Share

05

Author: Nyemoetdz Kim
last update Last Updated: 2025-02-15 02:00:49

"Apa Mbak memerlukan sesuatu."

Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat.

Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya.

"Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar.

"Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang.

"Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jelas Panji.

"Kita pulang sekarang, Mbak?" Pertanyaan Wira diiyakan saja oleh Sekar yang sudah sangat ingin berbaring.

Dengan kursi roda, Wira membawa Sekar ke mobil dan pulang. Tidak ada obrolan di antara mereka karena Sekar memilih memejamkan mata. Dari kemudi, Wira sesekali melirik melalui spion kecil di depannya. Dia merasa kasihan saja pada Sekar, yang terlihat kesakitan hanya saja banyak diam.

Karena tertidur, Wira kembali menggendong Sekar masuk ke kamar. Membaringkan pelan dan meninggalkan istirahat. Sebelum pergi menyusul Adi di kantor, dia memastikan dulu jika Sekar memang istirahat dengan nyaman. Dia tidak lupa memberitahu Nanik agar menemaninya.

*

Di sini Sekar sekarang, mendengarkan omelan sayang dari sang ibu yang khawatir dengan kondisi putrinya. Dia memang ceroboh sekali karena tidak mengatakan apa yang dirasakan.

"Sekarang Ibu tidak mau tau, kamu harus diantar oleh pengawal. Ibu kecolongan lagi karena kamu hanya diam, Nak, sebenarnya kenapa kamu tidak mengeluhkan rasa sakitmu."

Sekar hanya diam sambil menikmati makan malamnya. Dia tidak menjawab sama sekali. "Apa kamu mendengarkan ibu bicara sayang?" Pertanyaan Sophia tidak membuat puterinya bergeming karena dia fokus ada pada pria tampan yang sedang bicara dengan ayahnya.

Seperti tersihir dengan ketampananya, Sekar tidak berkedip melihat pemuda itu. Apalagi sejak tadi yang diingat saat Wira membantu dirinya menggendong beberapa kali. Begitu dekat, sampai Sekar merasakan tubuh pria tampan itu walau terhalang dengan pakaian yang dikenakan. Belum lagi, aroma tubuh Wira seperti terus memelukku.

"Sayang, apa kamu tidak mendengarkan Ibu?"

"Ah iya, dia itu memang tampan," celetuk putri semata wayang Sophia, dia tidak fokus pada apa yang ibunya katakan.

"Siapa?" tanya Sophia sambil menatap ke arah di mana putrinya fokus menatap.

"Mas Wira." Sekar memang tidak mendengarkan omelan ibunya karena fokus dengan pemuda tampan yang bersama ayahnya.

"Ibu pikir, kamu sejak kemarin terus memandang Ajudan baru ayahmu itu. Apa kamu menyukainya?"

"Siapa yang tidak suka dengan pria tampan seperti Mas Wira. Aku—"

"Sayang—" Sophia memegang bahu puterinya agar fokus padanya.

"Iya, Bu, aku sudah kenyang." Padahal ibunya saja tidak menanyakan atas apa yang dia jawab. Dia sungguh tidak bisa fokus ketika melihat Wira.

Sophia hanya menggeleng kepala pelan dengan sikap putrinya. "Sebaiknya aku ke kamar." Sekar yang tau Wira akan pergi segera beranjak dan saat berdiri, dia hampir terjadi karena tidak memijak dengan benar.

"Apa sakit?" tanya Sophia khawatir.

Wajahnya berubah pucat saat merasakan kakinya terasa sakit. Dia sungguh ceroboh, tidak bisa berhati-hati dengan langkahnya karena ingin menghampiri Wira yang berjalan pergi.

"Gunakan penyangga kakimu, jangan ceroboh," ucap Adi yang menghampiri putrinya bersama Wira mengikuti.

"Mbak mau ke mana? Biar saya membantu." Tawaran Wira seperti angin segar untuk Sekar yang merasa kesakitan. Dia langsung menganggukkan kepala, tanpa menjawab dengan mulutnya.

Sophia hanya tersenyum melihat ekspresi putrinya yang bahagia karena Wira menawarkan membantu. "Akh ... akh!" Rintih Sekar lirih saat langkahnya kembali terasa sakit. Dia mempererat pegangannya pada Wira, tanpa disengaja.

"Mohon maafkan saya." Setelah mengatakan itu, Wira kembali membawa tubuh ringkih wanita cantik itu dalam gendongannya. Entah sudah berapa kali dia digendong Wira, dan itu menjadi candu untuk Sekar.

"Gunakan penyangga kaki Anda, agar tidak terasa sakit saat berjalan," tutur Wira dengan sopan.

"Tidak bisakah Mas bicara informal saja seperti Mas Panji. Aku merasa canggung saat Mas bicara seperti ini," ucap Sekar dalam gendongan pemuda tampan seperti Wira.

"Maafkan saya," jawabnya.

"Harusnya yang minta maaf juga aku, karena sudah membuat Mas repot." Dengan langkah kaki menaiki tangga, tenaga Wira terlihat kuat. Tidak tampak dia mengeluh keberatan atau bagaimana ketika menggendong Sekar.

"Tidak masalah. Ini juga tugas saya." Wira berhasil masuk ke kamar dan mendudukkan tubuh ringkih itu di ujung tempat tidurnya.

"Anda memerluka sesuatu?" Wira belum terbiasa untuk bicara informal dengan putri Presiden yang dia jaga.

"Aku–" Rasa canggung di hadapan Wira membuatnya tidak bisa banyak bicara. Seperti otaknya langsung bleng seketika.

Wira tanpa diminta membenarkan posisi Sekar agar bisa berbaring di tempat tidurnya dan menyelimuti sebagian tubuh agar tidak kesulitan dengan kakinya yang sakit.

"Te–rima kasih, Mas," tutur Sekar canggung.

Senyuman manis Wira mengembang, dan berhasil membuat Jantung Sekar berdegub kencang. "Ini benar-benar tidak baik saat detak jantungku seperti ini," ucapnya lirih.

"Mbak mengatakan sesuatu?" Sekar menggeleng pelan, dia tidak bisa bernafas dengan baik karena tegang. Benar kata Lastri, dia seperti orang yang alergi saat dekat dengan Wira.

"Panggil Sekar saja, Mas. Jangan Mbak. Aku rasa umur Mas jauh lebih tua dariku," ucapnya mengalihkan pertanyaan Wira.

"Sebaiknya Mbak Sekar istirahat saja. Saya tinggal jika tidak ada yang dibutuhkan lagi," sahut Wira.

Sekar tidak bisa mencegah pemuda tampan itu tetap tinggal di kamarnya, kembali punggung kekar milik Wira menjadi pemandangan indah. Senyumnya mengembang hanya karena menatap punggung Wira, dari sisi belakang saja terlihat tampan, apalagi dari depan.

Senyum Sekar luntur, dia juga mengalihkan pendangannya ketika orang yang sejak tadi dilihat menatapnya untuk menutup pintu. Dia menjadi tegang, ingin mulutnya bilang dirinya jatuh hati pada Wira, akan tetapi dia malah tidak bisa mengatakan itu.

"Kau bodoh, Sekarwangi." Dia merasa kesal dengan dirinya, tidak bisa banyak bicara di hadapan Wira padahal ingin sekali dia menanyakan hal saat mereka bertemu di Mall.

Dia menutupi wajahnya dengan bantal dan berteriak di sana. "Ada apa, Mbak Sekar? Apa sakit, apa harus saya panggilkan Ibu?" Dibalik bantal Sekar terdiam, dia menyingkirkan perlahan bantal itu dan menatap Wira yang ada di ambang pintu melihat dirinya berteriak di balik bantal.

"Ti–dak, Mas. Ak—" Pipinya memerah karena malu, dia menghempaskan bantal itu ke sisi kirinya dan langsung merapikan poni tipis. Jantung nya kembali berdetak lebih cepat, dan itu membuat Sekar merasa aneh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   06

    "Mau ke mana?"Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain."Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja."Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus."Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu."Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya."Bolehkah berangkat den

    Last Updated : 2025-02-15
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   07

    "Sepertinya meluangkan waktu dengan melukis akan jauh lebih baik." Sekar diantarkan ke tempat yang dia mau, dia membeli beberapa alat untuk menggambar. Dia duduk di batu besar dekat jurang yang ada dihadapannya dengan alat gambar di tangan, sambil menatap bentangan hijau, dia tidak merasa takut duduk di sana. Suasana yang tenang dan juga udara yang segar membuat Sekar merasa nyaman. Pohon besar yang tak jauh darinya menutupi Sekar dari sinar matahari yang terik. Perlahan tangannya digerakan untuk menggambar sesuatu yang ada di pikirannya. Panji dan pengawal yang lain ada di dekatnya, namun mereka tidak berani mengganggu. Panji memberinya waktu 1 jam untuk Sekar yang ingin melampiaskan kesedihannya dengan menggambar. Dia tidak bisa meluapkan kesedihan yang dirasakan di rumah, itu hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sebuah rumah dengan taman yang indah, tergambar di kertas dari tangan Sekar. Bukan rumah istana, hanya rumah sederhana. Begitu detail gambarnya hingga terlihat

    Last Updated : 2025-03-14
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   08.

    "Biarkan dulu. Sekali saja ya?" Sekar coba berdiri dan berpose di hadapan kamera orang yang minta foto dirinya. "Terima kasih, Mbak, senang bisa bertemu dengan Anda." "Sama-sama." Senyum manisnya begitu ramah, dia tidak mau jika dengan bersikap dingin akan membuat reputasi ayahnya akan memburuk. Padahal dia ingin menikmati waktu tanpa diganggu sekedar meminta foto bersama. Hidupnya harus diatur, dia tidak bisa melakukan hal sesuka hati apalagi sampai melukai perasaaan rakyat. Dia mau saja meski tidak ingin diganggu karena sedang menikmati makan. "Sebaiknya kita cepat pulang," ujar Panji setelah menutup sambungan teleponnya. Seperti ada yang penting harus dilakukan. "Pasti Ayah marah lagi. Ya sudah, kita pulang sekarang." Wajahnya sendu mengingat jika waktu yang dijalani sekarang tidak sama seperti keinginan dia sendiri. Walaupun masih ingin berkumpul bersama mereka, Sekar tetap harus pulang. Sesampainya di rumah tampak sedang ada beberapa orang di sana. Ada juga Wira yang

    Last Updated : 2025-03-14
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   09.

    "Akhirnya aku terbebas dari rasa tidak nyaman ini." Sekar melepaskan gips yang membalut kaki setelah beberapa hari dikenakan, rasanya begitu lega. Meski sedikit nyeri karena biasa terbalut, sekarang sudah tidak mengenakannya lagi karena merasa risih. Dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki lagi, dengan langkah pelan Sekar berjalan masuk rumah dinas setelah dari rumah sakit. Dia hanya pergi di temani Panji dan pengawal wanita yang bersamanya. "Nanti bisa jalan bersama Lastri kalau begitu. Akhirnya terbuka gips yang membuat hidupku kesulitan beberapa hari ini." Dia menggerutu sendiri berjalan menuju pintu masuk dengan beberapa anak tangga menjadi jalannya. Langkahnya terhenti ketika suara mobil menusuk gendang telinganya, dia menatap ke arah di mana mobil dinas sang ayah berhenti di sana. Apalagi ada Wira yang turun sebelum ayahnya. Matanya tak berkedip menatap sosok tampan yang dia temui di Mall waktu itu. "Kamu membuka gips mu, apa tidak sakit? Bukannya harus seminggu l

    Last Updated : 2025-03-18
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   10.

    "Tidak boleh ya?" "Sebaiknya Anda istirahat, nanti akan ada tamu yang datang dan Bapak ingin Anda ikut makan malam bersama." Tidak ingin menjawab pertanyaan Sekar, dia mengalihkan pembahasan mereka. "Padahal tinggal jawab saja apa susahnya." Di dalam kamar, Sekar merebahkan tubuhnya dan berteriak, menutup wajahnya dengan bantal karena gagal merayu Wira. Rasa malu itu lebih besar dari sekedar ditampar keras oleh seseorang. Dia tidak mendapatkan respon baik dari pujaan hatinya. Apalagi pertanyaan yang dilontarkan tidak Wira jawab. Meski hanya bercanda karena Sohia pernah bilang Ajudan baru ayahnya masih melajang, dia tetap bertanya pada Wira. Wira sendiri berjalan keluar kamar Sekar sambil tersenyum. Dia memastikan Sekar dalam kondisi baik sebelum benar-benar pergi. "Eh ... Mas Wira, kenapa senyum-senyum sendiri setelah keluar dari kamar Mbak Sekar. Ada apa hayo?" Goda Mbok Nanik saat berpapasan dengan Wira. "Memangnya apa, Mbok? Tidak ada apa-apa. Oh ya, apa untuk nanti ma

    Last Updated : 2025-03-18
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   11.

    "Bagaimana Wira, apa kamu sudah menikah?" Presiden Adi melontarkan pertanyaan itu pada pria yang membuat putrinya bahagia. Apalagi jelas terlihat Sekar mengidolakan Ajudan barunya. Kebahagian tergambar ketika tatapan sang puteri begitu tenang melihat pria yang juga Ajudan ayahnya. "Saya belum memikirkan itu, Pak. Karir lebih penting untuk saya saat ini," jawabnya sopan, itu artinya dia menolak secara halus tanpa menyinggung lawan bicaranya. "Kalau begitu masih ada peluang. Yes!!" Sekar menyauti ucapan pria di hadapannya itu. Dia tampak bahagia dengan jawaban Wira yang lantang, ketika Adi yang bertanya. Tanpa malu dia mengatakan itu. "Dia terobsesi padamu, hati-hati padanya." Adi berbisik ke arah Wira, meski begitu putrinya dapat mendengarkan apa yang dikatakan. "Ayah—" panggilan Sekar hanya dibalas senyuman oleh ayahnya. Acara makan di malam itu berjalan dengan khitmat. Tamu yang diundang teman lama Adi yang kebetulan juga menjabat sebagai Walikota di daerahnya. Banyak hal yang

    Last Updated : 2025-03-21
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   12.

    "Sepertinya aku menyukaimu." Tanpa merasa bersalah dia tersenyum setelah mengatakannya. Sekar terang-terangan mengatakan isi hatinya, dia tidak lagi takut ataupun ragu setelah tau Wira masih melajang. Namun, sesungguhnya bukan itu yang sedang mengganggu pikirannya. Dia tidak bisa mengatakan dengan jujur pada Wira yang mematung mendengar ucapan wanita yang berdiri di hadapannya. Suasana romantis terasa dan dia berhasil mengatakan itu. "Maafkan saya, Mbak." Wira mundur selangkah dan berbalik sebelum melanjutkan langkah kakinya untuk menemani wanita cantik itu pulang. "Kenapa Mas malah meninggalkanku," gerutu Sekar dengan langkah kaki lebih cepat. Tidak ingin peduli, Wira berjalan lebih dulu. "Aduh!! Sudah tau kaki masih masa pemulihan, tapi aku harus mengejarmu." Dia duduk dan memegangi kakinya. Dia juga memukul pelan kakinya karena kesal. Padahal sikapnya itu membuat Wira canggung. "Jangan dipukul, itu akan terasa semakin sakit." Wira memegang tangan Sekar, berjongkok di hadapan

    Last Updated : 2025-03-21
  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   13.

    Seakan tidak terjadi apapun, keesokan harinya Sekar tampak bahagia. Dia sedang bercanda dengan Rini di halaman rumah dinas berdua setelah olahraga pagi. Dari tempatnya berdiri, Wira menatap interaksi mereka berdua. Senyum manis Sekar membuat dirinya hanya fokus pada wanita itu. Dia ingat, semalam Sekar menangis sesegukan tanpa mengatakan apapun. Tidak mungkin tangis Sekara hanya karena ungkapan perasaan yang tidak Wira jawab, pasti ada hal lain yang dia tutupi dibalik senyum indahnya. "Pagi, Mayor," sapa Rini hormat. Sekar yang ada di sampingnya hanya tersenyum menatap pria yang membantunya semalam. "Apa pagi ini akan pergi kegiatan di luar?" tanya Rini. "Bukannya Ayah akan keluar kota dengan Ibu hari ini. Apa sudah akan berangkat, Mas?" Sekar menyelai ucapan Rini yang menyapa Ajudan Adi. "Bapak sedang bersiap di dalam." Matanya tidak lepas menatap wajah Sekar, dia masih ingat tentang semalam. Sekar berjalan melewati Wira yang masih menatapnya. Namun, langkahnya terhenti ketik

    Last Updated : 2025-03-22

Latest chapter

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   22.

    "Oh ... Mayor di sini. Aku baru akan mengabari Bapak kalau kita akan pulang besok. Kasihan Sekar, tidur begitu lelap.""Apa kondisinya baik-baik saja?" Wira sungguh menghampiri mereka ke rumah sakit, meski tidak begitu jauh dari istana, tapi tetap saja keselamatan Sekar yang menjadi nomor satu."Lihatlah, ada Rini di sana. Aku hubungi Bapak dulu." Panji membiarkan Wira masuk untuk menemui Sekar. Seperti kata Panji, Sekar memang sedang terlelap di brankar rumah sakit. Tepatnya di IGD bersama Rini yang menemaninya. Langkahnya terhenti tepat di samping kanan Sekar, menatap wajah cantik wanita yang beberapa waktu ini menguras pikirannya karena rasa khawatir. Tangis Sekar waktu itu masih dia ingat sampai sekarang, tangis yang begitu menyakitkan, walau begitu sampai sekarang dia belum tau sebenarnya apa yang dia sembunyikan dibalik senyum manisnya."Istirahatlah, biar aku yang menjaganya di sini," pinta Wira lirih.

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   21.

    "Terima kasih kalian sudah membantu untuk perkembangan desa di sini. Ide kalian akan kita terapkan, rumah sehat dengan desain yang kalian berikan. Sekali lagi terima kasih," tutur pria paruh baya yang sedang berdiri dihadapan kelompok KKN."Sama-sama, Pak. Terima kasih juga sudah diberikan kesempatan untuk kita belajar di sini. Maaf banyak merepotkan warga di sini." Lastri yang memang ketua kelompok menyampaikan permintaan maaf karena hari ini mereka harus pamit setelah 3 minggu yang seru dan sibuk. Hanya sebentar memang, namun mereka mendapatkan banyak ilmu dari kegiatan ini.Setelah pamit, rencananya hari ini mereka ingin menghabiskan waktu dengan berlibur. Sekar sendiri malas untuk ikut, dia lebih memilih bermain dengan beberapa anak yang ada di desa itu. Dia bahagia bisa bermain layaknya masa kecil terulang lagi."Apa Teteh tidak main ke sini lagi nanti?" tanya seorang anak berusia 16 tahun, dia yang paling besar dari ke 4 anak yang

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   20.

    "Ini gara-gara Mas Panji," gerutu seorang wanita cantik dengan nafas memburu menghisap beberapa kali oksigen portabel di tangannya. Sudah tau nafasnya memburu, dia masih saja menggerutu karena di kejar Anjing milik warga."Kan aku bilang jangan lari, kenapa kalian malah lari. Ya di kejar." Ada senyum mengejek dibalik ucapan Panji."Mana ponselku sekarang? Apa tidak pecah?" Sekar menodongkan tangan meminta pada Panji."Layarnya pecah, nanti biar aku perbaiki dulu. Sebaiknya kamu istirahat, setelah ini Rini membawa makan. Ada-ada saja." Panji menggeleng pelan dengan senyum mengembang.Tadi setelah dari kantor desa, mereka berjalan menuju di mana rumah singgahnya. Di jalan ada seekor Anjing yang tampak garang berada di tengah jalan. Panji yang iseng, membuat mereka di kejar oleh Anjing itu, padahal tidak perlu berlari juga. Dan bodohnya Sekar ikut berlari saat para wanita berlari karena takut. Ketika Wira tadi menghubungi Sekar sedang mengatur nafas, apalagi rasa sesak mengguasainya. In

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   19.

    "Mbak, apa Anda masih di sana?" Sekar tidak menyauti apa yang Wira katakan."Mbak Sekarwangi." Panggil Wira dengan nama lengkap Sekar, baru pertama kali ini keluar dari mulutnya."Mas bahkan tau naman lengkapku, tapi malah terus saja memanggil Mbak. Aku merasa menyedihkan saja ketika mendengar hal itu." Kali ini gantian Wira yang diam. Namun, diam nya Wira sedang mendengarkan seseorang bicara, bukan Sekar, tapi orang yang bersamanya."Baik, saya kerjakan besok pagi. Kalau bisa saya pamit pulang malam ini. Ada sesuatu perlu saya bawa besok," jawab Wira pada seseorang itu, Sekar belum mematikan sambungan teleponnya. Itu sebabnya dia mendengar Wira sedang bicara."Oh sedang telepon. Siapa? Apa pacar Mayor?" tanyanya seseorang yang bicara dengan Wira. Sepertinya itu juru bicara Adi yang sedang bersama Wira.Sekar menunggu jawaban dari balik sambungan telepon, namun bukannya menjawab, Wira mematikan sambungan telepon begitu saja tanpa mengatakan apapun. Sekar menatap kesal layar ponselnya,

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   18.

    Hari ini Sekar berangkat untuk KKN bersama pengawal pribadinya. Ingin dia ikut dengan yang lain menggunakan satu mobil, tapi Panji tidak membiarkannya. Sejak tadi dia kesal karena itu, dia banyak diam."Mbak Sekar apa mau makan dulu, perjalanan masih jauh?" Pertanyaan Rini tidak membuat Sekar membuka mata. Walau tidak tidur, dia memejamkan mata duduk bersandar di bangku belakang setelah mencoret-coret di ipad miliknya."Kita berhenti di rest area saja." Panji menjawab pertanyaan Rini yang dilontarkan pada Sekar, tapi tidak ada jawaban.Rencananya mereka akan pergi ke salah satu desa yang ada di Sukabumi. Kegiatan ini akan memakan waktu selama 3 minggu, dengan tema Sadar Lingkungan dan selama itu juga Sekar tidak akan bisa bertemu dengan Wira. Apalagi sejak kemarin dia tidak bertemu karena Wira menemani ayahnya untuk dinas keluar kota yang harusnya sampai hari ini."Mobil teman-temanmu di sana. Mau menghampiri mereka?" Panji menunjuk ke sisi kiri dari tempat mereka menepikan mobil mema

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   17.

    Dengan plester penurun panas di kening, Sekar menikmati makan malam atas paksaan Mbok Nanik. Sejak dari kampus, dia hanya tidur. Obatnya saja tidak diminum, Sekar bangun karena Mbok Nanik terus berisik mengganggunya. "Setelah makan Mbak bisa tidur lagi. Jadi, lekas habiskan, Mbok tidak akan pergi sampai Mbak Sekar menghabiskan bubur itu," jelas wanita paruh baya itu, yang sudah mengganggap seperti putrinya sendiri. "Mbok, tidak bisakah makan sesuatu yang pedas gitu. Seperti mie pedas," pintanya. "Tidak. Terakhir kali makan mie, salah masak mie gandum, berakhir di rumah sakit. Bukankah lusa akan berangkat KKN, jadi jaga kesehatan Mbak Sekar." Dari tempatnya Sekar menirukan ucapan Mbok Nanik tanpa bersuara, seakan tau kata-kata apa yang akan keluar dari mulut orang tua asuhnya itu. "Hehe ... tidak, Mbok. Aduh ... kepalaku sedikit sakit, aku selesai makannya." Sekar mengeser mangkuk bubur itu karena tidak nafsu makan, padahal baru juga beberapa suap, Sekar sudah merasa kenyang. Seka

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   16.

    -Flashback- "Lepaskan! Apa yang kau inginkan dariku." Sekar mendorong tubuh seorang pria yang coba mencumbunya. Dia bahkan menendang pria itu sampai terjungkal. "Kau itu hanya harus menikmatinya. Kau kan yang mau ini. Kalah taruhan yang kau buat sendiri, jadi lakukan apa yang kau katakan tadi," ucapnya. Dia berusaha untuk mendekati Sekar lagi. "Bukan seperti ini maksudku. Kau hanya menjebakku saja!" Sekar sampai merangkak agar bisa pergi, namun pria yang tak lain Zaki itu menarik kakinya hingga tubuh Sekar kearahnya lagi. Zaki menindih tubuh Sekar dan menatapnya dengan mata penuh nafs*. Beberapa waktu lalu dia sedang bersama beberapa sahabatnya menghadiri sebuah pesta. Dalam pesta itu ada permainan yang menyebutkan untuk mengutarkan perasaannya pada seseorang yang mereka anggap spesial. Waktu itu yang dekat dengan Sekar adalah Zaki, masih di awal-awal semestar waktu mereka dekat. Dan Zaki pikir Sekar sungguh perempuan yang mau melakukan apa yang dia mau. Dia salah, karena Zaki ti

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   15.

    "Mbak Sekar tidak apa-apa?" Rini melingkarkan tangan ke bahu Sekar yang berjalan meninggalkan Zaki. Ada rasa takut dalam dirinya hingga tubuhnya bergetar dengan tatapan kosong. Ini alasan Adi mau putrinya selalu bersama pengawal pribadinya, karena ada satu pria yang pernah melukai Sekar beberapa waktu lalu sebelum pelantikan Adi menjadi Presiden. Waktu itu masih masa kampanye, dan masalah itu ditutupi agar tidak terjadi sesuatu yang mengganggu kampanye Adi waktu itu. Namun, dia lupa jika kejadian itu membuat Sekar mengalami trauma. Obsesi Zaki padanya membuat takut, pria gila itu tidak takut walau jelas Sekar putri Presiden negeri ini. "Dia masih saja mengejar, sebenarnya apa yang dia mau." Terlihat Zaki yang coba bertemu dengan Sekar, namun Lastri coba menariknya agar tidak terus mengganggu. "Ini alasan Bapak ingin kita ikut dirimu menjalani KKN. Dia pasti mengganggu, apalagi dia seperti sedang membutuhkan sesuatu darimu," jelas Panji yang menatap pria tak jelas itu di dal

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   14.

    "Dia memang terobsesi padamu. Lihat tatapannya itu, bikin takut saja."Mata Sekar mengikuti ke mana Lastri menjelaskan tentang Zaki, pria yang pernah dekat dengan Sekar, namun selalu di tolak saat mengutarakan perasaan itu seperti terobsesi padanya. Mereka di jurusan yang sama, namun Sekar tidak tertarik sama sekali, karena suatu hal. "Biarkan saja. Aku ingin pulang kalau begitu." Sekar beranjak ketika melihat Zaki berjalan ke arahnya, tak ingin bertatap muka lebih dekat lagi. Merasa Sekar akan pergi, Zaki berlari sampai berdiri di hadapan wanita yang dia anggap spesial dihatinya. Walau perasaan itu hanya bertepuk sebelah tangan, namun keyakinan akan perasaannya terbalas begitu besar, mungkin karena dia terobsesi pada wanita semanis Sekar. "Sekar, aku ingin bicara denganmu," ucap Zaki. "Aku terburu-buru, maafkan aku." Zaki menghalangi agar tidak pergi karena dia belum bicara. Dia memaksa untuk bicara, walau Sekar dari tadi coba membuang muka. "Bolehkah aku satu kelompok denganmu,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status