Terima kasih. Semoga suka. See u soon. Muaach.
Wijaya benar-benar membuat dokter Ibra heran karena itu sangat betah di dalam kamar Amira. Pria itu bahkan tidak keluar sama sekali.“Pak,” sapa Amira.“Aku tidak mau dipanggil Pak ketika kita hanya berdua saja,” tegas Wijaya yang duduk di sofa. Dia melihat pada Amira yang sudah menghadap dirinya.“Lalu aku harus panggil apa?” tanya Amira.“Apa kamu yakin bertanya padaku?” Wijaya beranjak dari sofa dan mendekati Amira.“Mm.” Amira menatap Wijaya.“Panggil aku Sayang,” bisik Wijaya di telinga Amira.“Apa?” Amira cemberut.“Tidak bisa,” tegas Amira.“Kenapa?” Wijaya menatap Amira dengan sorot matanya yang selalu tajam.“Itu tidak mungkin. Aku panggil Anda Pak Wijaya saja. Tidak usah diubah. Aku akan kesulitan,” jelas Amira.“Malam ketika kamu membohongiku. Lidah kamu sangat lancar memanggilku Sayang.” Wijaya sangat ingin marah karena berhasil ditipu oleh Amira.“Aku tidak membohongi Anda. Kalian memang pasangan suami istri. Sudah sepantasnya tidur berdua di hotel,” ucap Amira.“Kamu tida
Wijaya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggangnya dan digulung hingga menjadi pendek di atas lutut. Pria itu berjalan mendekati Amira.“Kenapa tidak berpakain dulu? Bagaimana jika ada yang datang dan melihat kamu?” Amira menatap tajam pada Wijaya.“Pakaianku masih ada di koper.” Wijaya mengambil koper yang diletakkan di samping sofa.“Tidak usah khawatir. Pintu sudah aku kunci. Tidak akan ada yang datang karena tidak ada lagi jadwal kunjungan dokter dan perawat.” Wijaya tersenyum. “Hah! Pria ini benar-benar aneh. Dia berubah dengan cepat. Membingungkan.”Amira memperhatikan Wijaya yang pergi membawa koper ke samping lemari. Pria itu berganti pakaian.“Dia sangat harus,” ucap Amira merebahkan tubuhnya ke sofa.“Apa bisa pulang malam ini? Aku sudah pulih.” Amira menunggu Wijaya selesai ganti pakain.“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Wijaya kembali pada Amira.“Apa bisa pulang malam ini?” Amira balik bertanya.“Kenapa mau pulang mala mini?” Dua orang
Amira menepuk tangan Wijaya yang terus berada di atas perutnya. Pria itu benar-benar tidur dengan nyenyak tanpa bergerak sedikit pun. Dia bahkan mampu tidak mengubah posisinya dari awal hingga pagi hari.“Pak, bangun. Sudah pagi.” Amira mengangkat tangan kekar dari atas perutnya.“Panggil sayang baru aku bangau.” Wijaya kembali memeluk Amira.“Sayang, bangun dan pulang,” tegas Amira kesal. Dia sudah lelah berbagi tempat tidur yang sempit.“Apa kamu mengusirku?” bisik Wijaya di telinga Amira.“Hari sudah pagi. Anda akan terlambat pergi ke kantor,” tegas Amira.“Mm.” Wijaya mencium pipi Amira dan turun dari kasur.“Aku akan langsung pulang. Tidak bisa menemani kamu sarapan. Perawat akan datang untuk menjaga dan merawat kamu.” Wijaya masuk ke kamar mandi untuk mandi. Bibi sudah mempersiapkan baju kerja unutk pria itu sehingga dia bisa bersiap lebih cepat.“Hm.” Amira duduk di tepi kasur. Dia menunggu Wijaya selesai mandi.“Aku akan langsung ke kantor dan tidak pulang ke rumah,” ucap Wijay
Wijaya mengawasi pergerakan Luna melalui cctv dan laporan dari Dody serta penjaga. Pria itu sesekali melihat jam di dinding.“Aku harus menghubungi Amira. Ponsel dia tertinggal di kamarnya dan tidak aku bawa ikut serta. Untunglah.” Wijaya melakukan panggilan.“Halo, Amira.” Wijaya langsung menyapa ketika panggilan di terim.“Ya. Ada apa?” tanya Amira.“Apa harus ada alasan untuku menghubungi kamu?” Wijaya balik bertanya.“Hah!” Amira benar-benar serba salah untuk memulai percakapan di ponsel dengan Wijaya.“Apa kamu sudah makan? Apa dokter sudah datang? Apa obat sudah diminum?” tanya Wijaya. “Sudah. Aku akan pulang sekarang,” jawab Amira.“Apa?” Wijaya yang awal duduk tenang di kursi segera beranjak. Pria itu melihat jam yang baru menunjukkan pukul sepuluh pagi dan dia akan rapat.“Tetaplah di rumah sakit hingga aku selesai rapat,” tegas Wijaya.“Aku mau pulang dan bertemu dengan Keano. Aku sudah sehat,” balas Amira.“Apa?” Wijaya melihat Luna kembali ke ruanganya.“Aku hubungi lagi.”
Wijaya Kusuma berdiri tegak di depan Luna. Dia menatap istrinya dengan tatapan penuh benci dan amarah. Pria itu tidak suka dibentak apalagi diperintah oleh orang yang tidak penting baginya.“Jangan membuatku muak melihat kamu! Aku tidak peduli harus rugi dengan menghancurkan karier kamu dan pernikahan kita,” tegas Wijaya Kusuma.“Hari ini. Menjauhlah dariku karena aku tidak kamu melihat kamu!” Wijaya Kusuma menatap tajam pada Luna yang berdiri tepat di depannya. Wanita itu harus meremas ujung gaunya karena ketakutan dan gugup. Dia tidak pernah melihat suaminya semarah itu.“Maaf,” ucap Luna pelan.“Pergilah! Terserah kamu mau kemana asal tidak muncul di hadapanku!” Wijaya keluar dari ruangan. Dia langsung masuk ke dalam lift yang mengantarkan dirinya pada lobby hotel.“Pak Wijaya sendirian. Di mana ibu Luna?” Para karyawan benar-benar memperhatikan bos tampan dan dingin mereka.“Pak Wijaya benar-benar selalu bersama Amira ketika datang dan pergi di kantor.” Para wanita benar-benar sang
Wijaya menatap Amira. Dia masih belum mendapat jawaban dari istri keduanya. Wanita yang telah membuatnya jatuh cinta. Janda tanpa anak dan menjadi ibu susu putranya.“Apa aku tidak tampan?” tanya Wijaya.“Anda sangat tampan,” jawab Amira menarik tangannya.“Aku mau melihat menu makan malam,” ucap Amira.“Tidak perlu dilihat. Semua sudah disiapkan bibi. Kita akan makan malam berdua.” Wijaya duduk. Dia menarik tubuh Amira sehingga beradai di atas pangkuannya. “Ah!” Amira selalu dibuat terkejut oleh Wijaya.“Malam ini milikku.” Wijaya tersenyum. Dia menatap Amira dari jarak yang sangat dekat. Pria itu memperhatikan bibir merah yang merekah.“Tidak.” Amira menggeleng cepat. Dia ingin turun dari pangkuan Wijaya, tetapi tangan pria itu menguncinya.“Apa yang kamu pikirkan? Aku hanya mau kita tidur biasa saja dan tidak akan melakukan apa pun. Itu saja,” tegas Wijaya.“Baiklah,” ucap Amira pelan.“Bukankah pasangan suami istri pun bisa hanya tidur dan berpelukan saja?” tanya Wijaya menatap Am
Amira selalu bangun lebih awal. Dia mempersiapkan semua keperluan dan kebutuhan dari Wijaya serta Keano. Wanita itu bergerak sangat cepat dan telaten. Membuka semua gorden dan jendela. Merapikan dan membersihkan ruang kamar yang luas.“Kenapa kamu sangat buru-buru?” Wijaya membuka mata dengan malas. Dia tersenyum pada Amira yang sedang menyiapkan baju kerja pria itu.“Siapa yang buru-buru? Sekarang sudah pukul enam. Anda mandilah dulu. Setelah itu aku dan Keano.” Amira berdiri di depan Wijaya.“Aku mau mandi berdua dengan kamu.” Wijaya menarik tangan Amira hingga wanita itu jatuh ke pelukannya.“Ahh!” Amira terkejut. Tangnnya mendarat di dada bidang Wijaya. Wajah mereka begitu dekat hingga hidung yang hanya berjarak beberapa senti meter saja.“Salah satu dari kita harus menjaga Keano,” ucap Amira.“Mandi bertiga.” Wijaya tersenyum.“Tidak.” Amira berusaha turun dari tubuh Wijaya, tetapi dia tidak bisa bergerak sama sekali kareni tangan yang kekar melingkar di pinggangnya.“Kenapa tidak
Mobil Wijaya berhenti di tempat parkir. Pria itu turun bersama dengan Amira. Dia menunggu sang sekretaris agar bisa berjalan berdampingan. Hal yang sangat berbeda ketika dengan Luna.“Coba kalian lihat! Pak Wijaya menunggu Amira.” Para pegawai yang berada di bagian depan langsung melihat pada Wijaya dan Amira. “Benar.” Beberapa pasang mata memperhatikan Amira dan Wijaya yang berjalan bersama masuk ke dalam gedung perusahaan.“Kenapa Pak Wijaya lebih perhatian dengan Amira dari pada Bu Luna?” Mereka melihat Wijaya dan Amira yang tampak dekat. Mereka masuk ke dalam lift khusus.“Kenapa aku merasa semua orang memperhatikan kita?” tanya Amira ketika pintu lift tertutup.“Perasaan kamu saja,” jawab Wijaya terlihat tidak peduli. Pria itu berdiri tegak di samping Amira.“Hm. Aku rasa mereka juga bisik-bisik,” ucap Amira.“Aku akan melarang karyawan berbisik. Jika mereka melanggar akan dipecat,” tegas Wijaya.“Ah. Tidak perlu.” Amira tersenyum.“Jika kamu merasa rishi. Aku bisa membuat aturan
Dena telah mempersiapkan makan malam untuk Andika. Wanita itu masih berharap dinikahi Andika, tetapi belum juga ada kepastian. “Kenapa Pak Andika masih belum menikahiku?” tanya Dena pada diri sendiri. Dia berdiri di depan cermin melihat tubuhnya yang seksi.“Tubuhku jauh lebih seksi dari pada wanita tadi yang kurus krempeng.” Dena tersenyum menganggumi tubuh sendiri.“Tidak mungkin Pak Andika tergoda dengan sekretarisnya. Tubuhku lebih mirip dengan ibu Amira. Montok dan padat berisi.” Dena berputar di depan cermin.“Aku mendapatkan gaji yang cukup tinggi selama di rumah ini. Tidak masalah hanya menjadi teman tidur Pak Andika. Aku tidak rugi juga. Dia tampandan kaya.” Dena benar-benar menikmati hidup sebagai simpanan Andika.“Kenapa Pak Andika belum juga pulang?” Dena melihat ke luar jendela dan belum ada mobil Andika. “Apa Pak Andika membohongiku.” Dena menerima pesan dari nomor ponsel Andika. “Pak Andika.” Dena sangat senang dan segera membuka pesan.“Apa?” Dena terkejut karena pe
Amira duduk santai memperhatikan dua putranya yang sedang belajar banyak hal di taman. Wijaya memanggil pengajar dalam segala bidang untuk melihat minat dan bakat dua anaknya agar bisa diarahkan.“Nyonya, apa Anda butuh sesuatu?” tanya bibi.“Ya. Aku mau jus Alpukat,” jawab Amira.“Apa?” Bibi terkejut karena Amira sudah minum tiga gelas besar jus buah bergantian.“Nyonya, apa perut Anda tidak apa-apa?” Bibi memperhatikan Amira.“Kenapa dengan perutku?” Amira mengusap perutnya yang rata.“Aku tidak sedang sakit atau pun gembung.” Amira tersenyum dan menatap bibi.“Anda minum jus buah dan makan banyak buah.” Bibi melihat piring buah yang telah kosong.“Akhir-akhir ini aku suka sekali buah-buahan dan daging. Ah ya. Menu makan malam harus sea food.” Amira tersenyum lebar.“Aku sudah mencatatnya.” Amira memberikan selembar kertas kepada bibi.“Ini makanan yang mau aku makan,” ucap Amira.“Baik, Nyonya.” Bibi membaca kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi.“Ini masakan restaurant. Tid
Amira masih berada di atas kasur dalam pelukan Wijaya. Wanita itu sangat lelah setelah bercinta cukup panjang dan penuh gairah bersama sang suami. “Pukul berapa sekarang?” tanya Amira membuka mata dan melihat ruang kamar yang masih gelap karena semua gorden tertutup rapat.“Tidak usah tanyakan waktu. Tidurlah. Tidak ada yang melarang atau menganggu kamu,” bisik Wijaya memeluk erat tubuh Amira. “Sayang, anak-anak pasti sudah bangun,” ucap Amira mendongak. “Istriku tercinta. Apa kamu lupa? Devano dan Keano harus mulai mandiri. Mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Perusahaan. Kamu harus mulai belajar melepaskan mereka,” jelas Wijaya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Kita tidak boleh memanjakan mereka lagi. Seseorang yang sukses harus dimulai dengan hidup disiplin dan mandiri. Ingat, kamu sedang program hamil. Kita akan memiliki sepasang bayi kembar.” Wijaya tersenyum. “Sayang, anak-anak masih kecil. Mereka termasuk bayi.” Amira menatap Wijaya. “Susah di waktu
Andika mencoba menghubungi orang tua Cantika, tetapi gagal. Pria itu ingin menanyakan kabar istrinya.“Kenapa nomor mereka tidak aktif? Aku pergi ke rumah pun kosong.” Andika tampak gelisah. Dia berada di kantor dan akan mengadakan rapat rutin akhir tahun. Pria itu butuh istrinya untuk memberikan tanda tangan dan cap jari.“Kemana mereka pergi? Apa keluar negeri?” Pria itu hanya bisa bertanya kepada diri sendiri. Dia benar-benar kehilangan Cantika dan keluarga.“Bagaimana mereka bisa menghilang dan tidak bisa aku temukan? Siapa yang melindungi?” Andika duduk di sofa. Pria itu tampak melamun dan berpikir keras.“Padahal dunia ini terasa tenang,” ucap Andika.“Permisi, Pak. Semua orang sudah menunggu di ruang rapat.” Sekretaris Andika mengetuk pintu yang terbuka.“Aku akan segera datang. Apa semua berkas sudah siap?” tanya Andika beranjak dari sofa. Dia merapikan diri.“Sudah, Pak. Tanda tangan Ibu Cantika pun telah diselesaikan,” jawab sekretaris.“Benarkah?” Andika menatap pada sekrert
Warning 21+Wijaya menggendong Amira ke kamar mereka. Para pelayan segera merapikan dan membersihkan taman dengan cepat. Bibi memiliki tugas menjaga dua bayi yang sudah tidur.“Apa malam ini kita bisa bercinta?” tanya Wijaya.“Tentu saja.” Amira tersenyum. Dia melingkarkan tangan di leher Wijaya dengan tatapan yang menggoda.“Jangan berteriak.” Wijaya melepaskan Amira di kasur. Dia mulai menyerang leher istrinya yang putih. “Hahaha.” Amira tertawa geli. Wanita itu benar-benar menjadi manja dan menikmati setiap sentuhan Wijaya.“Aaahhh!” Jari-jari Amira mengacak rambut Wijaya. Ciuman kuat dan gigitan pria itu membuat sang istri berteriak menahan hasrat yang terus bangkit. Leher dan lengan yang putih telah menjadi merah.“Hhhhhh!” Wijaya benar-benar sangat liar. Dia menjelajahi tubuh istrinya dengan lidahnya yang hangat. Menghisap putting susu yang masih memiliki asi walaupun tidak banyak lagi. Ada sisa-sisa dari dua putranya yang sudah minum susu formula sehingga cairan putih itu mulai
Wijaya melihat jam yang telah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu segera beranjak dari kursi dan mengambil jas. “Kita pulang sekarang,” ucap Wijaya.“Baik, Pak.” Jack mengambil berkas yang tersisa dan memasukan ke dalam tas. Pria itu dengan cepat menyusul Wijaya yang sudah lebih dulu keluar dari ruang kerja.Wijaya meninggalkan kantor yang sudah sepi karena para pegawa telah pulang di pukul empat. Pria itu benar-benar lembur untuk menyelesaikan banyak berkas yang harus di tanda tangan segera.“Kita sampai, Pak. Saya akan membawa berkas ke ruang kerja Anda,” ucap Jack.“Ya.” Wijaya keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pria itu dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Bersiap untuk makan malam berdua dengan sang istri.“Sayang.” Amira tersenyum. “Sayang.” Wijaya tidak menyangka sang istri telah menunggu di kamar mereka.“Aku pikir kamu di kamar anak-anak.” Wijaya segera mencium bibir istrinya. Dia sangat merindukan Amira ka
Wijaya tidak pernah datang ke Perusahaan orang lain, tetapi mereka yang membutuhkan pria itulah yang akan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan.“Pak, ada Pak Radit di ruang tunggu.” Jack melaporkan. Pria itu menggantikan posisi Dody dan Amira karena Wijaya tidak mudah mempercayai orang lain untuk menjadi sekretaris pribadinya. Dia bisa menilai seseorang dengan satu kali tatap. Itu juga yang membuat jatuh cinta kepada istrinya. “Aku akan menemuinya,” ucap Wijaya yang sedang bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dia mengganti cara kejamnya untuk balas dendam. Tidak lagi menyiksa secara langsung karena dirinya telah bahagia bersama sang istri dan anak-anak. “Baik, Pak.” Jack mengikuti Wijaya keluar dari ruang kerja untuk menemui Radit.“Pak Wijaya.” Radit yang sedang duduk segera berdiri ketika melihat Wijaya masuk. “Duduklah,” ucap Wijaya yang juga menghempaskan tubuhnya di sofa.“Terima kasih, Pak.” Radit tersenyum.Wijaya memang masih muda, tetapi harta dan tahta yang dimi
Wijaya merasa rumahnya begitu sepi. Sang istri hampir tidak pernah lagi menghampirinya. Dia merasa ada sesuatu yang hilang. “Ada apa, Bos?” tanya Jack bingung dengan Wijaya yang menghentikan langkah kaki di ruang tengah.“Aku merasa ada yang hilang,” jawab Wijaya menatap pada Jack. “Apa?” Jack mengerutkan dahinya.“Aku merasa istriku tidak pernah lagi menghampiri dan mengganggu diriku di ruang kerja. Dia tidak mendatangiku di jam-jam tertentu.” Wijaya menghela napasnya dengan berat.“Apa cinta dia sudah berkurang?” tanya Wijaya.“Maaf, Bos. Nyonya punya dua putra. Jadi, dia pasti sangat sibuk.” Jack tersenyum.“Hah! Dua anak itu telah merebut istriku.” Wijaya menggelengkan kepalanya.“Bukankah Anda masih mau menambah anak?” Jack menahan senyum. “Aarggh! Ini benar-benar mengacaukan. Aku mau punya anak bersama Amira. Tidak bisa ditunda lagi. Aku rela harus mengalah.” Wijaya berjalan cepat pergi ke kamar anaknya.“Bos. Kita mau ke kantor.” Jack tertawa melihat Wijaya menjadi bingung ka
Cantika telah berada di rumah baru mereka. Wanita itu menangis karena menjadi lumpuh.“Cantika, kenapa kamu bisa begini?” Ranika memeluk putrinya yang hanya bisa meneteskan air matannya. “Pa, kita harus membawa Cantika berobat ke luar negeri.” Ranita menghapus air mata Cantika. Sang ibu pun ikut menangis. Dia tidak sanggup melihat kondisi putrinya.“Kita tidak bisa melakukan apa pun tanpa izin Wijaya. Ini pun kita tahu dari dia,” ucap Raditya.“Benar. Kita harus meminta bantuan Wijaya. Aku rela melakukan apa pun agar Cantika bisa sembuh. Wijaya memiliki banyak dokter hebat. Baik di dalam maupun luar negeri.” Ranika memegang tangan suaminya.“Aku akan mencoba menghubungi Wijaya.” Raditya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia terhubung langsung dengan Jack.“Selamat pagi.” Jack menerima panggilan dengan ramah.“Halo, Pak. Apa saya bisa bicara dengan Pak Wijaya,” ucap Raditya.“Anda bisa langsung mengatakan kepada saya,” tegas Jack.“Apa Pak Wijaya bisa membantu pengobatan Cantika