"Bagaimana Wira, apa kamu sudah menikah?" Presiden Adi melontarkan pertanyaan itu pada pria yang membuat putrinya bahagia. Apalagi jelas terlihat Sekar mengidolakan Ajudan barunya. Kebahagian tergambar ketika tatapan sang puteri begitu tenang melihat pria yang juga Ajudan ayahnya. "Saya belum memikirkan itu, Pak. Karir lebih penting untuk saya saat ini," jawabnya sopan, itu artinya dia menolak secara halus tanpa menyinggung lawan bicaranya. "Kalau begitu masih ada peluang. Yes!!" Sekar menyauti ucapan pria di hadapannya itu. Dia tampak bahagia dengan jawaban Wira yang lantang, ketika Adi yang bertanya. Tanpa malu dia mengatakan itu. "Dia terobsesi padamu, hati-hati padanya." Adi berbisik ke arah Wira, meski begitu putrinya dapat mendengarkan apa yang dikatakan. "Ayah—" panggilan Sekar hanya dibalas senyuman oleh ayahnya. Acara makan di malam itu berjalan dengan khitmat. Tamu yang diundang teman lama Adi yang kebetulan juga menjabat sebagai Walikota di daerahnya. Banyak hal yang
"Sepertinya aku menyukaimu." Tanpa merasa bersalah dia tersenyum setelah mengatakannya. Sekar terang-terangan mengatakan isi hatinya, dia tidak lagi takut ataupun ragu setelah tau Wira masih melajang. Namun, sesungguhnya bukan itu yang sedang mengganggu pikirannya. Dia tidak bisa mengatakan dengan jujur pada Wira yang mematung mendengar ucapan wanita yang berdiri di hadapannya. Suasana romantis terasa dan dia berhasil mengatakan itu. "Maafkan saya, Mbak." Wira mundur selangkah dan berbalik sebelum melanjutkan langkah kakinya untuk menemani wanita cantik itu pulang. "Kenapa Mas malah meninggalkanku," gerutu Sekar dengan langkah kaki lebih cepat. Tidak ingin peduli, Wira berjalan lebih dulu. "Aduh!! Sudah tau kaki masih masa pemulihan, tapi aku harus mengejarmu." Dia duduk dan memegangi kakinya. Dia juga memukul pelan kakinya karena kesal. Padahal sikapnya itu membuat Wira canggung. "Jangan dipukul, itu akan terasa semakin sakit." Wira memegang tangan Sekar, berjongkok di hadapan
Seakan tidak terjadi apapun, keesokan harinya Sekar tampak bahagia. Dia sedang bercanda dengan Rini di halaman rumah dinas berdua setelah olahraga pagi. Dari tempatnya berdiri, Wira menatap interaksi mereka berdua. Senyum manis Sekar membuat dirinya hanya fokus pada wanita itu. Dia ingat, semalam Sekar menangis sesegukan tanpa mengatakan apapun. Tidak mungkin tangis Sekara hanya karena ungkapan perasaan yang tidak Wira jawab, pasti ada hal lain yang dia tutupi dibalik senyum indahnya. "Pagi, Mayor," sapa Rini hormat. Sekar yang ada di sampingnya hanya tersenyum menatap pria yang membantunya semalam. "Apa pagi ini akan pergi kegiatan di luar?" tanya Rini. "Bukannya Ayah akan keluar kota dengan Ibu hari ini. Apa sudah akan berangkat, Mas?" Sekar menyelai ucapan Rini yang menyapa Ajudan Adi. "Bapak sedang bersiap di dalam." Matanya tidak lepas menatap wajah Sekar, dia masih ingat tentang semalam. Sekar berjalan melewati Wira yang masih menatapnya. Namun, langkahnya terhenti ketik
"Dia memang terobsesi padamu. Lihat tatapannya itu, bikin takut saja."Mata Sekar mengikuti ke mana Lastri menjelaskan tentang Zaki, pria yang pernah dekat dengan Sekar, namun selalu di tolak saat mengutarakan perasaan itu seperti terobsesi padanya. Mereka di jurusan yang sama, namun Sekar tidak tertarik sama sekali, karena suatu hal. "Biarkan saja. Aku ingin pulang kalau begitu." Sekar beranjak ketika melihat Zaki berjalan ke arahnya, tak ingin bertatap muka lebih dekat lagi. Merasa Sekar akan pergi, Zaki berlari sampai berdiri di hadapan wanita yang dia anggap spesial dihatinya. Walau perasaan itu hanya bertepuk sebelah tangan, namun keyakinan akan perasaannya terbalas begitu besar, mungkin karena dia terobsesi pada wanita semanis Sekar. "Sekar, aku ingin bicara denganmu," ucap Zaki. "Aku terburu-buru, maafkan aku." Zaki menghalangi agar tidak pergi karena dia belum bicara. Dia memaksa untuk bicara, walau Sekar dari tadi coba membuang muka. "Bolehkah aku satu kelompok denganmu,
"Mbak Sekar tidak apa-apa?" Rini melingkarkan tangan ke bahu Sekar yang berjalan meninggalkan Zaki. Ada rasa takut dalam dirinya hingga tubuhnya bergetar dengan tatapan kosong. Ini alasan Adi mau putrinya selalu bersama pengawal pribadinya, karena ada satu pria yang pernah melukai Sekar beberapa waktu lalu sebelum pelantikan Adi menjadi Presiden. Waktu itu masih masa kampanye, dan masalah itu ditutupi agar tidak terjadi sesuatu yang mengganggu kampanye Adi waktu itu. Namun, dia lupa jika kejadian itu membuat Sekar mengalami trauma. Obsesi Zaki padanya membuat takut, pria gila itu tidak takut walau jelas Sekar putri Presiden negeri ini. "Dia masih saja mengejar, sebenarnya apa yang dia mau." Terlihat Zaki yang coba bertemu dengan Sekar, namun Lastri coba menariknya agar tidak terus mengganggu. "Ini alasan Bapak ingin kita ikut dirimu menjalani KKN. Dia pasti mengganggu, apalagi dia seperti sedang membutuhkan sesuatu darimu," jelas Panji yang menatap pria tak jelas itu di dal
-Flashback- "Lepaskan! Apa yang kau inginkan dariku." Sekar mendorong tubuh seorang pria yang coba mencumbunya. Dia bahkan menendang pria itu sampai terjungkal. "Kau itu hanya harus menikmatinya. Kau kan yang mau ini. Kalah taruhan yang kau buat sendiri, jadi lakukan apa yang kau katakan tadi," ucapnya. Dia berusaha untuk mendekati Sekar lagi. "Bukan seperti ini maksudku. Kau hanya menjebakku saja!" Sekar sampai merangkak agar bisa pergi, namun pria yang tak lain Zaki itu menarik kakinya hingga tubuh Sekar kearahnya lagi. Zaki menindih tubuh Sekar dan menatapnya dengan mata penuh nafs*. Beberapa waktu lalu dia sedang bersama beberapa sahabatnya menghadiri sebuah pesta. Dalam pesta itu ada permainan yang menyebutkan untuk mengutarkan perasaannya pada seseorang yang mereka anggap spesial. Waktu itu yang dekat dengan Sekar adalah Zaki, masih di awal-awal semestar waktu mereka dekat. Dan Zaki pikir Sekar sungguh perempuan yang mau melakukan apa yang dia mau. Dia salah, karena Zaki ti
Dengan plester penurun panas di kening, Sekar menikmati makan malam atas paksaan Mbok Nanik. Sejak dari kampus, dia hanya tidur. Obatnya saja tidak diminum, Sekar bangun karena Mbok Nanik terus berisik mengganggunya. "Setelah makan Mbak bisa tidur lagi. Jadi, lekas habiskan, Mbok tidak akan pergi sampai Mbak Sekar menghabiskan bubur itu," jelas wanita paruh baya itu, yang sudah mengganggap seperti putrinya sendiri. "Mbok, tidak bisakah makan sesuatu yang pedas gitu. Seperti mie pedas," pintanya. "Tidak. Terakhir kali makan mie, salah masak mie gandum, berakhir di rumah sakit. Bukankah lusa akan berangkat KKN, jadi jaga kesehatan Mbak Sekar." Dari tempatnya Sekar menirukan ucapan Mbok Nanik tanpa bersuara, seakan tau kata-kata apa yang akan keluar dari mulut orang tua asuhnya itu. "Hehe ... tidak, Mbok. Aduh ... kepalaku sedikit sakit, aku selesai makannya." Sekar mengeser mangkuk bubur itu karena tidak nafsu makan, padahal baru juga beberapa suap, Sekar sudah merasa kenyang. Seka
Hari ini Sekar berangkat untuk KKN bersama pengawal pribadinya. Ingin dia ikut dengan yang lain menggunakan satu mobil, tapi Panji tidak membiarkannya. Sejak tadi dia kesal karena itu, dia banyak diam."Mbak Sekar apa mau makan dulu, perjalanan masih jauh?" Pertanyaan Rini tidak membuat Sekar membuka mata. Walau tidak tidur, dia memejamkan mata duduk bersandar di bangku belakang setelah mencoret-coret di ipad miliknya."Kita berhenti di rest area saja." Panji menjawab pertanyaan Rini yang dilontarkan pada Sekar, tapi tidak ada jawaban.Rencananya mereka akan pergi ke salah satu desa yang ada di Sukabumi. Kegiatan ini akan memakan waktu selama 3 minggu, dengan tema Sadar Lingkungan dan selama itu juga Sekar tidak akan bisa bertemu dengan Wira. Apalagi sejak kemarin dia tidak bertemu karena Wira menemani ayahnya untuk dinas keluar kota yang harusnya sampai hari ini."Mobil teman-temanmu di sana. Mau menghampiri mereka?" Panji menunjuk ke sisi kiri dari tempat mereka menepikan mobil mema
"Oh ... Mayor di sini. Aku baru akan mengabari Bapak kalau kita akan pulang besok. Kasihan Sekar, tidur begitu lelap.""Apa kondisinya baik-baik saja?" Wira sungguh menghampiri mereka ke rumah sakit, meski tidak begitu jauh dari istana, tapi tetap saja keselamatan Sekar yang menjadi nomor satu."Lihatlah, ada Rini di sana. Aku hubungi Bapak dulu." Panji membiarkan Wira masuk untuk menemui Sekar. Seperti kata Panji, Sekar memang sedang terlelap di brankar rumah sakit. Tepatnya di IGD bersama Rini yang menemaninya. Langkahnya terhenti tepat di samping kanan Sekar, menatap wajah cantik wanita yang beberapa waktu ini menguras pikirannya karena rasa khawatir. Tangis Sekar waktu itu masih dia ingat sampai sekarang, tangis yang begitu menyakitkan, walau begitu sampai sekarang dia belum tau sebenarnya apa yang dia sembunyikan dibalik senyum manisnya."Istirahatlah, biar aku yang menjaganya di sini," pinta Wira lirih.
"Terima kasih kalian sudah membantu untuk perkembangan desa di sini. Ide kalian akan kita terapkan, rumah sehat dengan desain yang kalian berikan. Sekali lagi terima kasih," tutur pria paruh baya yang sedang berdiri dihadapan kelompok KKN."Sama-sama, Pak. Terima kasih juga sudah diberikan kesempatan untuk kita belajar di sini. Maaf banyak merepotkan warga di sini." Lastri yang memang ketua kelompok menyampaikan permintaan maaf karena hari ini mereka harus pamit setelah 3 minggu yang seru dan sibuk. Hanya sebentar memang, namun mereka mendapatkan banyak ilmu dari kegiatan ini.Setelah pamit, rencananya hari ini mereka ingin menghabiskan waktu dengan berlibur. Sekar sendiri malas untuk ikut, dia lebih memilih bermain dengan beberapa anak yang ada di desa itu. Dia bahagia bisa bermain layaknya masa kecil terulang lagi."Apa Teteh tidak main ke sini lagi nanti?" tanya seorang anak berusia 16 tahun, dia yang paling besar dari ke 4 anak yang
"Ini gara-gara Mas Panji," gerutu seorang wanita cantik dengan nafas memburu menghisap beberapa kali oksigen portabel di tangannya. Sudah tau nafasnya memburu, dia masih saja menggerutu karena di kejar Anjing milik warga."Kan aku bilang jangan lari, kenapa kalian malah lari. Ya di kejar." Ada senyum mengejek dibalik ucapan Panji."Mana ponselku sekarang? Apa tidak pecah?" Sekar menodongkan tangan meminta pada Panji."Layarnya pecah, nanti biar aku perbaiki dulu. Sebaiknya kamu istirahat, setelah ini Rini membawa makan. Ada-ada saja." Panji menggeleng pelan dengan senyum mengembang.Tadi setelah dari kantor desa, mereka berjalan menuju di mana rumah singgahnya. Di jalan ada seekor Anjing yang tampak garang berada di tengah jalan. Panji yang iseng, membuat mereka di kejar oleh Anjing itu, padahal tidak perlu berlari juga. Dan bodohnya Sekar ikut berlari saat para wanita berlari karena takut. Ketika Wira tadi menghubungi Sekar sedang mengatur nafas, apalagi rasa sesak mengguasainya. In
"Mbak, apa Anda masih di sana?" Sekar tidak menyauti apa yang Wira katakan."Mbak Sekarwangi." Panggil Wira dengan nama lengkap Sekar, baru pertama kali ini keluar dari mulutnya."Mas bahkan tau naman lengkapku, tapi malah terus saja memanggil Mbak. Aku merasa menyedihkan saja ketika mendengar hal itu." Kali ini gantian Wira yang diam. Namun, diam nya Wira sedang mendengarkan seseorang bicara, bukan Sekar, tapi orang yang bersamanya."Baik, saya kerjakan besok pagi. Kalau bisa saya pamit pulang malam ini. Ada sesuatu perlu saya bawa besok," jawab Wira pada seseorang itu, Sekar belum mematikan sambungan teleponnya. Itu sebabnya dia mendengar Wira sedang bicara."Oh sedang telepon. Siapa? Apa pacar Mayor?" tanyanya seseorang yang bicara dengan Wira. Sepertinya itu juru bicara Adi yang sedang bersama Wira.Sekar menunggu jawaban dari balik sambungan telepon, namun bukannya menjawab, Wira mematikan sambungan telepon begitu saja tanpa mengatakan apapun. Sekar menatap kesal layar ponselnya,
Hari ini Sekar berangkat untuk KKN bersama pengawal pribadinya. Ingin dia ikut dengan yang lain menggunakan satu mobil, tapi Panji tidak membiarkannya. Sejak tadi dia kesal karena itu, dia banyak diam."Mbak Sekar apa mau makan dulu, perjalanan masih jauh?" Pertanyaan Rini tidak membuat Sekar membuka mata. Walau tidak tidur, dia memejamkan mata duduk bersandar di bangku belakang setelah mencoret-coret di ipad miliknya."Kita berhenti di rest area saja." Panji menjawab pertanyaan Rini yang dilontarkan pada Sekar, tapi tidak ada jawaban.Rencananya mereka akan pergi ke salah satu desa yang ada di Sukabumi. Kegiatan ini akan memakan waktu selama 3 minggu, dengan tema Sadar Lingkungan dan selama itu juga Sekar tidak akan bisa bertemu dengan Wira. Apalagi sejak kemarin dia tidak bertemu karena Wira menemani ayahnya untuk dinas keluar kota yang harusnya sampai hari ini."Mobil teman-temanmu di sana. Mau menghampiri mereka?" Panji menunjuk ke sisi kiri dari tempat mereka menepikan mobil mema
Dengan plester penurun panas di kening, Sekar menikmati makan malam atas paksaan Mbok Nanik. Sejak dari kampus, dia hanya tidur. Obatnya saja tidak diminum, Sekar bangun karena Mbok Nanik terus berisik mengganggunya. "Setelah makan Mbak bisa tidur lagi. Jadi, lekas habiskan, Mbok tidak akan pergi sampai Mbak Sekar menghabiskan bubur itu," jelas wanita paruh baya itu, yang sudah mengganggap seperti putrinya sendiri. "Mbok, tidak bisakah makan sesuatu yang pedas gitu. Seperti mie pedas," pintanya. "Tidak. Terakhir kali makan mie, salah masak mie gandum, berakhir di rumah sakit. Bukankah lusa akan berangkat KKN, jadi jaga kesehatan Mbak Sekar." Dari tempatnya Sekar menirukan ucapan Mbok Nanik tanpa bersuara, seakan tau kata-kata apa yang akan keluar dari mulut orang tua asuhnya itu. "Hehe ... tidak, Mbok. Aduh ... kepalaku sedikit sakit, aku selesai makannya." Sekar mengeser mangkuk bubur itu karena tidak nafsu makan, padahal baru juga beberapa suap, Sekar sudah merasa kenyang. Seka
-Flashback- "Lepaskan! Apa yang kau inginkan dariku." Sekar mendorong tubuh seorang pria yang coba mencumbunya. Dia bahkan menendang pria itu sampai terjungkal. "Kau itu hanya harus menikmatinya. Kau kan yang mau ini. Kalah taruhan yang kau buat sendiri, jadi lakukan apa yang kau katakan tadi," ucapnya. Dia berusaha untuk mendekati Sekar lagi. "Bukan seperti ini maksudku. Kau hanya menjebakku saja!" Sekar sampai merangkak agar bisa pergi, namun pria yang tak lain Zaki itu menarik kakinya hingga tubuh Sekar kearahnya lagi. Zaki menindih tubuh Sekar dan menatapnya dengan mata penuh nafs*. Beberapa waktu lalu dia sedang bersama beberapa sahabatnya menghadiri sebuah pesta. Dalam pesta itu ada permainan yang menyebutkan untuk mengutarkan perasaannya pada seseorang yang mereka anggap spesial. Waktu itu yang dekat dengan Sekar adalah Zaki, masih di awal-awal semestar waktu mereka dekat. Dan Zaki pikir Sekar sungguh perempuan yang mau melakukan apa yang dia mau. Dia salah, karena Zaki ti
"Mbak Sekar tidak apa-apa?" Rini melingkarkan tangan ke bahu Sekar yang berjalan meninggalkan Zaki. Ada rasa takut dalam dirinya hingga tubuhnya bergetar dengan tatapan kosong. Ini alasan Adi mau putrinya selalu bersama pengawal pribadinya, karena ada satu pria yang pernah melukai Sekar beberapa waktu lalu sebelum pelantikan Adi menjadi Presiden. Waktu itu masih masa kampanye, dan masalah itu ditutupi agar tidak terjadi sesuatu yang mengganggu kampanye Adi waktu itu. Namun, dia lupa jika kejadian itu membuat Sekar mengalami trauma. Obsesi Zaki padanya membuat takut, pria gila itu tidak takut walau jelas Sekar putri Presiden negeri ini. "Dia masih saja mengejar, sebenarnya apa yang dia mau." Terlihat Zaki yang coba bertemu dengan Sekar, namun Lastri coba menariknya agar tidak terus mengganggu. "Ini alasan Bapak ingin kita ikut dirimu menjalani KKN. Dia pasti mengganggu, apalagi dia seperti sedang membutuhkan sesuatu darimu," jelas Panji yang menatap pria tak jelas itu di dal
"Dia memang terobsesi padamu. Lihat tatapannya itu, bikin takut saja."Mata Sekar mengikuti ke mana Lastri menjelaskan tentang Zaki, pria yang pernah dekat dengan Sekar, namun selalu di tolak saat mengutarakan perasaan itu seperti terobsesi padanya. Mereka di jurusan yang sama, namun Sekar tidak tertarik sama sekali, karena suatu hal. "Biarkan saja. Aku ingin pulang kalau begitu." Sekar beranjak ketika melihat Zaki berjalan ke arahnya, tak ingin bertatap muka lebih dekat lagi. Merasa Sekar akan pergi, Zaki berlari sampai berdiri di hadapan wanita yang dia anggap spesial dihatinya. Walau perasaan itu hanya bertepuk sebelah tangan, namun keyakinan akan perasaannya terbalas begitu besar, mungkin karena dia terobsesi pada wanita semanis Sekar. "Sekar, aku ingin bicara denganmu," ucap Zaki. "Aku terburu-buru, maafkan aku." Zaki menghalangi agar tidak pergi karena dia belum bicara. Dia memaksa untuk bicara, walau Sekar dari tadi coba membuang muka. "Bolehkah aku satu kelompok denganmu,