Terima kasih atas dukungan, Komentar dan hadiah yang diberikan. Semoga berkah dan novel ini bisa disukai banyak pembaca hingga populer, Aamiin. See soon. Alhamdulilah bisa update 2x.
Wijaya sangat tidak ingin bertemu dengan Luna, tetapi demi memuaskan diri untuk membalas dendam. Dia rela berjalan ke Gedung sebelah. Di mana istri pertamanya mendapatkan perawatan dan bersembunyi darinya.“Dia di lantai paling atas.” Wijaya masuk ke dalam lift. Dia ada yang mampu mencegah pria itu bertindak sesuai keinginannya.Wijaya tiba di depan pintu kamar Luna yang dijaga dua orang pengawal. Wanita itu cukup takut ada fans yang berhasil masuk dengan menyamar menjadi pasien atau petugas.“Pak Wijaya.” Dua penjaga langsung mengenali Wijaya. Mereka segera membuka pintu masuk ke kamar Luna. “Apa patah kaki masih belum cukup?” tanya Wijaya berdiri di belakang Luna yang duduk di tepi kasur dan menghadap ke jendela.“Jaya!” Luna segera menoleh. Dia sangat terkejut melihat pria tampan yang berdiri tegak dengan tangan di dalam saku celana. “Beraninya kamu mengirim orang datang ke kamar Amira!” Wijaya mencekik leher Luan dengan satu tangan.“Aarrgghh!” Luna kesakitan dan kesulitan bernap
Wijaya keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk putih sebatas paha. Rambutnya masih basah. Dia melihat Amira masih duduk di sofa dan melamun. Pria itu tidak bisa menebak apa yang dipikitkan istrinya tercinta. “Apa yang kamu lamunkan, Amira?” tanya Wijaya berdiri di depan Amira. “Tidak ada.” Amira mendongak dan melihat rambut serta tubuh Wijaya yang masih basah. Pria itu memegang handuk lain untuk mengeringkan rambutnya.“Kemarilah!” Amira menarik tangan Wijaya dan mengambil handuk.“Mandi terlalu malam.” Amira mengeringkan rambut Wijaya dengan lembut. Dia bahkan mengusap leher dan tubuh pria itu. “Apa yang kamu lakukan?” Wijaya memegang tangan Amira.“Membantu mengeringkan rambut dan tubuh kamu agar tidak masuk angin. Setelah ini aku akan membungkus luka kamu,” ucap Amira menatan Wijaya.“Kamu sedang tidak berencana untuk melarikan diri kan?” Wijaya memicingkan matanya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Aku mau lari kemana?” tanya Amira melepaskan tangan Wij
Amira membuka mata dan Wijaya tidak lagi di sisinya. Wanita itu segera duduk. Dia melihat segelas susu dan roti bakar di atas meja. Kamar begitu tenang dan sepi. Tidak seorang pun membangunkannya.“Apa dia sudah pergi bekerja?” Amira melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah Sembilan pagi. Wanita itu segera turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dengan air hangat.“Aku sudah berapa hari tidak kerja. Benar-benar wanita pembawa siap.” Amira mengupat dirinya sendiri. Dia berganti pakaian dan sarapan. Wanita itu minum obat khusus yang diberikan dokter agar tidak tetap bisa memberi asi untuk Keano.“Non mau kemana?” tanya bibi.“Keano di mana, Bu?” Amira balik bertanya.“Di taman dengan Pak Wijaya,” jawab bibi.“Pak Wijaya tidak kerja,” ucap Amira.“Sepertinya diserahkan kepada Pak Dody.” Bibi melihat Amira yang sudah pergi ke taman samping.“Kenapa tidak ke kantor?” tanya Amira melihat Wijaya menggendong Keano.“Kamu sudah bangun. Keano belum asi p
“Brak!” Luna melempar makanan yang disajikan oleh pihak rumah sakit untuknya.“Aku tidak mau makan-makanan murahan!” teriak Luna para perawat.“Itu adalah menu dari Pak Wijaya. Jika Anda tidak makan, makan ada lagi yang lain,” ucap perawat. “Apa?” Luna terkejut.“Kami akan membersihkannnya.” Perawat mengambil nampan dan piring yang berserakan di lantai. Seorang lain membersihkan dengan pel. Mereka keluar begitu saja dari kamar Luna. “Wijaya!” Luna berteriak. Wanita itu tidak bisa melakukan apa pun. Bella tidak memiliki izin masuk dan Dira telah dikurung di dalam gudang. “Siapa yang akan menolongku? Mereka hanya memberi aku makan sama dengan pasien biasa. Merawat luka saja.” Luna menghadap ke dinding. Dia benar-benar tidak punya siapa pun yang bisa membantunya keluar dari hukuman Wijaya Kusuma yang sedang marah.“Permisi, ibu Luna.” Seorang pria masuk ke dalam kamar Luna. “Siapa Anda?” tanya Luna.“Saya pengacara. Jika Anda mau bebas hanya ada satu jalan. Menggungat cerai Wijaya.” P
Amira duduk di sofa. Dia menatap layar ponsel tanpa data. Wijaya hanya memberikan alat komunikas dengan panggilan biasa agar istirnya tidak bisa berselancar di dunia maya dan mendengar berita yang mungkin akan mengganggu pikiran istrinya. “Untuk apa ponsel mahal? Tidak ada data dan pulsa. Hanya panggilan dan pesan saja.” Amira menghela napas dengan berat. Wanita itu benar-benar tidak bisa melakukan apa pun. Dia bahkan tidak bisa memeriksa pekerjaan di akunnya.“Hanya ada dua nomor yaitu bibi dan Wijaya.” Amira memegang ponsel dan memutarnya dengan jari.“Rumah ini kan ada wifi. Apa sandinya? Aku ke kamar mandi dulu.” Amira beranjak dari sofa dan masuk ke kamar mandi. Dia melihat jas dan kemeja Wijaya dengan noda darah yang telah mongering. Pakaian kotor itu belum diambil bibi karena tergeletak di samping tempat sampah.“Kenapa aku tidak memperhatikan pakaian ini tadi pagi?” Amira mencium bau anyir dari kemeja dan jas serta celana panjang milik Wijaya.“Mmm.” Amira mual mencium aroma t
Amira adalah wanita yang polos, tetapi dia tidak bodoh. Tidak dengan mudah percaya bahwa darah pada baju Wijaya adalah milik kucing.“Apa yang dilakukan Wijaya? Darah kucing tidak akan sebanyak itu. Wijaya tidak akan mau menyentuh hewan yang sudah mati apalagi berdarah. Aku sudah cukup mengenal sedikit kepribadiannya yang tidak peduli dengan hal-hal sepele.” Amira memperhatikan Wijaya yang duduk di sofa dan sedang bekerja.“Kenapa terus melihatku?” Wijaya mengangkat kepala dan menatap pada Amira.“Tidak apa. Aku akan tidur duluan.” Amira segera merebahkan tubuhnya ke kasur.“Apa kamu sudah minum obat?” tanya Wijaya.“Sudah,” jawab Amira tanpa melihat lagi pada Amira.“Apa dia membunuh orang? Tidak mungkin.” Amira masih memikirkan dan mengingat tentang darah pada pakaian Wijaya. Wanita itu merasa khawatir dan takut dengan apa yang ada di benaknya.“Mm.” Amira mengintip Wijaya dari balik selimut. Dia benar-benar gelisah. Bayangan darah masih sangat mengganggu dirinya.“Wijaya bahkan tid
Leon yang bertugas mencari dokter dan perawat di masa kematian Devano cukup mengalami kesulitan. Dia hanya mendapatkan informasi tentang dokter Wulan yang telah dipecat dari rumah sakit milik Wijaya dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan lagi di kota.“Aku sangat ingin kembali lagi ke kota.” Dokter Wulan menghela napas dengan berat.“Permisi, Dok. Ada tamu yang mau bertemu dengan Anda.” Seorang perawat mengetuk pintu ruangan dokter Wulan.“Siapa?” tanya dokter Wulan.“Saya tidak tahu. Seorang pria. Dia menunggu di ruang depan,” jawab perawat pergi begitu saja.“Siapa? Kalau pasien kan bisa langsung mendaftar saja.” Dokter Wulan keluar dari ruang kerjanya.“Tidak ada siapa-siapa.” Dokter Wulan melihat sekeliling dan tamu yang disebutkan oleh suster enar-benar tidak ada. “Sus. Suster,” sapa dokter Wulan.“Ada apa, Dok?” Suster menghampiri dokter Wulan.“Di mana tamunya?” tanya dokter Wulan.“Sepertinya sudah pergi, Dok. Mungkin dia buru-buru karena memang sudah menunggu dari tadi,” jawab
Wijaya menatap Amira yang lebih banyak diam. Wanita itu hanya berbicara ketika ditanya saja. Dia juga tidak melakukan apa pun selain mengasuh dan menyusui Keano. “Ada apa, Amira?” Wijaya memperhatikan Amira yang duduk di depan cermin. Wanita itu sedang memberikan perawatan pada wajahnya.“Apa?” tanya Amira.“Kenapa kamu diam?” Wijaya memicingkan matanya.“Apa ada yang bisa dibicarakan? Aku tidak bekerja. Tidak ada yang bisa dibahas,” ucap Amira.“Aku merasa aneh ketika kamu tidak membuatku marah,” gumam Wijaya.“Hah!” Amira menoleh pada Wijaya.“Kamu yang aneh,” gerutu Amira.“Aku pergi ke kantor dulu. Kamu di rumah saja dengan Keano.” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Dia mencium leher dan pipi Amira.“Tidak usah mencium di bagian sensitive,” ucap Amira kesal.“Aku tahu.” Wijaya mengecup bibir Amira dan dahi wanita itu.“Masih juga.” Amira cemberut karena Wijaya menciumnya setiap waktu.“Aku ke kamar Kenao dan langsung berangkat. Jangan lupa minum obat.” Wijaya keluar dari kamar.“
Anto dan anak buahnya bergerak di malam hari. Mereka meninggalkan pulau dengan kapal. Bayi tampan dengan kulit putih bersih berada dalam gendongan Sulas. Putra dari Andika dan Amira tertidur lelap. Lelaki kecil itu mampu bersaing dengan Keano. Lahir dari bobot dan bibit terbaik kedua orang tuanya.Wijaya dan Amira tidur dalam senyuman. Mereka tidak tahu bahwa putra yang dijaga dan dilindingi dari kejauhan akan datang sendiri ke kota dan tidak sulit untuk digapai. Berbeda ketika berada di pulau terpencil. Ada bgitu banyak penjaga dan lokasi yang sulit dijangkau.Jack yang selalu memantau pulau menggantikan pekerjaan Leon mendapatkan laporan dari anak buah mereka. Pria itu tidak bisa memberikan perintah menyerang dan merebut Devano karena Wijaya yang tidak bisa dihubungi. Dia hanya bisa terus mengikuti dan mengawasi pergerakan Anto beserta rombongannya. “Ada apa?” tanya Leon.“Devano dibawa keluar pulau. Apa kita rebut sekarang?” Jack melihat pada Leon.“Bukankah ini memang rencana Pak
Cantika terlihat melamun. Wanita itu benar-benar telah banyak berkorban untuk Andika dan sang suami menjadikan dirinya pemuas nafsu sebagai pengganti Amira. “Apa aku harus membunuh Devano?” tanya Cantika pada dirinya yang duduk di depan cermin meja rias.“Tetapi, jika aku tidak bisa hamil artinya kami tidak akan pernah punya anak sedangkan Devano adalah putra kandung Andikan. Darah daging suamiku.” Cantika benar-benar gelisah.“Aku akan membawa Devano pulang. Mengatakan kepada Andika bahwa itu anak saudara jauh yang ditinggal orang tuanya. Aku akan meminat izin untuk mengadopsinya dengan alasan sebagai pemancing agar bisa hamil dan kasian.” Cantika tersenyum dengan rencananya. Dia mengambil ponsel dan menghubungi penjaga Devano.“Halo, bawa Devano pulang. Aku menginginkan dia. Pulau itu ambil saja untuk kalian,” ucap Cantika.“Baik, Bos.” Pria di seberang panggilan sangat senang. Mereka memiliki pulau pribadi dengan laut yang kaya. “Aku akan membesarkan anak Andika dan Amira. Itu tid
Luna melakukan penerbangan ke Amerika bersama Robert dan Bella. Wanita itu akan memulai karier sebagai aktris dan melanjutkan status modelling. Mereka sudah berada di apartemen milik Perusahaan.“Hah! Akhirnya aku bisa tinggal di tempat yang mewah lagi.” Luna menghempas tubuhnya di kasur.“Apartemen ini benar-benar mewah,” ucap Bella memperhatikan sekeliling. Kamar itu sangat luas dan lengkap. Ada dapur, ruang tamu dan bahkan balkon untuk bersantai. Kolam renang di atas Gedung.“Iya. Amerika memang gila dalam dunia entertaimen. Apalagi perfilm.” Luna beranjak dari kasur dan berjalan ke balkon.“Pemandangan yang indah. Aku suka tempat ini. Mahal.” Luna membentangkan tangan menghidup udara pagi.“Belum kontrak kerja, tetapi kita sudah dapat kemewahan.” Bella mendekati Luna yang berada di balkon.“Wijaya pasti punya saingan di Amerika ini. Aku ingin membuat pria itu menderita dengan kehilangan Amira. Aku akan balas dendam.” Luna mengepalkan tangannya.“Dia mencintai Amira dan membuang dir
Amira berada di halaman belakang. Wanita itu bermain bersama bayi tampan dan cerdasnya. Wanita itu benar-benar telah mengiklaskan Devano dengan adanya Keano.“Non, hari sudah mulai gelap. Sebaiknya Anda dan Keano masuk ke dalam rumah,” ucap bibi.“Bibi bawa Keano ke kamar.” Amira memberikan Keano kepada bibi.“Anda mau kemana?” tanya bibi.“Aku mau menunggu hujan turun.” Amira tersenyum.“Non, nanti Bapak marah,” ucap bibi khawatir.“Tidak akan. Aku suka hujan. Sudah lama tidak bermain air hujan. Bibi masuklah. Aku akan selesai sebelum Pak Wijaya pulang. Hari ini dia lembur.” Amira mendorong tubuh bibi masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintu dan duduk di tengah halaman.“Semoga hanya hujan dan tidak ada kilat, Guntur serta petir.” Amira mendongak dan tetesan pertama jatuh tepat di wajahnya.“Aah!” Amira tersenyum. Dia benar-benar menyukai hujan. Aroma dan suara air yang jatuh ke bumi memberikan ketenangan untuknya.“Ahhhhh!” Amira berdiri dan berputar di atas rumput yang basah. Dia men
Wijaya benar-benar serius untuk menjemput Devano. Dia tidak ingin Cantika lebih dulu mengambil bayi dari Amira. Pria it uterus memantau laporan dari anak buahnya yang menjaga di pesisir pantai dekat dari pulau tempat tinggal Devano.“Kita akan berperang jika tidak bisa mengambil Devano baik-baik,” ucap Wijaya. Pria itu berada di rumah sakit.“Apa tidak ada kesempatan?” tanya Leon.“Aku tidak ingin menambahkan korban lagi. Kita akan mengganti para penjaga mereka pelan-pelan. Ambil Devano di mana Cantika akan bergerak,” tegas Wijaya yang duduk di sofa bersama dengan Jack.“Maafkan aku, Bos,” ucap Leon.“Kamu minta maaf untuk apa?” tanya Wijaya menoleh pada Leon yang masih berbaring di tempat tidur.“Saya tidak bisa menyelesaikan tugas,” jawab Leon.“Tugas kamu sudah selesai,” tegas Wijaya.“Ini pertama kalinya orang kepercayaanku terluka. Padahal hanya pergi mencari anak Amira. Berperang melawan musuh dunia bisnis tidak membuatku mengorbankan banyak orang.” Wijaya menatap layar computer
Cantika menunggu Andika di dalam kamar. Suaminya benar-benar sering lembur.“Sayang.” Cantika menyambut kedatangan Andika. Wanita itu mengambil jas dan tas dari tangan suaminya. “Kamu mandi dulu,” ucap Cantika tersenyum pada Andika.“Ya.” Andika masuk kamar mandi. Membersihkan diri yang lelah dan gerah. Pria itu keluar dengan hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang.“Sayang.” Cantika memeluk Andika. Dia menggantungkan kedua tangan di leher suaminya.“Ada apa?” tanya Andika mencium bibir Cantika.“Kemarilah! Ada yang mau aku bicarakan.” Cantika menarik Andika ke tempat tidur.“Kamu mau berbicara atau bercinta?” Andika berada di atas kasur dan Cantika duduk di perut ratanya. Jari-jari wanita itu merada dada bidang suaminya.“Sayang, aku belum juga hamil. Apa kita perlu program dengan dokter?” tanya Cantika.“Apa?” Andika terkejut. “Siapa yang tidak sehat?” tanya Andika menatap Cantika.“Aku sudah periksa dan sehat,” jawab Cantika.“Apa itu artinya aku yang tidak sehat?
Bella pergi ke penginapan Luna dengan mengendarai mobil pribadinya. Dia harus menjemput sahabatnya pindah ke apartemen.“Lelah sekali. Wijaya benar-benar membuang Luna.” Bella harus mengendarai mobil cukup lama. Dua jam perjalanan baru bisa sampai di penginapan yang berada di ujung kota.Bella memarkirkan mobil di tempat parkir. Dia tiba hampir tengah malam. Wanita itu disambut oleh karyawati bagian resepsionis.“Selamat datang. Apa Anda mau menginap?” tanya karyawati.“Aku ada janji dengan tamu bernama Luna,” jawab Bella.“Mungkin Anda bisa menghubunginya agar bisa keluar dari kamar,” ucap karyawanti.“Baiklah.” Bella menghungi Luna dan tidak ada jawaban.“Apa aku bisa menunggu di sini?” tanya Bella yang gagal menghubungi Luna.“Tentu saja,” jawab karyawati.“Terima kasih.” Bella duduk di sofa. Dia terus berusaha menghubungi Luna yang tidak juga menjawab panggilannya.“Kemana Luna? Apa dia tidur? Padahal aku sudah memintanya untuk menunggu.” Bella sangat lelah dan mengantuk. Dia butuh
Amira membuka mata. Dia benar-benar tidak bisa lagi tidur tanpa Wijaya. Jari-jarinya meraba kasur yang kosong. Kehangatan dari pelukan suaminya sudah menjadi kebiasaan.“Sayang,” sapa Amira lembut. Dia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat.“Kemana dia?” Amira duduk di tepi kasur. Dia kesulitan melihat karena pencahayaan yang sedikit di dalam kamar.“Sayang.” Amira beranjak dari kasur. Dia berjalan menuju sakelar lampu dan menyalakannya. Wanita itu mengetuk kamar mandi dan tidak ada jawaban.“Apa dia pergi?” Amira melihat jam yang telah menujukkan pukul sepuluh malam.“Sepertinya aku tertidur di mobil. Aku lihat Keano dulu.” Amira tersenyum. Dia melihat pakaian yang telah diganti dengan piyama tidur. Wanita itu segera pergi ke kamar putranya.“Sudah tidur. Apa dia asi dari botol?” Amira mencium Keano yang terlelap. Wanita itu menuruni tangga dan memastikan bahwa Wijaya ada di ruang kerja. Dia baru saja akan mengetuk dan pintu sudah terbuka. “Sayang, ada apa?” tanya Wijaya yan
Amira dan Wijaya masih berada di puncak bukit. Mereka berdua menikmati matahari terbenam. Sang istri duduk di pangkuan suami. Pelukan kuat dari belakang oleh Wijaya Kusuma. Kedua tangan pria itu mengunci pinggang Amira. “Sayang, apa kita menginap di sini saja?” tanya Wijaya mencium punggung leher Amira.“Tidak bisa. Aku kangen Keano. Dia belum asi,” jawab Amira.“Hmm. Keano nomor satu di hati kamu,” ucap Wijaya menggigit pundak Amira.“Aaah. Sakit.” Amira mencubit paha Wijaya.“Kamu membuat aku cemburu. Padahal hari ini aku mau memiliki kamu untuk diriku sendiri. Tidak memikirkan Keano yang berada di rumah.” Wijaya memutar tubuh Amira menghadap dirinya.“Apa sih. Kiano itu anak kita,” ucap Amira.“Ya. Keano adalah anak kita, Sayang.” Wijaya tersenyum. Dia menyentuh bibir Amira dengan jarinya.“Kamu tidak boleh begitu. Bersaing dengan Keano yang anak sendiri.” Amira merapikan diri agar tubuhnya benar-benar berhadapan dengan Wijaya.“Aku tahu, Sayang. Aku terlalu mencintai dan takut keh