Terima kasih. Semoga suka. See U
Cantika terkejut ketika menerima laporan dari orang tuanya bahwa Wijaya mengundang para pemilik saham dan juga semua rekan bisnis untuk melakukan pertemuan. Mereka juga cukup khawatir karena sang penguasa akan melakukan pembersihan.“Ada apa ini, Pa?” tanya Cantika kepada papanya. “Papa juga tidak tahu. Sepertinya Wijaya sedang tidak baik-baik saja. Setelah pembatalan pembuatan film. Pria itu juga mengakuisi beberapa Perusahaan,” jelas Raditya pada putrinya.“Apa dia tahu tentang masalah rumah sakit?” Cantika tampak berpikir.“Apa kamu menyinggung Wijaya?” Raditya menatap Cantika.“Tidak, Pak. Aku mana berani,” ucap Cantika tersenyum.“Ya. Papa juga khawatir jika sudah bermasalah dengan Wijaya Kusuma. Dia itu pria yang mengerikan. Istrinya saja bisa dituntut untuk membayar kerugian ketika melakukan kesalahan,” jelas Raditya.“Apa ada seperti itu?” tanya Cantika. “Ya. Orang tua Luna harus memberikan satu Perusahaan kepada Wijaya agar karier putri mereka tidak hancur,” jawab Raditya.
Amira melihat ponsel kerjanya yang tertinggal di atas meja kerja Wijaya. Wanita itu tersenyum karena ada data dan akunnya di sana. Dia segera mengambil alat komunikasi dan duduk di sofa.“Tidak disangka Wijaya melupakan ponselku.” Amira mengaktifkan ponsel. Dia menunggu beberapa saat hingga ponselnya.“Hah!” Amira terkejut dengan banyaknya notifikasi pesan dan panggilan yang masuk.“Siapa saja ini?” Amira membuka dan memeriksa semua pesan dan nomor serta akunnya.“Andika.” Amira membuka pesan dari Andika yang memberitahu tentang penyelidikan kematian bayi mereka yang memang mengalami kejanggalan. Dia mencurigai Cantika yang memang dulu pernah melakukan manipulasi ketika mereka masih berpacaran. “Cantika. Aku memang mencurigainya, tetapi apa pun itu tetap saja kamu sudah menceraikan aku, Andika. Aku membenci kamu,” ucap Amira.“Tidak akan bisa kembali lagi seperti dulu. Rasa cintaku telah berubah menjadi benci. Kamu membuangku. Aku terpuruk dan hancur sendirian. Tidak ada dirimu.” Ami
Wijaya dan Amira berdiri di depan dua mobil berpasangan. Pria itu menadahkan tangan kepada istrinya. “Apa?” tanya Amira.“Kunci mobil ini,” jawab Wijaya. “Ada di dalam mobil,” ucap Amira.“Hah!” Wijaya menggelengkan kepalanya dan membuka pintu mobil berwarna merah terang itu.“Untung saja di rumah.” Wijaya tersenyum.“Masuklah!” Wijaya membuka pintu untuk Amira.“Terima kasih.” Amira duduk di samping pengemudi. Dia memasang sabuh pengaman dan duduk dengan tenang. Wanita itu terlihat bersemangat karena akan mengetahui tentang putranya.“Aku harap kamu bukan bersemangat bertemu dengan Andika.” Wijaya yang sudah duduk di balik kemudi menatap Amira. “Aku bersemangat bertemu dengan putraku. Jika bukan karena ingin tahu tentang Devano, Aku tidak sudi melihat wajah pria itu,” tegas Amira.“Itu bagus, Sayang.” Wijaya tersenyum dan mencium pipi Amira. Dia menyalakan mesin mobil dan meninggalkan halaman rumah yang hijau.Andika terlihat gelisah menunggu kedatangan Amira. Dia tidak tahu bahwa
Ponsel Wijaya berdering. Panggilan dari dokter Ibra. Pria itu melaporkan kedatangan orang tua Luna dan meminta keluar dari rumah sakit.“Halo, Wijaya,” salam Ibra ketika Wijaya menerima panggilan.“Ada apa?” tanya Wijaya langsung. “Orang tua Luna minta surat izin untuk membawa Luna keluar dari rumah sakit,” ucap dokter Ibra.“Keluarkan saja. Aku sudah menarik keluar para pengawal. Wanita itu cukup tersiksa selama di rumah sakit.” Wijaya tersenyum. “Baiklah. Apa ada yang lain?” tanya dokter Ibra.“Buatlah laporan bahwa anak Amira memang sudah meninggal dunia,” jawab Wijaya.“Apa?” Dokter Ibra terkejut.“Aku tidak mau melihat Amira kepikiran karena ulah Andika. Aku akan terus mencari kebenarannya,” jelas Wijaya.“Baiklah. Aku akan meminta Amira datang ke rumah sakit.” Dokter Ibra sangat mengerti dengan kepribadian Wijaya Kusuma.“Terima kasih.” Wijaya memutuskan panggilan. Dia kembali sibuk dengan pekerjaannya.Amira membuka mata dan melihat sekeliling. Dia berada di kamarnya. Wanita i
Andika pulang ke rumah dengan lemas. Pria itu merasa tidak ada harapan lagi untuk kembali kepada Amira, tetapi dia masih tidak rela melihat mantan istrinya dengan lelaki lain.“Cantika.” Andika melihat mobil Cantika yang parkir di halaman rumah.“Dia semakin sering datang ke rumah. Tidak masalah. Aku memiliki tempat pelampiasan nafsu.” Andika tersenyum. Pria itu segera masuk ke dalam rumah.“Andika!” Marni langsung berdiri menatap pada Andika. Wanita itu sangat marah karena putranya tidak menerima panggilan darinya dan Cantika.“Ada apa, Ma?” tanya Andika menghempaskan tubuh di sofa. Pria itu melepas dasi.“Kenapa kamu tidak menerima panggilan dari Mama dan Cantika?” Marni berdiri.“Ma, aku sedang sibuk. Ada masalah di Perusahaan,” ucap Andika.“Apa yang terjadi?” tanya Cantika.“Kamu pasti tahu, Wijaya sedang melakukan pembersihkan dan aku khawatir perusahaanku pun akan kena,” jelas Andika memperlihatkan wajahnya yang kesal. Padahal pria itu sedang cemburu pada Wijaya yang telah bers
Wijaya mendekati Amira yang berbaring di dalam selimut. Wanita itu setiap kali ingat dia jatuh di rumput seperti anak kecil.“Hey.” Wijaya memeluk Amira. Pria itu pun ikut serta rebahan di kasur.“Apa ada yang sakit?” tanya Wijaya dengan berbisik di telinga Amira. Pria itu memukul bokong Amira.“Arrgh!” Amira berteriak. Wanita itu merasakan sakit pada bokongnya.“Ada apa?” tanya Wijaya khawatir dan langsung duduk.“Sakit.” Amira mengusap pantatnya.“Aku lihat.” Wijaya yakin wanita itu kesakitan karena jatuh.“Tidak.” Amira menahan kain yang ingin dibuka oleh Wijaya. Dia malu karena pria itu pasti akan memeriksa hingg bagian terdalam.“Jangan membantah.” Wijaya menatap tajam pada Amira. “Mm.” Amira cemberut. Dia melepas tangannya yang memegang selimut. Wanita itu cukup takut ketika Wijaya marah. “Kita harus ke rumah sakit.” Wijaya melihat bokong Amira yang sedikit membiru karena batu ketika jatuh.“Tidak mau. Aku malu. Kasih salep saja,” tegas Amira.“Ini ada memar,” ucap Wijaya menye
Amira dengan cepat berpakaian. Wanita itu tidak mengenakan dalaman. Dia segera pergi ke kamar Keano dan tidak mempedulikan Wijaya Kusuma.“Hah!” Wijaya hanya melihat kepergian Amira tanpa mengatakan apa pun.“Dia benar-benar lari dariku.” Wijaya tersenyum. Pria itu segera masuk ke kamar mandi.“Amira, aku sangat takut kehilangan kamu. Aku akan menjadi pria paling jahat di dunia ini hanya untuk mempertahankan kamu di sisiku.” Wijaya melepaskan semua pakaian dan membuka keran. Dia membiarkan tubuh seksinya diguyur air dingin,“Jangan pernah menjauh dariku, Amira.” Wijaya melihat dirinya dari pantulan cermin. Dia menyeringai aneh. Pikirannya hanya tertuju pada Amira. Dia bahkan berniat untuk tidak mempertemukan Amira dengan anaknya.Amira masuk ke kamar Keano. Wanita itu langsung menggendong putranya dan memberi asi dengan tidak lupa berbicara dengan buah hatinya.“Sayang, maafkan Mama. Ini semua salah papa kamu yang mengganggu Mama.” Amira tersenyum. Dia senang bisa menyalahkan Wijaya da
Wijaya harus keluar malam dan dia meminta izin pada Amira dengan alasan ada pertemuan dengan Dody karena siang hari tidak kembali lagi ke kantor.“Sayang, aku harus bertemu dengan Dody untuk membicarakan pekerjaan yang tertunda siang tadi,” ucap Wijaya.“Ya.” Amira yang duduk di sofa mengangguk. “Apa aku boleh pegang aku dan ponsel kerja?” tanya Amira menatap pada Wijaya yang sedang bersiap untuk pergi.“Untuk apa?” Wijaya menatap pada Amira.“Aku hanya memeriksa perkejaan,” ucap Amira.“Apa benar hanya pekerjaan?” tanya Wijaya memicingkan matanya.“Apalagi?” Amira menatap heran pada Wijaya.“Bagaimana dengan ini?” Wijaya memperlihatkan pesan masuk ke aku Amira. Ada banyak pria yang bukan membicarakan tentang pekerjaan, tetapi menanyakan kehidupan pribadi wanita itu.“Aku tidak akan mempedulikan mereka. Kamu tidak perlu khawatir,” tegas Amira.“Aku percaya itu, tetapi tidak dengan Andika. Dia sedang mengejar kamu kembali dengan berbagai cara. Pria itu bahkan membawa anak kalian yang t
Anto dan anak buahnya bergerak di malam hari. Mereka meninggalkan pulau dengan kapal. Bayi tampan dengan kulit putih bersih berada dalam gendongan Sulas. Putra dari Andika dan Amira tertidur lelap. Lelaki kecil itu mampu bersaing dengan Keano. Lahir dari bobot dan bibit terbaik kedua orang tuanya.Wijaya dan Amira tidur dalam senyuman. Mereka tidak tahu bahwa putra yang dijaga dan dilindingi dari kejauhan akan datang sendiri ke kota dan tidak sulit untuk digapai. Berbeda ketika berada di pulau terpencil. Ada bgitu banyak penjaga dan lokasi yang sulit dijangkau.Jack yang selalu memantau pulau menggantikan pekerjaan Leon mendapatkan laporan dari anak buah mereka. Pria itu tidak bisa memberikan perintah menyerang dan merebut Devano karena Wijaya yang tidak bisa dihubungi. Dia hanya bisa terus mengikuti dan mengawasi pergerakan Anto beserta rombongannya. “Ada apa?” tanya Leon.“Devano dibawa keluar pulau. Apa kita rebut sekarang?” Jack melihat pada Leon.“Bukankah ini memang rencana Pak
Cantika terlihat melamun. Wanita itu benar-benar telah banyak berkorban untuk Andika dan sang suami menjadikan dirinya pemuas nafsu sebagai pengganti Amira. “Apa aku harus membunuh Devano?” tanya Cantika pada dirinya yang duduk di depan cermin meja rias.“Tetapi, jika aku tidak bisa hamil artinya kami tidak akan pernah punya anak sedangkan Devano adalah putra kandung Andikan. Darah daging suamiku.” Cantika benar-benar gelisah.“Aku akan membawa Devano pulang. Mengatakan kepada Andika bahwa itu anak saudara jauh yang ditinggal orang tuanya. Aku akan meminat izin untuk mengadopsinya dengan alasan sebagai pemancing agar bisa hamil dan kasian.” Cantika tersenyum dengan rencananya. Dia mengambil ponsel dan menghubungi penjaga Devano.“Halo, bawa Devano pulang. Aku menginginkan dia. Pulau itu ambil saja untuk kalian,” ucap Cantika.“Baik, Bos.” Pria di seberang panggilan sangat senang. Mereka memiliki pulau pribadi dengan laut yang kaya. “Aku akan membesarkan anak Andika dan Amira. Itu tid
Luna melakukan penerbangan ke Amerika bersama Robert dan Bella. Wanita itu akan memulai karier sebagai aktris dan melanjutkan status modelling. Mereka sudah berada di apartemen milik Perusahaan.“Hah! Akhirnya aku bisa tinggal di tempat yang mewah lagi.” Luna menghempas tubuhnya di kasur.“Apartemen ini benar-benar mewah,” ucap Bella memperhatikan sekeliling. Kamar itu sangat luas dan lengkap. Ada dapur, ruang tamu dan bahkan balkon untuk bersantai. Kolam renang di atas Gedung.“Iya. Amerika memang gila dalam dunia entertaimen. Apalagi perfilm.” Luna beranjak dari kasur dan berjalan ke balkon.“Pemandangan yang indah. Aku suka tempat ini. Mahal.” Luna membentangkan tangan menghidup udara pagi.“Belum kontrak kerja, tetapi kita sudah dapat kemewahan.” Bella mendekati Luna yang berada di balkon.“Wijaya pasti punya saingan di Amerika ini. Aku ingin membuat pria itu menderita dengan kehilangan Amira. Aku akan balas dendam.” Luna mengepalkan tangannya.“Dia mencintai Amira dan membuang dir
Amira berada di halaman belakang. Wanita itu bermain bersama bayi tampan dan cerdasnya. Wanita itu benar-benar telah mengiklaskan Devano dengan adanya Keano.“Non, hari sudah mulai gelap. Sebaiknya Anda dan Keano masuk ke dalam rumah,” ucap bibi.“Bibi bawa Keano ke kamar.” Amira memberikan Keano kepada bibi.“Anda mau kemana?” tanya bibi.“Aku mau menunggu hujan turun.” Amira tersenyum.“Non, nanti Bapak marah,” ucap bibi khawatir.“Tidak akan. Aku suka hujan. Sudah lama tidak bermain air hujan. Bibi masuklah. Aku akan selesai sebelum Pak Wijaya pulang. Hari ini dia lembur.” Amira mendorong tubuh bibi masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintu dan duduk di tengah halaman.“Semoga hanya hujan dan tidak ada kilat, Guntur serta petir.” Amira mendongak dan tetesan pertama jatuh tepat di wajahnya.“Aah!” Amira tersenyum. Dia benar-benar menyukai hujan. Aroma dan suara air yang jatuh ke bumi memberikan ketenangan untuknya.“Ahhhhh!” Amira berdiri dan berputar di atas rumput yang basah. Dia men
Wijaya benar-benar serius untuk menjemput Devano. Dia tidak ingin Cantika lebih dulu mengambil bayi dari Amira. Pria it uterus memantau laporan dari anak buahnya yang menjaga di pesisir pantai dekat dari pulau tempat tinggal Devano.“Kita akan berperang jika tidak bisa mengambil Devano baik-baik,” ucap Wijaya. Pria itu berada di rumah sakit.“Apa tidak ada kesempatan?” tanya Leon.“Aku tidak ingin menambahkan korban lagi. Kita akan mengganti para penjaga mereka pelan-pelan. Ambil Devano di mana Cantika akan bergerak,” tegas Wijaya yang duduk di sofa bersama dengan Jack.“Maafkan aku, Bos,” ucap Leon.“Kamu minta maaf untuk apa?” tanya Wijaya menoleh pada Leon yang masih berbaring di tempat tidur.“Saya tidak bisa menyelesaikan tugas,” jawab Leon.“Tugas kamu sudah selesai,” tegas Wijaya.“Ini pertama kalinya orang kepercayaanku terluka. Padahal hanya pergi mencari anak Amira. Berperang melawan musuh dunia bisnis tidak membuatku mengorbankan banyak orang.” Wijaya menatap layar computer
Cantika menunggu Andika di dalam kamar. Suaminya benar-benar sering lembur.“Sayang.” Cantika menyambut kedatangan Andika. Wanita itu mengambil jas dan tas dari tangan suaminya. “Kamu mandi dulu,” ucap Cantika tersenyum pada Andika.“Ya.” Andika masuk kamar mandi. Membersihkan diri yang lelah dan gerah. Pria itu keluar dengan hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang.“Sayang.” Cantika memeluk Andika. Dia menggantungkan kedua tangan di leher suaminya.“Ada apa?” tanya Andika mencium bibir Cantika.“Kemarilah! Ada yang mau aku bicarakan.” Cantika menarik Andika ke tempat tidur.“Kamu mau berbicara atau bercinta?” Andika berada di atas kasur dan Cantika duduk di perut ratanya. Jari-jari wanita itu merada dada bidang suaminya.“Sayang, aku belum juga hamil. Apa kita perlu program dengan dokter?” tanya Cantika.“Apa?” Andika terkejut. “Siapa yang tidak sehat?” tanya Andika menatap Cantika.“Aku sudah periksa dan sehat,” jawab Cantika.“Apa itu artinya aku yang tidak sehat?
Bella pergi ke penginapan Luna dengan mengendarai mobil pribadinya. Dia harus menjemput sahabatnya pindah ke apartemen.“Lelah sekali. Wijaya benar-benar membuang Luna.” Bella harus mengendarai mobil cukup lama. Dua jam perjalanan baru bisa sampai di penginapan yang berada di ujung kota.Bella memarkirkan mobil di tempat parkir. Dia tiba hampir tengah malam. Wanita itu disambut oleh karyawati bagian resepsionis.“Selamat datang. Apa Anda mau menginap?” tanya karyawati.“Aku ada janji dengan tamu bernama Luna,” jawab Bella.“Mungkin Anda bisa menghubunginya agar bisa keluar dari kamar,” ucap karyawanti.“Baiklah.” Bella menghungi Luna dan tidak ada jawaban.“Apa aku bisa menunggu di sini?” tanya Bella yang gagal menghubungi Luna.“Tentu saja,” jawab karyawati.“Terima kasih.” Bella duduk di sofa. Dia terus berusaha menghubungi Luna yang tidak juga menjawab panggilannya.“Kemana Luna? Apa dia tidur? Padahal aku sudah memintanya untuk menunggu.” Bella sangat lelah dan mengantuk. Dia butuh
Amira membuka mata. Dia benar-benar tidak bisa lagi tidur tanpa Wijaya. Jari-jarinya meraba kasur yang kosong. Kehangatan dari pelukan suaminya sudah menjadi kebiasaan.“Sayang,” sapa Amira lembut. Dia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat.“Kemana dia?” Amira duduk di tepi kasur. Dia kesulitan melihat karena pencahayaan yang sedikit di dalam kamar.“Sayang.” Amira beranjak dari kasur. Dia berjalan menuju sakelar lampu dan menyalakannya. Wanita itu mengetuk kamar mandi dan tidak ada jawaban.“Apa dia pergi?” Amira melihat jam yang telah menujukkan pukul sepuluh malam.“Sepertinya aku tertidur di mobil. Aku lihat Keano dulu.” Amira tersenyum. Dia melihat pakaian yang telah diganti dengan piyama tidur. Wanita itu segera pergi ke kamar putranya.“Sudah tidur. Apa dia asi dari botol?” Amira mencium Keano yang terlelap. Wanita itu menuruni tangga dan memastikan bahwa Wijaya ada di ruang kerja. Dia baru saja akan mengetuk dan pintu sudah terbuka. “Sayang, ada apa?” tanya Wijaya yan
Amira dan Wijaya masih berada di puncak bukit. Mereka berdua menikmati matahari terbenam. Sang istri duduk di pangkuan suami. Pelukan kuat dari belakang oleh Wijaya Kusuma. Kedua tangan pria itu mengunci pinggang Amira. “Sayang, apa kita menginap di sini saja?” tanya Wijaya mencium punggung leher Amira.“Tidak bisa. Aku kangen Keano. Dia belum asi,” jawab Amira.“Hmm. Keano nomor satu di hati kamu,” ucap Wijaya menggigit pundak Amira.“Aaah. Sakit.” Amira mencubit paha Wijaya.“Kamu membuat aku cemburu. Padahal hari ini aku mau memiliki kamu untuk diriku sendiri. Tidak memikirkan Keano yang berada di rumah.” Wijaya memutar tubuh Amira menghadap dirinya.“Apa sih. Kiano itu anak kita,” ucap Amira.“Ya. Keano adalah anak kita, Sayang.” Wijaya tersenyum. Dia menyentuh bibir Amira dengan jarinya.“Kamu tidak boleh begitu. Bersaing dengan Keano yang anak sendiri.” Amira merapikan diri agar tubuhnya benar-benar berhadapan dengan Wijaya.“Aku tahu, Sayang. Aku terlalu mencintai dan takut keh