Terima kasih. Semoga suka.
Cantika duduk di kursi kerjanya di Perusahaan orang tuanya. Wanita itu memikirkan rencana untuk menyingkirkan Amira.“Dulu, aku tidak membunuhmu karena ingin melihat kamu hancur, Amira.” Cantika tersenyum.“Diusir dan diceraikan pria yang dicintai benar-benar membuat aku puas. Cinta pertama yang begitu kamu banggakan dan agungkan akan hilang begitu saja.” Cantika memutar ponsel yang ada di tangannya.“Tetapi, kamu sangat beruntung. Bisa-bisanya Wijaya datang dan menjadikannya sekretaris pribadi dengan gaji yang tinggi. Memberikan perhatian lebih hingga mampu menyingkirkan Luna.” Senyuman di bibir Cantika hilang begitu saja. Dia benar-benar benci dengan keberuntungan Amira. Wanita miskin yang tidak punya apa-apa dan lahir tanpa orang tua disukai dan dicintai banyak pria.“Apa para pria itu tergoda pada kecantikan dan keseksian Amira? Benar-benar membuat kesal,” ucap Cantika.“Kemana Jurik? Aku akan membuat Amira hilang dari dunia ini.” Cantika mencoba menghubungi kaki tangannya.“Apa si
Wijaya benar-benar gelisah dengan kabar tentang anak Amira yang mungkin masih hidup. Pria itu takut kehilangan Amira yang telah menjadi istrinya dan ibu susu Kenao. Wanita yang telah menyelamatkan putranya dari kematian karena keracunan susu formula dan kelaparan.“Ada apa, Pak? Apa Anda merindukan Nona Amira yang sudah beberapa hari tidak mendampingi Anda?” tanya Dody memperhatikan Wijaya yang melamun.“Ya,” jawab Wijaya asal. Pikiran pria itu kacau. Dia harus merencanakan banyak hal untuk masa depan keluarganya. Pria itu menginginkan anaknya yang dilahirkan dari rahim Amira.“Bukankah Anda satu rumah dengannya?” Dody tersenyum pada Wijaya yang tidak bisa menutupi kegelisahannya. Pria yang tenang itu benar-benar bisa dikacaukan oleh seorang Amira,“Hm.” Apa yang dilakukan Amira sekarang?” Wijaya menghubungkan ponselnya dengan kamera yang ada di rumah.“Di mana dia?” Wijaya mencari Amira karena tidak terlihat di layar computer. “Apa dia di taman?” Wijaya benar-benar mudah khawatir ket
Wijaya malas untuk kembali ke Perusahaan, tetapi dia sudah mendapatkan laporan dari Dody tentang Cantika yang memang dicurigai memiliki saham di rumah sakit sehingga bisa melakukan kejahatan untuk memisahkan Amira dari bayinya.“Sayang, aku akan kembali ke Perusahaan. Ada banyak berkas yang harus ditanda tangan.” Wijaya memeluk Amira cukup lama. Dia mencium dahi dan kepala wanita itu dengan lembut.“Maaf, pasti itu karena aku tidak masuk kantor,” ucap Amira menatap Wijata.“Tidak. Itu salahku sendiri yang memang terlalu sibuk dengan hal yang lain.” Wijaya tersenyum. Pria itu seakan tidak ingin melepaskan pelukan istrinya.“Hati-hati,” ucap Amira melambaikan tangan kepada Wijaya yang berjalan menuju mobil yang parkir di halaman rumah. Wanita itu mengantarkan suaminya hingga ke halaman depan rumah.“Hm.” Wijaya benar-benar mempunyai banyak musuh dna dia menambahkan lagi dengan mencari orang-orang yang menyakiti Amira.Mobil hitam dan kecil meninggalkan halaman rumah dan menuju Kawasan pe
Cantika terkejut ketika menerima laporan dari orang tuanya bahwa Wijaya mengundang para pemilik saham dan juga semua rekan bisnis untuk melakukan pertemuan. Mereka juga cukup khawatir karena sang penguasa akan melakukan pembersihan.“Ada apa ini, Pa?” tanya Cantika kepada papanya. “Papa juga tidak tahu. Sepertinya Wijaya sedang tidak baik-baik saja. Setelah pembatalan pembuatan film. Pria itu juga mengakuisi beberapa Perusahaan,” jelas Raditya pada putrinya.“Apa dia tahu tentang masalah rumah sakit?” Cantika tampak berpikir.“Apa kamu menyinggung Wijaya?” Raditya menatap Cantika.“Tidak, Pak. Aku mana berani,” ucap Cantika tersenyum.“Ya. Papa juga khawatir jika sudah bermasalah dengan Wijaya Kusuma. Dia itu pria yang mengerikan. Istrinya saja bisa dituntut untuk membayar kerugian ketika melakukan kesalahan,” jelas Raditya.“Apa ada seperti itu?” tanya Cantika. “Ya. Orang tua Luna harus memberikan satu Perusahaan kepada Wijaya agar karier putri mereka tidak hancur,” jawab Raditya.
Amira melihat ponsel kerjanya yang tertinggal di atas meja kerja Wijaya. Wanita itu tersenyum karena ada data dan akunnya di sana. Dia segera mengambil alat komunikasi dan duduk di sofa.“Tidak disangka Wijaya melupakan ponselku.” Amira mengaktifkan ponsel. Dia menunggu beberapa saat hingga ponselnya.“Hah!” Amira terkejut dengan banyaknya notifikasi pesan dan panggilan yang masuk.“Siapa saja ini?” Amira membuka dan memeriksa semua pesan dan nomor serta akunnya.“Andika.” Amira membuka pesan dari Andika yang memberitahu tentang penyelidikan kematian bayi mereka yang memang mengalami kejanggalan. Dia mencurigai Cantika yang memang dulu pernah melakukan manipulasi ketika mereka masih berpacaran. “Cantika. Aku memang mencurigainya, tetapi apa pun itu tetap saja kamu sudah menceraikan aku, Andika. Aku membenci kamu,” ucap Amira.“Tidak akan bisa kembali lagi seperti dulu. Rasa cintaku telah berubah menjadi benci. Kamu membuangku. Aku terpuruk dan hancur sendirian. Tidak ada dirimu.” Ami
Wijaya dan Amira berdiri di depan dua mobil berpasangan. Pria itu menadahkan tangan kepada istrinya. “Apa?” tanya Amira.“Kunci mobil ini,” jawab Wijaya. “Ada di dalam mobil,” ucap Amira.“Hah!” Wijaya menggelengkan kepalanya dan membuka pintu mobil berwarna merah terang itu.“Untung saja di rumah.” Wijaya tersenyum.“Masuklah!” Wijaya membuka pintu untuk Amira.“Terima kasih.” Amira duduk di samping pengemudi. Dia memasang sabuh pengaman dan duduk dengan tenang. Wanita itu terlihat bersemangat karena akan mengetahui tentang putranya.“Aku harap kamu bukan bersemangat bertemu dengan Andika.” Wijaya yang sudah duduk di balik kemudi menatap Amira. “Aku bersemangat bertemu dengan putraku. Jika bukan karena ingin tahu tentang Devano, Aku tidak sudi melihat wajah pria itu,” tegas Amira.“Itu bagus, Sayang.” Wijaya tersenyum dan mencium pipi Amira. Dia menyalakan mesin mobil dan meninggalkan halaman rumah yang hijau.Andika terlihat gelisah menunggu kedatangan Amira. Dia tidak tahu bahwa
Ponsel Wijaya berdering. Panggilan dari dokter Ibra. Pria itu melaporkan kedatangan orang tua Luna dan meminta keluar dari rumah sakit.“Halo, Wijaya,” salam Ibra ketika Wijaya menerima panggilan.“Ada apa?” tanya Wijaya langsung. “Orang tua Luna minta surat izin untuk membawa Luna keluar dari rumah sakit,” ucap dokter Ibra.“Keluarkan saja. Aku sudah menarik keluar para pengawal. Wanita itu cukup tersiksa selama di rumah sakit.” Wijaya tersenyum. “Baiklah. Apa ada yang lain?” tanya dokter Ibra.“Buatlah laporan bahwa anak Amira memang sudah meninggal dunia,” jawab Wijaya.“Apa?” Dokter Ibra terkejut.“Aku tidak mau melihat Amira kepikiran karena ulah Andika. Aku akan terus mencari kebenarannya,” jelas Wijaya.“Baiklah. Aku akan meminta Amira datang ke rumah sakit.” Dokter Ibra sangat mengerti dengan kepribadian Wijaya Kusuma.“Terima kasih.” Wijaya memutuskan panggilan. Dia kembali sibuk dengan pekerjaannya.Amira membuka mata dan melihat sekeliling. Dia berada di kamarnya. Wanita i
Andika pulang ke rumah dengan lemas. Pria itu merasa tidak ada harapan lagi untuk kembali kepada Amira, tetapi dia masih tidak rela melihat mantan istrinya dengan lelaki lain.“Cantika.” Andika melihat mobil Cantika yang parkir di halaman rumah.“Dia semakin sering datang ke rumah. Tidak masalah. Aku memiliki tempat pelampiasan nafsu.” Andika tersenyum. Pria itu segera masuk ke dalam rumah.“Andika!” Marni langsung berdiri menatap pada Andika. Wanita itu sangat marah karena putranya tidak menerima panggilan darinya dan Cantika.“Ada apa, Ma?” tanya Andika menghempaskan tubuh di sofa. Pria itu melepas dasi.“Kenapa kamu tidak menerima panggilan dari Mama dan Cantika?” Marni berdiri.“Ma, aku sedang sibuk. Ada masalah di Perusahaan,” ucap Andika.“Apa yang terjadi?” tanya Cantika.“Kamu pasti tahu, Wijaya sedang melakukan pembersihkan dan aku khawatir perusahaanku pun akan kena,” jelas Andika memperlihatkan wajahnya yang kesal. Padahal pria itu sedang cemburu pada Wijaya yang telah bers
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la
Mereka pulang ke rumah dengan aman. Leon mengambil jalan lain. Pria itu juga menggantikan mobil serta menambahkan anak buahnya untuk melindungi majikannya.“Benar-benar sulit membawa Nyonya dan anak-anak keluar dari rumah. Ada banyak musuh yang mencari kesempatan untuk menyakiti mereka.” Leon menghela napas dengan berat. Dia melirik Keano yang tampak tenang. Pria itu bisa melihat Wijaya di dalam diri tuan mudanya.“Ah!” Amira menghempas tubuh di sofa.“Ada apa, Ma?” tanya Devano lembut.“Hari ini cukup melelahkan.” Amira tersenyum.“Maafkan aku dan Keano.” Devano memijut pundak Amira.“Minta maaf untuk apa? Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun.” Amira menarik Devano ke dalam pelukannya.“Mama saja yang belum terbiasa menemani kalian di luar.” Amira tersenyum. Dia mencium dahi Keano dan Devano.“Kami tidak akan ikut pertandingan di lapangan terbuka lagi,” tegas Keano.“Kenapa, Sayang? Tidak masalah. Mama akan berusaha untuk selalu berada di sisi kalian.” Amira mencubit hidung mancun
Keano benar-benar tidak suka dengan desakan dari para penonton. Anak lelaki itu makin tidak suka dengan keramaian.“Setelah ini, jangan pernah ikut lomba di luar lagi. Ini sangat berbahaya,” tegas Keano.“Benar. Mama pasti kesulitan menemani kita. Mama tidak pernah meninggalkan rumah, tetapi keluar demi bisa hadir di pertandingan ini.” Devano pun tampak menyesal karena memaksa Keano untuk bertanding dalam tim.“Kita sudah tahu pasti menang, jadi tidak usah ikut apa pun lagi. Apalagi banyak penonotn seperti ni. Aku benar-benar tidak suka.” Keano menatap tajam pada Devano. “Maafkan aku,” ucap Devano pelan.“Silakan masuk, Tuan Muda.” Para pengawal berhasil mengantarkan Devano dan Keano masuk ke dalam ruangan peserta. Dua anak lelaki itu duduk dengan tidak tenang.“Di mana Mama?” tanya Keano.“Nyonya sedang dalam perjalanan kemari. Mereka cukup kesulitan untuk melewati para penonton,” jawab pengawal.“Minta Om Leon gendong mama saja, biar cepat,” ucap Devano mengejutkan para pengawal. Su
Para penonton bersorak melihat anak remaja yang sudah berada di atas kuda mereka masing-masing. Keano dan Devano selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada. Orang tua yang memang popular dan anak-anak yang juga selalu menjadi kebanggaan.“Dua anak itu benar-benar terlalu terang sehingga saingan mereka tidak terlihat.” Pujian terdengar dari mulut para penonton. Mata mereka hanya fokus pada adik beradik yang tampak kompak dengan kuda dan anak panah yang ditembakkan.“Tidak akan ada peserta yang mampu mengalkan kecepatan dan kecerdasan putra Wijaya Kusuma.” Para penonton bersorang. Dua bersaudara itu meninggakan saingan mereka dengan sangat jauh.“Tidak sulit menentukan pemenang. Jarak mereka terlalu jauh dan skor yang di miliki kedua bersaudara itusangat sempurna.” Para juri pun hanya tersenyum karena dari awal mereka sudah bisa menebak bahwa anak dari Amira dan Wijaya Kusuma sudah dapat dipastikan jadi pemenang. Mereka memiliki tempat Latihan pribadi. “Wah hebat.” Amira
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak
Amira berada di dalam kamar dan bersiap untuk tidur. Wanita itu baru saja akan mematikan ponsel dan melihat panggilan dari Wijaya.“Wijaya.” Amira segera menerim panggilan dari suaminya.“Halo, Sayang.” Wijaya tersenyum pada Amira yang terlihat di layar ponsel.“Halo, Sayang. Bagaimana perkerjaan di sana? Apa kamu lelah?” tanya Amira.“Aku tidak lelah, tetapi tersiksa karena merindukan kamu,” jawab Wijaya.“Apa kamu akan tidur?” Wijaya melihat yang istri yang sudah mengenakan piyama.“Aku sedang bersiap untuk tidur,” ucap Amira merebahkan tubuhnya di kasur.“Apa kamu menggodaku?” tanya Wijaya.“Tidak, Sayang. Kamu terlihat sedang bekerja,” jawab Amira.“Ya. Aku tahu kamu akan tidur jadi dengan cepat menghubungi istriku tercinta. Bagaimana hari ini?” Wijaya tersenyum.“Hari ini menyenangkan. Aku menemani anak-anak Latihan berkuda dan memanah. Mereka benar-benar luar biasa. Aku sangat bangga.” Amira terlihat bersemangat menceritakaan kebersamaanya dengan Keano dan Devano. Dia tidak membe
Amira yang menyadari kedua putra yang masih menunggu dirinya segera menepi. Dia tidak butuh lama untuk memuaskan diri berkuda. Wanita itu merasa tidak muda lagi.“Ini menyenangkan.” Amira turun dari kuda dengan bantuan Leon.“Terima kasih,” ucap Amira.“Apa sudah selesai, Ma?” tanya Keano memegang tangan Amira.“Tentu saja, Sayang. Mama hanya perlu naik kuda dan menungganginya. Itu cukup.” Amira mengusap kepala dua putranya yang sudah memiliki postur tubuh tinggi di usia yang masih sangat muda.“Kalian berdua yang harus banyak Latihan karena akan mengikuti lombat,” ucap Amira.“Baik, Ma. Kami akan memperlihatkan penampilan terbaik di depan, Mama.” Keano sudah melompat ke atas kuda. “Wah. Keren.” Amira terkejut melihat gerakan lincah dan gesit dari Keano dan Devano.“Luar biasa. Anak Mama memang hebat.” Amira bertepuk tangan. Dia benar-benar kagum melihat kedua putranya. Wanita itu tidak pernah mengikuti Keano dan Devano ketika Latihan di luar rumah. Dia harus tetap bersama anak kembar
Wijaya telah terbang ke luar negeri. Pria itu benar-benar harus meninggalkan anak istrinya karena pertemuan yang tidak bisa diwakilkan. Dia sudah lama tidak pertemu dengan para pendukungnya sehingga dia tetap bisa terus berada pada puncak kesuksesan. Bisnis legal dan illegal dijalaninya.“Pastikan Leon tetap di rumah bersama anak dan istriku,” tegas Wijaya.“Iya, Pak. Anak-anak akan terus berada dalam pengawasan dan penjagaan,” ucap Jack.“Beberapa tahun ini hidup kita terlalu tenang. Jadi, mulai tingkatkan kembali kewaspadaan. Mungkin musuh dari masa lalu masih mencari kesempatan untuk menyerang balik,” jelas Wijaya.“Pasti, Pak.” Jack mengangguk.Amira selalu senang memasak. Dia dibantu para pelayan membuat cemilan sehat untuk anak-anaknya. Wanita itu tidak bisa hanya diam saja.“Nyonya, Anda dilarang lelah.” Leon menyusul ke dapur. Pria itu benar-benar mendapatkan tugas yang berat yaitu menjaga istri Wijaya Kusuma.“Aku tidak lelah, Leon. Aku biasa melakukan ini.” Amira tersenyum