-Flashback- "Lepaskan! Apa yang kau inginkan dariku." Sekar mendorong tubuh seorang pria yang coba mencumbunya. Dia bahkan menendang pria itu sampai terjungkal. "Kau itu hanya harus menikmatinya. Kau kan yang mau ini. Kalah taruhan yang kau buat sendiri, jadi lakukan apa yang kau katakan tadi," ucapnya. Dia berusaha untuk mendekati Sekar lagi. "Bukan seperti ini maksudku. Kau hanya menjebakku saja!" Sekar sampai merangkak agar bisa pergi, namun pria yang tak lain Zaki itu menarik kakinya hingga tubuh Sekar kearahnya lagi. Zaki menindih tubuh Sekar dan menatapnya dengan mata penuh nafs*. Beberapa waktu lalu dia sedang bersama beberapa sahabatnya menghadiri sebuah pesta. Dalam pesta itu ada permainan yang menyebutkan untuk mengutarkan perasaannya pada seseorang yang mereka anggap spesial. Waktu itu yang dekat dengan Sekar adalah Zaki, masih di awal-awal semestar waktu mereka dekat. Dan Zaki pikir Sekar sungguh perempuan yang mau melakukan apa yang dia mau. Dia salah, karena Zaki ti
Dengan plester penurun panas di kening, Sekar menikmati makan malam atas paksaan Mbok Nanik. Sejak dari kampus, dia hanya tidur. Obatnya saja tidak diminum, Sekar bangun karena Mbok Nanik terus berisik mengganggunya. "Setelah makan Mbak bisa tidur lagi. Jadi, lekas habiskan, Mbok tidak akan pergi sampai Mbak Sekar menghabiskan bubur itu," jelas wanita paruh baya itu, yang sudah mengganggap seperti putrinya sendiri. "Mbok, tidak bisakah makan sesuatu yang pedas gitu. Seperti mie pedas," pintanya. "Tidak. Terakhir kali makan mie, salah masak mie gandum, berakhir di rumah sakit. Bukankah lusa akan berangkat KKN, jadi jaga kesehatan Mbak Sekar." Dari tempatnya Sekar menirukan ucapan Mbok Nanik tanpa bersuara, seakan tau kata-kata apa yang akan keluar dari mulut orang tua asuhnya itu. "Hehe ... tidak, Mbok. Aduh ... kepalaku sedikit sakit, aku selesai makannya." Sekar mengeser mangkuk bubur itu karena tidak nafsu makan, padahal baru juga beberapa suap, Sekar sudah merasa kenyang. Seka
Hari ini Sekar berangkat untuk KKN bersama pengawal pribadinya. Ingin dia ikut dengan yang lain menggunakan satu mobil, tapi Panji tidak membiarkannya. Sejak tadi dia kesal karena itu, dia banyak diam."Mbak Sekar apa mau makan dulu, perjalanan masih jauh?" Pertanyaan Rini tidak membuat Sekar membuka mata. Walau tidak tidur, dia memejamkan mata duduk bersandar di bangku belakang setelah mencoret-coret di ipad miliknya."Kita berhenti di rest area saja." Panji menjawab pertanyaan Rini yang dilontarkan pada Sekar, tapi tidak ada jawaban.Rencananya mereka akan pergi ke salah satu desa yang ada di Sukabumi. Kegiatan ini akan memakan waktu selama 3 minggu, dengan tema Sadar Lingkungan dan selama itu juga Sekar tidak akan bisa bertemu dengan Wira. Apalagi sejak kemarin dia tidak bertemu karena Wira menemani ayahnya untuk dinas keluar kota yang harusnya sampai hari ini."Mobil teman-temanmu di sana. Mau menghampiri mereka?" Panji menunjuk ke sisi kiri dari tempat mereka menepikan mobil mema
"Bukankah lusa ayahmu dilantik? Apa kau sudah bersiap untuk pindah ke istana kenegaraan?" tanya salah satu perempuan yang sedang berkumpul, sambil menikmati santapan yang mereka pesan. Ada 5 perempuan dan salah satunya ada Sekarwangi Anindita, seseorang yang hidupnya akan berubah karena pelantikan ayahnya. "Aku sedang tidak ingin membahas itu. Kita di sini untuk bersenang-senang. Oh ya, ke mana kita setelah ini?" Sekar mengalihkan pembahasan tentang ayahnya, karena itu hanya akan membuatnya kesal. "Aku sudah membeli tiket Bioskop untuk kita berlima dan waktunya kurang 10 menit lagi, bisakah kita masuk sekarang," jawab salah satu dari mereka yang baru bergabung. "Ya sudah, sebaiknya kita cepat masuk," sahutnya. Mereka kemudian berjalan masuk. Mereka selalu beramai-ramai untuk pergi. Apalagi setelah masa kampanye, Sekar bisa keluar dengan para teman-temannya setelah pusing dengan skripsi yang sedang dia kerjakan. Melupakan tugasnya sejenak, Sekar hanya ingi menikmati waktunya sekar
"Maaf, Nona. Anda dipanggil Bapak ke ruang kerjanya." Seorang pria dengan tubuh tinggi kekar, dan kulit sawo matang, wajah tampan sedang menghampiri Sekarwangi Anindita, putri tunggal Presiden ke 10 Bapak Adi Bagus Hanenda dan Ibu Sophia Latif. Harinya menjadi berubah setelah sang ayah dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia. Hal yang tidak ingin dilakukan karena dia tidak bisa lagi bebas seperti sebelumnya. Geraknya akan diawasi, dia harus berhati-hati dengan tingkah lakunya di depan umum. Tutur bahasa bahkan kesenangnya akan menjadi sorotan saat dia melakukan kesalahan. "Aku sedang mengerjakan tugas, suruh mereka makan lebih dulu, aku masih kenyang." Dia enggan menemui orang tuanya karena merasa nyaman di kamar seorang diri dengan kegiatan yang sejak tadi dikerjakan. "Bapak ingin mengenalkan Ajudan baru beliau, Bapak harap kamu menemuinya sebentar, itu perintah Bapak." Pria tampan itu tidak menyerah, dia kembali mengatakan apa yang Presiden perintahkan. "Mas, tolonglah.
"Apa yang Mbak Sekar pikirkan sampai tidak fokus. Apa sakit, Mbak?" tanya Mbok Nanik yang coba mengobati luka di lutut Sekar. Setelah mempresentasikan tugas yang dia kerjakan semalam, ditengah perjalanan, motor yang sudah menemani pulang pergi beberapa tahun ini tak sengaja di tabrak, hingga membuat lututnya terluka. Memang tidak parah, karena juga pengemudi itu tak sengaja menyenggol motor Sekar yang memang kurang fokus dengan jalan, otaknya sibuk memikirkan Wira. Dengan jalan tertatih karena lutut sebelah kirinya terluka hingga membuat celana yang dikenakan robek, dia menggerutu karena pengawal pribadinya langsung melaporkan kejadian itu pada Presiden, padahal dia tidak mau orang tuanya khawatir karena dirinya. Sesampainya di rumah dia berbaring dengan santainya, menutup wajahnya menggunakan bantal. Dia menangis dalam diam, terbiasa di tinggal bekerja orang tuanya, dia menjadi pribadi yang kuat, tapi juga ceria. Bukan berarti orang tuanya tidak sayang, karena setelah mendengar ka
"Akh ... menyusahkan sekali," gerutu Sekar saat dia coba menaiki motor kesayangannya yang terlihat baret di bagian knalpot dan body karena jatuh kemarin. Kakinya malah sakit, padahal kemarin dia tidak merasakannya. "Bisa saya bantu?" Suara berat itu membuat Sekar menghentikan kegiatannya dan langsung mencari asal suara. Senyum mengembang ketika dia melihat Wira berada di sampingnya. "Apa Mas Panji ikut Bapak hari ini?" Dia bertanya ragu dengan rasa sesak menguasai dirinya, bukan karena sakitnya melainkan menatap wajah tampan Wira. "Iya, apa Mbak ingin berangkat ke kampus? Biar saya yang antar menggunakan mobil." Tawaran yang bagus, tidak mungkin Sekar menolaknya. Dia mengangguk kepala cepat menjawab tawaran pria di hadapannya. Dengan kaki yang terpincang-pincang, Sekar berjalan ke arah mobil. Kalau bukan karena jam dosen killer, dia tidak mau pergi karena kakinya sedikit bengkak, padahal kemarin dia pikir hanya luka lecet saja. Mungkin karena tertimpa motor yang berat, makanya te
"Apa Mbak memerlukan sesuatu." Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat. Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar. "Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang. "Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jela
Hari ini Sekar berangkat untuk KKN bersama pengawal pribadinya. Ingin dia ikut dengan yang lain menggunakan satu mobil, tapi Panji tidak membiarkannya. Sejak tadi dia kesal karena itu, dia banyak diam."Mbak Sekar apa mau makan dulu, perjalanan masih jauh?" Pertanyaan Rini tidak membuat Sekar membuka mata. Walau tidak tidur, dia memejamkan mata duduk bersandar di bangku belakang setelah mencoret-coret di ipad miliknya."Kita berhenti di rest area saja." Panji menjawab pertanyaan Rini yang dilontarkan pada Sekar, tapi tidak ada jawaban.Rencananya mereka akan pergi ke salah satu desa yang ada di Sukabumi. Kegiatan ini akan memakan waktu selama 3 minggu, dengan tema Sadar Lingkungan dan selama itu juga Sekar tidak akan bisa bertemu dengan Wira. Apalagi sejak kemarin dia tidak bertemu karena Wira menemani ayahnya untuk dinas keluar kota yang harusnya sampai hari ini."Mobil teman-temanmu di sana. Mau menghampiri mereka?" Panji menunjuk ke sisi kiri dari tempat mereka menepikan mobil mema
Dengan plester penurun panas di kening, Sekar menikmati makan malam atas paksaan Mbok Nanik. Sejak dari kampus, dia hanya tidur. Obatnya saja tidak diminum, Sekar bangun karena Mbok Nanik terus berisik mengganggunya. "Setelah makan Mbak bisa tidur lagi. Jadi, lekas habiskan, Mbok tidak akan pergi sampai Mbak Sekar menghabiskan bubur itu," jelas wanita paruh baya itu, yang sudah mengganggap seperti putrinya sendiri. "Mbok, tidak bisakah makan sesuatu yang pedas gitu. Seperti mie pedas," pintanya. "Tidak. Terakhir kali makan mie, salah masak mie gandum, berakhir di rumah sakit. Bukankah lusa akan berangkat KKN, jadi jaga kesehatan Mbak Sekar." Dari tempatnya Sekar menirukan ucapan Mbok Nanik tanpa bersuara, seakan tau kata-kata apa yang akan keluar dari mulut orang tua asuhnya itu. "Hehe ... tidak, Mbok. Aduh ... kepalaku sedikit sakit, aku selesai makannya." Sekar mengeser mangkuk bubur itu karena tidak nafsu makan, padahal baru juga beberapa suap, Sekar sudah merasa kenyang. Seka
-Flashback- "Lepaskan! Apa yang kau inginkan dariku." Sekar mendorong tubuh seorang pria yang coba mencumbunya. Dia bahkan menendang pria itu sampai terjungkal. "Kau itu hanya harus menikmatinya. Kau kan yang mau ini. Kalah taruhan yang kau buat sendiri, jadi lakukan apa yang kau katakan tadi," ucapnya. Dia berusaha untuk mendekati Sekar lagi. "Bukan seperti ini maksudku. Kau hanya menjebakku saja!" Sekar sampai merangkak agar bisa pergi, namun pria yang tak lain Zaki itu menarik kakinya hingga tubuh Sekar kearahnya lagi. Zaki menindih tubuh Sekar dan menatapnya dengan mata penuh nafs*. Beberapa waktu lalu dia sedang bersama beberapa sahabatnya menghadiri sebuah pesta. Dalam pesta itu ada permainan yang menyebutkan untuk mengutarkan perasaannya pada seseorang yang mereka anggap spesial. Waktu itu yang dekat dengan Sekar adalah Zaki, masih di awal-awal semestar waktu mereka dekat. Dan Zaki pikir Sekar sungguh perempuan yang mau melakukan apa yang dia mau. Dia salah, karena Zaki ti
"Mbak Sekar tidak apa-apa?" Rini melingkarkan tangan ke bahu Sekar yang berjalan meninggalkan Zaki. Ada rasa takut dalam dirinya hingga tubuhnya bergetar dengan tatapan kosong. Ini alasan Adi mau putrinya selalu bersama pengawal pribadinya, karena ada satu pria yang pernah melukai Sekar beberapa waktu lalu sebelum pelantikan Adi menjadi Presiden. Waktu itu masih masa kampanye, dan masalah itu ditutupi agar tidak terjadi sesuatu yang mengganggu kampanye Adi waktu itu. Namun, dia lupa jika kejadian itu membuat Sekar mengalami trauma. Obsesi Zaki padanya membuat takut, pria gila itu tidak takut walau jelas Sekar putri Presiden negeri ini. "Dia masih saja mengejar, sebenarnya apa yang dia mau." Terlihat Zaki yang coba bertemu dengan Sekar, namun Lastri coba menariknya agar tidak terus mengganggu. "Ini alasan Bapak ingin kita ikut dirimu menjalani KKN. Dia pasti mengganggu, apalagi dia seperti sedang membutuhkan sesuatu darimu," jelas Panji yang menatap pria tak jelas itu di dal
"Dia memang terobsesi padamu. Lihat tatapannya itu, bikin takut saja."Mata Sekar mengikuti ke mana Lastri menjelaskan tentang Zaki, pria yang pernah dekat dengan Sekar, namun selalu di tolak saat mengutarakan perasaan itu seperti terobsesi padanya. Mereka di jurusan yang sama, namun Sekar tidak tertarik sama sekali, karena suatu hal. "Biarkan saja. Aku ingin pulang kalau begitu." Sekar beranjak ketika melihat Zaki berjalan ke arahnya, tak ingin bertatap muka lebih dekat lagi. Merasa Sekar akan pergi, Zaki berlari sampai berdiri di hadapan wanita yang dia anggap spesial dihatinya. Walau perasaan itu hanya bertepuk sebelah tangan, namun keyakinan akan perasaannya terbalas begitu besar, mungkin karena dia terobsesi pada wanita semanis Sekar. "Sekar, aku ingin bicara denganmu," ucap Zaki. "Aku terburu-buru, maafkan aku." Zaki menghalangi agar tidak pergi karena dia belum bicara. Dia memaksa untuk bicara, walau Sekar dari tadi coba membuang muka. "Bolehkah aku satu kelompok denganmu,
Seakan tidak terjadi apapun, keesokan harinya Sekar tampak bahagia. Dia sedang bercanda dengan Rini di halaman rumah dinas berdua setelah olahraga pagi. Dari tempatnya berdiri, Wira menatap interaksi mereka berdua. Senyum manis Sekar membuat dirinya hanya fokus pada wanita itu. Dia ingat, semalam Sekar menangis sesegukan tanpa mengatakan apapun. Tidak mungkin tangis Sekara hanya karena ungkapan perasaan yang tidak Wira jawab, pasti ada hal lain yang dia tutupi dibalik senyum indahnya. "Pagi, Mayor," sapa Rini hormat. Sekar yang ada di sampingnya hanya tersenyum menatap pria yang membantunya semalam. "Apa pagi ini akan pergi kegiatan di luar?" tanya Rini. "Bukannya Ayah akan keluar kota dengan Ibu hari ini. Apa sudah akan berangkat, Mas?" Sekar menyelai ucapan Rini yang menyapa Ajudan Adi. "Bapak sedang bersiap di dalam." Matanya tidak lepas menatap wajah Sekar, dia masih ingat tentang semalam. Sekar berjalan melewati Wira yang masih menatapnya. Namun, langkahnya terhenti ketik
"Sepertinya aku menyukaimu." Tanpa merasa bersalah dia tersenyum setelah mengatakannya. Sekar terang-terangan mengatakan isi hatinya, dia tidak lagi takut ataupun ragu setelah tau Wira masih melajang. Namun, sesungguhnya bukan itu yang sedang mengganggu pikirannya. Dia tidak bisa mengatakan dengan jujur pada Wira yang mematung mendengar ucapan wanita yang berdiri di hadapannya. Suasana romantis terasa dan dia berhasil mengatakan itu. "Maafkan saya, Mbak." Wira mundur selangkah dan berbalik sebelum melanjutkan langkah kakinya untuk menemani wanita cantik itu pulang. "Kenapa Mas malah meninggalkanku," gerutu Sekar dengan langkah kaki lebih cepat. Tidak ingin peduli, Wira berjalan lebih dulu. "Aduh!! Sudah tau kaki masih masa pemulihan, tapi aku harus mengejarmu." Dia duduk dan memegangi kakinya. Dia juga memukul pelan kakinya karena kesal. Padahal sikapnya itu membuat Wira canggung. "Jangan dipukul, itu akan terasa semakin sakit." Wira memegang tangan Sekar, berjongkok di hadapan
"Bagaimana Wira, apa kamu sudah menikah?" Presiden Adi melontarkan pertanyaan itu pada pria yang membuat putrinya bahagia. Apalagi jelas terlihat Sekar mengidolakan Ajudan barunya. Kebahagian tergambar ketika tatapan sang puteri begitu tenang melihat pria yang juga Ajudan ayahnya. "Saya belum memikirkan itu, Pak. Karir lebih penting untuk saya saat ini," jawabnya sopan, itu artinya dia menolak secara halus tanpa menyinggung lawan bicaranya. "Kalau begitu masih ada peluang. Yes!!" Sekar menyauti ucapan pria di hadapannya itu. Dia tampak bahagia dengan jawaban Wira yang lantang, ketika Adi yang bertanya. Tanpa malu dia mengatakan itu. "Dia terobsesi padamu, hati-hati padanya." Adi berbisik ke arah Wira, meski begitu putrinya dapat mendengarkan apa yang dikatakan. "Ayah—" panggilan Sekar hanya dibalas senyuman oleh ayahnya. Acara makan di malam itu berjalan dengan khitmat. Tamu yang diundang teman lama Adi yang kebetulan juga menjabat sebagai Walikota di daerahnya. Banyak hal yang
"Tidak boleh ya?" "Sebaiknya Anda istirahat, nanti akan ada tamu yang datang dan Bapak ingin Anda ikut makan malam bersama." Tidak ingin menjawab pertanyaan Sekar, dia mengalihkan pembahasan mereka. "Padahal tinggal jawab saja apa susahnya." Di dalam kamar, Sekar merebahkan tubuhnya dan berteriak, menutup wajahnya dengan bantal karena gagal merayu Wira. Rasa malu itu lebih besar dari sekedar ditampar keras oleh seseorang. Dia tidak mendapatkan respon baik dari pujaan hatinya. Apalagi pertanyaan yang dilontarkan tidak Wira jawab. Meski hanya bercanda karena Sohia pernah bilang Ajudan baru ayahnya masih melajang, dia tetap bertanya pada Wira. Wira sendiri berjalan keluar kamar Sekar sambil tersenyum. Dia memastikan Sekar dalam kondisi baik sebelum benar-benar pergi. "Eh ... Mas Wira, kenapa senyum-senyum sendiri setelah keluar dari kamar Mbak Sekar. Ada apa hayo?" Goda Mbok Nanik saat berpapasan dengan Wira. "Memangnya apa, Mbok? Tidak ada apa-apa. Oh ya, apa untuk nanti ma