka harus pamit setelah 3 minggu yang seru dan sibuk. Hanya sebentar memang, namun mereka mendapatkan banyak ilmu dari kegiatan ini.Setelah pamit, rencananya hari ini mereka ingin menghabiskan waktu dengan berlibur. Sekar sendiri malas untuk ikut, dia lebih memilih bermain dengan beberapa anak yang ada di desa itu. Dia bahagia bisa bermain layaknya masa kecil terulang lagi."Apa Teteh tidak main ke sini lagi nanti?" tanya seorang anak berusia 16 tahun, dia yang paling besar dari ke 4 anak yang
"Oh ... Mayor di sini. Aku baru akan mengabari Bapak kalau kita akan pulang besok. Kasihan Sekar, tidur begitu lelap.""Apa kondisinya baik-baik saja?" Wira sungguh menghampiri mereka ke rumah sakit, meski tidak begitu jauh dari istana, tapi tetap saja keselamatan Sekar yang menjadi nomor satu."Lihatlah, ada Rini di sana. Aku hubungi Bapak dulu." Panji membiarkan Wira masuk untuk menemui Sekar. Seperti kata Panji, Sekar memang sedang terlelap di brankar rumah sakit. Tepatnya di IGD bersama Rini yang menemaninya. Langkahnya terhenti tepat di samping kanan Sekar, menatap wajah cantik wanita yang beberapa waktu ini menguras pikirannya karena rasa khawatir. Tangis Sekar waktu itu masih dia ingat sampai sekarang, tangis yang begitu menyakitkan, walau begitu sampai sekarang dia belum tau sebenarnya apa yang dia sembunyikan dibalik senyum manisnya."Istirahatlah, biar aku yang menjaganya di sini," pinta Wira lirih.
"Apa Zaki putra dari partai lambang Hitam itu?" Sekar mengangguk pelan menjawab pertanyaan Wira yang baru mematikan sambungan telepon."Dia masih berani menghubungimu. Apa dia menginginkan sesuatu?""Mas tau tentang masalah itu?" tanya Sekar ragu. Jujur dia ragu menanyakannya, karena ayahnya tidak ingin orang lain tau masalah itu."Jika ada masalah katakan, jangan dipendam sendiri. Bukankah Panji melindungimu, dan paham bagaimana dirimu. Kamu tidak bisa memendamnya sendiri saat itu menyiksamu." Sekar diam. Bagaimana dia bisa mengatakannya, itu hanya akan membuat dirinya ingat bagaimana sikap Zaki padanya. Apalagi beberapa waktu ini Zaki terus coba menghubungi Sekar, dia menginginkan sesuatu dari Sekar, namun tidak mau peduli karena dia pikir apa yang Zaki mau hanya hal gila."Kamu bisa menceritakan padaku jika tidak ingin Panji tau masalahmu. Aku akan membantumu, dan tidak akan bilang pada ayahmu."Sikap Wira sungguh berbeda. Dia banyak bicara kali ini, tidak seperti biasanya hanya di
"Dengarkan aku. Lakukan apa yang sudah menjadi janjimu. Kau tidak bisa bersikap seperti ini, dan mengkambing hitamkan Sekar pada orang tuamu. Ingat, apa yang sudah tertata rapi jangan lagi kau rombak. Jika kau memaksa, orang tuamu sendiri yang akan menghabisimu." Panji berjongkok di hadapan Zaki yang berlutut pada Sekar yang hanya diam.Merasa malu di lihat beberapa mahasiswa, Sekar memilih pergi bersama Rini. Dia tidak mau mendengarkan ucapan Zaki yang coba mendekatinya lagi."Lihat saja, saat kau tidak bisa bersikap baik padaku. Aku akan melakukan apapun agar kau bisa bersamaku. Tak peduli aku dengan perjanjian itu, yang harus kau tau, aku mencintaimu, Sekar! Aku mencintaimu!"Teriakan Zaki tidak menghentikan langkah kakinya. Mata Sekar sudah berkaca-kaca karena takut, entah kapan dia bisa terbebas dari Zaki yang terobsesi padanya. "Mbak baik-baik saja?" tanya Rini."Tentu, Mbak. Aku tidak ingin peduli dengan pria seperti dia." Tanpa dipungkiri
Sekar terbangun setelah beberapa jam tidur, itu juga karena dia tidak bisa nyenyak tidur. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Mbok Nanik saat melihat akan pergi."Apa Mas Panji hari ini datang, Mbok?""Aku tadi melihatnya, tapi dia bilang mau keluar sebentar, setelah melihat Mbak Sekar tidur. Apa mau keluar?" tanyanya lagi."Iya, mau beli sesuatu di depan sebentar.""Jangan pergi sendiri, tunggu Mas Panji saja. Dia bilang hanya sebentar kok." Mbok Nanik menghentikan langkah Sekar agar tidak pergi sendiri."Aku juga hanya sebentar, di dekat sini saja. Tidak akan lama. Nanti aku akan minta jemput Mas Panji, jadi tenang saja." Sekar bersikeras untuk pergi sendiri, tidak ingin menunggi Panji seperti permintaaan Mbok Nanik.Mempercayai ucapan Sekar, Mbok Nanik membiarkan pergi. Karena weekend, hanya beberapa yang berjaga di kediaman Presiden. Dia berjalan ke gerbang yang sedikit jauh dari rumah, tapi dia menikmatinya. Walau mendung, dia tetap ingin pergi. Rasa bosan menguasai dirinya, dia pergi seo
"Apa masih dingin? Ada selimut kecil di laci itu, ambil dan pakai." Mereka meninggalkan Mall dengan Sekar yang banyak diam. Tidak ingin bertanya siapa wanita itu atau apapun."Tidak. Aku baik-baik saja.""Oh ya, apa seseorang yanvg mengajakmu tidak mengantarkanmu pulang. Atau kamu memang pergi sendiri?" tanya Wira dengan mata yang fokus jalanan yang padat merayap."Apa Mas Panji tidak mengatakan apapun?" Tatapanya datar, seakan tak ingin menjawab pertanyaan Wira."Hanya bilang menjemputmu saja, dan kebetulan aku di sini, jadi ya ..." ucapannya menggantung. Wira sendiri tidak menjelaskan siapa wanita tadi.Suasana mobil kembali sunyi. Sekar hanya fokus menatap jalanan kota, hujan masih turun walau tidak begitu lebat. Saat mobil berhenti karena lampu merah, Sekar dibuat terkejut ketika Wira tiba-tiba mengambilkan selimut yang dia katakan tadi. Otomatis tubuhnya condong ke arah Sekar. Sejenak dia menahan nafas sampai Wira memberikan selimut
"Apa masih dingin? Ada selimut kecil di laci itu, ambil dan pakai." Mereka meninggalkan Mall dengan Sekar yang banyak diam. Tidak ingin bertanya siapa wanita itu atau apapun."Tidak. Aku baik-baik saja.""Oh ya, apa seseorang yanvg mengajakmu tidak mengantarkanmu pulang. Atau kamu memang pergi sendiri?" tanya Wira dengan mata yang fokus jalanan yang padat merayap."Apa Mas Panji tidak mengatakan apapun?" Tatapanya datar, seakan tak ingin menjawab pertanyaan Wira."Hanya bilang menjemputmu saja, dan kebetulan aku di sini, jadi ya ..." ucapannya menggantung. Wira sendiri tidak menjelaskan siapa wanita tadi.Suasana mobil kembali sunyi. Sekar hanya fokus menatap jalanan kota, hujan masih turun walau tidak begitu lebat. Saat mobil berhenti karena lampu merah, Sekar dibuat terkejut ketika Wira tiba-tiba mengambilkan selimut yang dia katakan tadi. Otomatis tubuhnya condong ke arah Sekar. Sejenak dia menahan nafas sampai Wira memberikan selimut
Sekar terbangun setelah beberapa jam tidur, itu juga karena dia tidak bisa nyenyak tidur. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Mbok Nanik saat melihat akan pergi."Apa Mas Panji hari ini datang, Mbok?""Aku tadi melihatnya, tapi dia bilang mau keluar sebentar, setelah melihat Mbak Sekar tidur. Apa mau keluar?" tanyanya lagi."Iya, mau beli sesuatu di depan sebentar.""Jangan pergi sendiri, tunggu Mas Panji saja. Dia bilang hanya sebentar kok." Mbok Nanik menghentikan langkah Sekar agar tidak pergi sendiri."Aku juga hanya sebentar, di dekat sini saja. Tidak akan lama. Nanti aku akan minta jemput Mas Panji, jadi tenang saja." Sekar bersikeras untuk pergi sendiri, tidak ingin menunggi Panji seperti permintaaan Mbok Nanik.Mempercayai ucapan Sekar, Mbok Nanik membiarkan pergi. Karena weekend, hanya beberapa yang berjaga di kediaman Presiden. Dia berjalan ke gerbang yang sedikit jauh dari rumah, tapi dia menikmatinya. Walau mendung, dia tetap ingin pergi. Rasa bosan menguasai dirinya, dia pergi seo
"Dengarkan aku. Lakukan apa yang sudah menjadi janjimu. Kau tidak bisa bersikap seperti ini, dan mengkambing hitamkan Sekar pada orang tuamu. Ingat, apa yang sudah tertata rapi jangan lagi kau rombak. Jika kau memaksa, orang tuamu sendiri yang akan menghabisimu." Panji berjongkok di hadapan Zaki yang berlutut pada Sekar yang hanya diam.Merasa malu di lihat beberapa mahasiswa, Sekar memilih pergi bersama Rini. Dia tidak mau mendengarkan ucapan Zaki yang coba mendekatinya lagi."Lihat saja, saat kau tidak bisa bersikap baik padaku. Aku akan melakukan apapun agar kau bisa bersamaku. Tak peduli aku dengan perjanjian itu, yang harus kau tau, aku mencintaimu, Sekar! Aku mencintaimu!"Teriakan Zaki tidak menghentikan langkah kakinya. Mata Sekar sudah berkaca-kaca karena takut, entah kapan dia bisa terbebas dari Zaki yang terobsesi padanya. "Mbak baik-baik saja?" tanya Rini."Tentu, Mbak. Aku tidak ingin peduli dengan pria seperti dia." Tanpa dipungkiri
"Apa Zaki putra dari partai lambang Hitam itu?" Sekar mengangguk pelan menjawab pertanyaan Wira yang baru mematikan sambungan telepon."Dia masih berani menghubungimu. Apa dia menginginkan sesuatu?""Mas tau tentang masalah itu?" tanya Sekar ragu. Jujur dia ragu menanyakannya, karena ayahnya tidak ingin orang lain tau masalah itu."Jika ada masalah katakan, jangan dipendam sendiri. Bukankah Panji melindungimu, dan paham bagaimana dirimu. Kamu tidak bisa memendamnya sendiri saat itu menyiksamu." Sekar diam. Bagaimana dia bisa mengatakannya, itu hanya akan membuat dirinya ingat bagaimana sikap Zaki padanya. Apalagi beberapa waktu ini Zaki terus coba menghubungi Sekar, dia menginginkan sesuatu dari Sekar, namun tidak mau peduli karena dia pikir apa yang Zaki mau hanya hal gila."Kamu bisa menceritakan padaku jika tidak ingin Panji tau masalahmu. Aku akan membantumu, dan tidak akan bilang pada ayahmu."Sikap Wira sungguh berbeda. Dia banyak bicara kali ini, tidak seperti biasanya hanya di
"Oh ... Mayor di sini. Aku baru akan mengabari Bapak kalau kita akan pulang besok. Kasihan Sekar, tidur begitu lelap.""Apa kondisinya baik-baik saja?" Wira sungguh menghampiri mereka ke rumah sakit, meski tidak begitu jauh dari istana, tapi tetap saja keselamatan Sekar yang menjadi nomor satu."Lihatlah, ada Rini di sana. Aku hubungi Bapak dulu." Panji membiarkan Wira masuk untuk menemui Sekar. Seperti kata Panji, Sekar memang sedang terlelap di brankar rumah sakit. Tepatnya di IGD bersama Rini yang menemaninya. Langkahnya terhenti tepat di samping kanan Sekar, menatap wajah cantik wanita yang beberapa waktu ini menguras pikirannya karena rasa khawatir. Tangis Sekar waktu itu masih dia ingat sampai sekarang, tangis yang begitu menyakitkan, walau begitu sampai sekarang dia belum tau sebenarnya apa yang dia sembunyikan dibalik senyum manisnya."Istirahatlah, biar aku yang menjaganya di sini," pinta Wira lirih.
"Terima kasih kalian sudah membantu untuk perkembangan desa di sini. Ide kalian akan kita terapkan, rumah sehat dengan desain yang kalian berikan. Sekali lagi terima kasih," tutur pria paruh baya yang sedang berdiri dihadapan kelompok KKN."Sama-sama, Pak. Terima kasih juga sudah diberikan kesempatan untuk kita belajar di sini. Maaf banyak merepotkan warga di sini." Lastri yang memang ketua kelompok menyampaikan permintaan maaf karena hari ini mereka harus pamit setelah 3 minggu yang seru dan sibuk. Hanya sebentar memang, namun mereka mendapatkan banyak ilmu dari kegiatan ini.Setelah pamit, rencananya hari ini mereka ingin menghabiskan waktu dengan berlibur. Sekar sendiri malas untuk ikut, dia lebih memilih bermain dengan beberapa anak yang ada di desa itu. Dia bahagia bisa bermain layaknya masa kecil terulang lagi."Apa Teteh tidak main ke sini lagi nanti?" tanya seorang anak berusia 16 tahun, dia yang paling besar dari ke 4 anak yang
"Ini gara-gara Mas Panji," gerutu seorang wanita cantik dengan nafas memburu menghisap beberapa kali oksigen portabel di tangannya. Sudah tau nafasnya memburu, dia masih saja menggerutu karena di kejar Anjing milik warga."Kan aku bilang jangan lari, kenapa kalian malah lari. Ya di kejar." Ada senyum mengejek dibalik ucapan Panji."Mana ponselku sekarang? Apa tidak pecah?" Sekar menodongkan tangan meminta pada Panji."Layarnya pecah, nanti biar aku perbaiki dulu. Sebaiknya kamu istirahat, setelah ini Rini membawa makan. Ada-ada saja." Panji menggeleng pelan dengan senyum mengembang.Tadi setelah dari kantor desa, mereka berjalan menuju di mana rumah singgahnya. Di jalan ada seekor Anjing yang tampak garang berada di tengah jalan. Panji yang iseng, membuat mereka di kejar oleh Anjing itu, padahal tidak perlu berlari juga. Dan bodohnya Sekar ikut berlari saat para wanita berlari karena takut. Ketika Wira tadi menghubungi Sekar sedang mengatur nafas, apalagi rasa sesak mengguasainya. In
"Mbak, apa Anda masih di sana?" Sekar tidak menyauti apa yang Wira katakan."Mbak Sekarwangi." Panggil Wira dengan nama lengkap Sekar, baru pertama kali ini keluar dari mulutnya."Mas bahkan tau naman lengkapku, tapi malah terus saja memanggil Mbak. Aku merasa menyedihkan saja ketika mendengar hal itu." Kali ini gantian Wira yang diam. Namun, diam nya Wira sedang mendengarkan seseorang bicara, bukan Sekar, tapi orang yang bersamanya."Baik, saya kerjakan besok pagi. Kalau bisa saya pamit pulang malam ini. Ada sesuatu perlu saya bawa besok," jawab Wira pada seseorang itu, Sekar belum mematikan sambungan teleponnya. Itu sebabnya dia mendengar Wira sedang bicara."Oh sedang telepon. Siapa? Apa pacar Mayor?" tanyanya seseorang yang bicara dengan Wira. Sepertinya itu juru bicara Adi yang sedang bersama Wira.Sekar menunggu jawaban dari balik sambungan telepon, namun bukannya menjawab, Wira mematikan sambungan telepon begitu saja tanpa mengatakan apapun. Sekar menatap kesal layar ponselnya,
Hari ini Sekar berangkat untuk KKN bersama pengawal pribadinya. Ingin dia ikut dengan yang lain menggunakan satu mobil, tapi Panji tidak membiarkannya. Sejak tadi dia kesal karena itu, dia banyak diam."Mbak Sekar apa mau makan dulu, perjalanan masih jauh?" Pertanyaan Rini tidak membuat Sekar membuka mata. Walau tidak tidur, dia memejamkan mata duduk bersandar di bangku belakang setelah mencoret-coret di ipad miliknya."Kita berhenti di rest area saja." Panji menjawab pertanyaan Rini yang dilontarkan pada Sekar, tapi tidak ada jawaban.Rencananya mereka akan pergi ke salah satu desa yang ada di Sukabumi. Kegiatan ini akan memakan waktu selama 3 minggu, dengan tema Sadar Lingkungan dan selama itu juga Sekar tidak akan bisa bertemu dengan Wira. Apalagi sejak kemarin dia tidak bertemu karena Wira menemani ayahnya untuk dinas keluar kota yang harusnya sampai hari ini."Mobil teman-temanmu di sana. Mau menghampiri mereka?" Panji menunjuk ke sisi kiri dari tempat mereka menepikan mobil mema