Terima kasih. Berkat hadiah, komentar dan dukungan semuanya. Akak jadi semangat nulis jadi 2x update. Terima kasih. Love You. MUaachh!
Amira duduk di sofa. Dia menatap layar ponsel tanpa data. Wijaya hanya memberikan alat komunikas dengan panggilan biasa agar istirnya tidak bisa berselancar di dunia maya dan mendengar berita yang mungkin akan mengganggu pikiran istrinya. “Untuk apa ponsel mahal? Tidak ada data dan pulsa. Hanya panggilan dan pesan saja.” Amira menghela napas dengan berat. Wanita itu benar-benar tidak bisa melakukan apa pun. Dia bahkan tidak bisa memeriksa pekerjaan di akunnya.“Hanya ada dua nomor yaitu bibi dan Wijaya.” Amira memegang ponsel dan memutarnya dengan jari.“Rumah ini kan ada wifi. Apa sandinya? Aku ke kamar mandi dulu.” Amira beranjak dari sofa dan masuk ke kamar mandi. Dia melihat jas dan kemeja Wijaya dengan noda darah yang telah mongering. Pakaian kotor itu belum diambil bibi karena tergeletak di samping tempat sampah.“Kenapa aku tidak memperhatikan pakaian ini tadi pagi?” Amira mencium bau anyir dari kemeja dan jas serta celana panjang milik Wijaya.“Mmm.” Amira mual mencium aroma t
Amira adalah wanita yang polos, tetapi dia tidak bodoh. Tidak dengan mudah percaya bahwa darah pada baju Wijaya adalah milik kucing.“Apa yang dilakukan Wijaya? Darah kucing tidak akan sebanyak itu. Wijaya tidak akan mau menyentuh hewan yang sudah mati apalagi berdarah. Aku sudah cukup mengenal sedikit kepribadiannya yang tidak peduli dengan hal-hal sepele.” Amira memperhatikan Wijaya yang duduk di sofa dan sedang bekerja.“Kenapa terus melihatku?” Wijaya mengangkat kepala dan menatap pada Amira.“Tidak apa. Aku akan tidur duluan.” Amira segera merebahkan tubuhnya ke kasur.“Apa kamu sudah minum obat?” tanya Wijaya.“Sudah,” jawab Amira tanpa melihat lagi pada Amira.“Apa dia membunuh orang? Tidak mungkin.” Amira masih memikirkan dan mengingat tentang darah pada pakaian Wijaya. Wanita itu merasa khawatir dan takut dengan apa yang ada di benaknya.“Mm.” Amira mengintip Wijaya dari balik selimut. Dia benar-benar gelisah. Bayangan darah masih sangat mengganggu dirinya.“Wijaya bahkan tid
Leon yang bertugas mencari dokter dan perawat di masa kematian Devano cukup mengalami kesulitan. Dia hanya mendapatkan informasi tentang dokter Wulan yang telah dipecat dari rumah sakit milik Wijaya dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan lagi di kota.“Aku sangat ingin kembali lagi ke kota.” Dokter Wulan menghela napas dengan berat.“Permisi, Dok. Ada tamu yang mau bertemu dengan Anda.” Seorang perawat mengetuk pintu ruangan dokter Wulan.“Siapa?” tanya dokter Wulan.“Saya tidak tahu. Seorang pria. Dia menunggu di ruang depan,” jawab perawat pergi begitu saja.“Siapa? Kalau pasien kan bisa langsung mendaftar saja.” Dokter Wulan keluar dari ruang kerjanya.“Tidak ada siapa-siapa.” Dokter Wulan melihat sekeliling dan tamu yang disebutkan oleh suster enar-benar tidak ada. “Sus. Suster,” sapa dokter Wulan.“Ada apa, Dok?” Suster menghampiri dokter Wulan.“Di mana tamunya?” tanya dokter Wulan.“Sepertinya sudah pergi, Dok. Mungkin dia buru-buru karena memang sudah menunggu dari tadi,” jawab
Wijaya menatap Amira yang lebih banyak diam. Wanita itu hanya berbicara ketika ditanya saja. Dia juga tidak melakukan apa pun selain mengasuh dan menyusui Keano. “Ada apa, Amira?” Wijaya memperhatikan Amira yang duduk di depan cermin. Wanita itu sedang memberikan perawatan pada wajahnya.“Apa?” tanya Amira.“Kenapa kamu diam?” Wijaya memicingkan matanya.“Apa ada yang bisa dibicarakan? Aku tidak bekerja. Tidak ada yang bisa dibahas,” ucap Amira.“Aku merasa aneh ketika kamu tidak membuatku marah,” gumam Wijaya.“Hah!” Amira menoleh pada Wijaya.“Kamu yang aneh,” gerutu Amira.“Aku pergi ke kantor dulu. Kamu di rumah saja dengan Keano.” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Dia mencium leher dan pipi Amira.“Tidak usah mencium di bagian sensitive,” ucap Amira kesal.“Aku tahu.” Wijaya mengecup bibir Amira dan dahi wanita itu.“Masih juga.” Amira cemberut karena Wijaya menciumnya setiap waktu.“Aku ke kamar Kenao dan langsung berangkat. Jangan lupa minum obat.” Wijaya keluar dari kamar.“
Amira makan siang seorang diri hingga selesai. Dia memperhatikan sekeliling dan tidak menemukan bibi. Wanita itu pergi ke ruangan taman dekat dapur dan melihat televisi kecil.“Ada tv.” Amira menyalakan televisi dan duduk dengan tenang. Dia sengaja memindahkan chanel karena bosan. Tidak ada ponsel dan laptop serta jaringan.“Hah!” Amira terdiam. Dia terkejut mendengarkan berita tentang Luna yang hilang setelah kecelakaan dan pembatalan syuting film. Para wartawan sedang mencari keberadaan tim dan juga Wijaya. Mereka butuh jawaban dan penjelasan.“Kenapa?” tanya Amira menatap layar televisi.“Dipastikan Wijaya Kusuma mengalami kerugian cukup besar atas pembatalan pembuatan film karena perusahaan telah banyak mengeluarkan dana. Dia juga menggantikan biaya kepada beberapa sponsor,” ucap pembawa berita di televisi.“Setelah kecelakaan Luna. Ada beberapa orang hilang dari lokasi syuting. Mereka diperkirakan mengundurkan diri karena ada pemecataan karyawan, tetapi ini terlalu mencurigakan,”
Wijaya kembali ke perusahaan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia harus membubuhkan tanda tangan pada laporan dan kontrak kerja yang sudah berjalan. Pria itu pulang ke rumah di pukul enam sore. Di mana anak dan istrinya sudah selesai mandi.“Maaf, Pak.” Bibi menyambut kedatangan Wijaya di dalam garasi. Pria itu baru turun dari mobil.“Ada apa?” tanya Wijaya menatap bibi.“Maaf, Pak. Hari ini Non Amira menonton televisi di dapur,” jawab bibi menunduk.“Apa yang dia tonton?” Wijaya memicingkan matanya.“Berita tentang Ibu Luna dan pembatalan film,” ucap bibi.“Apa?” Wijaya harus mempersiapkan diri untuk memberikan jawaban ketika wanita itu bertanya.“Bagaimana reaksi Amira?” tanya Wijaya.“Non Amira terlihat biasa saja,” jawab bibi.“Ya. Dia memang terlihat tenang di depan kita, tetapi aku tahu. Amira berpikir lebih dari yang dibayangkan.” Wijaya tahu Amira ada di kamar Keano. Pria itu pergi ke kamarnya. Dia mandi dengan cepat dan berganti pakaian.“Kalian sedang apa?” tanya Wijaya yang
Wijaya dan Amira sudah berada di tempat tidur dengan berpelukan. Pria itu tidak akan pernah melepaskan istrinya. Dia ingin segera pergi ketika sang kekasih terlelap.“Kenapa belum tidur?” Wijaya melihat pada Amira.“Aku ingin bertanya,” ucap Amira.“Apa?” tanya Wijaya.“Mmm.” Amira ragu untuk bertanya karena dia khawatir Wijaya akan marah, tetapi ada rasa penasaran yang hanya pria itu bisa berikan jawaban serta perjelasan.“Tidak ada.” Amira memutar tubuh dengan cepat membelakangi Wijaya. Dia ingat benar bahwa pria itu tidak mengizinkannya menyenbutkan nama Luna diantara mereka.“Ada apa, Amira? Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya Wijaya mencium punggung leher Amira.“Tidak jadi. Aku tidak mau kamu marah,” jawab Amira.“Baiklah. Tidah usah ditanyakan. Aku juga tidak mau marah kepada kamu,” ucap Wijaya memeluk erat tubuh Amira.“Aku sudah mau kerja,” ucap Amira. “Aku senang, tetapi lebih baik kamu tetap istirahat di rumah dan bersama Keano. Pulihkan diri hingga benar-benar sehat,” bis
Wijaya masuk ke rumah. Dia mandi dan membersihkan diri di kamar bawah. Berjalan menuju ruang baca dan memeriksa semua hal yang berhubungan dengan Amira.“Aku tahu Andika dan Amira saling mencintai.” Wijaya menatap layar computer.“Cantika benar-benar sabar menunggu hingga beberapa tahun untuk mendapatkan Andika. Dia rela memisahkan anak dan ibu dengan cara yang kejam.” Wijaya menyenderkan tubuh ke dinding kursi. Pria itu terlihat berpikir keras.“Aku harus berterima kasih kepada Cantika karena telah berhasil membuat mereka berpisah sehingga aku bisa bertemu dengan Amira yang juga berhasil menyelamatkan hidup Keano dari kematian.” Wijaya tersenyum tipis.“Jika anak Amira benar-benar masih hidup.” Senyuman di bibi Wijaya hilang.“Maafkan aku, Amira. Aku tidak akan pernah memberitahu kepada kamu. Aku tidak ingin kehilangan kamu untuk selamanya. Aku juga tidak mau Keano harus berbagi ibu dengan anak Andika itu.” Wijaya mengepalkan tangannya.“Ketika aku menemukan anak kamu. Aku akan membia
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la