"Bukankah lusa ayahmu dilantik? Apa kau sudah bersiap untuk pindah ke istana kenegaraan?" tanya salah satu perempuan yang sedang berkumpul, sambil menikmati santapan yang mereka pesan.
Ada 5 perempuan dan salah satunya ada Sekarwangi Anindita, seseorang yang hidupnya akan berubah karena pelantikan ayahnya. "Aku sedang tidak ingin membahas itu. Kita di sini untuk bersenang-senang. Oh ya, ke mana kita setelah ini?" Sekar mengalihkan pembahasan tentang ayahnya, karena itu hanya akan membuatnya kesal. "Aku sudah membeli tiket Bioskop untuk kita berlima dan waktunya kurang 10 menit lagi, bisakah kita masuk sekarang," jawab salah satu dari mereka yang baru bergabung. "Ya sudah, sebaiknya kita cepat masuk," sahutnya. Mereka kemudian berjalan masuk. Mereka selalu beramai-ramai untuk pergi. Apalagi setelah masa kampanye, Sekar bisa keluar dengan para teman-temannya setelah pusing dengan skripsi yang sedang dia kerjakan. Melupakan tugasnya sejenak, Sekar hanya ingi menikmati waktunya sekarang. Sudah banyak aturan yang dia baca menjadi seorang anak Presiden, dan itu sudah cukup untuk membuatnya pusing. "Akh ... kalau jalan hati-hati," gerutu Sekar saat seseorang menabraknya. "Anda tidak apa-apa?" tanya seorang pria lain, pria itu membantu Sekar agar tidak sampai terjatuh. "Kau itu kalau jalan punya mata. Mentang-mentang anak calon presiden saja kau anggap toilet ini milikmu," ketus pria itu sambil menatap tidak terima ke arah Sekar dan pria yang membantunya. "Jaga bicara Anda. Tidak bisakah Anda bicara lebih sopan?" Pria yang membantu Sekar itu coba berjalan satu langkah di depannya dan bicara pada pria yang lebih tua darinya. "Apa urusanmu. Ini mulutku, aku berhak bicara apapun saat aku mau. Dan kau putri Presiden baru, jangan merasa dirimu ini penting. Katakan pada ayahmu itu, didik putrinya dengan baik sebelum menjadi pemimpin." Pria itu sungguh keterlaluan. Dia bicara dengan keras, namun pria itu tidak bisa mendekati Sekar karena pria yang membantunya, sedang berdiri di depannya. "Sebaiknya Anda pergi sebelum penjaga datang." 20 menit film dimulai, Sekar berjalan ke kamar mandi, dia tidak sengaja menyenggol seseorang sampai kopi yang dia pegang mengenai pakaian yang dikenakan. Sekar sudah meminta maaf, tapi pria itu bersikap kasar hingga mendorong tubuhnya hampir terjatuh jika tidak langsung dipegangi oleh Wira Cahyadi, pria yang membantunya. "Anda tidak apa-apa?" tanya Wira dengan suara yang langsung menggetarkan hati Sekar. Mata Sekar langsung menatap ke arah Wira yang menanyakan kondisinya. Dia seakan terhipnotis dengan suara berat pria tampan di hadapannya. "A-aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah membantu," sahut Sekar gugup saat menjawabnya. "Lebih saat Anda pergi, ajak Ajudan bersama Anda, akan berbahaya untuk Anda sendiri saat mereka yang tidak menyukai Anda akan berbuat sesuka hati mereka," jelas Wira. "Bagaimana Anda tau tentang—" "Siapa yang tidak mengenal Putri Presiden, sebaiknya Anda segera masuk dan pulang setelah acara Anda selesai," ucap Wira saat wanita dengan rambut berponi itu menatapnya tak berkedip. Entah kenapa jantungnya berdegub kencang saat menatap pria tampan dengan kulit putih bersih dan suara berat itu dihadapannya. "Jaga diri Anda. Segera hubungi Ajudan saat Anda merasa tidak aman," jelas Wira sebelum dia memilih pergi. "Tu-nggu!!" Namun, panggilannya percuma karena pria itu berjalan pergi. Sekar segera mengikuti, tapi pria itu berjalan lebih cepat. Dia menatap ke sekitar, tapi tidak melihat siapapun di sana. "Padahal aku ingin tau siapa namanya," gerutu Sekar. Dia mengutuk kebodohannya, bagaimana dia bisa melupakan nama pria tadi. Sekar terpesona pada pria yang membantunya, pria itu begitu mempesona, belum lagi wangi tubuhnya membuat nyaman siapapun yang ada di sampingnya."Maaf, Nona. Anda dipanggil Bapak ke ruang kerjanya." Seorang pria dengan tubuh tinggi kekar, dan kulit sawo matang, wajah tampan sedang menghampiri Sekarwangi Anindita, putri tunggal Presiden ke 10 Bapak Adi Bagus Hanenda dan Ibu Sophia Latif. Harinya menjadi berubah setelah sang ayah dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia. Hal yang tidak ingin dilakukan karena dia tidak bisa lagi bebas seperti sebelumnya. Geraknya akan diawasi, dia harus berhati-hati dengan tingkah lakunya di depan umum. Tutur bahasa bahkan kesenangnya akan menjadi sorotan saat dia melakukan kesalahan. "Aku sedang mengerjakan tugas, suruh mereka makan lebih dulu, aku masih kenyang." Dia enggan menemui orang tuanya karena merasa nyaman di kamar seorang diri dengan kegiatan yang sejak tadi dikerjakan. "Bapak ingin mengenalkan Ajudan baru beliau, Bapak harap kamu menemuinya sebentar, itu perintah Bapak." Pria tampan itu tidak menyerah, dia kembali mengatakan apa yang Presiden perintahkan. "Mas, tolonglah.
"Apa yang Mbak Sekar pikirkan sampai tidak fokus. Apa sakit, Mbak?" tanya Mbok Nanik yang coba mengobati luka di lutut Sekar. Setelah mempresentasikan tugas yang dia kerjakan semalam, ditengah perjalanan, motor yang sudah menemani pulang pergi beberapa tahun ini tak sengaja di tabrak, hingga membuat lututnya terluka. Memang tidak parah, karena juga pengemudi itu tak sengaja menyenggol motor Sekar yang memang kurang fokus dengan jalan, otaknya sibuk memikirkan Wira. Dengan jalan tertatih karena lutut sebelah kirinya terluka hingga membuat celana yang dikenakan robek, dia menggerutu karena pengawal pribadinya langsung melaporkan kejadian itu pada Presiden, padahal dia tidak mau orang tuanya khawatir karena dirinya. Sesampainya di rumah dia berbaring dengan santainya, menutup wajahnya menggunakan bantal. Dia menangis dalam diam, terbiasa di tinggal bekerja orang tuanya, dia menjadi pribadi yang kuat, tapi juga ceria. Bukan berarti orang tuanya tidak sayang, karena setelah mendengar ka
"Akh ... menyusahkan sekali," gerutu Sekar saat dia coba menaiki motor kesayangannya yang terlihat baret di bagian knalpot dan body karena jatuh kemarin. Kakinya malah sakit, padahal kemarin dia tidak merasakannya. "Bisa saya bantu?" Suara berat itu membuat Sekar menghentikan kegiatannya dan langsung mencari asal suara. Senyum mengembang ketika dia melihat Wira berada di sampingnya. "Apa Mas Panji ikut Bapak hari ini?" Dia bertanya ragu dengan rasa sesak menguasai dirinya, bukan karena sakitnya melainkan menatap wajah tampan Wira. "Iya, apa Mbak ingin berangkat ke kampus? Biar saya yang antar menggunakan mobil." Tawaran yang bagus, tidak mungkin Sekar menolaknya. Dia mengangguk kepala cepat menjawab tawaran pria di hadapannya. Dengan kaki yang terpincang-pincang, Sekar berjalan ke arah mobil. Kalau bukan karena jam dosen killer, dia tidak mau pergi karena kakinya sedikit bengkak, padahal kemarin dia pikir hanya luka lecet saja. Mungkin karena tertimpa motor yang berat, makanya te
"Apa Mbak memerlukan sesuatu." Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat. Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar. "Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang. "Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jela
"Mau ke mana?"Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain."Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja."Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus."Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu."Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya."Bolehkah berangkat den
"Sepertinya meluangkan waktu dengan melukis akan jauh lebih baik." Sekar diantarkan ke tempat yang dia mau, dia membeli beberapa alat untuk menggambar. Dia duduk di batu besar dekat jurang yang ada dihadapannya dengan alat gambar di tangan, sambil menatap bentangan hijau, dia tidak merasa takut duduk di sana. Suasana yang tenang dan juga udara yang segar membuat Sekar merasa nyaman. Pohon besar yang tak jauh darinya menutupi Sekar dari sinar matahari yang terik. Perlahan tangannya digerakan untuk menggambar sesuatu yang ada di pikirannya. Panji dan pengawal yang lain ada di dekatnya, namun mereka tidak berani mengganggu. Panji memberinya waktu 1 jam untuk Sekar yang ingin melampiaskan kesedihannya dengan menggambar. Dia tidak bisa meluapkan kesedihan yang dirasakan di rumah, itu hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sebuah rumah dengan taman yang indah, tergambar di kertas dari tangan Sekar. Bukan rumah istana, hanya rumah sederhana. Begitu detail gambarnya hingga terlihat
"Biarkan dulu. Sekali saja ya?" Sekar coba berdiri dan berpose di hadapan kamera orang yang minta foto dirinya. "Terima kasih, Mbak, senang bisa bertemu dengan Anda." "Sama-sama." Senyum manisnya begitu ramah, dia tidak mau jika dengan bersikap dingin akan membuat reputasi ayahnya akan memburuk. Padahal dia ingin menikmati waktu tanpa diganggu sekedar meminta foto bersama. Hidupnya harus diatur, dia tidak bisa melakukan hal sesuka hati apalagi sampai melukai perasaaan rakyat. Dia mau saja meski tidak ingin diganggu karena sedang menikmati makan. "Sebaiknya kita cepat pulang," ujar Panji setelah menutup sambungan teleponnya. Seperti ada yang penting harus dilakukan. "Pasti Ayah marah lagi. Ya sudah, kita pulang sekarang." Wajahnya sendu mengingat jika waktu yang dijalani sekarang tidak sama seperti keinginan dia sendiri. Walaupun masih ingin berkumpul bersama mereka, Sekar tetap harus pulang. Sesampainya di rumah tampak sedang ada beberapa orang di sana. Ada juga Wira yang
"Akhirnya aku terbebas dari rasa tidak nyaman ini." Sekar melepaskan gips yang membalut kaki setelah beberapa hari dikenakan, rasanya begitu lega. Meski sedikit nyeri karena biasa terbalut, sekarang sudah tidak mengenakannya lagi karena merasa risih. Dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki lagi, dengan langkah pelan Sekar berjalan masuk rumah dinas setelah dari rumah sakit. Dia hanya pergi di temani Panji dan pengawal wanita yang bersamanya. "Nanti bisa jalan bersama Lastri kalau begitu. Akhirnya terbuka gips yang membuat hidupku kesulitan beberapa hari ini." Dia menggerutu sendiri berjalan menuju pintu masuk dengan beberapa anak tangga menjadi jalannya. Langkahnya terhenti ketika suara mobil menusuk gendang telinganya, dia menatap ke arah di mana mobil dinas sang ayah berhenti di sana. Apalagi ada Wira yang turun sebelum ayahnya. Matanya tak berkedip menatap sosok tampan yang dia temui di Mall waktu itu. "Kamu membuka gips mu, apa tidak sakit? Bukannya harus seminggu l
Seakan tidak terjadi apapun, keesokan harinya Sekar tampak bahagia. Dia sedang bercanda dengan Rini di halaman rumah dinas berdua setelah olahraga pagi. Dari tempatnya berdiri, Wira menatap interaksi mereka berdua. Senyum manis Sekar membuat dirinya hanya fokus pada wanita itu. Dia ingat, semalam Sekar menangis sesegukan tanpa mengatakan apapun. Tidak mungkin tangis Sekara hanya karena ungkapan perasaan yang tidak Wira jawab, pasti ada hal lain yang dia tutupi dibalik senyum indahnya. "Pagi, Mayor," sapa Rini hormat. Sekar yang ada di sampingnya hanya tersenyum menatap pria yang membantunya semalam. "Apa pagi ini akan pergi kegiatan di luar?" tanya Rini. "Bukannya Ayah akan keluar kota dengan Ibu hari ini. Apa sudah akan berangkat, Mas?" Sekar menyelai ucapan Rini yang menyapa Ajudan Adi. "Bapak sedang bersiap di dalam." Matanya tidak lepas menatap wajah Sekar, dia masih ingat tentang semalam. Sekar berjalan melewati Wira yang masih menatapnya. Namun, langkahnya terhenti ketik
"Sepertinya aku menyukaimu." Tanpa merasa bersalah dia tersenyum setelah mengatakannya. Sekar terang-terangan mengatakan isi hatinya, dia tidak lagi takut ataupun ragu setelah tau Wira masih melajang. Namun, sesungguhnya bukan itu yang sedang mengganggu pikirannya. Dia tidak bisa mengatakan dengan jujur pada Wira yang mematung mendengar ucapan wanita yang berdiri di hadapannya. Suasana romantis terasa dan dia berhasil mengatakan itu. "Maafkan saya, Mbak." Wira mundur selangkah dan berbalik sebelum melanjutkan langkah kakinya untuk menemani wanita cantik itu pulang. "Kenapa Mas malah meninggalkanku," gerutu Sekar dengan langkah kaki lebih cepat. Tidak ingin peduli, Wira berjalan lebih dulu. "Aduh!! Sudah tau kaki masih masa pemulihan, tapi aku harus mengejarmu." Dia duduk dan memegangi kakinya. Dia juga memukul pelan kakinya karena kesal. Padahal sikapnya itu membuat Wira canggung. "Jangan dipukul, itu akan terasa semakin sakit." Wira memegang tangan Sekar, berjongkok di hadapan
"Bagaimana Wira, apa kamu sudah menikah?" Presiden Adi melontarkan pertanyaan itu pada pria yang membuat putrinya bahagia. Apalagi jelas terlihat Sekar mengidolakan Ajudan barunya. Kebahagian tergambar ketika tatapan sang puteri begitu tenang melihat pria yang juga Ajudan ayahnya. "Saya belum memikirkan itu, Pak. Karir lebih penting untuk saya saat ini," jawabnya sopan, itu artinya dia menolak secara halus tanpa menyinggung lawan bicaranya. "Kalau begitu masih ada peluang. Yes!!" Sekar menyauti ucapan pria di hadapannya itu. Dia tampak bahagia dengan jawaban Wira yang lantang, ketika Adi yang bertanya. Tanpa malu dia mengatakan itu. "Dia terobsesi padamu, hati-hati padanya." Adi berbisik ke arah Wira, meski begitu putrinya dapat mendengarkan apa yang dikatakan. "Ayah—" panggilan Sekar hanya dibalas senyuman oleh ayahnya. Acara makan di malam itu berjalan dengan khitmat. Tamu yang diundang teman lama Adi yang kebetulan juga menjabat sebagai Walikota di daerahnya. Banyak hal yang
"Tidak boleh ya?" "Sebaiknya Anda istirahat, nanti akan ada tamu yang datang dan Bapak ingin Anda ikut makan malam bersama." Tidak ingin menjawab pertanyaan Sekar, dia mengalihkan pembahasan mereka. "Padahal tinggal jawab saja apa susahnya." Di dalam kamar, Sekar merebahkan tubuhnya dan berteriak, menutup wajahnya dengan bantal karena gagal merayu Wira. Rasa malu itu lebih besar dari sekedar ditampar keras oleh seseorang. Dia tidak mendapatkan respon baik dari pujaan hatinya. Apalagi pertanyaan yang dilontarkan tidak Wira jawab. Meski hanya bercanda karena Sohia pernah bilang Ajudan baru ayahnya masih melajang, dia tetap bertanya pada Wira. Wira sendiri berjalan keluar kamar Sekar sambil tersenyum. Dia memastikan Sekar dalam kondisi baik sebelum benar-benar pergi. "Eh ... Mas Wira, kenapa senyum-senyum sendiri setelah keluar dari kamar Mbak Sekar. Ada apa hayo?" Goda Mbok Nanik saat berpapasan dengan Wira. "Memangnya apa, Mbok? Tidak ada apa-apa. Oh ya, apa untuk nanti ma
"Akhirnya aku terbebas dari rasa tidak nyaman ini." Sekar melepaskan gips yang membalut kaki setelah beberapa hari dikenakan, rasanya begitu lega. Meski sedikit nyeri karena biasa terbalut, sekarang sudah tidak mengenakannya lagi karena merasa risih. Dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki lagi, dengan langkah pelan Sekar berjalan masuk rumah dinas setelah dari rumah sakit. Dia hanya pergi di temani Panji dan pengawal wanita yang bersamanya. "Nanti bisa jalan bersama Lastri kalau begitu. Akhirnya terbuka gips yang membuat hidupku kesulitan beberapa hari ini." Dia menggerutu sendiri berjalan menuju pintu masuk dengan beberapa anak tangga menjadi jalannya. Langkahnya terhenti ketika suara mobil menusuk gendang telinganya, dia menatap ke arah di mana mobil dinas sang ayah berhenti di sana. Apalagi ada Wira yang turun sebelum ayahnya. Matanya tak berkedip menatap sosok tampan yang dia temui di Mall waktu itu. "Kamu membuka gips mu, apa tidak sakit? Bukannya harus seminggu l
"Biarkan dulu. Sekali saja ya?" Sekar coba berdiri dan berpose di hadapan kamera orang yang minta foto dirinya. "Terima kasih, Mbak, senang bisa bertemu dengan Anda." "Sama-sama." Senyum manisnya begitu ramah, dia tidak mau jika dengan bersikap dingin akan membuat reputasi ayahnya akan memburuk. Padahal dia ingin menikmati waktu tanpa diganggu sekedar meminta foto bersama. Hidupnya harus diatur, dia tidak bisa melakukan hal sesuka hati apalagi sampai melukai perasaaan rakyat. Dia mau saja meski tidak ingin diganggu karena sedang menikmati makan. "Sebaiknya kita cepat pulang," ujar Panji setelah menutup sambungan teleponnya. Seperti ada yang penting harus dilakukan. "Pasti Ayah marah lagi. Ya sudah, kita pulang sekarang." Wajahnya sendu mengingat jika waktu yang dijalani sekarang tidak sama seperti keinginan dia sendiri. Walaupun masih ingin berkumpul bersama mereka, Sekar tetap harus pulang. Sesampainya di rumah tampak sedang ada beberapa orang di sana. Ada juga Wira yang
"Sepertinya meluangkan waktu dengan melukis akan jauh lebih baik." Sekar diantarkan ke tempat yang dia mau, dia membeli beberapa alat untuk menggambar. Dia duduk di batu besar dekat jurang yang ada dihadapannya dengan alat gambar di tangan, sambil menatap bentangan hijau, dia tidak merasa takut duduk di sana. Suasana yang tenang dan juga udara yang segar membuat Sekar merasa nyaman. Pohon besar yang tak jauh darinya menutupi Sekar dari sinar matahari yang terik. Perlahan tangannya digerakan untuk menggambar sesuatu yang ada di pikirannya. Panji dan pengawal yang lain ada di dekatnya, namun mereka tidak berani mengganggu. Panji memberinya waktu 1 jam untuk Sekar yang ingin melampiaskan kesedihannya dengan menggambar. Dia tidak bisa meluapkan kesedihan yang dirasakan di rumah, itu hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sebuah rumah dengan taman yang indah, tergambar di kertas dari tangan Sekar. Bukan rumah istana, hanya rumah sederhana. Begitu detail gambarnya hingga terlihat
"Mau ke mana?"Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain."Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja."Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus."Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu."Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya."Bolehkah berangkat den
"Apa Mbak memerlukan sesuatu." Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat. Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar. "Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang. "Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jela