Terima kasih atas hadiah yang diberikan sebagai dukungan kepada Akak ini. See soon. Semoga suka yang karya ini.
Luna membuka matanya. Wanita itu merasakan seluruh tubuhnya sakit. Kakinya patah karena terjepit kursi mobil. Wajahnya bengkak karena tamparan kuat yang diberikan Wijaya. Sang actor sedang da;am pemulihan.“Bella,” sapa Luna kesulitan membuka mulut karena bibirnya pecah.“Luna.” Bella yang duduk di sofa segera mendekati Luna. Wanita itu sangat senang karena sahabat sekaligus aktrisnya sudah siuman. “Bella.” Luna menangis. Dia segera memeluk erat tubuh Bella.“Luna, apa yang terjadi. Bagaimana kamu bisa mengalami kecelakaan? Bukankah kamu dijemput Wijaya.” Bella mengusap punggung Luna dengan lembut.“Wijaya sangat marah. Dia memukul dan menyiksaku,” ucap Luna terisak. “Kita harus lapor ke polisi.” Bella menatap Luna.“Tidak. Aku tidak bisa.” Luna menghapus air matanya. Wanita itu benar-benar sudah buta cinta. Baginya Wijaya adalah ambisi dan obsesinya. Tidak ada perempuan lain yang boleh memiliki pria itu kecuali dirinya sendiri.“Kenapa kamu sangat bodoh, Luna? Kamu hampir mati,” uca
Perawat berlari keluar dari ruang ICU. Amira kehilangan detak jantung. Layar monitor menampilkan garis lurus dengan nada yang kembali terdengar dari pintu yang terbuka.“Apa yang terjadi?” Wijaya terkejut. “Pasien kembali drop,” jawab perawat.“Apa?” Wijaya berhasil menerobos masuk dengan tidak lupa membawa Keano yang menangis. Bayi tampan itu sudah mulai gelisah sejak Amira dirawat di rumah sakit. Dia rindu akan aroma tubuh ibu susunya.“Amira!” teriak Wijaya.“Pak!” Dokter Ibra mencoba membawa Wijaya keluar karena pria itu menggendong bayinya.Tangis Keano pecah ketika bayi itu melihat Amira yang terlelap. Tangan kecil mencoba menggapai ibunya. Keano hampir jatuh dari gendongan Wijaya.“Apa?” Dokter terdiam melihat Keano yang histeris sehingga membiarkan Wijaya membawa bayi itu mendekat pada Amira.“Mungkin putranya bisa membangun sang ibu,” ucap dokter memperhatikan Keano yang sudah berada di atas dada Amira. Bayi itu berusaha mencari sumber kehidupannya. Dia meraba-raba wajah dan
Wijaya masuk sendirian. Bibi dan Keano menunggu di ruang tunggu. Pria itu melihat Amira sudah tertidur kembali setelah diberikan obat. “Amira.” Wijaya mengusap kepala Amira dengan lembut.“Kamu cepat pulih dan kita pulang. Aku tidak akan menyentuh kamu hingga dua bulan ke depan.” Wijaya mencium dahi Amira. Dia duduk di kursi samping. Dia menggenggam jari-jari istrinya.“Tetaplah di rumah sakit. Aku harus membalas dendam atas kematian putri kita.” Wijaya mencium tangan, pipi dan dahi Amira. Dia membawa pulang bibi dan Keano. Meninggalkan Amira dengan penjagaan dan perawatan terbaik.“Pak, bagaimana denga nasi untuk Keano?” tanya bibi duduk di kuris kedua mobil dengan menggendong Keano.“Pihak rumah sakit akan mengaturnya,” jawab Wijaya.“Baik, Pak.” Bibi mengangguk.Wijaya mengantarkan bibi dan Keano hingga tiba di rumah. Pria itu pergi ke Perusahaan. Dia bisa pergi bekerja karena kondisi Amira yang sudah lebih baik.“Selamat siang, Pak.” Semua karyawan terkejut melihat kedatangan Wij
Bella keluar jalan belakang karena menyembunyikan kabar tentang Luna yang dirawat di rumah sakit. Mereka tidak mau ada fans atau wartawan mengetahui tentang keberadaan sang actor.“Akhirnya gedung baru itu digunakan,” ucap perawat melewati Bella.“Pak Wijaya benar-benar sayang dengan sekretarisnya itu.” Dua perawat sedang asyik berbincang. Mereka tidak tahu ada orang asing yang mendengarkan.“Apa? Wijaya?” Bella segera memutar tubuh dan menyusul perawat.“Tunggu!” Bella menahan tangan seorang perawat yang baru dari ruang ICU. “Ada apa, Bu?” tanya perawat. “Apa kalian sedang membicarakan Pak Wijaya dan sekretarisnya bernama Amira?” Bella menatap dua perawat yang tidak menjawat pertanyaanya.“Ehem.” Bella mengeluarkan semua uang yang ada di dompetnya.“Tolong kerjasamanya,” ucap Bella memberikan lembaran merah kepada dua perawat.“Ini sepuluh juta.” Bella memegang tangan seorang perawat.“Iya, Bu. Amira. Dia baru dipindahkan dari ruang ICU,” ucap perawat yang bertugas di ruang ICU seb
“Aku takut.” Amira ragu untuk menancapkan pisau ke perutnya. Dia memejamkan mata. “Mm.” Amira membuka mata karena tangannya tertahan. Wanita itu melihat darah menetes di lantai, tetapi pisau tidak mengenai perutnya.“Wijaya?” Amira terkejut melihat Wijaya menatap tajam padanya dengan tangan berdarah.“Kenapa? Apa kamu mau meninggalkan aku dan Keano?” Wijaya masih menggenggam pisau di tangannya.“Lepaskan!” Amira memukul tangan Wijaya.“Dokter! Suster!” Amira berteriak. Dia sangat khawatir. Wanita itu bahkan takut melihat darah yang terus mengalir dari tangan Wijaya dan menetes pada lantai.“Aku tidak mau menjadi wanita pembawa sial.” Amira menangis. Dia ketakutan melihat Wijaya yang terluka. “Tenanglah, Amira!” teriak Wijaya memeluk Amira yang terlihat histeris. Tubuh wanita itu bergetar. “Aku tidak mau.” Amira menanis. Dia dan Wijaya duduk di lantai. “Kamu bukan pembawa siap, Amira. Kamu adalah kehidupan baru untuk aku dan Keano. Kami membutuhkan kamu.” Amira menguatkan pelukannya
Helicopter mendarat di atap rumah pribadi Wijaya. Pria itu dengan tenang menggendong Amira turun dari kendaraan terbang itu. “Anda sedang sakit.” Amira sangat mengkhawatirkan tangan Wijaya.“Siapa yang membuat aku sakit?” tanya Wijaya.“Maaf.” Amira menunduk. Wanita itu melingkarkan tangan di leher Wijaya yang kekar.“Aku tidak akan memaafkan kamu. Jika masih berpikir untuk pergi dariku,” tegas Wijaya.“Apak amu masih mau meninggalkanku?” tanya Wijaya.“Tidak.” Amira menggeleng.“Janji?” Wijaya menatap Amira dan wanita itu diam.“Kenapa kamu tidak berani untuk berjanji, Amira?” Wijaya membaringkan Amira di kasur.“Aku….” Amira menatap Wijaya.“Aku akan setia, Amira. Kamu adalah istriku satu-satunya.” Wijaya menyentuh pipi Amira dengan lembut.“Berjanjilah untuk terus berada di sisiku, Amira.” Wijaya menatap lekat dan dekat pada Amira.“Ya.” Amira mengangguk.“Itu baru benar.” Wijaya mencium bibir Amira dengan cukup lama. Pria itu sangat merindukan istrinya.“Bagaimana perasaan kamu sa
Wijaya sangat tidak ingin bertemu dengan Luna, tetapi demi memuaskan diri untuk membalas dendam. Dia rela berjalan ke Gedung sebelah. Di mana istri pertamanya mendapatkan perawatan dan bersembunyi darinya.“Dia di lantai paling atas.” Wijaya masuk ke dalam lift. Dia ada yang mampu mencegah pria itu bertindak sesuai keinginannya.Wijaya tiba di depan pintu kamar Luna yang dijaga dua orang pengawal. Wanita itu cukup takut ada fans yang berhasil masuk dengan menyamar menjadi pasien atau petugas.“Pak Wijaya.” Dua penjaga langsung mengenali Wijaya. Mereka segera membuka pintu masuk ke kamar Luna. “Apa patah kaki masih belum cukup?” tanya Wijaya berdiri di belakang Luna yang duduk di tepi kasur dan menghadap ke jendela.“Jaya!” Luna segera menoleh. Dia sangat terkejut melihat pria tampan yang berdiri tegak dengan tangan di dalam saku celana. “Beraninya kamu mengirim orang datang ke kamar Amira!” Wijaya mencekik leher Luan dengan satu tangan.“Aarrgghh!” Luna kesakitan dan kesulitan bernap
Wijaya keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk putih sebatas paha. Rambutnya masih basah. Dia melihat Amira masih duduk di sofa dan melamun. Pria itu tidak bisa menebak apa yang dipikitkan istrinya tercinta. “Apa yang kamu lamunkan, Amira?” tanya Wijaya berdiri di depan Amira. “Tidak ada.” Amira mendongak dan melihat rambut serta tubuh Wijaya yang masih basah. Pria itu memegang handuk lain untuk mengeringkan rambutnya.“Kemarilah!” Amira menarik tangan Wijaya dan mengambil handuk.“Mandi terlalu malam.” Amira mengeringkan rambut Wijaya dengan lembut. Dia bahkan mengusap leher dan tubuh pria itu. “Apa yang kamu lakukan?” Wijaya memegang tangan Amira.“Membantu mengeringkan rambut dan tubuh kamu agar tidak masuk angin. Setelah ini aku akan membungkus luka kamu,” ucap Amira menatan Wijaya.“Kamu sedang tidak berencana untuk melarikan diri kan?” Wijaya memicingkan matanya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Aku mau lari kemana?” tanya Amira melepaskan tangan Wij
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la