Terima kasih atas dukungan, hadiah, gem dan juga komentar baik. Semoga berbahagia selalu dan rezeki semakin melimpah, Aaamiin. Double update yaa. Semoga suka. See soom.
Ponsel Wijaya berdering. Panggilan dari dokter Ibra. Pria itu melaporkan kedatangan orang tua Luna dan meminta keluar dari rumah sakit.“Halo, Wijaya,” salam Ibra ketika Wijaya menerima panggilan.“Ada apa?” tanya Wijaya langsung. “Orang tua Luna minta surat izin untuk membawa Luna keluar dari rumah sakit,” ucap dokter Ibra.“Keluarkan saja. Aku sudah menarik keluar para pengawal. Wanita itu cukup tersiksa selama di rumah sakit.” Wijaya tersenyum. “Baiklah. Apa ada yang lain?” tanya dokter Ibra.“Buatlah laporan bahwa anak Amira memang sudah meninggal dunia,” jawab Wijaya.“Apa?” Dokter Ibra terkejut.“Aku tidak mau melihat Amira kepikiran karena ulah Andika. Aku akan terus mencari kebenarannya,” jelas Wijaya.“Baiklah. Aku akan meminta Amira datang ke rumah sakit.” Dokter Ibra sangat mengerti dengan kepribadian Wijaya Kusuma.“Terima kasih.” Wijaya memutuskan panggilan. Dia kembali sibuk dengan pekerjaannya.Amira membuka mata dan melihat sekeliling. Dia berada di kamarnya. Wanita i
Andika pulang ke rumah dengan lemas. Pria itu merasa tidak ada harapan lagi untuk kembali kepada Amira, tetapi dia masih tidak rela melihat mantan istrinya dengan lelaki lain.“Cantika.” Andika melihat mobil Cantika yang parkir di halaman rumah.“Dia semakin sering datang ke rumah. Tidak masalah. Aku memiliki tempat pelampiasan nafsu.” Andika tersenyum. Pria itu segera masuk ke dalam rumah.“Andika!” Marni langsung berdiri menatap pada Andika. Wanita itu sangat marah karena putranya tidak menerima panggilan darinya dan Cantika.“Ada apa, Ma?” tanya Andika menghempaskan tubuh di sofa. Pria itu melepas dasi.“Kenapa kamu tidak menerima panggilan dari Mama dan Cantika?” Marni berdiri.“Ma, aku sedang sibuk. Ada masalah di Perusahaan,” ucap Andika.“Apa yang terjadi?” tanya Cantika.“Kamu pasti tahu, Wijaya sedang melakukan pembersihkan dan aku khawatir perusahaanku pun akan kena,” jelas Andika memperlihatkan wajahnya yang kesal. Padahal pria itu sedang cemburu pada Wijaya yang telah bers
Wijaya mendekati Amira yang berbaring di dalam selimut. Wanita itu setiap kali ingat dia jatuh di rumput seperti anak kecil.“Hey.” Wijaya memeluk Amira. Pria itu pun ikut serta rebahan di kasur.“Apa ada yang sakit?” tanya Wijaya dengan berbisik di telinga Amira. Pria itu memukul bokong Amira.“Arrgh!” Amira berteriak. Wanita itu merasakan sakit pada bokongnya.“Ada apa?” tanya Wijaya khawatir dan langsung duduk.“Sakit.” Amira mengusap pantatnya.“Aku lihat.” Wijaya yakin wanita itu kesakitan karena jatuh.“Tidak.” Amira menahan kain yang ingin dibuka oleh Wijaya. Dia malu karena pria itu pasti akan memeriksa hingg bagian terdalam.“Jangan membantah.” Wijaya menatap tajam pada Amira. “Mm.” Amira cemberut. Dia melepas tangannya yang memegang selimut. Wanita itu cukup takut ketika Wijaya marah. “Kita harus ke rumah sakit.” Wijaya melihat bokong Amira yang sedikit membiru karena batu ketika jatuh.“Tidak mau. Aku malu. Kasih salep saja,” tegas Amira.“Ini ada memar,” ucap Wijaya menye
Amira dengan cepat berpakaian. Wanita itu tidak mengenakan dalaman. Dia segera pergi ke kamar Keano dan tidak mempedulikan Wijaya Kusuma.“Hah!” Wijaya hanya melihat kepergian Amira tanpa mengatakan apa pun.“Dia benar-benar lari dariku.” Wijaya tersenyum. Pria itu segera masuk ke kamar mandi.“Amira, aku sangat takut kehilangan kamu. Aku akan menjadi pria paling jahat di dunia ini hanya untuk mempertahankan kamu di sisiku.” Wijaya melepaskan semua pakaian dan membuka keran. Dia membiarkan tubuh seksinya diguyur air dingin,“Jangan pernah menjauh dariku, Amira.” Wijaya melihat dirinya dari pantulan cermin. Dia menyeringai aneh. Pikirannya hanya tertuju pada Amira. Dia bahkan berniat untuk tidak mempertemukan Amira dengan anaknya.Amira masuk ke kamar Keano. Wanita itu langsung menggendong putranya dan memberi asi dengan tidak lupa berbicara dengan buah hatinya.“Sayang, maafkan Mama. Ini semua salah papa kamu yang mengganggu Mama.” Amira tersenyum. Dia senang bisa menyalahkan Wijaya da
Wijaya harus keluar malam dan dia meminta izin pada Amira dengan alasan ada pertemuan dengan Dody karena siang hari tidak kembali lagi ke kantor.“Sayang, aku harus bertemu dengan Dody untuk membicarakan pekerjaan yang tertunda siang tadi,” ucap Wijaya.“Ya.” Amira yang duduk di sofa mengangguk. “Apa aku boleh pegang aku dan ponsel kerja?” tanya Amira menatap pada Wijaya yang sedang bersiap untuk pergi.“Untuk apa?” Wijaya menatap pada Amira.“Aku hanya memeriksa perkejaan,” ucap Amira.“Apa benar hanya pekerjaan?” tanya Wijaya memicingkan matanya.“Apalagi?” Amira menatap heran pada Wijaya.“Bagaimana dengan ini?” Wijaya memperlihatkan pesan masuk ke aku Amira. Ada banyak pria yang bukan membicarakan tentang pekerjaan, tetapi menanyakan kehidupan pribadi wanita itu.“Aku tidak akan mempedulikan mereka. Kamu tidak perlu khawatir,” tegas Amira.“Aku percaya itu, tetapi tidak dengan Andika. Dia sedang mengejar kamu kembali dengan berbagai cara. Pria itu bahkan membawa anak kalian yang t
Wijaya tidak tertarik untuk turun tangan langsung menyelidiki putra Amira. Berbeda dengan orang-orang yang menyakiti istri tercinta. Dia akan membalas dengan tangannya agar mendapatkan kepuasan. “Apa ada lagi yang ingin Anda lakukan atau selesaikan?” tanya Jack.“Untuk saat ini tidak ada. Aku sedang menikmati kebersamaan dengan istriku tercinta.” Wijaya tersenyum.“Aku sudah tidak sabar lagi ingin punya anak darinya. Pasti dia semakin tidak bisa lari dariku.” Wijaya benar-benar akan mengikat Amira dengan adanya anak dari mereka berdua. Dia yakin wanita itu tidak akan pernah berpikir untuk pergi ketika mereka memiliki putra bersama.“Anda terlihat berbeda sekarang,” ucap Leon tersenyum.“Apa yang beda?” tanya Wijaya dengan senyuman yang hilang dari bibirnya.“Lebih bersemangat dan sering tersenyum setiap kali menceritakan tentang Non Amira,” ucap Jack.“Dia adalah Nyonya Wijaya dan bukan Non Amira,” tegas Wijaya.“Baik, Bos.” Leon dan Jack tersenyum.“Aku pulang sekarang. Kalian urus s
Amira bersiap pergi ke kantor Wijaya. Wanita itu membawakan makanan untuk suaminya. Dia ingin memberikan kejutan.“Non mau pergi ke kantor?” tanya bibi.“Iya. Bibi minta izin ke penjaga depan ya. Aku pakai sopir juga tidak apa-apa.” Amira memegang tangan bibi. “Bibi takut Pak Wijaya marah, Non.” Bibi benar-benar khawatir.“Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku langsung ke kantor Pak Wijaya,” ucap Amira tersenyum.“Janji ya, Non.” Bibi melihat tas bekal yang dibawa Amira.“Iya. Aku janji. Lagian aku mau kemana lagi selain ke tempat Pak Wijaya.” Amira terlihat senang. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah. Wanita itu juga ingin membuat Wijaya bahagia dengan kedatangannya ke kantor tanpa memberi kabar dulu.“Aku sudah hubungi Pak Dody untuk memastikan Pak Wijaya ada di kantor, tapi pakai ponsel bibi,” ucap Amira. “Apa?” Bibi terkejut.“Aku tahu, Wijaya memasang penyadap di ponselku.” Amira menatap bibi.“Apa Non Amira juga sudah tahu ada banyak kamera tersembunyi di rumah ini?” ta
Wijaya menghentikan mobil di depan pintu utama. Itu artinya dia masih akan pergi ke luar. Amira benar-benar mampu mengubah dan mengacaukan jadwal Wijaya Kusuma yang sudah tersusun rapi. Wanita itu bahkan bisa membuat sang suami keluar dari ruang rapat yang penting dan membuat semua orang heran.“Tetap diam,” tegas Wijaya pada Amira yang mau turun dari mobil.“Kenapa?” tanya Amira melihat pada Wijaya yang sudah turun. Pria itu mengitari mobil dan membuka pintu untuk istrinya. Dia segera menggendong sang sekretaris tercinta keluar dari kendaraan roda empat.“Kemarin baru saja terluka dan hari ini sudah pergi jeluar rumah.” Wijaya menatap tajam pada Amira. Dia marah karena wanita tercintanya terluka lagi.“Aku kan mau memberikan kejutan. Aku tidak tahu kamu tidak suka.” Amira membuang wajahnya dengan bibir cemberut.“Aku suka, Sayang. Tetapi, kamu masih sakit. Terima kasih.” Wijaya mengecup bibir Amira yang cemberut.“Sekarang kita obati luka kamu dan memeriksa tubuh untuk memastikan tida
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la
Mereka pulang ke rumah dengan aman. Leon mengambil jalan lain. Pria itu juga menggantikan mobil serta menambahkan anak buahnya untuk melindungi majikannya.“Benar-benar sulit membawa Nyonya dan anak-anak keluar dari rumah. Ada banyak musuh yang mencari kesempatan untuk menyakiti mereka.” Leon menghela napas dengan berat. Dia melirik Keano yang tampak tenang. Pria itu bisa melihat Wijaya di dalam diri tuan mudanya.“Ah!” Amira menghempas tubuh di sofa.“Ada apa, Ma?” tanya Devano lembut.“Hari ini cukup melelahkan.” Amira tersenyum.“Maafkan aku dan Keano.” Devano memijut pundak Amira.“Minta maaf untuk apa? Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun.” Amira menarik Devano ke dalam pelukannya.“Mama saja yang belum terbiasa menemani kalian di luar.” Amira tersenyum. Dia mencium dahi Keano dan Devano.“Kami tidak akan ikut pertandingan di lapangan terbuka lagi,” tegas Keano.“Kenapa, Sayang? Tidak masalah. Mama akan berusaha untuk selalu berada di sisi kalian.” Amira mencubit hidung mancun
Keano benar-benar tidak suka dengan desakan dari para penonton. Anak lelaki itu makin tidak suka dengan keramaian.“Setelah ini, jangan pernah ikut lomba di luar lagi. Ini sangat berbahaya,” tegas Keano.“Benar. Mama pasti kesulitan menemani kita. Mama tidak pernah meninggalkan rumah, tetapi keluar demi bisa hadir di pertandingan ini.” Devano pun tampak menyesal karena memaksa Keano untuk bertanding dalam tim.“Kita sudah tahu pasti menang, jadi tidak usah ikut apa pun lagi. Apalagi banyak penonotn seperti ni. Aku benar-benar tidak suka.” Keano menatap tajam pada Devano. “Maafkan aku,” ucap Devano pelan.“Silakan masuk, Tuan Muda.” Para pengawal berhasil mengantarkan Devano dan Keano masuk ke dalam ruangan peserta. Dua anak lelaki itu duduk dengan tidak tenang.“Di mana Mama?” tanya Keano.“Nyonya sedang dalam perjalanan kemari. Mereka cukup kesulitan untuk melewati para penonton,” jawab pengawal.“Minta Om Leon gendong mama saja, biar cepat,” ucap Devano mengejutkan para pengawal. Su
Para penonton bersorak melihat anak remaja yang sudah berada di atas kuda mereka masing-masing. Keano dan Devano selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada. Orang tua yang memang popular dan anak-anak yang juga selalu menjadi kebanggaan.“Dua anak itu benar-benar terlalu terang sehingga saingan mereka tidak terlihat.” Pujian terdengar dari mulut para penonton. Mata mereka hanya fokus pada adik beradik yang tampak kompak dengan kuda dan anak panah yang ditembakkan.“Tidak akan ada peserta yang mampu mengalkan kecepatan dan kecerdasan putra Wijaya Kusuma.” Para penonton bersorang. Dua bersaudara itu meninggakan saingan mereka dengan sangat jauh.“Tidak sulit menentukan pemenang. Jarak mereka terlalu jauh dan skor yang di miliki kedua bersaudara itusangat sempurna.” Para juri pun hanya tersenyum karena dari awal mereka sudah bisa menebak bahwa anak dari Amira dan Wijaya Kusuma sudah dapat dipastikan jadi pemenang. Mereka memiliki tempat Latihan pribadi. “Wah hebat.” Amira
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak
Amira berada di dalam kamar dan bersiap untuk tidur. Wanita itu baru saja akan mematikan ponsel dan melihat panggilan dari Wijaya.“Wijaya.” Amira segera menerim panggilan dari suaminya.“Halo, Sayang.” Wijaya tersenyum pada Amira yang terlihat di layar ponsel.“Halo, Sayang. Bagaimana perkerjaan di sana? Apa kamu lelah?” tanya Amira.“Aku tidak lelah, tetapi tersiksa karena merindukan kamu,” jawab Wijaya.“Apa kamu akan tidur?” Wijaya melihat yang istri yang sudah mengenakan piyama.“Aku sedang bersiap untuk tidur,” ucap Amira merebahkan tubuhnya di kasur.“Apa kamu menggodaku?” tanya Wijaya.“Tidak, Sayang. Kamu terlihat sedang bekerja,” jawab Amira.“Ya. Aku tahu kamu akan tidur jadi dengan cepat menghubungi istriku tercinta. Bagaimana hari ini?” Wijaya tersenyum.“Hari ini menyenangkan. Aku menemani anak-anak Latihan berkuda dan memanah. Mereka benar-benar luar biasa. Aku sangat bangga.” Amira terlihat bersemangat menceritakaan kebersamaanya dengan Keano dan Devano. Dia tidak membe
Amira yang menyadari kedua putra yang masih menunggu dirinya segera menepi. Dia tidak butuh lama untuk memuaskan diri berkuda. Wanita itu merasa tidak muda lagi.“Ini menyenangkan.” Amira turun dari kuda dengan bantuan Leon.“Terima kasih,” ucap Amira.“Apa sudah selesai, Ma?” tanya Keano memegang tangan Amira.“Tentu saja, Sayang. Mama hanya perlu naik kuda dan menungganginya. Itu cukup.” Amira mengusap kepala dua putranya yang sudah memiliki postur tubuh tinggi di usia yang masih sangat muda.“Kalian berdua yang harus banyak Latihan karena akan mengikuti lombat,” ucap Amira.“Baik, Ma. Kami akan memperlihatkan penampilan terbaik di depan, Mama.” Keano sudah melompat ke atas kuda. “Wah. Keren.” Amira terkejut melihat gerakan lincah dan gesit dari Keano dan Devano.“Luar biasa. Anak Mama memang hebat.” Amira bertepuk tangan. Dia benar-benar kagum melihat kedua putranya. Wanita itu tidak pernah mengikuti Keano dan Devano ketika Latihan di luar rumah. Dia harus tetap bersama anak kembar
Wijaya telah terbang ke luar negeri. Pria itu benar-benar harus meninggalkan anak istrinya karena pertemuan yang tidak bisa diwakilkan. Dia sudah lama tidak pertemu dengan para pendukungnya sehingga dia tetap bisa terus berada pada puncak kesuksesan. Bisnis legal dan illegal dijalaninya.“Pastikan Leon tetap di rumah bersama anak dan istriku,” tegas Wijaya.“Iya, Pak. Anak-anak akan terus berada dalam pengawasan dan penjagaan,” ucap Jack.“Beberapa tahun ini hidup kita terlalu tenang. Jadi, mulai tingkatkan kembali kewaspadaan. Mungkin musuh dari masa lalu masih mencari kesempatan untuk menyerang balik,” jelas Wijaya.“Pasti, Pak.” Jack mengangguk.Amira selalu senang memasak. Dia dibantu para pelayan membuat cemilan sehat untuk anak-anaknya. Wanita itu tidak bisa hanya diam saja.“Nyonya, Anda dilarang lelah.” Leon menyusul ke dapur. Pria itu benar-benar mendapatkan tugas yang berat yaitu menjaga istri Wijaya Kusuma.“Aku tidak lelah, Leon. Aku biasa melakukan ini.” Amira tersenyum